• Tidak ada hasil yang ditemukan

T he Richest Archipelago on Earth

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 74-85)

Sinar Sang Baskara jatuh menerobos riak-riak jernih di permukaan laut dangkal. Sinar-sinar itu serupa ribuan cahaya mercusuar yang menyapa mutiara di dalam mulut kerang-kerang yang tersenyum lebar. Kilauannya menerangi, menyingkap tabir keindahan dan mengundang para diver dari segala penjuru dunia untuk menikmatinya. Di sela-sela terumbu karang (acropora) itu, clownfish, ikan bendera, blue tang, ikan katak berbulu, ikan layar, chaetodon, chrysiptera, kuda laut, cumi-cumi, dan udang berwarna-warna mencari makan di karang mawar berberwarna-warna merah atau biru menyala, atau bermain di sulur-sulur rambut rasta terumbu karang berwarna putih susu. Keindahan surgawi itu bisa kita nikmati di Selayar, Bunaken, Karimun Jawa, Kepulauan Seribu, Wakatobi, Raja Ampat, Bintan, Taka Bonerate, Biak atau Taman Laut Alor.

Terumbu karang yang menerawang di pinggiran pulau-pulau itu seperti bercak-bercak putih ditengah lautan biru. Dilindungi rangkaian karang atol, acropora beraneka bentuk dan dengan warna-warna cerahnya seperti karang meja, karang kipas, karang hitam, akar bahar, karang tanduk itu bergembira. Jutaan ton tuna sirip biru, napoleon, kakap merah, layang, cakalang, bawal, baronang, kerapu, tengiri, menghabiskan hidupnya di lautan nan luas itu, menjadi menu lezat 150 spesies ikan hiu atau berakhir di ujung mata pancing atau jaring para nelayan, 6,7 juta ton per tahun. Kehidupan dalam laut adalah tentang penyamaran, memakan atau dimakan. Ribuan ikan Barakuda berkilat-kilat berputar-putar membentuk tornado bawah laut. Aneka kerang, kepiting berwarna warni, bintang laut peniru, ubur-ubur, penyu dan teripang bermalas-malasan di sela-sela rumput laut di dangkal pantai pasir putih yang membentang.

Nusantara memiliki hampir seperempat garis pantai dunia atau 80.791 kilometer panjangnya dengan pasir putih yang sangat eksotis di beberapa bagiannya. Kuta, Umang, Losari, Akkarena, Bintan, Burung Mandi, Tanjung Tinggi, Ancol, Carita, Anyer, Pangandaran, Parang Tritis, Watu Ulo, Sanur, Senggigi, Donggala, dan Ternate telah lama menjadi magnet bagi para wisman dan wisnu. Menaklukkan deru gelombang bergulung-gulung yang tiba-tiba

muncul Pantai Mentawai, Lombok, Bali, Rote Ndao, Nias atau Sumbawa dengan papan selancar adalah pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup.

Di tengah lautan itu, ikan lumba-lumba berlompatan gembira diselingi ikan terbang yang meluncur kesana-kemari bersaing dengan camar-camar yang berkoakan mencari ikan. Migrasi ikan raksasa melewati lautan Nusantara menciptakan tradisi keberanian perburuan ikan paus di Takarena. Para peneliti yang penasaran menyelam lebih dalam menemukan ikan Coelacanth di lautan Sulawesi Utara. Ikan aneh yang telah ada di bumi lebih dari 410 juta tahun itu selama ini secara keliru oleh kaum evolusionist dianggap sebagai bukti missing link peralihan antara reptil dan ikan.

Bukalah peta Nusantara kawan, lihatlah dengan seksama. Lihatlah jangan sambil lalu, tetapi dengan penuh perhatian. Alangkah strategisnya kepulauan Nusantara ini. Tanah tempat kita berpijak dikelilingi oleh Samudera Hindia dan Laut China Selatan, Arafura serta laut Timor. Kepulauan Nusantara terletak di tengah-tengah jalur perdagangan Internasional, China yang sedang menggeliat dan negara Asia lainnya berada di utara, sementara Australia di selatan. Malaka sampai Maluku berabad lamanya menjadi jalur perdagangan laut yang ramai oleh kapal Jong, Padewakang, Sandeq, Caravel, Korvet, Galleon, Pilu, Phinisi atau Kora-Kora menyinggahi pelabuhan Sabang, Belawan, Palembang, Sunda Kelapa, Banten, Tuban, Gresik, Surabaya, Paotere, Benoa, Ampenan, Bima, Solor, dan NuuWar melewati Selat Sape bahkan sampai Australia dan Eropa. Saat ini 40 persen perdagangan dunia melewati perairan Nusantara, melewati jalur Selat Malaka (63 ribu kapal), Selat Sunda (3.500 kapal), dan Selat Lombok (3.900 kapal) setiap tahunnya.

