• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. UJI KUALITAS FORMULA

2. Bobot Jenis

3. Indeks bias 25 oC (nD20) - 1.507 – 1.515

4. Kelarutan dalam alkohol 90% (20 oC ± 3 oC)

- Larutan jernih atau opalensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10

5. Bilangan asam - Maks. 8.0

6. Bilangan ester - Maks. 20.0

7. Putaran optik (£D25) - (-48) – (-65)

8. Patchouli alkohol (C15H26O) % Min. 30

9. α-copaene (C15H24) % Maks. 0.5

10. Kandungan besi (Fe) mg/kg Maks. 25

Penelitian ini menggunakan minyak nilam hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiahtuti (2008). Penyulingan pada penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode uap dan air (water and steam distillation). Selain itu, sistem peningkatan tekanan secara bertahap dilakukan guna meningkatkan efisiensi kerja dari alat penyulingan. Tekanan yang diberikan adalah sebesar 0.5 bar, 1 bar, dan 1.5 bar selama 6 jam.

Penyulingan ini dilakukan pada skala Industri Kecil Menengah (IKM) dan skala prototipe. Kadar patchouli alcohol yang dihasilkan pada penyulingan skala IKM adalah 35.54%, sedangkan skala prototipe menghasilkan patchouli alcohol sebanyak 34.45%.

Penyulingan dilakukan menggunakan daun dan ranting nilam dengan bobot 154.5 kg (skala IKM) dan 120 kg (skala prototipe). Rendemen yang dihasilkan adalah sebesar 2.3% (basis kering) untuk penyulingan skala IKM dan 2.5% (basis kering) untuk penyulingan skala prototipe (Widiahtuti, 2008).

Mutu minyak nilam hasil penyulingan tersebut tergolong baik karena sebagian besar hasil pengujian mutu yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak nilam tersebut memenuhi standar yang ditetapkan berdasarkan SNI 06-2385-2006. Perbandingan antara mutu minyak nilam hasil penyulingan dengan standar SNI dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan No. Parameter Skala IKM Skala

Prototipe SNI 06-2385-2006

1. Warna Kuning

kecoklatan

Kuning kecoklatan

Kuning muda – coklat kemerahan 2. Bobot jenis (25 oC/25 oC) 0.973 0.953 0.950 – 0.975 3. Indeks bias 25 oC (nD20) 1.488 1.414 1.507 – 1.515 4. Putaran optik (£D25) (-)53.6 (-)63.8 (-48) (-65) 5. Bilangan asam 1.51 8.21 Maks. 8.0

6. Bilangan ester 5.75 35.58 Maks. 20.0 7. Kelarutan dalam

alkohol 90% (20 oC ± 3 oC)

1 : 8.5 1 : 3.5

Larutan jernih atau opalensi ringan dalam perbandingan

volume 1 : 10 8. Kadar patchouli

alcohol (% PA) 35.54 34.45 Min. 30

(Widiahtuti, 2008)

D. MINYAK NILAM SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas. Jenis insektisida ini mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan hewan (Kardinan, 2002). Beberapa keuntungan yang didapat dengan menggunakan insektisida nabati antara lain adalah tidak mencemari lingkungan, lebih spesifik, residunya relatif pendek, dan hama tidak mudah berkembang menjadi resisten (Mardiningsih et al., 1994).

Nyamuk Aedes aegypti merupakan hama serangga yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia karena berperan sebagai vektor pembawa virus DHF (Dengue Haemorrhagic Fever). Sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terhadap virus DHF (Soedarmo dan Sumarmo, 1988). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Menteri Kesehatan RI pada Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I tanggal 20 Agustus 1988 di Ciawi Bogor bahwa dunia Kedokteran

belum berhasil menemukan teknologi untuk memberantas virus penyebab demam berdarah. Karena itu, upaya pemberantasan DHF ditujukan terutama kepada pengendalian vektornya (Anonim, 1988).

