• Tidak ada hasil yang ditemukan

71

Kerentanan

Plutella xylostella

dari Kecamatan Cipanas, Kabupaten

Cianjur, Jawa Barat Terhadap Lima Jenis Insektisida Komersial

Aulia Rakhman dan Djoko Prijono

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Email: aulia.rakhman.ipb@gmail.com

Abstrak

Penggunaan insektisida dengan cara kerja yang sama secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya resistensi atau menurunkan kerentanan hama Plutella xylostella terhadap insektisida tersebut. Penelitian ini bertujuan menentukan kerentanan larva P. xylostella yang berasal dari Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat terhadap lima jenis insektisida komersial, yaitu deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram. Pengujian insektisida dilakukan pada larva instar II P. xylostella menggunakan metode celup daun dengan pemberian daun pakan perlakuan selama 48 jam. Pengamatan mortalitas serangga uji dilakukan setiap hari hingga 96 jam setelah perlakuan (JSP), selanjutnya data diolah dengan analisis probit. Deltametrin dan profenofos memiliki toksisitas rendah, sedangkan klorantraniliprol memiliki toksisitas sedang terhadap larva P. xylostella. LC95 profenofos dan klorantraniliprol pada 96 JSP masing-masing 18351.0 dan 131.1 mg b.a./L; nilai tersebut 24.5 dan 3.3 lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masing-masing. Sementara itu, larva P. xylostella masih rentan

terhadap emamektin benzoat dan spinetoram. LC95 emamektin benzoat dan

spinetoram masing-masing 1.17 dan 0.81 mg b.a./L; nilai tersebut 8.5 dan 14.8 lebih rendah daripada konsentrasi anjuran masing-masing. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larva P. xylostella asal Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur sudah tidak rentan terhadap deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos, tetapi masih rentan terhadap emamektin benzoat dan spinetoram.

Kata kunci: hama kubis, insektisida komersial, kerentanan.

Pendahuluan

Ulat daun kubis Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)

merupakan salah satu kendala biotik penting dalam upaya peningkatan produksi kubis. Hama tersebut menyerang tanaman kubis sejak awal pertumbuhan hingga menjelang panen. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 100%, terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

72

Konsep pengendalian hama terpadu (PHT) pada tanaman kubis telah lama dikembangkan, tetapi masih banyak petani yang mengandalkan insektisida untuk mengendalikan hama P. xylostella (Rauf et al. 2005). Penggunaan insektisida sintetis secara terus menerus dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satu di antaranya ialah terjadinya resistensi hama P. xylostella terhadap insektisida. Sastrosiswojo et al. (1989) melaporkan bahwa P. xylostella strain Lembang telah resisten terhadap asefat, triazofos, dan deltametrin. Selanjutnya, Moekasan et al.

(2004) melaporkan bahwa P. xylostella dari Lembang, Pangalengan, Kejajar/Dieng,

dan Batu sudah sangat resisten terhadap deltametrin dan profenofos. Resistensi P.

xylostella terhadap insektisida piretroid dan organofosfat juga telah dilaporkan di berbagai negara lain seperti di Australia, Tiongkok, India, Nikaragua, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan, dan Korea Selatan (Furlong et al. 2013). Di Tiongkok, Wang dan Wu (2012) melaporkan bahwa P. xylostella dari Provinsi Guangdong resisten terhadap insektisida dari golongan diamida antranilat yang relatif baru, yaitu klorantraniliprol.

Kerentanan populasi hama di lokasi tertentu terhadap insektisida yang terdapat di pasaran perlu dipantau secara berkala agar kemungkinan terjadinya resistensi hama terhadap insektisida dapat diketahui secara dini. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang program yang tepat dalam pengelolaan resistensi hama terhadap insektisida (Georghiou 1983). Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan menentukan kerentanan larva P. xylostella yang berasal dari Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur terhadap insektisida komersial berbahan aktif deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari Februari 2014 sampai Juni 2014.

Persiapan Bahan Percobaan

Daun kubis (Brassica oleracea var. capitata L.) digunakan sebagai pakan larva P. xylostella dan sebagai medium pengujian. Tanaman kubis diperbanyak pada polybag kapasitas 5 L tanpa menggunakan pestisida. Daun dari tanaman yang berumur 1-2 bulan digunakan untuk perbanyakan larva P. xylostella dan untuk pengujian (Chenta & Prijono 2014).