Nusantara atau Nusa dan Antara, adalah negeri kepulauan yang selalu dihantam ombak. Lihatlah google earth kawan, riak-riak ombak terus bergerak di lautan biru yang dalamnya tak dapat diduga. Arus laut di bawahnya membuat perahu-perahu nelayan harus berhati-hati melewatinya, kalau tak ingin celaka. Selat Lombok yang berpalung dalam dan memiliki salinitas tinggi merupakan jalur rahasia kapal selam negara-negara adidaya. Insiden arogan melintasnya tanpa ijin gugus tempur kapal induk USS Carl Vinson disertai manuver pesawat tempur F/A 18 Hornet Juli 2003 di perairan Bawean antara pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok menyadarkan bangsa akan pentingnya kekuatan kapal perang untuk mengamankan lautan Nusantara. Bahwa bangsa lain berkepentingan secara ekonomi dan militer untuk memanfaatkan jalur pelayaran Barat-Timur Nusantara.

Lautan yang luas itu bukan menjadi penghalang, tetapi malah mempersatukan. Kepulauan Nusantara adalah untaian zamrud katulistiwa seperti dalam warna keemasan di ruang perenungan di dalam Monumen Nasional atau terlihat dari ketinggian kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah. Terdiri dari 17.508 pulau, besar dan kecil-kecil memanjang di sekitar garis Katulistiwa; Swarnabhumi, Jawadwipa, Tanjungnagara, Celebes, Karimata, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Papua, Derawan, Belitong dan Morotai. Wetar, Masalembo, Natuna, Anambas, Rote dan 9.634 lagi pulau yang anonym menunggu kreatifitas penduduk negeri Nusantara untuk sekedar memberi nama. Enam ribu gugusan pulau diantaranya belum ada manusia diatasnya. Dari Barat ke Timur sepanjang 6.400 kilometer, dari Utara ke Selatan sepanjang 2.500 kilometer. Dalam hitungan asset negara, maka Nusantara adalah sebuah kekayaan yang hampir tak bisa dinilai karena sangat kaya jumlahnya.

Syukurlah deklarasi “Wawasan Nusantara” Juanda 13 Desember 1957 telah mendorong ditetapkannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) pada tahun 1982 dimana sampai 12 mil laut dari pulau terluar adalah wilayah Nusantara yang menyebabkan luas wilayah bertambah 2,5 kali lipat. Bahwa konsep Nusantara adalah dua pertiga bagian berupa lautan yang seluas 3,1 juta kilometer persegi dan sepertiga bagian berupa daratan seluas 1,9 juta kilometer persegi dengan tambahan 2,7 juta kilometer persegi sebagai (ZEE) batas negara yang dihitung 200 mil dari pulau terdepan; Miangas, Dana, Benggala, Kelepon, dan Maratua. Sebuah keironisan setelah capaian membanggakan pasca Sumpah Palapa, Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan para pendahulu itu, negeri ini kehilangan pulau perbatasan seperti Sipadan dan Ligitan. Mahkamah Internasional memenangkan negara tetangga karena mereka memberikan penanganan efektif atas kedua pulau yang indah itu.

Pulau-pulau bagian Barat itu terhubung dengan lempeng Eurasia sebelum banjir besar ribuan tahun yang lalu, sementara pulau-pulau di timur sekeping dengan lempeng Australia. Tak mengherankan kedua bagian Nusantara memiliki ragam hewan dan hayati yang berbeda. Garis imajiner yang dibuat oleh Alfred Russel Wallace menjelaskan kalau di bagian Barat bisa ditemuai Gajah, Harimau, Orangutan, Badak bercula satu, Bekantan, Anoa, Elang jawa, Beluk Jampuk, Jalak Bali, Enggano/Rangkong, dan Maleo, sedangkan di timur bisa ditemukan kanguru, possum, lemuria, kakaktua dan burung dari surga

yang indah tak terkira bernama Cendrawasih. Selain itu, Nusantara juga memiliki bunga raksasa bernama Raflesia Arnoldy serta Binatang purba yang masih tersisa di bumi sebagai salah satu keajaiban dunia; Komodo.

