• Tidak ada hasil yang ditemukan

Blitzcrieck yang Gagal

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 51-61)

Cinta sering menjelma menjadi bahan bakar beroktan tinggi bagi mesin penggerak sejarah peradaban dunia. Ken Arok berdarah-darah mendirikan dinasti Singosari karena pesona kecantikan Ken Dedes sampai bunuh-membunuh terjadi selama tujuh turunan. Seorang Arjuna dalam kisah Mahabarata rela melintasi lembah-lembah, mendaki gunung tertinggi, menyelami lautan terdalam untuk menemukan cinta sucinya. Kecantikan Cleopatra menimbulkan kegaduhan politik di imperium Romawi yang efeknya memiliki pengaruh yang sangat luas. Bahkan peperangan dua kerajaan besar Hastina Pura dan Alengka karena urusan Rama dan Rahwana saling memperebutkan Dewi Shinta yang mampu menggerakkan para budak membangun jembatan tumpukan balok batu membelah lautan antara India dan pulau Srilangka.

Memang, banyak orang mengatakan bermilenium kaum wanita dijajah oleh golongan laki-laki, meskipun adakalanya laki-laki bertekuk lutut, menyerah tanpa syarat pada kecantikan seorang wanita. Cinta pula yang menginspirasi pembangunan Taj Mahal, monumen cinta Shah Jehan kepada istrinya, Mumtaz Mahal. Bangunan mirip Masjid itu adalah prasasti ungkapan visi, mimpi, puisi gambaran surga seorang penguasa dinasti Mughal yang sanggup menggerakkan 20.000 pekerja selama 12 tahun tanpa henti. Biayanya tidak tanggung-tanggung pula, 41 juta rupee dan 500 kilogram emas. Sepertinya Shah Jehan sang penguasa India kuno itu ingin ungkapan cintanya bertahan ribuan tahun lamanya.

Begitupun Lawe. Yakin bahwa Canka adalah cintanya, maka ia terus memperjuangkan untuk mendapatkannya. Ibaratnya, jika harus terjun ke dalam jurang untuk membahagiakan hati Canka, maka akan ia lakukan dengan tersenyum. Otak yang terkena cinta, seperti mengeluarkan endorphin layaknya para pemakai narkoba amphetamine. Tubuh mereka serasa panas dingin saat bertemu pujaan hati, merasa memiliki chemical yang sama. Bilik-bilik jantung lebih kencang berdetak mengalirkan darah ke seluruh tubuh melalui vena dan arteri sampai ujung-ujung kepala dan kaki.

Nervous, serba salah, selalu tak enak makan adalah gejala ikutannya. Cinta mematikan logika manusia. Di saat itu, otak manusia merasa euphoria bahagia dan selalu berfikir bagaimana bisa berdua bersama sang kekasih, mirip crested pigeon Australia. Burung itu meskipun sebangsa merpati, namun tidak bergerombol. Sepasang crested pigeon lebih mirip ikan pari pembunuh Steve Irving14 yang selalu berdua saat proses pembuahan dengan pasangannya kemanapun pergi.

Konon laki-laki berasal dari planet Mars dan wanita dari Venus, namun sejarah cinta sepanjang jaman terus berlanjut dan menyerang siapa saja yang sedang terjatuh. Anehnya, cinta seperti obat kuat yang bisa membuat orang lemah menjadi perkasa, yang tak punya harapan jadi berfikir memiliki sertifikat hak milik pribadi atas seluruh planet biru ini. Mungkin karena sesungging senyuman manis, cara berjalan yang penuh pesona, dari sebuah pertemuan tak sengaja, atau karena keterpaksaan. Memang hanya masalah waktu, sebuah pepatah Jawa mengatakan cinta bisa terbangun karena telah terbiasa. Memang aneh, seorang wanita yang mengalami dramatisnya kemungkinan hidup mati dalam sebuah penculikan bahkan bisa jatuh hati pada penculiknya.

“Siapakah aku kok berani-beraninya jatuh hati pada gadis periang, cantik, smart, murah senyum bernama Canka” pikir Lawe suatu kali. Kalau hidup ini putaran cakram DVD yang bisa di-eject atau di-pause, maka sebenarnya Lawe ingin menghentikan slide kehidupannya beberapa detik sebelum bola matanya bertemu pandang dengan mata indah Canka menjelang sore itu dan mem-forward-nya beberapa slide di depannya. Namun slide kehidupan, rejeki, jodoh dan kapan maut menjemput manusia, Tuhan-lah yang menentukan. Jelas bukan salahnya, panah asmara berujung sangat tajam meluncur deras menghunjam ke hati pemuda tanggung sepertinya.

