• Tidak ada hasil yang ditemukan

105

Potensi Pemanfaatan Bakteriofage sebagai Agens Antagonis

Patogen

Xanthomonas oryzae

pv.

oryzae

Penyebab

Hawar Daun Bakteri pada Padi

Syaiful Khoiri, M. Candra Putra, Sari Nurulita, Dian Fitria, Fitri Fatma Wardani, dan Giyanto

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Email: giyanto2@yahoo.com

Abstrak

Hawar daun bakteri pada padi yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (X. oryzae pv. oryzae) merupakan salah satu penyakit penting pada padi. Di Indonesia, kehilangan hasil penyakit hawar daun bakteri ini dapat mencapai lebih dari 30%. Upaya pengendalian antara lain menggunakan bakterisida (antibiotik), namun penggunaan antibiotik dalam menekan bakteri mampu menimbulkan resistensi. Perlu adanya alternatif pengendalian yang menggunakan agens hayati yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan resistensi. Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri dan bersifat spesifik. Informasi bakteriofage sebagai agens antagonis belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi bakteriofage dan menguji keefektifannya dalam menekan populasi X. oryzae pv. oryzae, serta melihat pengaruhnya terhadap daya kecambah tanaman padi. Bakteriofage diisolasi dari air sawah dan daun padi yang bergejala hawar daun bakteri yang berasal dari persawahan di Bogor, Karawang, dan Cianjur. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa bakteriofage dapat menekan

populasi X. oryzae pv. oryzae jika dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan

bakteriofage tidak berpengaruh terhadap daya kecambah benih, namun dapat mengurangi sumber inokulum X. oryzae pv. oryzae terbawa benih. Benih dengan perlakuan bakteriofage mampu menekan populasi X. oryzae pv. oryzae hingga 50% dibandingkan kontrol. X. oryzae pv. oryzae. Hal ini menunjukkan bahwa bakteriofage memiliki potensi sebagai agens antagonis X. oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri.

Kata kunci: bakteriofage, pengendalian hayati, penyakit kresek

Pendahuluan

Salah satu kendala dalam budidaya tanaman adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Petani seringkali menggunakan pestisida secara berlebihan untuk mengamankan produksi akibat serangan OPT yang dapat

106

menimbulkan dampak negatif, seperti timbulnya patogen sekunder, matinya musuh alami, merusak lingkungan, bahkan penolakan pasar akibat produk yang mengandung residu pestisida. Untuk mengurangi penggunaan pestisida, maka diperlukan alternatif pengendalian OPT yang ramah lingkungan. Saat ini, perhatian mulai beralih ke sumber daya biologi dalam meningkatkan kesehatan (ketahanan) tanaman, melalui peran musuh alami OPT tersebut (Desmawati, 2006).

Pengendalian hayati dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai 1930 Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan diantaranya adalah dari genus-genus Agrobacterium, Ampelomyces, Arthrobotys, Ascocoryne, Bacillus, Bdellovibrio, Chaetomium, Cladosporium, Coniothyrium, Dactylella, Endothia, Erwinia, Fusarium, Gliocladium, Hansfordia, Laetisaria, Myrothecium, Nematophthora, Penicillium, Peniophora, Phialophora, Pseudomonas, Pythium, Scytalidium, Sporidesminium, Sphaerellopsiss, Trichoderma, dan Verticillium (Hasanudin 2003). Pemanfaatan agens antagonis untuk mengendalikan patogen tumbuhan juga telah dikembangkan sebagai salah satu cara menjaga kelanjutan dan solusi yang ramah lingkungan dalam pertanian.

Selain mikroorganisme, terdapat kelompok virus yang dapat dikembangkan sebagai biokontrol bakteri patogen tumbuhan yaitu bakteriofage. Bakteriofage merupakan salah satu virus yang berpotensi dimanfaatkan dalam pengendalian OPT secara hayati. Telah diketahui bahwa bakteriofage sudah dimanfaatkan sebagai agens antagonis yang digunakan dalam menekan populasi Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Bakteriofage adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Sel bakteri digunakannya sebagai tempat memperbanyak partikel virus tersebut kemudian akan lisis seiring dengan perkembangan partikel bakteriofage di dalam sel inangnya (Adam 1959).