Alam Nusantara indah lagi subur, memaksa para pujangga menyebutnya sebagai bagian surga yang bocor dan tumpah di bumi. Hutan hujan tropis menutupi sebagian besar pulau-pulau itu menjadi paru-paru dunia tempat penduduk bumi menggantungkan pasokan oksigen untuk bernafas. Hutan bakau terbesar di dunia ada di kepulauan Nusantara. Enam ribu jenis keindahan anggrek termasuk yang paling langka tumbuh di kepulauan ini pula. Gunung-gunung merenung menanti dibangunkan oleh desakan magma yang ingin keluar dalam hitungan ratusan hingga ribuan tahun sekali. Leuser, Bukit Barisan, Kerinci, Tambora, Talang, Krakatau, Malabar, Pangrango, Wilis, Galunggung, Papandayan, Gede Pangrango, Merapi, Merbabu, Kelud, Bromo, Lawu, Semeru, Agung, Rinjani, Lokon sampai Mount Cartenz berderet menghunjami pulau-pulau itu seperti pasak-pasak penahan.

Yang jelas, Tuhan selalu ekspresif menggoreskan mega-mega putih kapas diangkasanya yang biru cerah, bahan pembuat hujan di daerah tropis itu. Beberapa awan payung diatas pulau melingkar bergelayutan manja di punggung gunung yang digoda-goda oleh angin siklon Pasifik. Di pinggang gunung-gunung atau perbukitan itu terdapat goa–goa, dimana setetes-demi setetes air menetes membentuk stalagtit dan stalagmit, mengalirkan sungai-sungai kecil, lalu bertemu mata air lainnya mengalir semakin deras di sungai-sungai curam melalui bebatuan tempat rafting dilakukan.

Akhirnya air-air itu mungkin melewati air terjun Lombongo, Sipiso-piso, Curug Tenang, Grojogan Sewu, Bantimurung Bulukaraeng, Tamasapi, Sollokan, Moramo bertemu di sungai-sungai raksasa yang mengalur berkelak-kelok seperti Bengawan Solo, Musi, Memberamo, Brantas, Kapuas, Ciliwung, Barito, Mas, Saadang, Progo, dan mungkin berakhir di danau Kelimutu, Toba, Tondano, Limboto, Laut Tawar, Kintamani, Sarangan, Sentani, Poso, Maninjau, Tolire, Telaga Warna atau di delta-delta tempat perjumpaan dengan samudera luas membentang. Tak aneh, dalam satu kilometer kubik air laut terkandung 35 juta ton garam, 66 ribu ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, satu ton titanium, uranium, perak dan emas.

Dengerously Beautiful, keindahan Nusantara itu berada di atas ring of fire. Dalam sejarahnya, beberapa kali untaian negeri indah ini mengalami guncangan hebat. Letusan gunung Krakatau, terbentuknya danau Toba, serta

hilangnya peradaban Tambora, Sanggar dan Pekat di kaki gunung Tambora di pulau Sumbawa tahun 1815 yang lalu, serta Tzunami Aceh di jaman kita. Pun pulau Jawa dan Sumatera pernah menyatu sebelum letusan besar Krakatau. Sebuah penelitian ilmiah dan uji DNA oleh Ario Santos bahkan meyakini rangkaian pulau-pulau ini paling cocok dengan kriteria yang disampaikan oleh sang filosof Plato tentang ciri-ciri negeri Atlantis yang hilang, yaitu di kawasan Sunda Land, sebuah wilayah di bawah samudera Nusantara.

Tanah Nusantara bisa ditekan sekuat tenaga tetapi tidak hancur, malah justeru menempel. Bangsa ini ramah-tamah, kreatif, seperti tanahnya yang diinjaknya, liat. Tanah yang tak terkalahkan. Penduduknya bisa merekahkan senyum meski tanahnya gempa. Gunung meletuspun membawa kesuburan dan bahan galian golongan-C, yaitu pasir dan batu-batu untuk bangunan. Hanya di negeri seperti Nusantara tanaman begitu hijau dan subur dimana tongkat ditancapkan bisa menjadi tanaman. Rakyatnya memiliki kearifan lokal dengan membangun subak pengelolaan air, sawah-sawah berundak-undak dan bergalur-galur indah dengan padi yang menghijau, menjadi sumber inspirasi surgawi bagi para pelukis kelas dunia yang datang dari negeri-negeri sub-tropis.

