• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi antinyamuk spray menggunakan bahan aktif minyak nilam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi antinyamuk spray menggunakan bahan aktif minyak nilam"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI ANTI NYAMUK SPRAY

MENGGUNAKAN BAHAN AKTIF MINYAK NILAM

SKRIPSI

ARIEF BUDI PRASETYO F34104107

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

FORMULASI ANTI NYAMUK SPRAY

MENGGUNAKAN BAHAN AKTIF MINYAK NILAM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

ARIEF BUDI PRASETYO F34104107

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : Formulasi Antinyamuk Spray Menggunakan Bahan Aktif

Minyak Nilam

Nama : Arief Budi Prasetyo

NRP : F34104107

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Hj. Mulyorini R., MS. Dr. drh. Upik K. Hadi, MS. NIP. 19640810 198803 2 002 NIP. 19581023 198403 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Hj. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001

(4)

ARIEF BUDI PRASETYO. F34104107. Formulasi Antinyamuk Spray Menggunakan Bahan Aktif Minyak Nilam. Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Upik Kesumawati Hadi. 2011

RINGKASAN

Nyamuk mempunyai peranan dalam kehidupan manusia karena dapat menjadi vektor utama suatu penyakit. Salah satunya adalah Aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit demam berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever). Insektisida kimia sintetik sering digunakan untuk menghindari gigitan nyamuk. Penggunaan insektisida tersebut dapat menyebabkan vektor menjadi resisten dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Insektisida nabati merupakan alternatif yang ramah lingkungan dan relatif tidak menyebabkan resistensi. Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu jenis tanaman minyak atsiri dapat digunakan sebagai insektisida. Mengingat manfaatnya sebagai pengendali populasi serangga, maka minyak nilam mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan baku insektisida.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula antinyamuk spray dengan bahan aktif minyak nilam yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta menggali potensi yang dimiliki minyak nilam sebagai bahan aktif pembuatan insektisida nabati pengganti insektisida kimia berbahaya. Formulasi pada pembuatan antinyamuk spray dilakukan dengan metode trial and error menggunakan bahan-bahan yang sudah ditentukan sebelumnya. Rancangan percobaan dalam pembuatan formula ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dijadikan sebagai perlakuan adalah jenis pelarut, yaitu menggunakan pelarut metanol dan heksana. Pada formula dengan masing-masing pelarut diaplikasikan konsentrasi bahan aktif yang berbeda-beda dengan tiga taraf uji, yaitu 5%, 10%, dan 20%. Hasilnya adalah 6 macam formula, yaitu: M5 (pelarut metanol, konsentrasi minyak nilam 5%), M10 (pelarut metanol, konsentrasi minyak nilam 10%), M20 (pelarut metanol, konsentrasi minyak nilam 20%), H5 (pelarut heksana, konsentrasi minyak nilam 5%), H10 (pelarut heksana, konsentrasi minyak nilam 10%), dan H20 (pelarut heksana, konsentrasi minyak nilam 20%).

Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan pada formula tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Formula M5 dan H10 tidak sesuai dengan nilai pH yang dianjurkan. Jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai bobot jenis. Perbedaan yang terbesar terjadi antara formula M20 dan H5. Formula H5 memiliki bobot jenis di luar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh SNI. Perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan tidak berpengaruh signifikan terhadap persentase kestabilan emulsi pada formula. Semua formula memiliki kestabilan emulsi yang sangat baik dengan persentase berkisar antara 99.47% hingga 99.84%. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan busa pada larutan.

(5)

ditetapkan SNI untuk produk antinyamuk yang menggunakan bahan aktif kimiawi adalah 80%. Efektifitas penolakan dari antinyamuk yang dihasilkan pada formulasi ini berada pada kisaran 53.8% hingga 84.78%. Hasil tersebut dapat dinyatakan baik karena salah satu formulanya dapat memenuhi syarat tersebut mengingat bahwa antinyamuk ini menggunakan bahan aktif alami. Analisis ragam yang dilakukan terhadap efektifitas antinyamuk spray menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas penolakannya.

(6)

ARIEF BUDI PRASETYO. F34104107. Anti-mosquito Spray Formulation Using Patchouli Oil Active Agent. Under the guidance of Mulyorini Rahayuningsih and Upik Kesumawati Hadi. 2011

SUMMARY

Mosquitoes have a role in human life because it can be a major vector of a disease. One of them is the Aedes aegypti as the vector of dengue fever (Dengue Haemorrhagic Fever). Synthetic chemical insecticides are often used to avoid mosquito bites. The use of these insecticides can cause the vectors become resistant, and have a negative impact on the environment. Botanical insecticide is environmentally friendly and relatively does not cause resistance. Patchouli (Pogostemon cablin Benth) is one type of essential oils plant which can be used as an insecticide. Given its benefits as controlling insect populations, the patchouli oil has a good prospect to be developed as one of insecticide raw materials.

This study aims to obtain anti-mosquito spray formula with patchouli oil as active agent in accordance with the Indonesian National Standard (SNI), and explore the potential of patchouli oil as active agent of insecticides, to substitute the hazardous chemical insecticides. Formulation on the making of this anti-mosquito spray was done by trial and error method, using materials that have been predetermined. The experimental design in the making of this formula is Completely Randomized Design (Rancangan Acak Lengkap) with two factors and two replications. Factor that serve as the treatment is a type of solvent, using a solvent of methanol and hexane. Into the formula with the respective solvent concentrations of active ingredient applied different tests with three levels, namely 5%, 10%, and 20%. The result is 6 kinds of formula, namely: M5 (methanol solvent, patchouli oil concentration 5%), M10 (methanol solvent, patchouli oil concentration 10%), M20 (methanol solvent, patchouli oil concentration 20%), H5 (hexane solvent, patchouli oil concentration 5%), H10 (hexane solvent, patchouli oil concentration 10%), and H20 (hexane solvent, patchouli oil concentration 20%).