Serangga P. xylostella yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur pada tanggal 28 Februari 2014 dan 6 Mei 2014. Serangga tersebut diperbanyak di laboratorium dengan cara seperti yang dikemukakan oleh Febrianni et al. (2013). Larva P. xylostella yang digunakan dalam pengujian adalah larva instar II dari generasi II.

73 Insektisida komersial yang digunakan adalah deltametrin (Decis 25 EC, bahan aktif [b.a.] 25 g/L), emamektin benzoat (Proclaim 19 EC, b.a. 19 g/L), klorantraniliprol (Prevathon 50 SC, b.a. 50 g/L), profenofos (Curacron 500 EC, b.a. 500 g/L), dan spinetoram (Endure 120 SC, b.a. 120 g/L), yang diperoleh dari salah satu kios pertanian di Bogor.

Uji Toksisitas

Pengujian toksisitas insektisida dilakukan dalam dua tahapan, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan, dengan menggunakan metode celup daun. Pada uji pendahuluan pertama, insektisida komersial berbahan aktif deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram masing-masing diuji pada konsentrasi formulasi 0.05%, 0.1%, 0.2% (v/v). Konsentrasi pengujian diturunkan atau ditingkatkan sesuai hasil uji pendahuluan pertama sampai diperoleh tingkat mortalitas yang dapat digunakan untuk memperkirakan konsentrasi untuk uji lanjutan. Larutan pengencer yang digunakan adalah akuades yang mengandung 0.2 ml/L bahan perekat Agristick (b.a. alkilaril poliglikol eter 400 g/L).

Pada setiap perlakuan, daun kubis dipotong 4 cm x 4 cm lalu dicelupkan satu per satu dalam sediaan insektisida uji. Satu potongan daun kubis diletakkan dalam cawan petri yang dialasi tisu, kemudian dimasukkan 10 larva instar II P. xylostella dengan tiga ulangan. Larva dibiarkan makan daun perlakuan atau daun kontrol selama 2 x 24 jam, kemudian ditambahkan daun tanpa perlakuan sampai hari ke-4. Jumlah larva yang mati dicatat setiap hari dari 24 sampai 96 jam setelah perlakuan (JSP).

Pada uji lanjutan, setiap sediaan insektisida komersial, kecuali deltametrin, diuji pada lima taraf konsentrasi yang ditentukan berdasarkan hasil uji pendahuluan. Konsentrasi yang diuji ialah emamektin benzoat 0.11, 0.19, 0.38, 0.57, dan 1.14 mg b.a./L, klorantraniliprol 37.5, 50, 75, 100, dan 150 mg b.a./L, profenofos 1250, 2000, 3500, 6000, dan 10000 mg b.a./L, dan spinetoram 0.03, 0.05, 0.09, 0.12, dan 0.3 mg b.a./L.

Metode perlakuan dan pengamatan pada uji lanjutan sama seperti pada uji pendahuluan, tetapi setiap perlakuan pada uji lanjutan diulang lima kali. Data mortalitas kumulatif pada 48 dan 96 JSP diolah dengan anilisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). LC95 setiap insektisida komersial yang diuji dibandingkan dengan konsentrasi anjuran yang tertera pada label produk insektisida sebagai acuan untuk menentukan kerentanan larva P. xylostella terhadap insektisida yang diuji.

Hasil dan Pembahasan

Perlakuan dengan emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram mengakibatkan terjadinya mortalitas larva P. xylostella yang meningkat dengan pola yang agak beragam seiring dengan bertambahnya waktu dan makin besarnya konsentrasi yang diuji (Gambar 1). Deltametrin tidak diuji lanjut karena pada

74

perlakuan dengan insektisida tersebut pada konsentrasi hingga 1250 mg b.a./L (100 kali konsentrasi anjuran), mortalitas larva P. xylostella sangat rendah (kurang dari 17%). Konsentrasi pengujian tidak dapat ditingkatkan karena perlakuan deltametrin pada konsentrasi tersebut sudah menyebabkan fitotoksisitas, yaitu terdapat bercak nekrosis pada daun kubis.