Atas dasar sifat ini diharapkan dalam jumlah yang cukup, bakteriofage dapat dimanfaatkan dalam mengendalikan populasi bakteri patogen tanaman, seperti X. oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar bakteri pada tanaman padi. Patogen ini merupakan salah satu patogen penting pada tanaman padi karena dapat menghancurkan lahan padi dalam jumlah yang tidak sedikit. Menurut Ou (1972) di Indonesia penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan hasil lebih dari 30%. Penyebaran patogen ini pun cukup tinggi, antara lain melalui saluran atau percikan air serta melalui benih. Dengan aplikasi bakteriofage pada benih padi diharapkan dapat mengurangi populasi patogen ini. Oleh sebab itu, diperlukan pengujian terhadap kemampuan bakteriofage dalam mengendalikan patogen hawar bakteri secara efektis dan efisien serta ramah lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi bakteriofage dan mengetahui

keefektifannya dalam menekan populasi X. oryzae pv. oryzae serta megkaji

pemanfaatannya sebagai agens antagonis bagi X. oryzae pv. oryzae kemudian melihat pengaruhnya terhadap daya kecambah tanaman padi.

107 Bahan dan Metode

Isolasi X. oryzae pv. oryzae

Sumber inokulum yang dapat digunakan ialah daun padi yang memiliki gejala hawar daun karena terserang patogen X. oryzae pv. oryzae dan air persawahan. Air rendaman yang merupakan suspensi bakteri X. oryzae pv. oryzae disebar sebanyak 100 µl pada media agar selektif Yeast Dextrose Carbonate Agar (YDCA) dengan pengenceran berseri pada konsentrasi 10-2, 10-4, 10-6, dan 10-8 hingga diperoleh koloni tunggal bakteri.

Isolasi baktriofage

Isolasi bakteriofage dilakukan dengan tiga cara, yaitu daun yang bergejala yang direndam dalam air, daun bergejala yang direndam dalam buffer PBST, dan air persawahan. Setelah di-shaker semalam, baik dari daun maupun dari air persawahan diambil sebanyak 1,5 ml dan diletakkan ke dalam ependorf. Kemudian, disentrifuse dengan kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit. Hasil sentrifuse akan menghasilkan dua bagian, yaitu supernatan dan pelet. Pelet diresuspensi, kemudian disebar pada media yang telah diinokulasi X. oryzae pv. oryzae. Setelah inkubasi 2-3 hari, bakteriofage yang tumbuh ditandai dengan adanya zona bening atau phage plaque (Madigan et al. 1997).

Perbanyakan bakteriofage

Zona bening yang terbentuk kemudian dipisahkan dari media agar dan diinokulasikan pada media cair LB yang merupakan suspensi murni bakteri X. oryzae pv. oryzae. Selanjutnya suspensi ini diinkubasi selama lima hari. Penghitungan jumlah partikel fage dapat dilakukan setelah masa inkubasi.

Pengujian penekanan populasi X. oryzae pv. oryzae

Satu koloni tunggal X. oryzae pv. oryzae umur 24 jam diinokulasi pada media LB 5 ml dan dihitung populasi X. oryzae pv .oryzae dengan cara disebar pada media YDCA. Data populasi yang diperoleh digunakan sebagai data populasi awal. Selanjutnya media LB yang telah diinokulasi dengan X. oryzae pv. oryzae ditambah dengan suspensi bakteriofage dan diinkubasi selama 24 jam. Setelah inkubasi, populasi X. oryzae pv. oryzae dihitung kembali dengan cara disebar pada media. Data populasi yang diperoleh digunakan sebagai data populasi akhir.

Pengaruh Perlakuan Bakteriophage terhadap populasi X. oryzae pv. oryzae terbawa benih padi

Suspensi isolat murni bakteriofage yang diperoleh dapat dilakukan pengujian pada bahan tanaman. Bahan tanaman yang digunakan dalam hal ini yaiitu benih padi yang bersumber dari tanaman yang terserang penyakit hawar bakteri. Pengujian pada benih dilakukan karena patogen penyebab penyakit hawar bakteri ini dapat terbawa benih (seed borne). Pengujian dilakukan dengan cara benih padi sebanyak 200 benih per perlakuan direndam pada suspensi bakteriofage selama semalam. Sebanyak 100

108

benih ditanam pada media tanam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap daya kecambah benih dan 100 benih lain digerus dalam bufer dengan menggunakan mortar steril kemudian disebar pada media YDCA untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Perlakuan ini dilakukan dengan tiga ulangan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data diolah dengan program SAS versi 6.12 dan dianalisis menggunakan ANOVA. Pengaruh yang berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut dengan uji selang berganda Duncan dengan taraf nyata (α) = 5%.