Analysis of variance showed that differences in the type of solvent and patchouli oil concentration used in the formula did not significantly affect the pH value. Formula M5 and H10 do not comply with the recommended pH value. Solvent type and patchouli oil concentration that was used give a significant difference to the value of specific gravity. The biggest difference is between formula and H5 M20. The specific gravity of formula H5 is at the outside of the conditions set by SNI. The different type of solvent and patchouli oil concentration that was used does not have a significant influence to the percentage of emulsion stability on the formula. All formulas have very good emulsion stability with the percentage ranges from 99.47% to 99.84%. The analysis result also showed that the difference in various types of solvent and patchouli oil concentration does not have a significant influence to the formation of foam in the solution.

(7)

anti-mosquito generated in this formulation is in the range 53.8% to 84.78%. These results can be expressed either as a formula to meet these requirements considering that this anti-mosquito using natural active ingredients. Analysis of variance conducted on the anti-mosquito spray effectiveness showed that difference in the type of solvent and patchouli oil concentration that was used does not have a significant influence on the rejection effectiveness.

(8)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Antinyamuk Spray Menggunakan Bahan Aktif Minyak Nilam adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak di terbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Yang membuat pernyataan

(9)

© Hak cipta milik Arief Budi Prasetyo, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(10)

BIODATA PENULIS

Arief Budi Prasetyo dilahirkan di Cirebon pada tanggal 21 Maret 1986 sebagai anak kedua dari bapak Ir. Kurnianto M.M (Alm) dan ibu drh. Uswatun Chasanah. Tahun 2004 lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor setelah sebelumnya bersekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bandar Lampung pada Tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor. Melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama kuliah penulis pernah menjadi Ketua Scientist And Researcher Community (SRC) tahun 2006-2007, Staff Tabloid MIND Jurusan Teknologi

Indistri Pertanian (TIN) tahun 2005-2006, serta Anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) Fakultas Teknologi Pertanian IPB tahun 2005-sekarang. Kegiatan praktek lapangan penulis dilaksanakan di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Bandung untuk mempelajari teknologi proses produksi dalam pengolahan teh hitam.

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi, diantaranya: - Ibu dan adik-adik atas do’a, kasih sayang, dan semangat yang telah diberikan

kepada penulis.

- Dr. Ir. Hj. Mulyorini Rahayuningsih, MS. dan Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. sebagai pembimbing penelitian atas arahan, bimbingan, dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

- Dr. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan.

- Dr. Hj. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Nastiti Siswi Indrasti yang telah memberikan saran dan arahan selama pelaksanaan penelitian.

- Ibu Ega, Ibu Rini dan seluruh laboran TIN yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.

(12)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Formulasi Antinyamuk Spray Menggunakan Bahan Aktif Minyak Nilam” ini disusun melalui penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, di antaranya Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing serta memberikan saran dan semangat kepada penulis selama ini, Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S. sebagai pembimbing penelitian atas arahan, bimbingan, dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Ibu dan adik-adikku atas dukungan semangat dan kasih sayang, serta saudara-saudara TIN 41 atas semangat dan kebersamaannya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dan kekhilafan dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat kepada penulis serta pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, April 2011

(13)

DAFTAR ISI

2. Pembuatan Produk Antinyamuk Spray ... 22

3. Pengujian Produk Antinyamuk Spray ... 23

(14)

4. Pembentukan Busa ... 32

C. UJI EFIKASI ... 33

D. SKOR KINERJA FORMULA ... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

A. KESIMPULAN ... 39

B. SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sifat fisik patchouli alcohol (C15H26O) ... 9

Tabel 2. Komponen-komponen minor yang terkandung dalam minyak nilam ... 10

Tabel 3. Syarat mutu minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006 ... 10

Tabel 4. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan ... 12

Tabel 5. Sifat molekul polysorbate 80 ... 18

Tabel 6. Hasil formulasi antinyamuk spray ... 25

Tabel 7. Hasil pengujian efektifitas antinyamuk spray ... 34

Tabel 8. Hasil total skor kinerja dari keseluruhan formula ... 37

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (L) ... 4

Gambar 2. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti (L) ... 5

Gambar 3. Tanaman nilam Pogostemon cablin Benth ... 6

Gambar 4. Minyak nilam ... 8

Gambar 5. Rumus bangun patchouli alcohol ... 9

Gambar 6. Rumus kimia patchouli alcohol ... 9

Gambar 7. Rumus bangun metanol ... 15

Gambar 8. Proses oksidasi metanol ... 15

Gambar 9. Rumus bangun heksana ... 16

Gambar 10. Struktur Kimia Polysorbate 80 ... 18

Gambar 11. Diagram alir pembuatan Larutan X ... 22

Gambar 12. Diagram alir proses produksi antinyamuk spray ... 22

Gambar 13. Neraca massa pembuatan Larutan X ... 25

Gambar 14. Hasil formulasi antinyamuk spray ... 26

Gambar 15. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap pH antinyamuk spray ... 27

