• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mimpi-mimpi ( Déjà Vu ) itu

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 61-74)

Pandangan mata Lawe menerobos jauh keluar melalui jendela “National Geographic” kamarnya di Toadhall, merenungkan mimpi-mimpi khusus yang menghinggapinya. Sejak remaja ia sering mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Seorang teman membuatkan poster kampanye untuknya dalam mimpinya saat masih mahasiswa baru. Tiga tahun kemudian ia mengalami sendiri kejadian itu saat pemilihan ketua umum lembaga kewirausahaan mahasiswa. Di lain waktu ia bermimpi tentang pertemuan tak terduga dengan sahabat lamanya dan kemudian benar-benar terjadi lima tahun kemudian di pedalaman Kalimantan saat telah bekerja di KPK.

Déjà vu adalah mimpi slide kehidupan manusia di masa depan, kadang-kadang berupa bocoran jawaban atas pertanyaan kehidupan. Lawe mulai bisa membedakan mimpi-mimpi bunga tidur biasa dan mimpi dengan arti khusus. Masih terekam di kepalanya, jawaban doa-doanya atas keinginanya untuk berkelana di Negeri Kanguru adalah pemandangan-pemandangan asing dalam mimpinya. Salah satunya adalah sebuah pemandangan berupa rerumputan menyembul diatas air yang diiris oleh bendungan beton kolam setinggi dua meter, berlatar belakang bukit hijau kecoklatan.

Pemandangan itu ia nikmati sambil berdiri pada sebuah batu besar ditengah gemericik aliran sungai kecil. Ternyata ia temukan pemandangan indah itu tujuh tahun kemudian di sebuah sanctuary di Tidbinbilla Nature Reserve di luaran Canberra. Pada awalnya mimpi-mimpi itu seperti bukan jawaban yang memuaskan atas doa-doanya, karena yang ia ketahui tentang Australia adalah Sydney Opera House dan metropolitan Melbourne yang dibelah oleh sungai Yarra.

Lawe adalah seorang pendiam namun pemikir. Ia lebih sering menyerap kejadian-kejadian yang dialaminya daripada berkata-kata. Dalam banyak kejadian yang ia anggap tidak masuk akal ia akan membawanya ke alam mimpi sampai terbangun dengan sesungging senyuman karena mendapatkan jawaban. Saat ia tidak bisa menerima sebuah kenyataan pahit, maka dalam tidurpun perkara itu terus membayanginya dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu, bulan, atau bahkan hitungan tahun.

Otak manusia terdiri dari bagian kiri dan kanan, dan Lawe menggunakannya secara seimbang termasuk untuk berfikir di alam bawah sadarnya. Hal itu bermula karena nasib yang memisahkannya dengan kedua orang tuanya yang membuat Lawe kecil tenggelam dalam kesedihan dan perenungan seorang diri. Mengapa nasibnya tak sebaik teman-teman sebayanya yang nampak bahagia dengan kasih sayang dari orangtuanya, sementara dirinya harus “ngenger” kepada kakek-neneknya demi meneruskan sebuah budaya. Dua kali kegagalan blitzkrieck cintanya telah menyeret Lawe lebih jauh lagi memasuki dunia ide yang penuh kejutan itu.

Mimpi sebenarnya adalah bentuk nyata idealisme, dunia kaum aktivis dan romantisist. Kenyataan bagi seorang pemimpi adalah utopis bagi seorang realis. Dahulu kala manusia bermimpi pergi ke bulan, sampai Apollo 11 menggenapinya di tahun 1969. Orang-orang hebat dalam sejarah dunia adalah mereka yang mampu merealisasikan mimpi-mimpinya. Bagi beberapa orang, hanya mimpi yang membuat mereka bertahan hidup, karena mimpi memberikan harapan-harapan. Mimpi juga bisa menjadi pelarian atas realitas yang kejam mendera, karena mimpi berada di dunia ide.

Tidak mudah untuk memasuki alam mimpi, meski bagi beberapa orang mudah saja. Pada kondisi ini beberapa orang memperoleh visi masa depan, hal-hal yang akan terjadi beberapa tahun, dekade, atau bahkan abad di depan. Berkaca pada pengalaman déjà vu-nya selama ini, bagi Lawe hidup itu sudah ada track-nya. Manusia hanyalah ”wayang” semata yang hanya mampu menjalani apa yang telah dimainkan oleh Sang Maha Dalang. Namun, mimpi yang menjumpai Lawe di Canberra kali ini sungguh aneh.