Hasil dan Pembahasan

Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri. Adanya sifat dari bakteriofage ini dimanfaatkan untuk mengendalikan bakteri X. oryzae pv. oryzae yang merupakan penyebab hawar daun bakteri. Berdasarkan hasil isolasi yang telah dilakukan, bakteriofage ditemukan pada daun padi dan air sawah. Pada isolat asal Cianjur berhasil diisolasi bakteriofage asal daun padi dan pada isolat Karawang ditemukan pada air sawah. Pada lokasi Bogor tidak ditemukan bakteriofage, tetapi bukan berarti di daerah Bogor tidak terdapat bakteriofage yang berhasil diisolasi (Tabel 1). Berdasarkan hasil tersebut, maka pengujian bakteriofage selanjutnya hanya dilakukan terhadap isolat yang berasal dari Cianjur dan Karawang.

Tabel 1 Hasil isolasi bakteriofage pada beberapa lokasi pertanaman padi.

Sumber inokulum Lokasi

Bogor Cianjur Karawang

Daun padi - + -

Air sawah - - +

Tabel 2 Pengaruh perlakuan bakteriofage terhadap jumlah populasi X. oryzae pv.

oryzae pada media cair LB

Isolat Kontrol (x104 cfu) Cianjur (x104 cfu) Karawang (x104 cfu) Populasi sebelum inokulasi

bakteriofage 277 133 39

Populasi sesudah inokulasi

bakteriofage 18700 4700 1700

Nisbah populasi

109 Gambar 1 Kurva perkembangan X. oryzae pv. oryzae yang diinokulasi

bakteriofage

Pada gambar di atas terlihat bahwa laju pertumbuhan jumlah populasi koloni X. oryzae pv. oryzae terlihat berkurang setelah perlakuan dengan penambahan bakteriofage. Unit percobaan dengan perlakuan, dalam gambar ini adalah suspensi X. oryzae pv. oryzae dengan penambahan bakteriofage, memiliki garis kurva yang jauh lebih landai dibandingkan dengan garis kurva unit percobaan kontrol. Hal ini

menunjukkan adanya hambatan yang ditimbulkan oleh bakteriofage sehingga X.

oryzae pv. oryzae tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Berdasarkan nisbah kelimpahan populasinya, terlihat bakteriofage asal Cianjur lebih efektif untuk menekan populasi X. oryzae pv. oryzae.

Tabel 3 Pengaruh perlakuan bakteriofage pada benih padi terhadap daya kecambah dan jumlah populasi X. oryzae pv. oryzae pada benih padi

Perlakuan bakteriofage

% Rata-rata jumlah benih berkecambah

Populasi X. oryzae pv. oryzae pada benih (x102 cfu)

Kontrol 64bc 36690

Isolat Cianjur 78bc 17040

Isolat Karawang 61c 1856

Bakterisida 91a 47

Selain penghitungan jumlah populasi secara in-vitro, keefektivan bakteriofage dalam mengendalikan X. oryzae pv. oryzae juga diuji melalui penanaman benih dengan perlakuan. Perlakuan bakteriofage pada benih padi menunjukkan hasil bahwa tidak adanya perbedaan signifikan terhadap daya kecambah benih padi. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa bakteriofage tidak memiliki kemampuan dalam mempengaruhi vigor tanaman, dalam hal ini ialah daya kecambah benih padi. Namun

110

oryzae pv. oryzae yang terbawa dalam benih padi. Hal ini dapat dilihat dari tabel di atas bahwa perlakuan bakteriofage pada benih padi dapat menekan populasi X.

oryzae pv. oryzae hingga 1 856x102 cfu dengan perlakuan isolat Karawang dan 17

040x102 cfu dengan perlakuan isolat Cianjur. Angka tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan benih padi yang tidak diberi perlakuan bakteriofage (kontrol). Namun perlakuan bakterisida memiliki populasi bakteri yang paling sedikit. Hal ini karena bakterisida memiliki bahan aktif Streptomycin sulfat yang merupakan bahan antibiotik sintetik yang dapat menekan mikroba dengan kisaran target yang luas.