Tak hanya indah kawan, di bawah lipatan geologis tanahnya itu terdapat bahan-bahan tambang yang mahal tak terkira. Menyebut satu-persatu kekayaan itu jangan bosan, karena akan panjang seperti ular Sanca. Cadangan gas alam cair (LNG) Nusantara terbesar di dunia, sedangkan timah berada pada urutan kedua. Di dasar laut atau di dalam perut bumi Nusantara mengandung emas, perak, tembaga, timah, pasir besi, bauksit, mangan, kobalt, nikel, titanium, vanadium, fosfor, batu bara dan minyak bumi. Terdapat pula uranium bahan energi nuklir, lanthanum (La), cerium (Ce), neodymium (Nd) dan bahan-bahan logam tanah jarang lainnya untuk pembuatan televisi, telepon seluler dan mobil hibrida. Harta lainnya adalah intan, berlian, safir, zamrud dan pualam. Intan Trisakti 166,75 karat dan intan Putri Malu 200 karat pernah ditemukan di Martapura. Demikianlah sederet asset mahal hingga Nusantara layak disebut sebagai the Richest Archipelago on Earth.

Karena terpisah oleh lautan, di atas kepulauan Nusantara tercipta 1.128 suku bangsa yang berbicara dalam 746 bahasa daerah dan menuliskan sejarah mereka melalui berbagai macam aksara. Terdapat suku Dayak, Jawa, Banjar,

Madura, Bali, Sasak, Aceh, Sunda, Betawi, Batak, Melayu, Minang, Papua, Timor, Makassar, Toraja, Bugis, Buton, Bajo, Muna, Tolaki, Ternate, Maluku, Anak Dalam, Badui dan banyak lainnya, manusia Nusantara berjumlah 250 juta kini. Suku-suku Nusantara seperti motif yang tak pernah sama, namun setiap orang bisa mengenalinya sebagai Batik. Mereka adalah representasi dari tiga daerah budaya sekaligus; Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Mereka tinggal di dalam rumah Joglo, rumah Gadang, rumah Toraja, huma Betang, rumah Banjar, Honai atau rumah tradisi lainnya dengan mengusung semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta memiliki satu bahasa persatuan, di desa atau kota-kota termasuk; Toli-Toli, Bau-Bau, Fak-Fak, Pare-Pare dan Muko-Muko.

Nenek moyang negeri ini memiliki peradaban-peradaban besar dan berpengaruh di Asia Tenggara. Pelaut kerajaan Bugis dan Makassar dikenal sebagai pelaut ulung yang sanggup menjelajah luasnya samudera sampai ke India, China, Australia, kawasan Pasifik bahkan sampai Madagaskar meninggalkan jejak-jejak DNA. Demikian pula pencapaian kerajaan maritim yang melegenda; Sriwijaya, Majapahit, Aceh dan Tidore. Armada perang laut Aceh berhasil mengalahkan armada perang Portugis, sementara nama-nama tokoh maritim Nusantara berderet panjang; Pati Unus, Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan Hang Kesturi. Bagaimanapun kerasnya upaya penjajah Barat tak mampu menghapus sejarah kegemilangan Nusantara itu, karena catatannya terserak mulai dari Kamboja, Thailand sampai Filiphina.

Hindia Timur ramai oleh perdagangan dunia, dimana kota Barus masuk dalam catatan penjelajahan berbagai bangsa; Arab, China dan Eropa, sebagai penghasil produk yang digunakan untuk membalsem mumi Fir’aun Mesir. Pala, merica, cengkih, kopi, lada dan kayu Cendana telah menarik kedatangan bangsa-bangsa asing itu terutama orang Eropa yang mengenalnya saat perang salib sebagai komoditas yang sangat laku di pasar internasional. Agama-agama besar datang dan pergi di kepulauan ini, baik secara damai maupun melalui penjajahan, mengikuti interaksi penduduknya dengan bangsa asing.