Gambar 16. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap bobot jenis antinyamuk spray ... 28

Gambar 17. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap stabilitas emulsi antinyamuk spray ... 31

Gambar 18. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap pembentukan busa antinyamuk spray ... 32

Gambar 19. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap efektifitas antinyamuk spray ... 34

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis antinyamuk spray ... 46 Lampiran 2. Prosedur analisis efektifitas penolakan antinyamuk spray

terhadap nyamuk Aedes aegypti ... 48 Lampiran 3. Pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti ... 49 Lampiran 4. Rekapitulasi data hasil analisis antinyamuk spray ... 50 Lampiran 5. Analisis ragam (ANOVA) formula antinyamuk terhadap

nilai pH ... 53 Lampiran 6. Analisis ragam (ANOVA) formula antinyamuk terhadap

bobot jenis ... 54 Lampiran 7. Analisis ragam (ANOVA) formula antinyamuk terhadap

nilai kestabilan emulsi ... 58 Lampiran 8. Analisis ragam (ANOVA) formula antinyamuk terhadap

volume pembentukan busa stabil ... 59 Lampiran 9. Analisis ragam (ANOVA) formula antinyamuk terhadap

(18)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nyamuk merupakan serangga yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia karena nyamuk dapat menjadi vektor utama suatu penyakit. Satu di antaranya adalah Aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit demam berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever) yang dapat menyebabkan kematian pada manusia. Selain itu, Aedes aegypti juga merupakan vektor penyakit demam kuning (Yellow Fever), Equin Encephalitis, Enzootic Hepatitis, dan vektor parasit darah pada burung dan mamalia (Cheng, 1973 dan Christopher, 1960).

Di Indonesia, penyakit demam berdarah pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Dalam waktu yang relatif singkat penyakit demam berdarah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia (Soedarmo dan Soemarno, 1988). Penyakit ini hanya ditularkan melalui gigitan nyamuk betina dewasa.

Berbagai upaya dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk, satu di antaranya adalah dengan menggunakan insektisida. Insektisida yang sering digunakan adalah insektisida kimia sintetik, namun penggunaan insektisida tersebut dapat menyebabkan vektor menjadi resisten. Insektisida yang semula efektif untuk membunuh serangga pada dosis tertentu menjadi tidak ampuh lagi terhadap populasi yang sama. Penggunaan insektisida kimia yang intensif dapat menimbulkan dampak yang merugikan seperti pencemaran lingkungan. Residunya sulit terdegradasi sehingga dapat meracuni dan membunuh manusia, hewan, serta serangga lain yang bukan sasaran.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mencari insektisida alternatif yang ramah lingkungan dan relatif tidak menyebabkan resistensi. Insektisida yang dapat memenuhi kriteria tersebut antara lain adalah insektisida yang berasal dari tumbuhan, atau yang biasa disebut insektisida nabati. Insektisida nabati mudah terurai dalam lingkungan sehingga tidak menimbulkan residu berat yang berbahaya (Prijono dan Triwidodo, 1993).

(19)

nabati yang diketahui mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai pengendali hama dan serangga ialah dari famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae, Zingiberaceae, Malvaceae, Aristolochiaceae, dan Solanacecae (Jacobson, 1989; Chapman, 1997; Dadang et al., 1999).

Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman minyak atsiri dari famili Labiatae yang telah dikembangkan di Indonesia. Pada mulanya minyak nilam hanya digunakan sebagai bahan pengikat dalam industri minyak wangi, namun kenyataannya minyak nilam dapat juga digunakan sebagai bahan baku insektisida. Dahulu daun nilam banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengusir serangga dengan cara menempatkannya di antara pakaian (Sastroamidjojo, 1967). Sebelumnya Dummond (1960) mengatakan bahwa ampas daun sisa penyulingan nilam dapat digunakan sebagai insektisida, terutama untuk mengusir ngengat kain (Thysanura). Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa ternyata minyak nilam dapat digunakan sebagai pengendali populasi serangga karena bersifat sebagai bahan penolak dan penghambat populasi serangga (repellant dan antifeedant).

Mengingat manfaatnya sebagai pengendali populasi serangga, maka minyak nilam mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan baku insektisida, terutama serangga nyamuk yang sering kita jumpai sebagai pembawa berbagai macam penyakit bagi manusia.

B. TUJUAN

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. NYAMUK Aedes aegypti (L)

Nyamuk adalah serangga berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian mulut untuk menusuk kulit atau menghisap darah. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah melewati suatu proses evolusi yang panjang. Oleh karena itu, insekta ini memiliki sifat yang spesifik dan sangat adaptif tinggal bersama manusia. Nyamuk tersebar di seluruh dunia mulai dari kutub sampai ke daerah tropis, dapat dijumpai pada ketinggian 5000 m di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1500 m di bawah permukaan tanah pada daerah pertambangan (Hadi dan Koesharto, 2006).

Di seluruh dunia, dilaporkan terdapat sekitar 3100 spesies dari 34 genus. Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia, Armigeres, Haemagogus, Sabethes, Culiseta,

dan Psorophora adalah genus nyamuk yang menghisap darah manusia dan

berperan sebagai vektor. Di Indonesia terdapat 457 spesies nyamuk, di antaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, dan 8 Mansonia. Sedangkan sisanya tidak begitu mengganggu (Hadi dan Koesharto, 2006).