Peristiwa itu terjadi saat Lawe aktif di UKM Kewirausahaan, perkumpulan para mahasiswa yang ingin membangun negaranya melalui wirausaha. Kala itu Lawe menjadi seorang ketua umum sedang berpidato di pembukaan Rapat Kerja, ia terpesona oleh rekah mawar senyum Canka, anggota baru dari jurusan Teknik Komputer. Beradu pandangan mata seperlima detik, senyum gadis tomboy tapi anggun itu, membuat Lawe luluh hatinya. Lawe bukanlah

14

Pecinta hewan Australia, pemain sejumlah film dokumenter yang sangat terkenal dari Queensland, Australia.

tipe lelaki yang mudah jatuh cinta, namun hatinya tergetar hebat kagum kala itu. Pertahanan hati Lawe runtuh seperti bunker Sadam Hussein yang dijatuhi puluhan bom hellfire pasukan NATO.

Lawe ibarat prajurit muda di saat peperangan pertamanya, mudah terkena panah musuhnya. Ia saat itu adalah seorang lelaki tanggung yang otaknya langsung mampat, seperti jalanan Jakarta di jam-jam pulang kantor, ketika melihat keanggunan seorang wanita. Ia juga belum bisa membedakan senyuman biasa, atau segan, atau cinta. Laki-laki memang sering sok ke-pede-an, apalagi dalam posisi Lawe yang sedang memimpin organisasi. Kurang detil berfikir, gampang trenyuh melihat kecantikan seorang wanita, terburu-buru dalam mengeksplorasi keadaan, apalagi dalam mengambil keputusan. Saat itu Lawe merasa seperti telah mengenal dengan baik Canka di dunia lain, seperti seorang penjaga pintu air yang memahami sifat fisika aliran air.

“Ibumu pastilah berparas cantik”, batin Lawe. Berkulit kuning langsat, alis mata tegas diatas mata beningnya menghiasi wajah tirus Canka mengguratkan kecantikan yang alami. Wajah itu juga memancarkan keluasan hati, kesabaran dan pengertian. Ia begitu sempurna. Juga kenapa wanita pintar selalu kelihatan lebih cantik. Wajah itu seperti menghadirkan sosok Ibunya yang hilang dimasa kecil Lawe. Sosok Canka segera mengganti ruang-ruang kesedihan dalam hatinya dengan ekstase kebahagiaan terindah dalam hidupnya. Kalau syirik tak dilarang Tuhan mungkin Lawe telah memuja gadis itu.

Sebenarnya juga bukan salah Canka yang charming, karena senyumnya itu sebenarnya tidak ditujukan untuk Lawe seorang, melainkan ke semua orang di ruangan meeting itu. Tetapi menyalahkan Lawe yang berdarah-darah jantung hatinya oleh panah “asmara” juga bukan sebuah sikap yang bijak, seperti worldview orang yang tak pernah muda.

Kenyataan menjadi sulit bagi Lawe, karena sebelum berkesempatan menyampaikan perasaan cintanya, ternyata Canka telah menambatkan hatinya pada adik angkatan Lawe sendiri. Joko Raharjo namanya, seorang mahasiswa jurusan Manajemen, pandai, tampan, anak orang kaya, baik hati serta rajin beribadah telah menembak Canka dua minggu lalu.

Sebagai seorang yang berwatak warrior, sebenarnya Lawe sulit menerima kenyataan itu, sementara untuk berubah menjadi Spartan, Lawe tak sampai hati. Bagaimanapun Lawe tak ingin berubah menjadi Kanguru yang menggoyang keharmonisan kelompoknya dengan menantang bertinju pejantan

terkuat demi seekor betina. Lawe kenal baik dengan sosok pilihan Canka, seorang yang sangat layak bagi “kijang emas”-nya itu. Bukankah cinta itu berarti memberi demi kebahagiaan sang kekasih, dan Canka nampak bahagia dengan pilihannya itu.