Berdasarkan pengujian kedua bakteriofage yang ditemukan, mampu menekan perkembangan X. oryzae pv. oryzae pada pengujian invitro dan pengujian pada benih, namun pengujian terhadap daya kecambah benih padi tidak konsisten. Penekanan perkembangan ditandai dengan kurva pertumbuhan yang lebih landai dibandingkan dengan tanpa perlakuan bakteriofage. Potensi penekanan perkembangan X. oryzae pv. oryzae oleh bakteriofage dapat digunakan sebagai salah

satu langkah mengurangi inokulum X. oryzae pv. oryzae pada benih dan

memperlambat perkembangan populasi X. oryzae pv. oryzae. Menurut Jones et al.

(2007), fage secara efektif dapat digunakan sebagai bagian dalam pengendalian hama terpadu (PHT).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bakteriofage dapat diiisolasi dari daun dan air sawah. Bakteriofage yang diperoleh dari Karawang dapat menekan populasi X. oryzae pv. oryzae hingga 90%. Daya kecambah benih tidak dipengaruhi oleh perlakuan bakteriofage. Sehingga bakteriofage cukup efektif dalam menekan populasi X. oryzae pv. oryzae dan berpotensi dikembangkan sebagai agens antagonis X. oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri pada padi.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian tahun 2009/2010.

Daftar Pustaka

Adams MH. 1959. Bacteriophage. New York (US): Wiley (Interscience).

Desmawati. 2006. Pemanfaatan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

prospek yang menjanjikan dalam berusahatani tanaman hortikutura [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

111 Hasanudin. 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme Dalam Sistem Pengendalian

Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Digital Library USU.

Jones JB, Jackson LE, Baloght B, Obradovic A, Iriarte FB, Momol MT. 2007. Bacteriophages for Plant Disease Control. Ann Rev Phytophatol. 45:245-262. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1997. Biology of Microorganism., 8th ed. London

(GB): Prentice Hall Upper Saddle River Press.

112

Monitoring Penyakit Utama Padi di Beberapa Sentra Produksi Padi di Jawa Tengah

Dini Yuliani dan Sudir

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi Subang E-mail: diniyuliani2010@gmail.com

Abstrak

Penyakit padi merupakan penyebab tidak tercapainya potensi hasil tanaman padi. Pemantauan perkembangan penyakit utama dari musim ke musim sangat diperlukan untuk menentukan strategi pengendalian. Penelitian ini untuk mengetahui keadaan penyakit utama padi di daerah sentra produksi padi di Propinsi Jawa Tengah. Pengamatan penyakit dilaksanakan di 16 Kabupaten pada musim kemarau (MK) 2013 dan musim hujan (MH) 2013/2014. Hasil pemantauan penyakit pada MK 2013 ditemukan enam penyakit padi yang selalu dijumpai di tiap lokasi pengamatan yaitu hawar daun bakteri (HDB), blas leher, busuk batang, hawar pelepah, bercak daun cercospora, dan hawar daun jingga (HDJ). Penyakit HDB dan BDC dominan pada MK 2013, sedangkan HDB, busuk batang, dan BDC dominan pada MH 2013/2014. Keparahan HDB mencapai 84.4% yaitu di Desa Kebon Agung, Kec. Kajen, Kab. Pekalongan. Keparahan blas leher tertinggi (63.7%) ditemukan di Desa Sulang, Kec. Sulang, Kab. Rembang. Busuk batang dengan keparahan tertinggi (31.7%) ditemukan di Desa Cinde, Kec. Kebon Anum, Kab. Klaten. Hawar pelepah tertinggi (17.4%) ditemukan di Desa Mulyoharjo, Kec. Jepara, Kab. Jepara. Keparahan BDC tertinggi (37.4%) ditemukan di Desa Sambiroto, Kec. Ngawen, Kab. Blora. Hawar daun jingga tertinggi (31.1%) ditemukan di Desa Juragan, Kec. Klaten Selatan, Kab. Klaten. Informasi penyakit utama padi tersebut dapat dijadikan dasar rekomendasi pengendalian di beberapa sentra produksi padi di Jawa Tengah.