Mortalitas larva P. xylostella akibat perlakuan emamektin benzoat 0.11-1.14 mg b.a./L pada 24 JSP hanya berkisar 0-4% kemudian meningkat cukup tinggi pada 48 dan 72 JSP, dan antara 72 dan 96 JSP mortalitas larva meningkat hingga mencapai 100% pada konsentrasi tertinggi (Gambar 1A). Emamektin benzoat merupakan analog semisintetik dari avermektin B1, yaitu senyawa makrolida yang dihasilkan dari fermentasi bakteri tanah Streptomyces avermitilis (Pitterna 2007). Avermektin merupakan racun saraf yang mengakibatkan pembukaan saluran ion klorida pada membran sel saraf sehingga terjadi peningkatan aliran ion klorida ke dalam sel saraf, yang selanjutnya dapat mengakibatkan kelumpuhan dan kematian serangga (Casida & Durkin 2013).

Perlakuan dengan klorantraniliprol 37.5-150 mg b.a./L mengakibatkan mortalitas larva yang relatif tinggi pada 24 JSP. Mortalitas larva meningkat tajam pada perlakuan konsentrasi 50-150 mg b.a./L pada 48 JSP, sedangkan antara 72 dan 96 JSP hanya terjadi sedikit peningkatan mortalitas larva (Gambar 1B). Klorantraniliprol (golongan diamida antranilat) bekerja dengan mengganggu fungsi otot melalui pengaktifan reseptor rianodin serangga yang menyebabkan pelepasan ion kalsium dari tempat penyimpanan di dalam retikulum sarkoplasma. Akibatnya pengaturan kontraksi otot terganggu yang selanjutnya menyebabkan kelumpuhan otot dan kematian serangga (Cordova et al. 2006).

Perlakuan dengan profenofos 1250-10000 mg b.a./L dan spinetoram 0.03-0.3 mg b.a./L mengakibatkan mortalitas larva yang meningkat secara bertahap dari 24 hingga 72 JSP, sedangkan antara 72 dan 96 JSP terjadi peningkatan mortalitas larva dengan proposi yang lebih rendah (Gambar 1C dan 1D). Profenofos (golongan organofosfat) bekerja sebagai racun saraf dengan cara menghambat fungsi enzim asetilkolinesterase pada celah sinapsis saraf (Casida dan Durkin 2013). Akibatnya terjadi penumpukan asetilkolin pada membran pascasinapsis sel saraf yang selanjutnya mengakibatkan gejala hipereksitasi, kejang-kejang, kelumpuhan, dan kematian (Yu 2008). Spinetoram merupakan turunan semisintetik dari spinosin J dan spinosin L, yang diisolasi dari fermentasi bakteri tanah Saccharopolyspora spinosa

(Crouse et al. 2007). Spinosin merupakan racun saraf yang bekerja dengan

mengaktifkan reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan saluran ion Na+ pada membran pascasinapsis menjadi terbuka dan menimbulkan rangsangan terus menerus, yang selanjutnya menyebabkan gejala hipereksitasi, kejang-kejang, kelumpuhan, dan kematian (Salgado & Sparks 2010).

Berdasarkan hasil analisis probit data mortalitas serangga uji pada 96 JSP, LC95

emamektin benzoat adalah 1.17 mg b.a./L, klorantraniliprol 131.1 mg b.a./L, profenofos 18351.0 mg b.a./L, dan spinetoram 0.81 mg b.a./L (Tabel 1). Konsentrasi anjuran emamektin benzoat, klorantraniliprol, dan profenofos berturut-turut 10, 40, dan 750 mg b.a./L, sedangkan konsentrasi anjuran spinetoram (campuran turunan

75 spinosin J dan L) disamakan dengan konsentrasi anjuran spinosad (campuran spinosin A dan D) yaitu 12 mg b.a./L karena di Indonesia formulasi spinetoram belum terdaftar untuk mengendalikan P. xylostella.