“Sampai kapan harus kulapangkan dadaku dan kudinginkan kepalaku”, batin Lawe perih. Menurut penelitian satu dari empat lelaki jatuh cinta pada pandangan pertama dan tak bisa melupakan peristiwa indah itu sepanjang hidupnya.Lawe bukannya tidak berupaya untuk mencabut “panah asmara” itu, tetapi terasa begitu dalam telah tertancap. Mencabutnya berarti merobek-robek jantungnya yang rawan dan juga menghancurkan hidupnya yang satu-satunya itu. Mencabutnya berarti harus menyampaikan perasaan cintanya itu kepada Canka, apapun jawabannya.

Sejak itu, Lawe menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa dengan separuh nafasnya, separuh jiwanya, separuh pikirannya yang terbang bersama bayangan Canka. Yang separuh lagi ia gunakan untuk menyelesaikan kuliahnya, serta melakukan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang seakan menjadi pelarian atas segala permasalahannya. Ia tak bisa menerima kenyataan pahit cintanya itu, namun juga tak kuasa untuk mematahkan anak panah asmara itu. Darah terus mengucur dari perasaan Lawe yang rapuh. Lawe hanya bisa membebat dadanya agar darah tak terus mengucur, sambil menikmati panas dingin demam akibat panah asmara.

Yang ia lakukan adalah terus menunggu Dewi Fortuna untuk berpihak kepadanya, sambil terus berharap Dewi asmara akan memberikan penyembuh luka jiwanya, dengan memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi perasaannya pada “kijang emasnya” itu. Bukankah cinta itu seperti air yang meskipun dibendung terus mencari celah untuk menemukan lautan. Akibatnya sungguh tragis, Ia berubah menjadi sangat militan, bekerja dalam ruang-ruang gelap sebagai klandestin pejuang cinta. Ia memantau seluruh perkembangan yang terjadi atas Canka dan Joko dari dalam lorong-lorong bawah tanah. Ia seperti seorang “pemuja rahasia” bagi Canka, menikmati keindahan Canka dibalik topeng senyum getirnya. Sebagai gerilyawan cinta, Lawe memegang teguh doktrin, “Aku boleh kalah dalam pertempuran, namun harus menang dalam keseluruhan peperangan”.

Cankaya dihati Lawe memang berarti wanita utama di dalam istana indah kota Ankara, Turki dimana salah satu ruangannya berwarna pink. Bangunan itu hasil rancangan Clemens Holzmeister seorang arsitek Austria yang mendesainnya di Viena Academy of Fine Arts. Canka memang seperti seorang permaisuri raja, cantik, pintar serta anggun seperti selir-selir dari imperium Otoman penguasa manusia di tiga benua. Cankaya Khairunisa adalah inspirasi dan ilham tentang keindahan bagi Lawe. Lebih dari itu, Canka sepertinya menguasai resep masakan rahasia untuk raja-raja yang lezat tak terkira karena beberapa kali memenangkan lomba memasak di kampus.

Dalam tubuh Canka mengalir darah Jawa dan Aceh, bersatunya Laksamana Malahayati dan putri Solo dalam satu tubuh. Ia adalah wanita berpikiran positif yang akan bermasalah jika tidak mendapat tantangan. Ia penggemar basketball dan dance dan dekat dengan anak-anak skateboard kala itu. Bukan dunia Lawe yang pendiam dan agak konservatif sebenarnya, namun entah mengapa Lawe jatuh hati padanya dan merasa tertantang untuk memilikinya. Karena perasaan itu, bahkan Lawe ingin mengetahui dunia funky itu.

Lebih dari itu, Lawe melihat Canka seorang yang punya pendirian kuat. Sebab cantik saja tidak cukup bagi Lawe. Ia mencari wanita yang berkarakter. Demi keluarga yang akan dibangunnya serta karir masa depannya yang mana ia ingin mewakafkan dirinya pada negara dan agamanya. Kalau perlu ia bersedia mati syahid demi kebaikan negara dan agamanya itu. Ia bercita-cita memberantas korupsi yang merajalela di negerinya. Dan ia perlu wanita bukan hanya menarik hatinya, namun juga anti-korupsi. Wanita yang tidak menyebabkan suaminya korupsi, bisa mencegahnya menjadi koruptor dengan menolak uang tak halal.