Pengendalian dengan tujuan memutus rantai siklus hidup vektor, baik pada tingkat larva maupun pada tingkat dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara kimia, biologi, dan ekologi (Putra, 1995). Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat penolak (repelling agents), pemikat (attractants agents), dan senyawa yang dapat mengendalikan perilaku (behaviour controlling compounds) (Soemartono, 1984). Minyak nilam memiliki bahan aktif seskuiterpen yang dapat berperan sebagai repellant dan penghambat perkembangbiakan nyamuk. Prinsip kerja dari zat penolak (repelling agents) adalah menolak kehadiran nyamuk yang akan menghisap atau meletakkan telur namun tidak membunuh nyamuk tersebut (Putra, 1995).

Pengendalian populasi serangga dengan bahan aktif dari tanaman merupakan metode baru yang sedang dikembangkan dewasa ini. Grainge dan Ahmed (1987) menyatakan bahwa senyawa pada tanaman yang bertanggung jawab terhadap efek pestisida adalah saponin, tanin, flavanoid, triterpenoid, sulfur, kumarin, dan steroid. Lebih dari seribu jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida, diantaranya adalah nilam yang cukup potensial.

Peranan minyak nilam sebagai bahan baku insektisida didasarkan atas keberadaan senyawa metabolit sekunder di dalam vakuola yang bersifat merangsang kemoreseptor serangga sehingga tidak disukai. Adanya bahan aktif dalam tanaman nilam menyebabkan tanaman ini tahan terhadap P. brachyurus dengan mekanisme ketahanan terjadi sebelum tanaman terinfeksi (Mustika et al., 2002).

Ketaren (1985) menyatakan bahwa komponen penyusun minyak nilam ialah seskuiterpen dan patchouli alcohol (terpen teroksigenasi) yang terdiri dari benzeldehida, eugenol benzoat, sinamaldehida, alkohol, dan semikarbozom. Seskuiterpen tersebut diduga mempengaruhi perkembangan serangga. Sekuiterpen di dalam tanaman Ocimun basilium L. berperan sebagai larvasida terhadap nyamuk Culex sp. (Jacobson, 1989). Patchouli alcohol, pogostol, dan pogoston

dalam minyak nilam menunjukkan aktifitas antimikroba terhadap bakteri dan fungi periodontopatik (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001).

Laksmanahardja (2002) mengemukakan bahwa penyulingan daun nilam menghasilkan alkaloid, saponin, dan glikosida yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida dan pewangi ruangan. Menurut Grainge dan Ahmed (1987), senyawa tanin dan triterpenoid dapat berperan sebagai pestisida, sedangkan senyawa lainnya seperti saponin dan flavanoid dapat digunakan sebagai antibakteri dan antikanker.

Dalam minyak nilam juga terdapat sejumlah senyawa eugenol yang menurut penelitian Wiratno (1994), penggunaan eugenol 1% ternyata efektif membunuh serangga Stegobium paniceum dan berbeda nyata dengan kontrol (tanpa eugenol). Minyak nilam mampu menekan perkembangan Stegobium paniceum, hama gudang di Indonesia yang menyerang biji ketumbar dan jinten (Kalshoven, 1981). Minyak nilam menekan populasi Stegobium paniceum sebesar 24 – 42% selama 9 hari penyimpanan.

Nilam juga dimanfaatkan sebagai pengusir hama ngengat. Daun nilam telah digunakan di Indonesia untuk mengusir serangga dengan menempatkannya di antara pakaian dan dapat digunakan untuk mengusir Thysanura lepismatidae (Dummond, 1960). Bagian akar, batang, dan daun tanaman ini mampu membunuh

C. chinensis, Dysdercus koeningii, Sitophilus oryzae, Tribolium castaneum,

Stegobium paniceum, Crocidolomia binotalis, dan Spodoptera litura yang

merupakan hama tanaman, sedangkan daun dan pucuk nilam dapat digunakan untuk membasmi semut (Formicidae) dan kecoa (Blattidae). Minyak nilam juga mampu menolak beberapa serangga seperti kumbang jagung (Sitophilus zeamais), kumbang buah kering (Carcophilus sp.), kutu daun (Aphid sp.), nyamuk, dan Pseudalatia unipuncta (Soedibyo, 1998).