Gambar 1 Perkembangan tingkat mortalitas larva P. xylostella asal Ciloto, Cianjur pada perlakuan dengan emamektin benzoat (A), klorantraniliprol (B), profenofos (C), dan spinetoram (D). Legenda menunjukkan konsentrasi yang diuji dalam satuan mg b.a./L

LC95 klorantraniliprol dan profenofos pada 96 JSP masing-masing 3.3 dan 24.5 kali lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masing-masing, sedangkan LC95

emamektin benzoat dan spinetoram pada 96 JSP masing-masing 8.5 dan 14.8 kali lebih rendah daripada konsentrasi anjuran insektisida tersebut. Dengan demikian, larva P. xylostella asal Ciloto, Cianjur sudah tidak rentan terhadap klorantraniliprol dan profenofos, tetapi masih rentan terhadap emamektin benzoat dan spinetoram. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Moekasan et al. (2004) yang melaporkan bahwa larva P. xylostella dari Lembang, Pangalengan (Bandung) dan Kejajar Dieng (Wonosobo) sudah resisten terhadap deltametrin dan profenofos. Selain itu, Cardi (2014) melaporkan bahwa larva P. xylostella asal Garut sudah tidak rentan terhadap deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos, serta masih rentan terhadap emamektin benzoat dan spinetoram. Petani di Ciloto, Cianjur mengemukakan bahwa insektisida berbahan aktif deltametrin dan profenofos sudah tidak digunakan dalam pengendalian hama P. xylostella karena kedua insektisida tersebut sudah tidak efektif di lapangan.

76

Tabel 1 Toksisitas empat jenis insektisida komersial terhadap larva P. xylostella Insekstisida Konsentrasi anjuran (mg b.a./L) Waktu pengamatan (JSP)a b ± GBb LC50 (mg b.a./L) LC95 (mg b.a./L) Emamektin benzoate 10 48 2.03 ± 0.27 0.60 3.88 96 2.39 ± 0.29 0.24 1.17 Klorantra- niliprol 40 48 1.27 ± 0.39 31.70 626.82 96 2.79 ± 0.52 33.74 131.05 Profenofos 750 48 1.50 ± 0.29 9747.60 121600.00 96 1.81 ± 0.27 2248.22 18351.00 Spinetoram 12 48 1.82 ± 0.29 0.26 2.12 96 1.83 ± 0.26 0.10 0.81

aJSP: jam setelah perlakuan. bb: kemiringan garis regresi probit. GB: galat baku

Resistensi serangga terhadap insektisida kontak dapat disebabkan oleh penurunan penetrasi insektisida melalui kutikula serangga akibat terjadinya penebalan atau pengerasan kutikula (Matsumura 1985). Penurunan kepekaan bagian sasaran juga dapat menyebabkan terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida, seperti penurunan kepekaan akson saraf terhadap insektisida piretroid dan penurunan kepekaan enzim asetilkolinesterase terhadap insektisida organofosfat (Matsumura 1985; Yu 2008), serta penurunan kepekaan reseptor rianodin terhadap insektisida klorantraniliprol (Troczka et al. 2012). Pada tingkat biokimia resistensi terhadap insektisida piretroid dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim oksidase, sementara resistensi terhadap insektisida organofosfat dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim esterase dan glutation-S-transferase yang dapat menguraikan insektisida organofosfat (Yu 2008).

Pengelolaan resistensi insektisida perlu dipertimbangkan dalam aplikasi insektisida. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan resistensi antara lain (1) mengganti insektisida yang sudah tidak efektif dengan insektisida yang memiliki cara kerja yang berbeda dengan insektisida sebelumnya; (2) menggunakan campuran dua jenis atau lebih insektisida dengan cara kerja yang berbeda; dan (3) menggunakan dua jenis atau lebih insektisida dengan cara kerja yang berbeda secara bergantian (rotasi insektisida) (Georghiou 1983). Insektisida yang masih efektif terhadap larva P. xylostella, seperti emamektin benzoat dan spinetoram, dapat digunakan sebagai komponen dalam rotasi insektisida terhadap hama P. xylostella, karena insektisida tersebut masih efektif terhadap larva P. xylostella dan memiliki cara kerja yang berbeda dengan insektisida golongan piretroid, organofosfat, dan diamida antranilat.