Alfatih Ronggolawe tak ingin percaya, namun diluar kehendaknya mimpi itu selalu muncul dalam tiga malam ini. Di dalam mimpi itu ia merasa berada di sebuah ruangan berarsitektur kolonial. Baru belakangan ia ketahui itu adalah bekas kantor Residen Kedu di Magelang. Nampak seorang mengenakan jubah putih dengan sorban memasuki ruangan itu. Putra sulung Hamengku Buwono III dengan selir bernama Raden Ayu Mangkorowati itu datang memenuhi ajakan silaturahmi dalam suasana Idul Fitri. Saat memasuki ruangan utama itu, keris Kyai Naga Siloeman miliknya ia serahkan kepada prajurit Hindia Belanda sebagai pemenuhan gentlement protocoler.

Seratusan pengawal sang pangeran dengan memegang tombak berdiri diluar, sementara seorang panglimanya yang bernama Mertonegoro dan beberapa pengikut inti menemaninya. Di sampingnya, seorang berperawakan Eropa dengan pakaian seorang jenderal berdiri menerima kedatangannya dengan hangat. Beberapa asistennya yang juga berperawakan Eropa nampak berdiri melingkari sebuah meja dengan empat kursi di belakangnya. Meski pertemuan itu dirancang sesantai mungkin, tak bisa ditutupi ketegangan di wajah-wajah semua yang hadir.

Jelas masih terngiang di telinga Lawe saat sang Pangeran menyampaikan kalimat penuh wibawa, “Namaningsun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”. (Nama saya Kanjeng Sultan Ngabdulkamid, orang islam yang berpaling akan saya tata. Saya adalah raja Islam Tanah Jawa). Sang jenderal bernama De Kock, tersenyum ramah. Pagi itu sekitar pukul 8, Ahad, 28 Maret 1830, Sang Pangeran tak sadar telah masuk perangkap yang berbulan-bulan dirancang oleh Jenderal De Kock. Penyebabnya adalah pemerintah Kolonial Belanda hampir saja bangkrut karena harus menanggung hutang 25 juta Gulden untuk memadamkan lima tahun Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.

Jihad pribumi Jawa itu begitu dahsyat karena mendapatkan dukungan luas kaum ulama maupun rakyat kebanyakan. Bahkan kaum berandalan berada di barisan Sang Pangeran. Penyebabnya, rakyat telah lama menanggung derita. Kebijakan para Gubernur Jenderal Belanda semakin hari semakin mencengkeramkan kuku penjajahannya. Pajak hasil bumi (pajeg), pajak pintu (pacumpleng), pajak rumah tangga (kerigaji), pajak memotong ternak (tugel gurung), pajak pemakaian air (pamili toya), kerja rodi untuk raja (taker tedhak, wang bekti, gugur gunung, pegaweyan, wilah welit) dan cukai jalan raya adalah daftar panjang beban yang harus mereka pikul. Pada saat yang sama, semakin luas tanah-tanah subur dikuasai oleh orang-orang Eropa untuk dijadikan perkebunan.

Akibatnya, pengangguran menggunung. Saat Gunung Merapi meletus gagal panen melanda. Lalu kejahatan muncul dimana-mana. Penderitaan semakin sempurna karena kelaparan yang meluas, serta wabah kolera dan malaria membunuh rakyat dengan cepat. Apalagi sejak perjanjian Giyanti 1755, para penguasa keraton saling bertengkar penuh intrik demi memperebutkan kekuasaan. Rakyat merasa semakin terhina, karena dekadensi moral seperti

madat, madon dan minum melanda keraton akibat pengaruh buruk para pejabat Belanda.

Sepeninggal Sultan Agung, VOC mulai menguasai pemerintahan feodal Mataram, menjarah harta pusakanya, menghisap kekayaan alamnya, merusak nilai budaya dan agamanya. Pelan namun pasti Belanda menghancurkan kerajaan Jawa terakhir. Pemerintah Hindia Belanda dengan cerdiknya mampu memecah belah kerajaan menjadi wilayah yang semakin kecil dan bisa menentukan pengganti raja, sekaligus menyetir segala kebijakannya demi kepentingan penjajahannya. Hubungan Belanda dengan kerajaan Jawa berubah menjadi sebuah kolonisasi sejak penyerbuan Thomas Stamford Rafles ke Jogjakarta tahun 1812 dalam sebuah periode peralihan singkat kekuasaan Inggris dan Belanda. Sebagai Sultan ing alaga, kalifatullah sayidin panatagama, raja Jawa telah takluk dibawah kendali orang-orang Belanda.