Penggunaan limbah nilam sebagai mulsa pada pertanaman lada dapat menekan populasi kumbang Lophobaris piperis (Wiratno et al., 1991). Tepung daun nilam yang dicampurkan dengan minyak nilam, serbuk gergaji, dan dekstrin dalam bentuk pelet dapat mengusir kumbang jagung Sitophilus zeamais (Mardiningsih et al., 1994). Menurut Undayasari (2002), ekstrak P. cablin di dalam heksana dan dietil eter mampu memberikan presentase penghambatan

aktivitas peneluran kumbang lebih dari 90%. Efektivitas limbah padat penyulingan nilam telah diuji pada tahun 2002 terhadap serangga pertanian, sebesar 20% ekstrak limbah penyulingan nilam memberikan mortalitas Heliopeltis dan Ostremia masing-masing 40% dan 30%.

E. METANOL

Metanol yang juga dikenal sebagai methyl alcohol, wood alcohol, wood

naphta, atau juga wood spirits adalah suatu zat kimia dengan rumus molekul

CH3OH (juga sering disebut MeOH).

Gambar 7. Rumus bangun metanol (wikipedia.org)

Metanol diproduksi secara alami melalui proses metabolisme anaerobik dari berbagai jenis bakteri yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita. Proses metabolisme tersebut menghasilkan fraksi sederhana dari uap metanol dalam atmosfer (atmospheric methanol).

Metanol bersifat biodegradable, dengan bantuan sinar matahari, atmospheric methanol akan teroksidasi oleh oksigen menjadi karbon dan air. Proses oksidasi tersebut dapat kita lihat pada gambar berikut.

2CH3OH + 3O2 2CO2 + 4H2O Gambar 8. Proses oksidasi metanol (wikipedia.org)

Dalam kondisi penyinaran oleh matahari pembakaran dari metanol tidak berwarna, namun pembakaran tersebut dapat dihentikan dengan menggunakan air. Metanol merupakan zat yang beracun bila dikonsumsi oleh manusia. Meminum 10 ml metanol akan mengakibatkan kebutaan, dan meminum sedikitnya 100 ml akan mengakibatkan kematian. Metanol adalah jenis alkohol yang paling sederhana, ringan, volatile, tidak berwarna, dan mudah terbakar. Metanol

memiliki aroma yang khas, hampir sama dengan etanol namun lebih ringan dan manis. (National Institute for Occupational Safety and Health, 2008).

Karena sifatnya yang berbahaya, metanol hanya digunakan sesekali saja dalam industri pembuatan etanol sebagai denaturant additive. Metanol sering juga disebut wood alcohol (alkohol kayu) karena metanol pertama kali diperoleh sebagai produk sampingan dari proses destilasi destruktif kayu.

Metanol merupakan pelarut yang biasa digunakan dalam laboratorium, khususnya untuk HPLC dan UV/VIS spectroscopy. Penggunaan terbesar dari metanol adalah untuk memproduksi bahan kimia lainnya seperti biodiesel, MTBE (methyl tert-butyl ether = gasoline additive), aerosol spray propellant, asam asetat, bahan tambahan LPG, antibeku (antifreeze), dan lain lain.

F. HEKSANA

Heksana merupakan hidrokarbon alkali dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3 atau C6H14. Heksana diperoleh dari hasil refinasi (pemurnian) minyak mentah (crude oil). Secara tepat, komposisi fraksinya bergantung pada sumber minyaknya (mentah atau telah berubah) dan kendala-kendala selama refinasi.

Gambar 9. Rumus bangun heksana (wikipedia.org)

Heksana adalah suatu isomer yang tidak mudah bereaksi dan kerap kali digunakan sebagai pelarut inert pada reaksi organik karena sifatnya yang sangat nonpolar. Pada suhu ruang (± 27 oC), heksana memiliki tekanan uap antara 160 hingga 180 mmHg. Heksana relatif tidak beracun bagi manusia meskipun dapat mengakibatkan efek bius yang rendah (Hathaway et al., 1991).