Kesimpulan

Larva P. xylostella asal Desa Ciloto, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat sudah tidak rentan terhadap klorantraniliprol dan profenofos dengan LC95

77 masing-masing 3.3 dan 24.5 kali lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran. Larva P. xylostella tersebut juga sudah tidak rentan terhadap deltametrin. Perlakuan deltametrin pada konsentrasi hingga 1250 mg b.a./L (100 kali konsentrasi anjuran) menyebabkan mortalitas larva P. xylostella yang rendah (kurang dari 17%), tetapi perlakuan deltametrin pada konsentrasi tersebut sudah menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman kubis. Larva P. xylostella ini masih rentan terhadap emamektin benzoat

dan spinetoram dengan LC95 masing-masing 8.5 dan 14.8 kali lebih rendah daripada

konsentrasi anjuran insektisida tersebut.

Daftar Pustaka

Cardi M. 2014. Kerentanan Plutella xylostella dari Garut, Jawa Barat terhadap lima jenis insektisida komersial dan ekstrak Tephrosia vogelii [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Casida JE, Durkin KA. 2013. Neuroactive insecticides: target, selectivity, resistance, and secondary effects. Annu Rev Entomol. 58:99-117.

Chenta WEL, Prijono D. 2014. Kerentanan Plutella xylostella dari Kejajar Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah terhadap lima jenis insektisida komersial dan ekstrak buah Piper adunctum. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional BKS PTN Barat; 2014 Agustus 19-21; Bandar Lampung (in press).

Cordova D, Benner EA, Sacher MD, Rauh JJ, Sopa JS, Lahm GP, Selby TP, Stevenson TM, Flexner L, Gutteridge S et al. 2006. Anthranilic diamides: A new class of insecticides with a novel mode of action, ryanodine receptor activation. Pestic Biochem Physiol. 84(3):196-214.

Crouse GD, Dripps JE, Orr N, Sparks TC, Waldron C. 2007. DE-175 (spinetoram), a new semi-synthetic spinosyn in development. Di dalam: Krämer W, Schirmer U, editor. Modern Crop Protection Compounds. Weinheim (DE): Wiley-VCH. hlm 1013-1031.

Febrianni A, Rauf A, Prijono D. 2013. Aktivitas insektisida ekstrak biji Annona squamosa, minyak atsiri daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii, dan campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional dan Lokakarya FKPTPI; 2013 Sep 2-4; Bogor. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hlm 543-553. Furlong MJ, Wright DJ, Dosdall LM. 2013. Diamondback moth ecology and

management: problems, progress and prospects. Annu Rev Entomol. 58:517-541. doi:10.1146/annurev-ento-120811-153605.

Georghiou GP. 1983. Management of resistance in arthropods. Di dalam: Georghiou GP, Saito T, editor. Pest Resistance to Pesticides. New York (US): Plenum Press. hlm 769-793.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (US): LeOraSoftware. Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides. New York (US): Plenum Press.

78

Moekasan TK, Sastrosiswojo S, Rukmana T, Susanto H, Purnamasari IS, Kurnia A. 2004. Status resistensi lima strain Plutella xykostella L. terhadap formulasi fipronil, deltametrin, profenofos, abamektin, dan Bacillus thuringiensis. J Hort. 14(2):84-90.

Pitterna T. 2007. Chloride channel activators/new natural products (avermectins and milbemycins). Di dalam: Krämer W, Schirmer U, editor. Modern Crop Protection Compounds. Weinheim (DE): Wiley-VCH. hlm 1069-1088.

Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russell DA. 2005. Survey of pesticide use by cabbage farmers in West Java, Indonesia [report]. Cooperation between Department of Plant Pests and Diseases IPB (Indonesia) and Centre for Environmental Stress and Adaptation Research, LaTrobe University (Australia). Salgado VL, Sparks TC. 2010. The spinosyns: chemistry, biochemistry, mode of action, and resistance. Di dalam: Gilbert L, Gill S, editor. Insect Control: Biological and Synthetic Agents. San Diego (US): Academic Press. hlm 207-243.

Sastrosiswojo S, Koestoni T, Sukarida A. 1989. Status resistensi Plutella xylostella L. strain Lembang terhadap beberapa jenis insektisida golongan organofosfat, piretroid sintetik, dan benzil urea. Bul Penel Hort. 18(1):85-93.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Kubis. Bandung (ID): Balai Penelitian Hortikultura. hlm 39-50.