Raja-raja Jawa masa kolonial sudah dikebiri kekuasaannya, namun mencoba mempertahankannya di hadapan rakyat jelata dengan gelar-gelar pemerintah Belanda. ... Grootkruis der Orde van de Nederlandsche Leeuw, Luitenant Generaal, Grootkruis der Kroonerde van Siam, Grootkruis der Orde van Nichan Iftinkhar van Tunis, Grootkruis der Orde van de Poolster van Zweden, Grootkruis der Kroninklijke Orde van de Ster van Anjoan, Grootkruis van de Keizerlijke Orde van den Witten Ollifant van Siam, Grootkruis van de Keizerlijke Orde van Annam, Grootkruis van de Orde Poolster van Sweden, Grootkruis der Orde van Leopold II van Belgie, Grootkruis der Orde van Cambodja ... yang bisa berkilo-kilogram emas dan perak beratnya.

Setelah mendirikan benteng di Batavia dan Semarang, kekuatan VOC semakin mencengkeram negeri Nusantara. Benteng-benteng itu menjadi pangkalan militer, pengaman bagi monopoli komoditi perdagangan sekaligus alat untuk menakuti penguasa pribumi. Diponegoro, yang dianggap sebagai ratu adil bagi sebagian besar rakyat terjajah tersebut muncul sebagai simbol perlawanan rakyat. Sebanyak 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu keraton dan 4 kyai guru turut berperang bersamanya, selain tentu saja para tetua dan rakyat kebanyakan. Insiden pematokan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo untuk pembangunan jalan raya hanyalah pemicu perlawanan semesta rakyat Jawa yang telah lama menderita.

Diponegoro membangun pasukannya dengan struktur Janissary Turki yang melegenda sebagai pasukan yang mampu membuat Eropa ketar-ketir selama beberapa abad. Sang Pangeran banyak terinspirasi sistem militer

khilafah Kesultanan Ngerum pelindung kaum muslim sedunia itu. Diponegoro menyusun pasukan Bulkiyo (Bölük), Turkiyo, Burjomuah dan Arkio yang dilengkapi dengan tombak, panah, pedang, bedil serta meriam yang dibuat di Gresik.

Selama lima tahun berjihad, pasukan Diponegoro berhasil melenyapkan nyawa 8.000 tentara Eropa dan 7.000 tentara pribumi di pihak Kolonial. Sementara korban diantara rakyat Jawa adalah 200 ribu orang, dimana separuh rakyat Jogja mati dan dua juta lainnya mengungsi. Hanya strategi benteng cultuur stalsel yang bisa memperlemah perlawanan itu, namun tidak mengalahkannya sama sekali. Sebelum peristiwa pengkhianatan itu, kedua pihak telah sama-sama letih.

Meski telah menurun, perlawanan Sang Pangeran terus berlangsung. Berkali-kali Sang Pangeran lolos dari sergapan pasukan Belanda dan bahkan lolos dari maut meski dua kali dihantam mimis. Jenderal De Kock berfikir hanya tipuan yang bisa

menghentikan perlawanan kesatria Jawa itu, meskipun harus mengorbankan kehormatannya sendiri sebagai prajurit Eropa. Atmosfir ketegangan memenuhi ruangan, saat sebuah pembicaraan “saling pengertian” awal yang diatur oleh Kolonel Clerens dan Ali Basah (Ali Pasha) Sentot Prawirodirjo berlangsung. Pembicaraan itu seperti telah diatur sebelumnya oleh De Kock tak menghasilkan kesepakatan apapun.

Angin seperti berhenti bergerak, daun-daun diam menahan diri untuk bergoyang, menantikan apa yang akan terjadi pada detik-detik ke depan. Bendera merah putih biru-pun malas untuk berkibar, saat sang Pangeran menatap tajam kearah mata Jenderal De Kock yang berkata:

Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden

Saleh, sumber: www.raden-saleh.net

“Anda tak usah pulang ke Matesih, Pangeran. Saya menahan anda untuk menyelesaikan semua persoalan pada hari ini”.