Heksana sering digunakan untuk campuran bahan bakar dan lem untuk sepatu, kulit, dan atap. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai pelarut guna mengekstrak minyak untuk memasak dan sebagai zat pembersih pada industri sepatu, furnitur, dan tekstil. Di laboratorium, heksana digunakan untuk

mengekstrak minyak, gemuk (grease) dari air dan tanah sebelum dilakukan determinasi dengan analisis grafimetrtik atau kromatografi gas (Nord, 2003).

G. POLYSORBATE 80

Polyoxyethylene sorbitan esters atau umumnya disebut polysorbates, adalah hasil pembentukan reaksi sorbitan esters dengan ethylene oxide. Sorbitan fatty-acid esters (sorbitan esters) adalah sorbitol turunan dari mono dan digliserida yang sangat larut dalam air. Sorbitan fatty-acid esters adalah emulsifier lipofilik yang dapat digunakan dalam emulsi yang lemah berikatan dengan air dan meningkatkan aerasi yang diinginkan (O’Brien, 2004).

Ada 3 tipe polysorbate yang diperbolehkan sebagai surfactant dalam jumlah terbatas yaitu polysorbate 60, polysorbate 65, dan polysorbate 80 (O’Brien, 2004). Angka 60 yang mengikuti bagian polyoxyethylene mengacu pada total angka dari gugus oxyethylene -(CH2CH2O)- yang terdapat di dalam molekul. Angka tersebut berhubungan dengan asam lemak (fatty acid) yang berasosiasi dengan bagian polyoxyethylene sorbitan pada molekul. Monolaurate ditandai oleh angka 20, monopalmitate ditandai oleh angka 40, monostearate dengan angka 60, dan monooleate dengan angka 80 (www.wikipedia.com, 2008).

Polysorbate adalah emulsifier hidrofilik yang memiliki kemampuan kuat

sebagai surface-active agents (surfactants) untuk mengurangi tegangan antarmuka dalam air, minyak, dan campuran lainnya untuk meningkatkan kualitas interaksi antar campuran, dan untuk menaikkan stabilitas emulsi (O’Brien, 2004).

Polysorbate 80 adalah jenis surfaktan nonionik dan emulsifier turunan dari

polyoxylated sorbitan dan asam oleat. Polysorbate 80 bersifat jernih, cairan

berwarna kuning dalam air. Gugus hidrofilik dalam senyawa ini adalah komponen

polyether yang dikenal sebagai polyoxyethylene yang merupakan polimer dari

ethylene oxide. Pada penamaan polysorbate, beberapa rancangan polysorbate lebih suka pada gugus lipofilik, dalam hal ini asam oleat. Polysorbate 80 sering digunakan untuk mengikat udara dalam campuran dan membuat struktur yang lebih kokoh (Chou, 2005).

Polysorbate 80 memiliki nilai HLB (Hidrofil Lipofil Balance) sebesar 15, sehingga dapat digunakan dalam jenis emulsi oil in water (O/W). Kisaran nilai

HLB untuk emulsi oil in water (O/W) berkisar dari 8-18. Nilai HLB pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul

emulsifier nonionik. Nilainya yang semakin tinggi menunjukkan bahwa sifat

emulsifier yang semakin suka pada air (hidrofilik). Kisaran nilai HLB pada

emulsifier nonionik berada pada kisaran nilai 1 - 20. Perubahan dari lipofilik ke

hidrofilik pada skala HLB ini terjadi pada nilai HLB 10 (Suryani et al., 2000). Tabel 5 berikut ini menjelaskan mengenai sifat-sifat molekul polysorbate 80.