Secara bergelombang konversi kedalam agama rosul terjadi secara damai buah dari dakwah kaum pedagang Arab, Persia, India dan China. Masa kolonialisme Eropa yang datang setelahnya tak berhasil membendungnya. Saat ini sembilan dari sepuluh penduduk Nusantara menerima islam sebagai agamanya. Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Ampel, Masjid Penyengat, Masjid Wapaue Maluku, Masjid Agung Banten, Masjid Saka Tunggal, Masjid Al Hilal Katangka, Masjid Tua

Palopo, Masjid Mantingan, dan Masjid Patimburak di Fak Fak menjadi saksi pengaruh islam itu. Demikian pula Borobudur, Prambanan, Mendut, Suko, Penataran, Muara Takus, Muarojambi, Jawi, Singosari, Ratu Boko, Pawon, Kalasan dari periode yang lebih tua menjadi prasasti kehadiran ajaran Hindu dan Budha. Gereja Katedral Jakarta dan Gereja Blenduk Semarang adalah jejak lainnya tentang kehadiran kaum Nasrani di Nusantara.

Unggah-ungguh, murah senyum, keramah-tamahan dan adat ketimuran menjadi nafas penduduk negeri-negeri Nusantara pemilik kreatifitas tinggi dalam berkesenian. Di Mojokerto ditemukan topeng abad ke-10 berbahan campuran logam dan tanah liat yang setara dengan teknologi abad-21. Tari Saman, karapan sapi, permainan bambu gila, tari kecak, barong, jaranan, ketoprak, ludruk, wayang kulit, loncat batu adalah beberapa ekspresi berkesenian adiluhung itu, demikian pula badik, kujang, sumpit, rencong, kapak batu dan seni beladiri bernama pencak silat. Pun rendang, nasi goreng dan es kelapa, kuliner yang terkenal paling enak di dunia datang dari negeri kepulauan ini.

Layang-layang tertua di dunia bernama Kaghati Kolope berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, bukan di Tiongkok seperti pendapat umum selama ini. Layang-layang (kaghati) terbuat dari daun-daun kolope dan dijahit dengan lidi dan kerangka dari bambu, dengan benang terbuat dari serat nenas ini telah memiliki umur lebih dari 4.000 tahun seperti dibuktikan oleh lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani. Tak mengherankan, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengakui berbagai kekayaan budaya Nusantara seperti Borobudur, Prambanan, Tari Saman, Wayang, Angklung, Keris, sistem pengairan subak, tas unik wanita Papua bernama Noken dan Batik sebagai warisan pusaka dunia.

Gambaran-gambaran indah itu pula ada dalam berbagai lukisan kulit kayu, ukiran, batik tulis dan kain tenun yang dikenakan orang-orangnya. Inspirasi awan berarak – “mega mendung”, bunga, burung itu telah menuntun tangan-tangan terampil menggerakkan canting diatas kain mori membentuk motif batik yang indah tak terkira. Demikan pula bentuk-bentuk flora dan fauna menjadi motif kain yang ditenun dengan beraneka macam warna dari bahan-bahan alami. Seperti mengungkapkan sebuah perasaan inferior, beberapa asset khasanah budaya itu; Batik, Reog, Angklung, Tari Tot-Tor, serta lagu Rasa Sayange yang melegenda pernah diklaim sebagai milik negeri tetangga.

Sayangnya bangsa Nusantara terlalu mudah terlena oleh kanyataan memiliki alam dan budaya yang kaya. Mereka kurang mencermati niat jahat bangsa-bangsa Eropa yang ingin menguasai kekayaan Nusantara yang terberkahi itu. Diawali dengan berdagang, kemudian bangsa yang serakah itu ingin memonopoli. Jika pedagang Arab atau China membeli melalui penguasa pribumi, maka para penjajah Barat itu bernafsu untuk menguasai sumbernya sambil membunuh karakter berdagang bangsa maritim Nusantara. Tidak ada kesetaraan, “mitreka satata”, dalam hubungan yang eksploitatif seperti itu. VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) mulai membangun benteng-benteng seperti Ford Rotterdam, Fort Marborough, Fort Oranye, dan Fort Belgica-Banda. Setelah memenangkan persaingan dengan bangsa Eropa lainnya, mulai 1602 VOC memonopoli rempah-rempah dan hasil bumi lainnya dengan menindas rakyat Nusantara sampai keruntuhannya di tahun 1799 karena korupsi dan salah urus.