Nyamuk memiliki kecenderungan untuk tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap, manusia, serta hewan. Hal ini disebabkan oleh perangsangan bau dari zat-zat yang dikeluarkan oleh hewan ataupun manusia, terutama CO2 dan beberapa asam amino. Nyamuk juga senang berada pada lokalisasi yang dekat pada suhu hangat serta lembab (Hadi dan Koesharto, 2006).

Nyamuk yang berada di sekeliling rumah kita tumbuh dan berkembang dalam genangan air. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 - 3 hari pada suhu 30 oC, tetapi membutuhkan 7 hari pada 16 o

(21)

memakan darah manusia atau hewan untuk memproduksi telur (Hadi dan Koesharto, 2006).

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (L) (wikipedia.org)

Klasifikasi dari Aedes aegypti (L) menurut Christopher (1960) adalah: Kingdom : Animal

Filum : Invertebrata Kelas : Insekta Ordo : Diptera

Subordo : Nematocera Famili : Culicidae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (L).

(22)

Gambar 2. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti (L) (nkoguam.com)

Nyamuk Aedes aegypti dapat berperan sebagai vektor penyakit terhadap manusia. Di antaranya adalah demam berdarah dan cikungunya yang telah sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita.

B. NILAM Pogostemon cablin Benth

Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman daerah tropis. Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama dilem atau nilam (Green Cottage and Electric Soap, 2000). Tanaman ini termasuk famili Labiatae, dan merupakan tumbuhan semak dengan tinggi 0.3 sampai 1.3 meter. Nilam dapat tumbuh dimana saja, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (0 – 1200 m dpl), tetapi ia akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 10 – 400 m dpl (Suyono, 2001). Di alam bebas, tanaman ini tumbuh tidak teratur dan cenderung mengarah ke arah datangnya sinar matahari.

(23)

Gambar 3. Tanaman nilam Pogostemon cablin Benth (BALITRO, 2008) Menurut Backer dan Van der Brink (1963), secara umum tanaman nilam memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Labiatae Genus : Pogostemon

Spesies : Pogostemon cablin Benth

Menurut Guenther (1987), tanaman nilam terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

1. P. cablin. Nilam jenis ini terdapat di Filipina, Brazil, Malaysia, Paraguay,

Madagaskar, dan Indonesia. Daunnya agak membulat seperti jantung, pada bagian bawah terdapat bulu-bulu rambut sehingga warnanya tampak pucat. Nilam jenis ini jarang sekali berbunga dan memiliki kadar munyak yang tinggi (2.5 – 5.0%) dengan komposisi yang baik.

2. P. heyneanus. Berasal dari India dan sering tumbuh liar di pekarangan rumah

(24)

tipis daripada nilam jenis P. cablin dengan ujung daun agak runcing. Nilam jenis ini memiliki bunga dan berkadar minyak rendah (0.5 – 1.5%) dengan komposisi minyak yang kurang baik.

3. P. hortensis Packer. Nilam jenis ini hanya terdapat di daerah Banten dan

bentuknya mirip dengan nilam jawa, namun tidak berbunga. Nilam ini dapat digunakan sebagai pengganti sabun sehingga disebut sebagai nilam sabun. Bentuknya hampir sama dengan P. heyneanus. Daunnya tipis dengan ujung agak runcing dan tidak berbunga. Kadar minyaknya rendah (0.5 – 1.5%) dengan komposisi minyak yang kurang baik.

Nilam jenis P. cablin banyak dibudidayakan untuk produksi minyak nilam. Nilam jenis ini sudah dikenal sejak lebih dari seratus tahun lalu meskipun perkembangannya sangat lambat. Di Indonesia, nilam jenis ini dibudidayakan di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara (Tapanuli Utara dan Simalungun), Aceh (Tapak Tuan dan Gayo), Sumatera Barat (Pasaman), Jawa Barat (Sukabumi, Kuningan, dan Garut), Jawa Tengah (Rempoah dan Batu Raden), serta Yogyakarta (Sleman) (Webmaster, 2000).

C. MINYAK NILAM

Nilam merupakan salah satu dari 150 – 200 spesies tanaman penghasil minyak atsiri di dunia (Guenther, 1987). Minyak atsiri atau minyak eteris adalah minyak yang mudah menguap, dan dapat diperoleh dari tanaman dengan cara penyulingan. Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam atau lebih campuran berdasarkan perbedaan titik uapnya (Ketaren, 1985).

(25)

Gambar 4. Minyak nilam (Arif I. 2009)

Semua bagian tanaman nilam (akar, batang, dan daun) mengandung minyak atsiri, dengan kandungan yang terbanyak terdapat pada daun muda (ketiga daun dari pucuk). Daun nilam (P. cablin) menghasilkan minyak esensial penting, yaitu patchouli oil. Komposisi penyusun minyak nilam terdiri dari komponen utama (major constituen) dan komponen kecil (minor constituen). Komponen utamanya adalah patchouli alcohol (patchoulol) yang merupakan senyawa seskuiterpen trisiklis. Komponen utama inilah yang biasanya digunakan sebagai pengikat (fixative) pada industri parfum. Komponen lainya antara lain adalah patchouli kamper, azulene, eugenol, benzeldehida, sinamaldedhida, kadinena, dan

senyawa terpenoid yang tercampur dengan alkohol, aldehida, keton, ester-ester yang memberi aroma khas nilam, dan senyawa seskuiterpen lainnya (Burkill, 1935).