Kalimat De Kock yang seperti sambaran petir di siang bolong itu membuat gusar panglima perang Diponegoro, Mertonegoro, “Bukankah pertemuan hari ini adalah silaturahmi, kalau membicarakan urusan politik maka di hari yang lain saja”.

“Tidak bisa, saya ingin menyelesaikan semuanya sekarang. Bukankah saya telah memberi waktu satu bulan selama bulan puasa untuk berfikir”, ujar De Kock. “Atas nama Gubernur Jenderal, saya ingin perang diakhiri secara tuntas”.

Masygul akan tipu muslihat yang dirasakannya, Diponegoro coba memprotes dengan memanggil para perwira penghubung, namun dijawab De Kock bahwa hal itu sudah terlambat.

“Hai Jenderal, anda itu sungguh jahat (Dursila). Kejadian ini menunjukkan hati anda buruk. Anda menjebak saya untuk anda tangkap. Padahal tak ada sekecil debu-pun niat saya untuk menyerah. Selama bulan puasa anda tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbuat licik seperti ini. Kenapa hari ini anda mengatakan terburu-buru. Anda sama sekali tidak menunjukkan perilaku seorang kesatria Eropa”. Geram merasa ditipu De Kock, sang Pangeran hanya bisa mencakar pegangan kursi kayu yang didudukinya hingga membuatnya terkelupas.

“Saya tidak takut mati, Jenderal. Karena dalam setiap pertempuran saya selalu lolos dari maut. Saya merasa lebih baik mati dalam pertempuran daripada menyerahkan diri”, sambung Diponegoro. Lawe bisa merasakan kesedihan mendalam para pendukung Diponegoro di ruangan itu, yang mirip awal dari sebuah dendam peradaban. Beberapa tak kuasa menahan emosinya dengan menghunus kerisnya, yang segera dicegah oleh Diponegoro. Sang Pangeran nampak merentangkan tangannya untuk menghibur seorang perempuan yang menangis histeris.

“Saya tak bermaksud membunuh Anda, Tuan...”, De Kock mencoba mendinginkan suasana. Jenderal Hendric Markus De Kock terus berupaya menjawab pertanyaan Diponegoro dengan setenang mungkin, meski wajah anak buah Raja Willem III itu selalu menunduk karena merasa sangat malu telah berbohong. Demikian pula para perwira Belanda lainnya menunjukkan tatapan mata kosong dengan melihat kearah kejauhan. Di mata Diponegoro mereka berperilaku seperti perempuan.

De Kock lalu memberi isyarat kepada pasukannya untuk melucuti seratusan pasukan pengawal Pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda yang lain pimpinan Mayor Michiels juga secara rahasia telah berada di barak para pengikut pangeran di Metesih. Sang Pangeran Jawa pun ditawan lalu dimasukkan kereta kuda dan dibawa ke tempat pengasingan. Rasa kesedihan itu seperti menjalar merasuki diri Lawe. Sebuah keterpukulan jiwa akibat pengkhianatan. Namun, Diponegoro hanya pasrah menerima kenyataan pahit itu. Perpecahan diantara pendukungnya turut melemahkan perlawanannya. Ia teringat suara ghaib di Pantai Parangkusumo, “Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur“.

Pangeran Surya Mataram, Pangeran Ali Basyah Machmud Gandakusuma diasingkan ke Kupang, sedangkan Kyai Mojo dibuang ke Tondano. Banyak para pengikutnya mendirikan pesantren, memegang teguh prinsip bahwa bangsanya akan bisa ditolong dari penjajahan Belanda melalui pendidikan dan akhidah yang kuat. Yang lainnya melawan dengan cara berbeda, seperti Kyai Song yang tidak mau menyewakan tanahnya untuk program tanam paksa dan lebih memilih membuat gerabah yang kemudian menjadi sentra kerajinan Kasongan. Sang Pangeran sendiri dibuang ke Manado dan kemudian diasingkan selama 21 tahun (1834-1855) di Ford Rotterdam sampai meninggal dan kemudian dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.

Benteng Panynyua pada mulanya dibangun oleh Kerajaan Gowa pada tahun 1545 di bumi “anging mamiri”. Sultan Allaudin, Raja Gowa yang ke-15 memperbarui dan memperkuat struktur bangunan dengan bebatuan yang didatangkan dari pegunungan karst di daerah Maros. Benteng itu dilihat dari udara berbentuk menyerupai penyu yang akan merangkak turun ke lautan luas. Benteng itu merupakan perwujudan mimpi kerajaan Gowa yang ingin berkuasa di darat dan di lautan sebagaimana filosofi penyu yang mampu hidup di kedua alam itu. Berdasarkan perjanjian Bongayya pada tahun 1667 pasca peperangan yang heroik, benteng itu kemudian diserahkan kepada Belanda yang kemudian mengubah namanya menjadi Ford Rotterdam.