Troczka B, Zimmer CT, Elias J, Schorn C, Bass C, Davies TGE, Field LM, Williamson MS, Slater R, Nauen R. 2012. Resistance to diamide insecticides in diamondback moth, Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae) is associated with a mutation in the membrane-spanning domain of the ryanodine receptor. Insect Biochem Mol Biol. 42(11):873-880.

Wang X, Wu Y. 2012. High levels of resistance to chlorantraniliprole evolved in field populations of Plutella xylostella. J Econ Entomol. 105(3):23-1019.

Yu SJ. 2008. The Toxicology and Biochemistry of Insectisides. Boca Raton (US): CRC Press.

79

Toksisitas Minyak Atsiri

Cinnamomum

spp. terhadap Ulat Krop

Kubis,

Crocidolomia pavonana

, dan Keamanannya terhadap

Tanaman Brokoli

Catur Hertika1, Djoko Prijono2, Gustini Syahbirin1, dan Dadang2

1Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor

2Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Email: djokopr@ipb.ac.id

Abstrak

Pestisida nabati perlu dikembangkan untuk mendukung sistem budi daya tanaman yang ramah lingkungan. Dalam makalah ini dilaporkan hasil pengujian toksisitas minyak atsiri daun 13 spesies Cinnamomum spp. terhadap ulat krop kubis, Crocidolomia pavonana, dan keamanan minyak atsiri tersebut terhadap tanaman brokoli berdasarkan pengamatan fitotoksisitas pada bibit brokoli. Pada konsentrasi 1%, minyak atsiri C. multiflorum aktif terhadap larva C. pavonana (mortalitas 100%) dan tidak fitotoksik pada bibit brokoli. Minyak atsiri C. verum juga aktif terhadap larva C. pavonana (mortalitas 100%) tetapi fitotoksik pada bibit brokoli. Minyak atsiri C. sintoc dan minyak cassia komersial kurang aktif terhadap larva C. pavonana tetapi fitotoksik pada bibit brokoli. Minyak atsiri 10 spesies Cinnamomum lain (C. burmanni, C. camphora, C. celebicum, C. cassia, C. grandiflorum, C. iners, C. javanicum, C. porrectum, C. rhynchophyllum, dan C. subavenium) tidak aktif terhadap larva C. pavonana tetapi fitotoksik pada bibit brokoli kecuali C. rhynchophyllum. Berdasarkan hasil penelitian ini, di antara minyak atsiri 13 spesies Cinnamomum spp. yang diuji, hanya minyak atsiri C. multiflorum yang layak diuji lebih lanjut. Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 minyak atsiri C. multiflorum terhadap larva C. pavonana pada 48 jam setelah perlakuan masing-masing 0,412% dan 0,765%. Kata kunci: Cinnamomum, fitotoksisitas, hama kubis, minyak atsiri, aktivitas insektisida

Pendahuluan

Meningkatnya kesadaran orang akan dampak negatif dari penggunaan insektisida sintetis berdampak luas telah membangkitkan kembali upaya pemanfaatan bahan insektisida dari tumbuhan (insektisida nabati) yang lebih aman bagi pengguna dan lingkungan. Selain itu, kebangkitan kembali pengembangan insektisida nabati juga dipicu oleh meluasnya penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT), berkembangnya pertanian organik, dan penerapan Sanitary & Phytosanitary Measures

80

dalam perdagangan internasional yang membatasi kadar residu pestisida pada produk pertanian ekspor/impor.

Insektisida nabati cukup potensial untuk diterapkan dalam PHT karena insektisida kelompok tersebut umumnya cukup aman bagi musuh alami hama, kompatibel dengan komponen PHT lainnya, dan mudah terurai di lingkungan sehingga tidak dikhawatirkan akan meninggalkan residu yang beracun (Isman 2006; Prakash & Rao 1997). Selain itu, insektisida nabati memiliki peluang besar untuk digunakan pada pertanian organik karena insektisida sintetik dilarang digunakan pada pertanian organik.