Komponen penyusun yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah patchouli alcohol yang kadarnya berkisar antara 20% hingga 40% (Guenther,

(26)

Tabel 1. Sifat fisik patchouli alcohol (C15H26O) Sifat fisik Nilai Komposisi pada daun (% (b/b) 20 - 40

Bobot jenis (20/4 oC) 1,0284

Berat molekul 222,37

Putaran optik -97o42’

Indeks bias (20 oC) 1,5245

Titik didih (8 mmHg) 140 oC (Guenther, 1987; Nagasampigi, 2001)

HO

Gambar 5. Rumus bangun patchouli alcohol (wikipedia.org)

- CH2 – C = CH – CH2 – CH2 – C = CH – CH2 – CH2 – C = CH – CH2 -

CH3 CH3 CH3

Gambar 6. Rumus kimia patchouli alcohol (wikipedia.org)

(27)

Tabel 2. Komponen-komponen minor yang terkandung dalam minyak nilam Pogostol 2 274.43 208.34 C14H24O -Cadinene 2 246.84 190.32 C14H22 Nor-Patchoulenol 1 168.88 208.34 C14H24O Caryophylene Oxide 1 243.18 192.30 C13H20O Nortetra-patchoulenol 0.001 268.88 208.35 C14H24O (Nagasampigi, 2001)

Syarat mutu karakteristik minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat mutu minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Warna - Kuning muda – coklat kemerahan

2. Bobot jenis (25 oC/25 oC) - 0.950 – 0.975

3. Indeks bias 25 oC (nD20) - 1.507 – 1.515

4. Kelarutan dalam alkohol 90%

(20 oC ± 3 oC)

- Larutan jernih atau opalensi ringan

dalam perbandingan volume 1 : 10

5. Bilangan asam - Maks. 8.0

(28)

Penelitian ini menggunakan minyak nilam hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiahtuti (2008). Penyulingan pada penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode uap dan air (water and steam distillation). Selain itu, sistem peningkatan tekanan secara bertahap dilakukan

guna meningkatkan efisiensi kerja dari alat penyulingan. Tekanan yang diberikan adalah sebesar 0.5 bar, 1 bar, dan 1.5 bar selama 6 jam.

Penyulingan ini dilakukan pada skala Industri Kecil Menengah (IKM) dan skala prototipe. Kadar patchouli alcohol yang dihasilkan pada penyulingan skala IKM adalah 35.54%, sedangkan skala prototipe menghasilkan patchouli alcohol sebanyak 34.45%.

Penyulingan dilakukan menggunakan daun dan ranting nilam dengan bobot 154.5 kg (skala IKM) dan 120 kg (skala prototipe). Rendemen yang dihasilkan adalah sebesar 2.3% (basis kering) untuk penyulingan skala IKM dan 2.5% (basis kering) untuk penyulingan skala prototipe (Widiahtuti, 2008).

(29)

Tabel 4. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan

No. Parameter Skala IKM Skala

Prototipe SNI 06-2385-2006

1. Warna Kuning

kecoklatan

Kuning kecoklatan

Kuning muda – coklat kemerahan 7. Kelarutan dalam

alkohol 90% (20 oC ± 3 oC)

1 : 8.5 1 : 3.5

Larutan jernih atau opalensi ringan dalam perbandingan

volume 1 : 10 8. Kadar patchouli

alcohol (% PA) 35.54 34.45 Min. 30

(Widiahtuti, 2008)

D. MINYAK NILAM SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas. Jenis insektisida ini mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan hewan (Kardinan, 2002). Beberapa keuntungan yang didapat dengan menggunakan insektisida nabati antara lain adalah tidak mencemari lingkungan, lebih spesifik, residunya relatif pendek, dan hama tidak mudah berkembang menjadi resisten (Mardiningsih et al., 1994).

(30)

belum berhasil menemukan teknologi untuk memberantas virus penyebab demam berdarah. Karena itu, upaya pemberantasan DHF ditujukan terutama kepada pengendalian vektornya (Anonim, 1988).

Pengendalian dengan tujuan memutus rantai siklus hidup vektor, baik pada tingkat larva maupun pada tingkat dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara kimia, biologi, dan ekologi (Putra, 1995). Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat penolak (repelling agents), pemikat (attractants agents), dan senyawa yang dapat mengendalikan

perilaku (behaviour controlling compounds) (Soemartono, 1984). Minyak nilam memiliki bahan aktif seskuiterpen yang dapat berperan sebagai repellant dan penghambat perkembangbiakan nyamuk. Prinsip kerja dari zat penolak (repelling agents) adalah menolak kehadiran nyamuk yang akan menghisap atau meletakkan

telur namun tidak membunuh nyamuk tersebut (Putra, 1995).

Pengendalian populasi serangga dengan bahan aktif dari tanaman merupakan metode baru yang sedang dikembangkan dewasa ini. Grainge dan Ahmed (1987) menyatakan bahwa senyawa pada tanaman yang bertanggung jawab terhadap efek pestisida adalah saponin, tanin, flavanoid, triterpenoid, sulfur, kumarin, dan steroid. Lebih dari seribu jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida, diantaranya adalah nilam yang cukup potensial.

Peranan minyak nilam sebagai bahan baku insektisida didasarkan atas keberadaan senyawa metabolit sekunder di dalam vakuola yang bersifat merangsang kemoreseptor serangga sehingga tidak disukai. Adanya bahan aktif dalam tanaman nilam menyebabkan tanaman ini tahan terhadap P. brachyurus dengan mekanisme ketahanan terjadi sebelum tanaman terinfeksi (Mustika et al., 2002).