Benteng itu kemudian oleh Belanda dijadikan pusat pertahanan terkuat dengan dinding setebal dua meter dan tinggi tujuh meter. Di setiap sudutnya dibangun benteng pertahanan yang mengarah keluar seperti sebuah berlian. Selain sebagai pertahanan, benteng ini juga digunakan sebagai tempat untuk

menampung rempah-rempah seperti pala, cengkeh, kopi dan merica hasil monopoli perdagangan dari timur Kepulauan Nusantara yang karenanya sanggup mempertahankan kekuasaan VOC selama ratusan tahun.

Di benteng Rotterdam itulah Ahmad menemukan “harta karun” sejarah yang tak ternilai harganya. Di salah satu dari seratus ruangan di dalam benteng itu disimpan epos La Galigo, sebuah naskah kuno 6000 lembar atau sepanjang 300.000 baris berisi teks sejarah lama Makassar yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Naskah yang beberapa bagiannya telah berbentuk microfilm itu dibuat oleh bangsawan Bugis dari Ternate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate di tahun 1860. Demikian juga artefak dan peninggalan kuno masyarakat Bugis dan Makassar lainnya termasuk peninggalan keagamaan disimpan di benteng itu. Ahmad Gassing dengan tekun meneliti Lontara Syaikh Yusuf sebagai sumber informasi yang sangat penting untuk mengungkap sejarah Nusantara masa kolonial.

Tokoh yang memiliki darah bangsawan Makassar dan sekaligus Gowa ini lahir di Istana Tallo, 3 Juli 1626. Ayah Syekh Yusuf adalah kerabat Sultan Allaudin, pembangun benteng Panynyua. Syeh Yusuf lahir pada saat konteks beberapa tonggak sejarah, pertama, jatuhnya Malaka oleh Portugis tahun 1511 yang membuat Makassar menjalin hubungan intensif dengan Aceh, Patani, Johor, Banjarmasin dan Demak. Penguasaan Malaka oleh Portugis menyebabkan tersebarnya agama Kristen dan terganggunya jalur perdagangan pribumi Nusantara. Kedua, perang besar Musu’ Selleng antara Makassar (Gowa dan Tallo) dengan aliansi TellumpoccoE (Bone, Soppeng, Wajo). Akibat perang ini, pada tahun 1611 seluruh Sulawesi Selatan kecuali Toraja secara resmi memeluk Islam, sebuah ujung dari gelombang dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh dari Minangkabau yang menyentuh wilayah Filipina.

Ketertarikan Syekh Yusuf pada ilmu agama khususnya tasawuf membuatnya berkelana untuk menuntut ilmu di berbagai pusat Islam Nusantara maupun di tanah Arab. Gelar Syekh ia dapatkan dari para pembimbingnya yang seorang mursyid tarekat, sehingga dalam kitab al-Naba Fi I’rab La ilaaha illallah, satu dari dua puluh satu kitab karya Syekh Yusuf yang dikenal dituliskan namanya al-Syaikh Yusuf bin Abdullah al-Jawi al Makassari, sementara nama lain beliau adalah Syaikh al-Haj Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyatullah al-Taj al-Khalwati al-Maqashshariy16.

16

Lontara Syekh Yusuf menceritakan ia tumbuh di lingkungan yang islami, dan pada umur 3 sampai 4 tahun mempelajari Al Qur’an sampai tamat kepada Daeng Ri Tamassang. Pada usia 8 sampai 9 tahun, Yusuf kecil belajar islam kepada seorang Mufti Haramayn Makkah dan Madinah yang menetap di Bontoala, Makassar. Pada usia 16 sampai 17 tahun, Yusuf muda belajar tasawuf pada ulama besar di Cikowang, Takalar. Dengan surat pengantar kedua gurunya di Bontoala dan Cikowang ini lalu Yusuf muda belajar ke Mufti Makkah, selain juga singgah di Banten dan Aceh untuk belajar islam.