Tumbuhan lokal yang berpotensi digunakan sebagai sumber insektisida nabati

ialah Cinnamomum spp. (Lauraceae). Minyak atsiri beberapa spesies Cinnamomum

telah dilaporkan bersifat insektisida terhadap larva nyamuk dan hama gudang. Sebagai contoh, minyak atsiri daun C. impressicostatum, C. microphyllum, C. mollissimum, C. pubescens, dan C. rhyncophyllum memiliki aktivitas insektisida yang cukup kuat terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Jantan et al. 2005). Minyak atsiri C. cassia dan C. zeylanicum memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap kumbang gudang Callosobruchus chinensis dan Sitophilus oryzae (Kim et al. 2003; Lee et al. 2008). Minyak atsiri daun C. camphora juga dilaporkan bersifat repelen dan mematikan pada kumbang S. oryxae (Liu et al. 2006). Namun, sampai sekarang laporan mengenai sifat insektisida minyak atsiri Cinnamomum terhadap hama pemakan daun masih terbatas.

Penelitian ini bertujuan menguji toksisitas minyak atsiri 13 spesies Cinnamomum spp. terhadap ulat krop kubis, Crocidolomia pavonana, dan keamanan minyak atsiri tersebut terhadap tanaman brokoli berdasarkan pengamatan fitotoksisitas pada bibit brokoli.

Bahan dan Metode

Penyiapan Bahan Percobaan

Serangga uji, yaitu larva Crocidolomia, dan tanaman brokoli sebagai sumber

daun pakan diperbanyak mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Prijono dan Hassan (1992). Secara ringkas, larva C. pavonana diberi pakan daun brokoli bebas pestisida dan imagonya diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada segumpal kapas. Tanaman brokoli diperbanyak pada polybag kapasitas 5 L tanpa menggunakan pestisida. Daun dari tanaman yang berumur 1-2 bulan digunakan sebagai pakan larva C. pavonana dan sebagai medium pengujian.

Daun 13 spesies Cinnamomum (C. burmanni, C. camphora, C. celebicum, C.

cassia, C. grandiflorum, C. iners, C. javanicum, C. multiflorum, C. porrectum, C. rhynchophyllum, C. sintoc, C. subavenium, dan C. verum) sebagai sumber minyak atsiri diperoleh dari Kebun Raya Bogor. Minyak cassia komersial (spesies tidak diketahui) dibeli dari salah satu toko kimia di Bogor.

81 Penyulingan Minyak Atsiri (Ketaren 1985)

Sampel daun 13 spesies Cinnamomum dikeringanginkan selama 7 hari. Sampel sebanyak 800–1500 g ditimbang lalu diletakkan di atas piringan berupa ayakan yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Sampel kemudian disuling dengan menggunakan alat penyuling uap air pada suhu 90–100 °C selama 6–7 jam. Uap dari ketel mengalir ke kondensor, dan mengalami kondensasi, dan kondensat masuk ke dalam pipa. Air dan minyak akan terpisahkan dan dikeluarkan melalui cerat. Minyak yang diperoleh ditambahi Na2SO4 anhidrat untuk menyerap sisa air yang ada.

Uji Toksisitas

Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode perlakuan pakan (metode celup pada daun) menurut langkah kerja yang dikemukakan oleh Abizar dan Prijono (2010). Minyak atsiri Cinnamomum diuji masing-masing pada konsentrasi 1%. Setiap bahan uji dicampur dengan campuran metanol dan Tween 80 (5:1, v/v), kecuali minyak atsiri C. verum yang dicampur dengan campuran aseton dan Tween 80 (5:1, v/v), kemudian diencerkan dengan air sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Konsentrasi akhir pelarut dan surfaktan dalam suspensi bahan uji masing-masing 1% dan 0.2%.

Daun brokoli dipotong berbentuk bujursangkar dengan sisi 4 cm. Setiap potong daun dicelup dalam suspensi bahan uji hingga basah merata. Daun kontrol dicelup dalam air yang mengandung pelarut 1% dan surfaktan 0.2%. Daun perlakuan dan daun kontrol masing-masing sebanyak satu lembar diletakkan secara terpisah dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang dialasi tisu, kemudian 15 larva instar II C. pavonana yang baru berganti kulit dimasukkan ke dalam cawan tersebut. Setiap

Dokumen terkait