Kata kunci : Pemantauan, Penyakit Utama, Padi, Jawa Tengah

Pendahuluan

Serangan penyakit merupakan salah satu faktor penyebab tidak tercapainya produksi padi sesuai dengan potensi hasilnya yang optimal. Penyakit padi diantaranya

hawar daun bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae, merupakan penyakit yang

sangat penting di negara penghasil padi di Asia, termasuk di Indonesia (Ou 1985; Nayak et al. 2008). Blas merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Penyebaran blas sangat luas dan bersifat destrukif apabila kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al. 1997).

113

Bercak daun Cercospora oryzae mampu menurunkan hasil padi hingga 50%

(Suparyono et al. 2001). Hawar pelepah Rhizoctonia solani dan busuk batang Helminthosporium sigmoideum merupakan penyakit yang endemis dan selalu terdapat di daerah pertanaman padi di daerah tropis (Ou 1985). Hawar pelepah menyebabkan kerebahan tanaman padi terutama pada stadium pengisian malai, sedangkan busuk batang menyebabkan malai tidak keluar dan tetap terbungkus oleh pelepah daun bendera. Kerusakan tanaman seperti tersebut di atas sangat menurunkan produksi padi baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Guo et al. 2006).

Pemantauan perkembangan penyakit utama dan kemungkinan munculnya penyakit baru di suatu ekosistem padi (spatial dan temporal) di daerah sentra produksi padi di Jawa Tengah sangat diperlukan sebagai dasar penentuan strategi pengendalian penyakit. Informasi yang diperoleh tentang keadaan penyakit utama padi dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan teknologi pengendalian. Teknik pengendalian yang tepat berdampak terhadap peningkatan efektifitas pengendalian penyakit sehingga serangan penyakit dapat ditekan, umur ketahanan varietas terhadap penyakit dapat diperpanjang, kehilangan hasil dapat ditekan, pendapatan petani dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keadaan penyakit utama padi dan monitoring kemungkinan terjadinya perubahan status penyakit atau kemungkinan munculnya penyakit baru pada tanaman padi di beberapa sentra produksi padi di Jawa Tengah.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada musim kemarau (MK) 2013 dan musim hujan (MH) 2013/2014 di Propinsi Jawa Tengah. Lokasi pengamatan dilaksanakan pada 2 hingga 5 Kabupaten yang merupakan sentra produksi padi. Tiap kabupaten diambil 3 Kecamatan dan tiap kecamatan diambil 2 desa. Pengamatan dilakukan pada fase generatif (awal pengisian-pengisian malai) pada hamparan sawah seluas ± 0.1-0.5 ha. Tiap hamparan di bagi 3 bagian dan tiap bagian dibuat sebagai ulangan. Tiap ulangan ditarik garis diagonal, selanjutnya untuk setiap garis diagonal diambil sekitar 10 rumpun tanaman sampel. Tiap rumpun sampel diamati tingkat serangan penyakit yang muncul dengan metode skoring. Skoring keparahan menggunakan sistem evaluasi standar (IRRI 2002) untuk masing-masing penyakit. Skoring keparahan penyakit dikonversikan ke intensitas penyakit dengan rumus IP = [(ni x vi) / (N x V)] x 100%. IP = intensitas penyakit, ni = jumlah sampel dengan skala I, vi = skala keparahan penyakit (0 - 9), N = jumlah sampel yang diamati, V = skala penyakit tertinggi (9). Data disajikan berupa rata-rata keparahan penyakit (%).