Tabel 5. Sifat molekul polysorbate 80 Sifat Molekul Keterangan

Nama IUPAC Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate Nama lain Tween 80

Rumus molekul C64H124O26 Massa molar 1310 g/mol Densitas 1.06-1.09 g/mL Titik didih > 100 °C Kelarutan dalam air Sangat larut Kelarutan dalam

pelarut lain

Larut dalam ethanol, cottonseed oil, corn oil, ethyl acetate, methanol, toluene

Viskositas 300 - 500 centistokes (25 °C)

Tampilan Cairan kental berwarna kekuning-kuningan seperti resin dan agak transparan

(wikipedia.org) w + x + y + z = 20 O O O OH O OH O y x O w z O OH

H. PENGUJIAN KUALITAS INSEKTISIDA

Pengujian kualitas insektisida meliputi beberapa karakteristik, yaitu pH, berat jenis, kestabilan emulsi, dan uji busa (SNI 02-2722-1992). Pengujian efektifitasnya dilakukan dengan metode uji daya tolak (repelansi) berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga.

Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari produk yang dihasilkan. Informasi mengenai nilai pH ini dibutuhkan karena produk tersebut akan diaplikasikan pada kulit manusia. Produk yang diaplikasikan langsung pada permukaan kulit manusia harus memiliki tingkat keasaman yang aman. Produk yang memiliki pH terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi daya absorbsi kulit sehingga menyebabkan permukaan kulit teriritasi. Menurut Wasiaatmadja, (1997), pH untuk produk tersebut sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu 4.5 – 7.0.

Prinsip pengukuran bobot jenis adalah membandingkan bobot contoh terhadap bobot air pada suhu dan volume yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Suatu sistem emulsi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna, dan memiliki konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter yang penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al., 2000).

Pembentukan busa juga menjadi salah satu parameter kualitas dari suatu larutan emulsi. Larutan emulsi yang baik tidak menghasilkan banyak busa saat dilakukan pengocokan ataupun pengadukan, untuk itu perlu dilakukan uji busa. Pengamatan busa stabil yang terjadi dilakukan saat larutan tersebut dikocok.

Pengujian efikasi yang dilakukan adalah uji daya tolak (repelansi) terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pengujian ini dilakukan berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan kurungan yang berukuran panjang 50 cm, lebar 35 cm, dan tinggi 40 cm, dan berisi 25 ekor nyamuk dewasa (umur 2 – 5 hari, betina, belum menghisap darah). Kurungan terbuat dari kasa nylon berbingkai kawat besi.

III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

Secara umum, formulasi insektisida tersusun atas bahan aktif (active agents), bahan pembawa (carrier), dan bahan pembantu (adjuvant) (Djojosumarto, 2008). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan formula ini adalah minyak nilam sebagai bahan aktif insektisida (active agent), air sebagai bahan pembawa (carrier), dan bahan pembantu (adjuvant) yang terdiri dari metanol dan heksana sebagai pelarut (solvent); polysorbate 80 sebagai pembentuk emulsi (emulsifier), pembasah/perata (surfactant), dan perekat (sticker); vaseline sebagai dispersant agent, yaitu bahan pendispersi (propellant); dan defoaming agent sebagai penghambat pembentukan busa. Penelitian ini menggunakan minyak nilam hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiahtuti pada tahun 2008. Peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatan antinyamuk spray adalah neraca analitik, gelas ukur, tabung erlenmeyer, dan pengaduk.

Bahan tambahan yang digunakan pada pengujian kualitas formula adalah aquades. Untuk uji efikasi, dilakukan pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti di Laboratorium FKH. Penjelasan mengenai pemeliharaan nyamuk tersebut terdapat pada Lampiran 3. Bahan tambahan yang digunakan pada uji efikasi adalah telur nyamuk dan makanan nyamuk (ati ayam dan gula pasir). Sedangkan peralatan yang digunakan pada pengujian adalah ph-meter, neraca analitik, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, piknometer, tabung reaksi bertutup, stop watch, dan peralatan uji efikasi. Peralatan yang digunakan pada uji efikasi adalah tray, pipet plastik, kurungan nyamuk, bejana plastik, aspirator, stop watch, dan sangkar uji.