(31)

dalam minyak nilam menunjukkan aktifitas antimikroba terhadap bakteri dan fungi periodontopatik (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001).

Laksmanahardja (2002) mengemukakan bahwa penyulingan daun nilam menghasilkan alkaloid, saponin, dan glikosida yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida dan pewangi ruangan. Menurut Grainge dan Ahmed (1987), senyawa tanin dan triterpenoid dapat berperan sebagai pestisida, sedangkan senyawa lainnya seperti saponin dan flavanoid dapat digunakan sebagai antibakteri dan antikanker.

Dalam minyak nilam juga terdapat sejumlah senyawa eugenol yang menurut penelitian Wiratno (1994), penggunaan eugenol 1% ternyata efektif membunuh serangga Stegobium paniceum dan berbeda nyata dengan kontrol (tanpa eugenol). Minyak nilam mampu menekan perkembangan Stegobium paniceum, hama gudang di Indonesia yang menyerang biji ketumbar dan jinten

(Kalshoven, 1981). Minyak nilam menekan populasi Stegobium paniceum sebesar 24 – 42% selama 9 hari penyimpanan.

Nilam juga dimanfaatkan sebagai pengusir hama ngengat. Daun nilam telah digunakan di Indonesia untuk mengusir serangga dengan menempatkannya di antara pakaian dan dapat digunakan untuk mengusir Thysanura lepismatidae (Dummond, 1960). Bagian akar, batang, dan daun tanaman ini mampu membunuh

C. chinensis, Dysdercus koeningii, Sitophilus oryzae, Tribolium castaneum,

Stegobium paniceum, Crocidolomia binotalis, dan Spodoptera litura yang

merupakan hama tanaman, sedangkan daun dan pucuk nilam dapat digunakan untuk membasmi semut (Formicidae) dan kecoa (Blattidae). Minyak nilam juga mampu menolak beberapa serangga seperti kumbang jagung (Sitophilus zeamais), kumbang buah kering (Carcophilus sp.), kutu daun (Aphid sp.), nyamuk, dan Pseudalatia unipuncta (Soedibyo, 1998).

(32)

aktivitas peneluran kumbang lebih dari 90%. Efektivitas limbah padat penyulingan nilam telah diuji pada tahun 2002 terhadap serangga pertanian, sebesar 20% ekstrak limbah penyulingan nilam memberikan mortalitas Heliopeltis dan Ostremia masing-masing 40% dan 30%.

E. METANOL

Metanol yang juga dikenal sebagai methyl alcohol, wood alcohol, wood

naphta, atau juga wood spirits adalah suatu zat kimia dengan rumus molekul

CH3OH (juga sering disebut MeOH).

Gambar 7. Rumus bangun metanol (wikipedia.org)

Metanol diproduksi secara alami melalui proses metabolisme anaerobik dari berbagai jenis bakteri yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita. Proses metabolisme tersebut menghasilkan fraksi sederhana dari uap metanol dalam atmosfer (atmospheric methanol).

Metanol bersifat biodegradable, dengan bantuan sinar matahari, atmospheric methanol akan teroksidasi oleh oksigen menjadi karbon dan air.

Proses oksidasi tersebut dapat kita lihat pada gambar berikut.

2CH3OH + 3O2 2CO2 + 4H2O

Gambar 8. Proses oksidasi metanol (wikipedia.org)

(33)

memiliki aroma yang khas, hampir sama dengan etanol namun lebih ringan dan manis. (National Institute for Occupational Safety and Health, 2008).

Karena sifatnya yang berbahaya, metanol hanya digunakan sesekali saja dalam industri pembuatan etanol sebagai denaturant additive. Metanol sering juga disebut wood alcohol (alkohol kayu) karena metanol pertama kali diperoleh sebagai produk sampingan dari proses destilasi destruktif kayu.

Metanol merupakan pelarut yang biasa digunakan dalam laboratorium, khususnya untuk HPLC dan UV/VIS spectroscopy. Penggunaan terbesar dari metanol adalah untuk memproduksi bahan kimia lainnya seperti biodiesel, MTBE (methyl tert-butyl ether = gasoline additive), aerosol spray propellant, asam asetat, bahan tambahan LPG, antibeku (antifreeze), dan lain lain.

F. HEKSANA

Heksana merupakan hidrokarbon alkali dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3 atau C6H14. Heksana diperoleh dari hasil refinasi (pemurnian) minyak mentah (crude oil). Secara tepat, komposisi fraksinya bergantung pada sumber minyaknya (mentah atau telah berubah) dan kendala-kendala selama refinasi.

Gambar 9. Rumus bangun heksana (wikipedia.org)

Heksana adalah suatu isomer yang tidak mudah bereaksi dan kerap kali digunakan sebagai pelarut inert pada reaksi organik karena sifatnya yang sangat nonpolar. Pada suhu ruang (± 27 oC), heksana memiliki tekanan uap antara 160 hingga 180 mmHg. Heksana relatif tidak beracun bagi manusia meskipun dapat mengakibatkan efek bius yang rendah (Hathaway et al., 1991).

(34)

mengekstrak minyak, gemuk (grease) dari air dan tanah sebelum dilakukan determinasi dengan analisis grafimetrtik atau kromatografi gas (Nord, 2003).