114

Hasil dan Pembahasan

Keadaan Penyakit Utama Padi di Jawa Tengah pada MK 2013

Pengamatan penyakit pada MK 2013 dilakukan di 9 Kabupaten yaitu Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, dan Blora. Penyakit padi yang selalu ditemukan di tiap lokasi pemantauan yaitu hawar daun bakteri (HDB), blas, busuk batang, hawar pelepah, dan bercak daun cercospora (BDC) masing-masing dengan tingkat keparahan yang bervariasi (Tabel 1). Hawar daun bakteri dengan tingkat keparahan ringan (10.6%) sampai sangat parah (68.0%) ditemukan di Kabupaten Pemalang. HDB dengan keparahan cukup tinggi sebesar 14.4 sampai 84.4% terdapat di Kabupaten Pekalongan. Di Kabupaten Batang, dengan tingkat keparahan agak parah sebesar 27.5 sampai 44.4%. Di Kabupaten Demak, HDB ditemukan dengan keparahan rendah antara 4.4 sampai 5.0%, sedangkan di Kabupaten Jepara antara 0.0 sampai 43.0%. Di Kabupaten Kudus, serangan HDB antara 10.0 sampai 33.5%. Di Kabupaten Pati, keparahan cukup rendah antara 0.0 sampai 26.4%, sedangkan di Kab. Rembang antara 0.0 sampai 56.7 %. Di Kabupaten Blora, penyakit HDB hanya ditemukan di Desa Medang, Kecamatan Blora pada varietas Ciherang dengan keparahan sebesar 30.7%.

Busuk batang ditemukan di semua lokasi pengamatan dengan keparahan antara 2.2 sampai 16.3%. Di Kabupaten Pemalang, keparahan antara 2.2 sampai 11.9%, sedangkan di Kabupaten Pekalongan antara 9.6 sampai 15.9%. Di Kabupaten Batang, keparahan busuk batang antara 8.8 sampai 11.9%, sedangkan di Kabupaten Demak antara 4.5 sampai 10.0%. Di Kabupaten Jepara, busuk batang ditemukan dengan keparahan antara 3.7 sampai 13.7%, sedangkan di Kabupaten Kudus antara 8.5 sampai 12.2%. Di Kabupaten Pati dan Rembang, keparahan antara 3.2 sampai 13.3%, sedangkan di Kabupaten Blora ditemukan dengan keparahan antara 4.4 sampai 16.3%.

Keadaan penyakit blas bervariasi di tiap lokasi pengamatan. Di Kabupaten Pemalang dari 7 lokasi pengamatan, blas leher ditemukan dengan keparahan antara 4.3 sampai 11.0%. Di Kabupaten Pekalongan, keparahan antara 5.4 sampai 17.3%. Di Kabupaten Batang, keparahan blas antara 6.2 sampai 11.8%. Di Kabupaten Demak, keparahan antara 6.0 sampai 7.2%. Di Kabupaten Kudus, serangan blas ditemukan pada varietas Mekongga dengan keparahan antara 7.5 sampai 9.6%. Di Kabupaten Pati, keparahan antara 7.7 sampai 24.2%. Di Kabupaten Rembang, blas leher ditemukan di semua lokasi dengan keparahan antara 9.2 sampai 63.7%. Di Kabupaten Blora, blas leher dengan keparahan antara 15.0 sampai 26.2%.

Hawar pelepah ditemukan merata di semua lokasi pengamatan dengan keparahan antara 4.3 sampai 17.4%. Di Kabupaten Pemalang, keparahan antara 4.3 sampai 7.2%, sedangkan keparahan di Kabupaten Pekalongan antara 6.3 sampai 8.9%. Di Kabupaten Batang, keparahan hawar pelepah antara 9.0 sampai 13.4%, sedangkan keparahan di Kabupaten Demak ditemukan antara 6.5 sampai 8.0%. Hawar pelepah di Kabupaten Jepara dengan keparahan antara 5.7 sampai 17.4%, sedangkan keparahan di Kabupaten Kudus ditemukan antara 6.7 sampai 7.1%. Di Kabupaten Pati, keparahan hawar pelepah antara 5.0 sampai 12.4%, sedangkan

115 keparahan di Kabupaten Rembang antara 5.9 sampai 8.2%. Pengamatan terakhir di Kabupaten Blora, hawar pelepah ditemukan dengan keparahan antara 6.7 sampai 13.0%.