Tak bisa menerima kenyataan, separuh otak Lawe terus berputar untuk merencanakan blietzkriek, sebuah serangan kilat ke jantung pertahanan hati gadis pujaannya itu, jika kesempatan memungkinkan. Namun, bukan perkara mudah untuk mereplikasi serangan fenomenal tentara Nazi Jerman pada PD II yang membuat Polandia dan Belanda menyerah dalam hitungan hari itu, soalnya Canka memiliki pertahanan hati yang sangat kokoh. Meski semangat Lawe kali ini seperti pasukan berkuda Mongol yang tak pernah kalah sebelumnya menjelang penghancuran kota Baghdad Abbasiah.

Dewi Fortuna akhirnya mampir juga. Suatu saat Lawe mendapatkan kabar dari “agen-agen rahasianya” bahwa hubungan percintaan Canka telah

diputuskan oleh Joko, sebuah keputusan dramatis yang membuat Canka sedih tak terkira. Segera saja mendesir adrenalin Lawe, seperti seorang peneliti UFO yang mendapatkan sinyal lemah setelah bertahun-tahun mendongakkan radarnya ke angkasa mencari kemungkinan peradaban dari galaksi-galaksi lain. Atau seorang ilmuwan yang meneriakkan “eureka!”, karena sebuah penemuan besar dari sesuatu yang tak disengaja. Tidak bisa dibiarkan, “kijang emas-nya” itu dalam keadaan terbuang merana. Joko Raharjo tak pernah tahu bahwa ia telah banyak mengorbankan perasaan demi kebahagiaan Canka.

Kesempatan itu tentu tak disia-siakan begitu saja oleh Alfatih Ronggolawe. Melalui beberapa kali manuver sms dan telepon, Lawe mencari kesempatan untuk bertemu Canka seorang. Pejuang cinta kita kali ini berhasil mengatur pertemuan di rumah Canka, sebuah upaya pencitraan bahwa ia seorang yang gentlement. Cukup barang 20-30 menit untuk mengungkapkan perasaannya yang membuat dirinya tersiksa tiga tahun dua bulan lamanya. Panas dingin segera menyerbu hati Lawe. Bukan masalah berpengalaman atau tidak, namun perasaan cinta selalu membuat lelaki grogi. Bukankah closing yang excellent sebuah konser musik perlu latihan berulangkali sebelumnya, apalagi urusan menembak kekasih dalam sebuah drama romantik.

“Aku terpanah cinta oleh senyum mawarmu sejak pertama melihatmu, Canka. Hanya engkau yang bisa menyembuhkan luka hatiku, atau mencabutnya dan mematahkan anak panah tajam yang menancap selama lebih tiga tahun itu”, dengan sedikit bergetar Lawe mengungkapan cintanya penuh perlambang yang langsung disambut ekspresi shock raut muka Canka tak percaya. Meski rasanya tak mungkin wanita tak tahu maksud lelaki yang mendatangi rumahnya untuk urusan yang tak biasa.

Namun Lawe tidak konsisten atas strategi serangan kilatnya itu. Ia masih memberikan waktu tiga hari bagi Canka untuk berfikir dan memutuskan. Sebenarnya Lawe paham, unsur pendadakan adalah inti dari strategi serangan kilat spektakuler semacam itu, namun Lawe ingin keputusan Canka datang dari hati terdalam, bukan paksaan. Sebab bisa saja Canka menerima cintanya saat itu juga, dan memutuskannya tiga minggu kemudian.

Sayang seribu sayang, tiga hari setelah sore yang romantis itu ternyata Canka menolak cinta Lawe, “Aku masih ingin sendiri dulu, mas Lawe” demikian jawaban Canka.

“Bukannya trauma, namun rasanya sakit hatiku akibat putus dengan mas Joko kemarin memerlukan waktu untuk menyembuhkannya”, tambahnya dengan senyum ketabahan.

Jawaban itu seharusnya bisa memuaskan hati Lawe, meski masih menyisakan celah kecil harapan berupa kata “waktu”. Sebagai lelaki spartan dengan mental berperang sama seperti gerilyawan Vietkong atau Taliban melawan tentara Amerika, Lawe tidak begitu saja menyerah. Masa kecil Lawe menggemblengnya layaknya seorang tentara para komando yang hanya punya dua pilihan, berhasil dalam tugas atau kembali dalam kantong mayat. Dan jawaban Canka itu bagaimanapun ia rasakan masih ambigu.