G. POLYSORBATE 80

Polyoxyethylene sorbitan esters atau umumnya disebut polysorbates,

adalah hasil pembentukan reaksi sorbitan esters dengan ethylene oxide. Sorbitan fatty-acid esters (sorbitan esters) adalah sorbitol turunan dari mono dan

digliserida yang sangat larut dalam air. Sorbitan fatty-acid esters adalah emulsifier lipofilik yang dapat digunakan dalam emulsi yang lemah berikatan dengan air dan meningkatkan aerasi yang diinginkan (O’Brien, 2004).

Ada 3 tipe polysorbate yang diperbolehkan sebagai surfactant dalam jumlah terbatas yaitu polysorbate 60, polysorbate 65, dan polysorbate 80 (O’Brien, 2004). Angka 60 yang mengikuti bagian polyoxyethylene mengacu pada total angka dari gugus oxyethylene -(CH2CH2O)- yang terdapat di dalam molekul. Angka tersebut berhubungan dengan asam lemak (fatty acid) yang berasosiasi dengan bagian polyoxyethylene sorbitan pada molekul. Monolaurate ditandai oleh angka 20, monopalmitate ditandai oleh angka 40, monostearate dengan angka 60, dan monooleate dengan angka 80 (www.wikipedia.com, 2008).

Polysorbate adalah emulsifier hidrofilik yang memiliki kemampuan kuat

sebagai surface-active agents (surfactants) untuk mengurangi tegangan antarmuka dalam air, minyak, dan campuran lainnya untuk meningkatkan kualitas interaksi antar campuran, dan untuk menaikkan stabilitas emulsi (O’Brien, 2004).

Polysorbate 80 adalah jenis surfaktan nonionik dan emulsifier turunan dari

polyoxylated sorbitan dan asam oleat. Polysorbate 80 bersifat jernih, cairan

berwarna kuning dalam air. Gugus hidrofilik dalam senyawa ini adalah komponen

polyether yang dikenal sebagai polyoxyethylene yang merupakan polimer dari

ethylene oxide. Pada penamaan polysorbate, beberapa rancangan polysorbate

lebih suka pada gugus lipofilik, dalam hal ini asam oleat. Polysorbate 80 sering digunakan untuk mengikat udara dalam campuran dan membuat struktur yang lebih kokoh (Chou, 2005).

Polysorbate 80 memiliki nilai HLB (Hidrofil Lipofil Balance) sebesar 15,

(35)

HLB untuk emulsi oil in water (O/W) berkisar dari 8-18. Nilai HLB pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul

emulsifier nonionik. Nilainya yang semakin tinggi menunjukkan bahwa sifat

emulsifier yang semakin suka pada air (hidrofilik). Kisaran nilai HLB pada

emulsifier nonionik berada pada kisaran nilai 1 - 20. Perubahan dari lipofilik ke

hidrofilik pada skala HLB ini terjadi pada nilai HLB 10 (Suryani et al., 2000). Tabel 5 berikut ini menjelaskan mengenai sifat-sifat molekul polysorbate 80.

Tabel 5. Sifat molekul polysorbate 80 Sifat Molekul Keterangan

Nama IUPAC Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate Nama lain Tween 80

Rumus molekul C64H124O26 Massa molar 1310 g/mol Densitas 1.06-1.09 g/mL Titik didih > 100 °C Kelarutan dalam air Sangat larut Kelarutan dalam

pelarut lain

Larut dalam ethanol, cottonseed oil, corn oil, ethyl acetate, methanol, toluene

Viskositas 300 - 500 centistokes (25 °C)

Tampilan Cairan kental berwarna kekuning-kuningan seperti resin dan agak transparan

(wikipedia.org)

(36)

H. PENGUJIAN KUALITAS INSEKTISIDA

Pengujian kualitas insektisida meliputi beberapa karakteristik, yaitu pH, berat jenis, kestabilan emulsi, dan uji busa (SNI 02-2722-1992). Pengujian efektifitasnya dilakukan dengan metode uji daya tolak (repelansi) berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga.

Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari produk yang dihasilkan. Informasi mengenai nilai pH ini dibutuhkan karena produk tersebut akan diaplikasikan pada kulit manusia. Produk yang diaplikasikan langsung pada permukaan kulit manusia harus memiliki tingkat keasaman yang aman. Produk yang memiliki pH terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi daya absorbsi kulit sehingga menyebabkan permukaan kulit teriritasi. Menurut Wasiaatmadja, (1997), pH untuk produk tersebut sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu 4.5 – 7.0.

Prinsip pengukuran bobot jenis adalah membandingkan bobot contoh terhadap bobot air pada suhu dan volume yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Suatu sistem emulsi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna, dan memiliki konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter yang penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al., 2000).

Pembentukan busa juga menjadi salah satu parameter kualitas dari suatu larutan emulsi. Larutan emulsi yang baik tidak menghasilkan banyak busa saat dilakukan pengocokan ataupun pengadukan, untuk itu perlu dilakukan uji busa. Pengamatan busa stabil yang terjadi dilakukan saat larutan tersebut dikocok.