B. METODE PENELITIAN

Formulasi pada pembuatan antinyamuk spray dilakukan dengan metode trial and error menggunakan bahan-bahan yang sudah ditentukan sebelumnya dan dilakukan dalam dua tahap agar lebih mudah dan efisien.

Pembuatan L

Pembuatan P

1. arutan X

Larutan ini terdiri atas vaseline, polysorbate 80 (emulsifier), dan aquades. Diagram alir pembuatan larutan X dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.

Gambar 11. Diagram alir pembuatan Larutan X

Vaseline Polysorbate 80 Aquades

Homogenasi

Larutan X

2. roduk Antinyamuk Spray

Pembuatan larutan antinyamuk dilakukan dengan mencampurkan larutan X dengan bahan-bahan lainnya, yaitu minyak nilam, polysorbate 80, dan pelarut.

Gambar 12. Diagram alir proses produksi antinyamuk spray

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Machfudz (2008), penambahan Polysorbate 80 bergantung pada konsentrasi bahan aktif yang

Larutan X Pelarut

M. Nilam Polysorbate 80

Homogenasi

dicampurkan pada formula. Semakin besar konsentrasi bahan aktifnya maka jumlah Polysorbate 80 yang digunakan semakin bertambah pula.

Pengujian Pr

3. oduk Antinyamuk Spray

Untuk mengetahui kualitas formula insektisida dilakukan beberapa pengujian, yaitu pH, bobot jenis, kestabilan emulsi, dan uji busa (SNI 02-2722-1992). Deskripsi mengenai cara pengujian-pengujian tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengujian efektifitasnya (efikasi) dilakukan dengan metode uji daya tolak (repelansi) berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga. Penjelasan mengenai metode pengujian ini terdapat pada Lampiran 2.

Uji efikasi membutuhkan nyamuk Aedes aegypti sebagai target pengujian. Aedes aegypti diperoleh dengan cara pemeliharaan dari fase telur hingga menjadi nyamuk dewasa. Penjelasan mengenai cara pemeliharaan ini dijabarkan pada Lampiran 3.

4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dalam pembuatan formula ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dijadikan sebagai perlakuan adalah jenis pelarut, yaitu menggunakan pelarut metanol dan heksana. Pada formula dengan masing-masing pelarut diaplikasikan konsentrasi bahan aktif yang berbeda-beda dengan tiga taraf uji, yaitu 5%, 10%, dan 20%.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yijk= µ + Ai+Bj+ ABij+

ε

ijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, pada ulangan ke-k

Ai = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

A = Jenis pelarut: A1 = Pelarut metanol A2 = Pelarut heksana Bj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j

B = Konsentrasi Bahan Aktif: B1 = 5% B2 = 10% B3 = 20%

ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j ijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Berdasarkan rancangan percobaan di atas maka formulasi antinyamuk spray yang dibuat adalah sebagai berikut:

M5 = pelarut metanol + bahan aktif 5% M10 = pelarut metanol + bahan aktif 10% M20 = pelarut metanol + bahan aktif 20% H5 = pelarut heksana + bahan aktif 5% H10 = pelarut heksana + bahan aktif 10% H20 = pelarut heksana + bahan aktif 20%

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. FORMULASI

Formulasi antinyamuk spray ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap yang pertama adalah pembuatan larutan X. Neraca massa dari pembuatan larutan X tersebut diuraikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Neraca massa pembuatan larutan X

Tahap kedua adalah tahap pembuatan formulanya. Dari kedua perlakuan yang digunakan pada formulasi antinyamuk spray ini, dihasilkan 6 macam formula. Selengkapnya dijelaskan pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Hasil formulasi antinyamuk spray No. Kode Formula Jenis Pelarut Kons. Minyak Nilam Kons. Pelarut Kons. Emulsifier Kons. Larutan X Total 1. M5 Metanol 5% 85% 5% 5% 100% 2. M10 Metanol 10% 70% 10% 10% 100% 3. M20 Metanol 20% 40% 20% 20% 100% 4. H5 Heksana 5% 85% 5% 5% 100% 5. H10 Heksana 10% 70% 10% 10% 100% 6. H20 Heksana 20% 40% 20% 20% 100%