Bercak daun Cercospora ditemukan dengan keparahan antara 3.7 sampai

37.4% pada MK 2013. Di Kabupaten Pemalang, dengan keparahan antara 3.7 sampai 27.8%, sedangkan keparahan di Kabupaten Pekalongan antara 7.8 sampai 28.5%. Keparahan BDC di Kab. Batang antara 9.8 sampai 23.5%, sedangkan di Kab. Demak dengan keparahan antara 13.9 sampai 23.0%. Di Kabupaten Jepara, keparahan BDC 7,2 sampai 25.6%, sedangkan keparahan di Kabupaten Kudus antara 15.6 sampai 24.8%. Di Kabupaten Pati, keparahan antara 6.5 sampai 26.7%, sedangkan keparahan di Kabupaten Rembang antara 19.6 sampai 24.1%, dan keparahan di Kabupaten Blora antara 8.3 sampai 37.4%.

Keadaan Penyakit Utama Padi di Jawa Tengah pada MH 2013/2014

Pengamatan penyakit pada MH 2013/2014 dilakukan di 7 Kabupaten yaitu Banyumas, Cilacap, Kebumen, Klaten, Boyolali, Sragen, dan Sukoharjo. Penyakit padi yang ditemukan pada MH 2013/2014 yaitu HDB, blas leher, busuk batang, hawar pelepah, BDC, dan hawar daun jingga (HDJ) (Tabel 2). Hawar daun bakteri di Kabupaten Cilacap ditemukan dengan keparahan antara 7.0 sampai 31.9%, sedangkan keparahan di Kabupaten Banyumas antara 14.1 sampai 40.4%. Di Kabupaten Kebumen, keparahan HDB antara 11.5 sampai 14.0%, sedangkan di Kabupaten Boyolali antara 7.0 sampai 10.4%. Di Kab. Klaten, penyakit HDB ditemukan dengan keparahan antara 5.7 sampai 13.9%, sedangkan keparahan di Kabupaten Sukoharjo antara 4.6 sampai 15.4%, dan keparahan di Kabupaten Sragen antara 3.5 sampai 14.1%.

116

Tabel 1 Keadaan penyakit utama padi di sentra produksi padi di Jawa Tengah, MK 2013

Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Keparahan Penyakit (%)

HDB Blas BB HP BDC

Pemalang Pemalang Pekunden Kulon Si Denuk 20.9 4.3 7.8 6.1 16.3

Pemalang Pekunden Wetan Ciherang 13.3 4.4 5.2 7.4 27.8

Petarukan Petarukan Ciherang 10.6 4.7 2.2 4.3 6.7

Petarukan Kecapang Ciherang 54.4 5.1 11.5 7.2 3.7

Petarukan Iser Si Denuk 36.3 10.7 7.4 4.8 11.9

Bodeh Pendowo Si Denuk 68.0 7.7 11.9 6.9 10.2

Bodeh Kelang Ciherang 27.0 11.0 4.8 6.8 18.5

Pekalongan Kedungwuni Pakis Putih IR64 20.2 17.3 9.6 8.0 9.8

Kedungwuni Langkap Ciherang 45.4 0.0 12.6 6.3 7.8

Doro Kutosari Si Denuk 40.4 5.4 10.4 8.9 18.5

Doro Doro Si Denuk 31.5 9.1 15.9 7.6 28.5

Kajen Kebon Agung Bondoyudo 84.4 10.2 14.5 8.2 0.0

Kajen Sangkanjoyo St. Bagendit 14.4 10.8 10.0 7.0 0.0

Batang Batang Kesepuhan Si Denuk 44.4 6.2 8.9 13.4 17.0

Batang Depok IR64 33.9 7.4 10.0 11.3 9.8

Subah Kalimanggis Ciherang 33.5 11.8 11.9 10.6 23.5

Subah Jatisari W. Apoburu 27.5 8.3 8.8 9.0 18.0

Demak Demak Sedugenting Ciherang 4.8 6.7 4.5 7.4 23.0

Mijen Ngelo Wetan Ciherang 4.4 7.2 10.0 6.5 13.9

Mijen Bakung Ciherang 5.0 6.0 4.8 8.0 20.7

Jepara Welahan Kalipucang Ciherang 5.4 0.0 6.3 7.6 25.6

Tahunan Ngabul Ciherang 16.3 11.9 3.7 10.7 18.2

Jepara Mulyoharjo Ciherang 4.1 0.0 13.7 17.4 7.4

117

Kalinyamat Margoyoso Ciherang 43.0 0.0 6.3 5.7 7.2

Pecangaan Pengging Ciherang 0.0 19.5 4.1 7.6 21.5

Dokumen terkait