Penjajahan model klasik itu mengambil bentuk penghisapan yang didukung dengan rapinya administrasi dan kekuatan senjata. Kekejaman mewarnai prosesnya, seperti dilakukan oleh Jean Pieterzon Coen, sang penjagal masyarakat Aru dan Banda dalam upayanya menguasai monopoli rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah yang di Eropa pernah menjadi persembahan kepada para dewa, berfungsi obat serta bercita rasa tinggi itu hancur karena proses kolonialisme kejam untuk mendapatkannya. Yang lebih belakangan kita mengenal Raymond Westerling yang membantai puluhan ribu rakyat Sulawesi Selatan dan Rawagede demi memadamkan “pemberontakan” bangsa Nusantara yang ingin merdeka. Perlawanan negeri-negeri Nusantara gagal karena kecerdikan negeri mungil penjajah dari benua Eropa bernama Belanda, yang melakukan strategi devide et impera selama 350 tahun.

Jika Hernando Cortez berhasil merampas timbunan emas dan perak suku Aztec di Meksiko, dan Fransisco Pizarro menjarah kekayaan bangsa Inca di Peru, maka hal yang sama dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa berabad lamanya menjarah kekayaan alam dan budaya Nusantara. Treaty of London 1824 memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai Nusantara dan Inggris untuk menguasai Malaya. Harta pusaka kerajaan Nusantara telah diangkut ke negeri Belanda dan Inggris itu, semisal mahkota dan keris pusaka raja-raja, perhiasan emas permata, Patung Ken Dedes, serta naskah-naskah manuskrip kuno yang tak ternilai harganya; rontal Negara Kertagama, lontara La Galigo untuk menyebutkan beberapa diantaranya. Penjarahan

artefak-artefak budaya itu diiringi upaya-upaya kaum orientalis untuk membelokkan narasi sejarah Nusantara dan kudeta budaya demi melanggengkan penjajahan dan pengaruhnya.

Anak-anak bangsa Nusantara tak pernah lelah melawan upaya penjajahan itu, sehingga Belanda memerlukan 300 tahun untuk benar-benar menguasainya. Dari rahim Nusantara lahir para pejuang untuk mempertahankan eksistensi bangsanya, deretan nama seperti Syekh Yusuf al Makassary, Tuanku Tambusai, Sultan Ageng Tirtayasa, Fatahillah, Sultan Hassanudin, Sultan Baabullah, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Laksamana Malahayati, Untung Suropati, I Gusti Ketut Jelantik, Pangeran Antasari, Sisingamangaraja, Ahmad Lussy, serta Martha Christina Tiahahu. Bangsa Nusantara bukanlah bangsa pengecut, seperti dibuktikan oleh perlawanan-perlawanan bersenjata sepanjang sejarahnya. Sebuah semangat yang terus mencari takdirnya untuk mencapai kemerdekaan dan harga diri bangsanya.

Pena sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian penjajah, tetapi “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” melalui perjuangan seluruh rakyat yang merebutnya. Tujuh belas tahun setelah sumpah setia para pemuda untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Soekarno dan Hatta, berhasil memproklamasikan kemerdekaan politik dan administrasi, pada 17 Agustus 1945. Kedua bapak bangsa bersama tokoh-tokoh lainnya telah berhasil menghidupkan harapan negeri-negeri Nusantara,“mengantarkan rakyat Nusantara ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Nusantara, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, dicatat dalam sejarah tentang keberhasilan menjalani takdirnya melewati jembatan emas kemerdekaan.

Mempertahankan kedaulatan negara pasca proklamasi 1945 adalah sebuah perjuangan panjang yang sungguh melelahkan. Rapat raksasa dibawah todongan senjata tentara Jepang di lapangan Ikada 19 September 1945 berhasil mengumpulkan sejuta rakyat membulatkan tekad untuk mempertahankan kebebasan yang telah diproklamirkan. Belanda membonceng AFNE (Allied Forces Netherlands East Indies) dengan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) melalui program Rehabilitation Allied Prosoners of Wars and Internees berupaya merebut kembali tanah Nusantara. Kedatangan Inggris dan Belanda itu mencetuskan resolusi jihad Nahdatul Ulama 22 Oktober 1945 yang mewajibkan seluruh rakyat melawan penjajah

Belanda dalam radius keliling 94 kilometer. Kewajiban religius itu berhasil menggelorakan perlawanan rakyat, merobek warna biru bendera Belanda menjadi Sang Dwiwarna, Merah Putih.

Pidato lantang Bung Tomo memompa semangat arek-arek Surabaya,

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 74-85)