Penampakan dari hasil formula tersebut diperlihatkan pada Gambar 14 berikut. Polysorbate 80 Vaseline Aquades 2.5% 36.5% 60% Homogenasi Larutan X 100%

M5 M10 M20 H10 H20 H10 Gambar 14. Hasil formulasi antinyamuk spray

B. UJI KUALITAS FORMULA 1. pH

Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari produk yang dihasilkan. Informasi mengenai nilai pH ini dibutuhkan karena produk tersebut akan diaplikasikan pada kulit manusia. Produk yang diaplikasikan langsung pada permukaan kulit manusia harus memiliki tingkat keasaman yang aman.

Produk yang memiliki pH terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi daya absorbsi kulit sehingga menyebabkan permukaan kulit teriritasi. Menurut Wasiaatmadja, (1997), pH untuk produk tersebut sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu 4.5 – 7.0.

Nilai pH rata-rata dari produk antinyamuk yang dihasilkan berdasarkan masing-masing formula yang dibuat dapat dilihat di Gambar 15.

Gambar 15. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap pH antinyamuk spray

Berdasarkan grafik diatas dapat kita lihat bahwa pH pada formula M5 (pelarut metanol; minyak nilam 5%) dan H10 (pelarut heksana; minyak nilam 10%) memiliki nilai di bawah 4.5. Meskipun tidak terlalu berselisih jauh dari nilai pH yang disarankan, kedua formula tersebut tidak memenuhi syarat untuk dijadikan produk yang diterapkan secara langsung pada kulit manusia.

Keempat formula yang lain memiliki nilai pH antara 4.5 sampai 7. Hal ini menunjukkan bahwa formula tersebut dapat digolongkan pada formula yang baik berdasarkan nilai pH. Begitu juga dengan Sofell Spray (SS) sebagai produk pembanding yang memiliki nilai pH 4.73, memenuhi syarat yang dianjurkan sebagai produk yang diterapkan secara langsung pada kulit manusia.

Formula dengan pelarut metanol memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan formula dengan pelarut heksana. Hal ini disebabkan karena metanol memiliki sifat yang lebih basa daripada heksana. Bila dilihat dari struktur kimianya, metanol cenderung untuk memiliki sifat yang basa karena mengandung gugus OH-. Sedangkan heksana tidak memiliki gugus OH -(Jacobs, 1997).

Pada formula yang menggunakan pelarut metanol, semakin besar konsentrasi bahan aktif yang digunakan menyebabkan nilai pH-nya semakin

tinggi (basa). Dan pada formula yang menggunakan pelarut heksana, nilai pH-nya tidak beraturan (tidak ada trend). Konsentrasi mipH-nyak nilam yang digunakan tidak mempengaruhi nilai pH dari produk formula.

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap nilai pH (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (0.6634 < 5.99). Perbedaan konsentrasi minyak nilam juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (1.0472 < 5.14). Interaksi antara penggunaan pelarut dan perbedaan konsentrasi minyak nilam juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (1.5442 < 5.14). Analisis ragam tersebut dilakukan pada taraf nyata α = 0.05.

2. Bobot Jenis

Bobot jenis juga merupakan salah satu syarat mutu yang menjadi parameter pada pembuatan antinyamuk. Prinsip pengukuran bobot jenis adalah membandingkan bobot contoh terhadap bobot air pada suhu dan volume yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Nilai bobot jenis rata-rata dari produk antinyamuk berdasarkan masing-masing formula yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap bobot jenis antinyamuk spray

Nilai bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI untuk produk nonaerosol adalah 0.7 sampai dengan 1.2 g/ml. Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa

Dokumen terkait