Syaikh Yusuf tiba di Banten pada saat Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir (1596 sampai dengan 1651) memegang kekuasaan. Pada masa itu Kerajaan Banten dan Aceh sedang berjuang menghadapi Belanda dan Portugis. Perjalanan akademis Syaikh Yusuf dilanjutkan ke Aceh, saat negeri itu diperintah oleh Sultan al-Alam Safiatudin Syah (1641 sampai dengan 1675). Di Aceh ini Syaikh Yusuf belajar pada ulama besar kerajaan bernama Syaikh Nuruddin al-Raniri dan mendapatkan ijazah dalam tarekat Qadiriyah. Selain itu, Syaikh Yusuf juga belajar tentang filsafat kenegaraan, dimana al-Raniri mengarang kitab terkenal berjudul Bustan al-Salatin, sebuah kitab yang mengulas tentang sistem pemerintahan Islam.

Kemudian Syaikh Yusuf melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke India, Yaman, Hijaz, Syiria, dan Istanbul. Di Hadramaut Syaikh Yusuf memperoleh ijazah tarekat Naqsabandiyah dan Ba’alwiyah. Perjalanan lalu dilanjutkan ke Makkah untuk melakukan ibadah Haji dan ke Madinah menziarahi makam Nabi. Di Madinah Syaikh Yusuf menimba ilmu dan diberikan ijazah Tarekat Syattariyah. Dahaga ilmu membuat mendorong Syaikh Yusuf meneruskan tolabul ilmi-nya ke Damaskus di Syiria dan mendapatkan ijazah Tarekat Khalwatiyah. Selain kelima aliran tarekat tersebut, Syaikh Yusuf juga mempelajari aliran lainnya seperti Dasuqiyah, Hasytiyah, Syadziliyah, Sanusiyah, Rifa’iyah, Maulawiyah, al-Idrusiyyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, Makhdumiyah, Ahmadiyah dan Madariyah. Perjalanan itu lalu dilanjutkan ke Istanbul, Turki untuk mempelajari ilmu ketatanegaraan di pusat kekhalifahan Islam.

Sesaat setelah perjanjian Bongaya antara VOC dan Makassar, Syekh Yusuf kembali ke Makassar pada tahun 1668 setelah dua puluh tiga tahun pengembaraannya. Kekalahan Makassar menyebabkan degradasi moral yang parah, sehingga budaya pra Islam seperti minum tuak, menyabung ayam dan berjudi kembali populer di tengah masyarakat. Upaya Syekh Yusuf untuk

mempengaruhi Sultan Amir Hamzah agar memberantas perilaku buruk itu menemui kegagalan. Kecewa dengan sikap saudaranya tersebut, Syekh Yusuf lalu menuju Banten untuk menyebarkan Islam di wilayah yang diperintah sahabatnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Beberapa kadernya bagaimanapun telah disiapkan untuk terus berdakwah di tanah kelahirannya, Makassar.

Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati dan diangkat menjadi qadli, guru besar tarekat sekaligus panglima perang Kesultanan karena kedalaman ilmunya. Karena sedang berjuang membendung VOC, pada tahun 1660, Syekh Yusuf memimpin pasukan melawan kolonial Belanda. Berkali-kali pasukan laut dan daratnya berhasil memukul mundur pasukan VOC. Namun, pada pertengahan tahun 1683, Belanda yang melakukan pengejaran secara teratur berhasil menangkap Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya.

Setelah ditangkap Belanda, maka kisah Penderitaan Syeh Yusuf dan pengikutnya yang diasingkan, disiksa, seperti layaknya budak bermula. Ahmad, merenungkan dalam-dalam derita yang menimpa sesepuh Makassar dan Banten, Syekh Yusuf al Makassari al Bantani, ketika Syekh dan 49 orang pengikut serta keluarganya dibuang oleh Belanda ke Cape Town di selatan Afrika. Menantu Sultan Ageng Tirtayasa yang merupakan Ulama keturunan Raja Gowa itu merasakan jahatnya kekuasaan kolonial Belanda mencengkeram bumi Nusantara. Demi mengukuhkan penjajahannya, Belanda membuang orang-orang yang tidak sejalan dengan politik penghisapan yang dilakukannya. Maka serombongan pejuang Nusantara itu dijauhkan dari para pengikutnya agar tidak memberikan pengaruh politik perjuangan yang bisa membahayakan

Dalam dokumen Deja Vu Nusantara-nico Andrianto (Halaman 61-74)