Cinta itu seringkali egois. Bagi Lawe yang lelaki tulen, penolakan itu tidak bisa diterima sama sekali. Pasalnya ia telah menginvestasikan segenap perasaannya pada pujaan hatinya itu. Sebuah investasi seorang risk-taker, menempatkan seluruh “telur” cintanya pada satu keranjang. Jika keranjang itu terjatuh, maka hancurlah seluruh telur-telur cintanya. Dan pula Lawe bukan seorang bertipe mata keranjang, menebar telur cintanya di banyak wanita. Lawe adalah tipe lelaki setia sampai mati dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Jika Canka masih jadian dengan Joko adik kelasnya adalah alasan rasional, tetapi ketika Canka telah putus dengan bekas kekasihnya itu dan single saat ini bagi Lawe sangat tidak logis untuk menolak cintanya. Apalagi cintanya suci seperti milik Sang Arjuna.

Terbersit pikiran di kepala Lawe, apakah Canka sedang mempertanyakan kesungguhan cintanya. Apakah Canka takut Lawe hanya mengungkapkan cinta monyet kepadanya. Apakah Lawe seorang yang mudah menyerah dengan penolakan yang mirip sebuah Ujian Tengah Semester itu. Lulus tidaknya, Lawe merasa tergantung pada bagaimana ia menunjukkan kesungguhannya. Lelaki jatuh cinta biasanya terlalu percaya diri, meski kenyataan seringkali sebenarnya tak berpihak kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Lawe berpikir untuk menyampaikan proposal cinta untuk kedua kalinya kepada Canka. Kali ini ibarat seorang pejuang pembebasan, Lawe melakukan persiapan persenjataan dan latihan yang jauh lebih matang. Selain itu, evaluasi dari “laporan-laporan intelejen kategori “A1” terbarunya mengatakan bahwa ada gelagat Canka akan menyerah jika Lawe mempergencar serangannya. Dan ia sangat yakin, agen

rahasianya itu bukanlah seorang agen ganda. Ia ingin segera melakukan Ted Offensive15, serangan spektakuler yang akan menjadi pertimbangan musuh untuk hengkang dari peperangan atau bahkan menyerah kalah.

Bagaimanapun upaya serangan cinta kedua semacam itu tidaklah mudah. Ia harus mengumpulkan serpihan-serpihan keberaniannya yang hancur oleh penolakan pertama Canka. Ia sirami lagi hati mudanya dengan harapan-harapan indah. Ia bentuk lagi keberaniannya itu seperti kesabaran pembuat gerabah membentuk vas atau kendi dari tanah liat basah. Untungnya perasaan cinta Lawe memang seperti tanah liat, tak mudah dihancurkan begitu saja. Namun terkait harga dirinya, ia harus rela merendahkannya selevel tanah, bahkan lebih rendah lagi.

Terus ia panjatkan doa-doa di malam-malam tahajutnya kepada Sang Pembolak-balik hati manusia. Cinta memang tak masuk di akal. Ketika virus itu telah menjangkiti seorang lelaki, maka ia laksana tenaga dahsyat yang membuat si lemah menjadi perkasa, si miskin menjadi merasa kaya, dan seorang prajurit berpangkat kopral merasa seorang jenderal pahlawan sebuah peperangan besar yang menentukan jalannya sejarah. Dalam kamus Lawe, Peribahasa “pungguk merindukan bulan” hanyalah ditujukan untuk orang-orang yang lemah dan bukan spartan sejati seperti dirinya.

Tiga bulan kemudian kesempatan kedua akhirnya datang juga. Lawe merasa sedang menulis sejarah hidupnya dengan tinta emas kali ini, sebuah perjuangan dahsyat untuk mendapatkan kekasih hati. Dengan rasa percaya diri yang lebih besar, Lawe mendatangi Canka dengan perhitungan akan menang mudah. Dikeluarkanlah segala persenjataan yang telah dipersiapkannya lama. Drone pesawat tak berawak, RPG, tank, rudal darat ke darat berpemandu sinar laser, serta segala bantuan tembakan kanon dari kapal perang yang berlabuh di pantai terdekat. Dengan kekuatan penuh itu Lawe berharap benteng pertahanan Canka akan runtuh rata dengan tanah, dan pujaan hatinya itu akan menyerah menerima kepungan perasaan cintanya tanpa syarat.

Namun, Dewi Cinta sekali lagi belum berpihak kepada diri Lawe. Ternyata Canka telah membangun benteng pertahanan hatinya jauh lebih kokoh. Bukan hanya terbuat dari material alibi yang lebih tahan ledakan serangan senjata

15

Serangan spektakuler Vietkong di berbagai penjuru kota pada Perang Vietnam yang membuat Amerika Serikat menarik diri setelah sembilan tahun berperang akibat opini publik yang berubah dramatis menentang perang itu karena korban tentara yang terlalu banyak.

konvensional cinta Lawe, tetapi rupanya Canka juga membangun bunker-bunker pertahanan psikologis yang jauh lebih tebal dan berlapis-lapis dengan teknologi terbaru yang tahan ledakan nuklir cinta sekalipun.

“Aku tidak ingin menjalin hubungan dulu, Mas Lawe”, jawaban Canka penuh diplomatis.

“Jujur, sebenarnya aku tidak punya perasaan cinta kepadamu, Mas”, tambahnya dengan wajah menunduk khas unggah-ungguh wanita Jawa.

Dari gravitasi keadaan itu menyusup di hati Lawe yang terbit dari rasa percaya diri yang berlebihan, sebuah penafsiran atas sorot mata Canka tentang adanya perbedaan “kasta” diantara mereka berdua. Maksudnya, Lawe yang proletar sementara Canka yang seorang rasional menginginkan pasangan dari kalangan orang berada. Lawe jelas tak bisa menerima kenyataan pahit itu. Sejauh itu Lawe adalah seorang rasionalis radikal yang menganggap segala sesuatu bisa diupayakan dengan kerja keras dan cara-cara yang cerdas.

Pendirian Canka kali ini berputar 360 derajat, tak bergeser sedikitpun. Bagaimanapun Lawe tahu sikap Canka mirip safety belt, malah mengikat semakin kuat saat ditarik dengan paksa. Hati Lawe seperti disayat sembilu, ngilu namun ia tak kuasa mengaduh, meski sesungging senyuman artifisial ia rekahkan kepada wanita impiannya itu. Otaknya mengatakan bahwa itu adalah hak Canka untuk menolaknya, meski hatinya tak terima. “Pria berhak memilih, wanita berhak menolak”, demikian pepatah Jawa. Bagaimanapun hati Lawe terlanjur jatuh hati, ibarat mabuk oleh pesona Canka yang memerlukan detoksifikasi untuk menghilangkannya. Namun lawe tak mau menghilangkan perasaan itu dari aliran darahnya.

Sejak itu sirna sudah senyum dan tawa di kehidupannya, karenanya ia seperti tak pernah mengenal arti ekspresi psikologis dari perasaan yang dinamakan bahagia. Hancur berkeping-keping hatinya, otaknya tak bisa menerima kenyataan yang melemparkan Lawe memasuki alam ide, dunia diantara kesadaran dan alam bawah sadar. Dunia tempat para pujangga memunguti inspirasi melalui syair-syair kesedihan yang dalam atau kegembiraan tiada tara. Mungkin kenyataan seperti itu yang membuat orang gila. Orang-orang yang otaknya tak bisa menerima kenyataan pahit, sementara jasadnya masih hidup. Sehingga kalaupun sebuah pistol ia arahkan ke kepalanya dengan sebutir peluru di dalamnya, Lawe takkan merasakan perubahan perasaan apapun saat pelatuk ditariknya satu demi satu. Ia sudah mati rasa.

“Canka, kau adalah cobaan terbesar dalam hidupku”, ujar Lawe pelan sesaat setelah peristiwa yang mengguncang jiwanya itu.

“Tetaplah kau anggap aku ini temanmu setelah peristiwa ini, ya Canka” “Tentu, Mas”, jawab Canka juga dengan senyuman yang agak dipaksakan.

Wajah Lawe berubah seperti tangkai anggur yang telah ditinggalkan buahnya, pucat dan tak karuan. Peristiwa sore yang tragis itu tak urung menelusup menjadi mimpi-mimpi buruk dalam kehidupan Lawe. Ia adalah manusia biasa yang lemah. Sepertinya hanya Cankaya Hairunissa yang bisa menghapus mimpi-mimpi kesedihan itu. “Thikk!”, jika Canka menjentikkan

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 51-61)