(37)
(38)

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Secara umum, formulasi insektisida tersusun atas bahan aktif (active agents), bahan pembawa (carrier), dan bahan pembantu (adjuvant)

(Djojosumarto, 2008). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan formula ini adalah minyak nilam sebagai bahan aktif insektisida (active agent), air sebagai bahan pembawa (carrier), dan bahan pembantu (adjuvant) yang terdiri dari metanol dan heksana sebagai pelarut (solvent); polysorbate 80 sebagai pembentuk emulsi (emulsifier), pembasah/perata (surfactant), dan perekat (sticker); vaseline sebagai dispersant agent, yaitu bahan pendispersi (propellant); dan defoaming agent sebagai penghambat pembentukan busa. Penelitian ini menggunakan

minyak nilam hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiahtuti pada tahun 2008. Peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatan antinyamuk spray adalah neraca analitik, gelas ukur, tabung erlenmeyer, dan pengaduk.

Bahan tambahan yang digunakan pada pengujian kualitas formula adalah aquades. Untuk uji efikasi, dilakukan pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti di Laboratorium FKH. Penjelasan mengenai pemeliharaan nyamuk tersebut terdapat pada Lampiran 3. Bahan tambahan yang digunakan pada uji efikasi adalah telur nyamuk dan makanan nyamuk (ati ayam dan gula pasir). Sedangkan peralatan yang digunakan pada pengujian adalah ph-meter, neraca analitik, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, piknometer, tabung reaksi bertutup, stop watch, dan peralatan uji efikasi. Peralatan yang digunakan pada uji efikasi adalah tray, pipet plastik, kurungan nyamuk, bejana plastik, aspirator, stop watch, dan sangkar uji.

B. METODE PENELITIAN

Formulasi pada pembuatan antinyamuk spray dilakukan dengan metode trial and error menggunakan bahan-bahan yang sudah ditentukan sebelumnya dan

(39)

Pembuatan L

Pembuatan P

1. arutan X

Larutan ini terdiri atas vaseline, polysorbate 80 (emulsifier), dan aquades. Diagram alir pembuatan larutan X dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.

Gambar 11. Diagram alir pembuatan Larutan X

Vaseline Polysorbate 80 Aquades

Homogenasi

Larutan X

2. roduk Antinyamuk Spray

Pembuatan larutan antinyamuk dilakukan dengan mencampurkan larutan X dengan bahan-bahan lainnya, yaitu minyak nilam, polysorbate 80, dan pelarut.

Gambar 12. Diagram alir proses produksi antinyamuk spray

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Machfudz (2008), penambahan Polysorbate 80 bergantung pada konsentrasi bahan aktif yang

Larutan X Pelarut

M. Nilam Polysorbate 80

Homogenasi

(40)

dicampurkan pada formula. Semakin besar konsentrasi bahan aktifnya maka jumlah Polysorbate 80 yang digunakan semakin bertambah pula.

Pengujian Pr

3. oduk Antinyamuk Spray

Untuk mengetahui kualitas formula insektisida dilakukan beberapa pengujian, yaitu pH, bobot jenis, kestabilan emulsi, dan uji busa (SNI 02-2722-1992). Deskripsi mengenai cara pengujian-pengujian tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengujian efektifitasnya (efikasi) dilakukan dengan metode uji daya tolak (repelansi) berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga. Penjelasan mengenai metode pengujian ini terdapat pada Lampiran 2.

Uji efikasi membutuhkan nyamuk Aedes aegypti sebagai target pengujian. Aedes aegypti diperoleh dengan cara pemeliharaan dari fase telur hingga menjadi nyamuk dewasa. Penjelasan mengenai cara pemeliharaan ini dijabarkan pada Lampiran 3.

4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dalam pembuatan formula ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang dijadikan sebagai perlakuan adalah jenis pelarut, yaitu menggunakan pelarut metanol dan heksana. Pada formula dengan masing-masing pelarut diaplikasikan konsentrasi bahan aktif yang berbeda-beda dengan tiga taraf uji, yaitu 5%, 10%, dan 20%.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yijk= µ + Ai+Bj+ ABij+

ε

ijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, pada ulangan ke-k

(41)

Ai = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

A = Jenis pelarut: A1 = Pelarut metanol A2 = Pelarut heksana Bj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j

B = Konsentrasi Bahan Aktif: B1 = 5% B2 = 10% B3 = 20%

ABij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j ijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Berdasarkan rancangan percobaan di atas maka formulasi antinyamuk spray yang dibuat adalah sebagai berikut:

(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. FORMULASI

Formulasi antinyamuk spray ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap yang pertama adalah pembuatan larutan X. Neraca massa dari pembuatan larutan X tersebut diuraikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Neraca massa pembuatan larutan X

Tahap kedua adalah tahap pembuatan formulanya. Dari kedua perlakuan yang digunakan pada formulasi antinyamuk spray ini, dihasilkan 6 macam formula. Selengkapnya dijelaskan pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Hasil formulasi antinyamuk spray

No. Kode

(43)

M5 M10 M20 H10 H20 H10

Gambar 14. Hasil formulasi antinyamuk spray

B. UJI KUALITAS FORMULA 1. pH

Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari produk yang dihasilkan. Informasi mengenai nilai pH ini dibutuhkan karena produk tersebut akan diaplikasikan pada kulit manusia. Produk yang diaplikasikan langsung pada permukaan kulit manusia harus memiliki tingkat keasaman yang aman.

Produk yang memiliki pH terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi daya absorbsi kulit sehingga menyebabkan permukaan kulit teriritasi. Menurut Wasiaatmadja, (1997), pH untuk produk tersebut sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu 4.5 – 7.0.

(44)

Gambar 15. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap pH antinyamuk spray

Berdasarkan grafik diatas dapat kita lihat bahwa pH pada formula M5 (pelarut metanol; minyak nilam 5%) dan H10 (pelarut heksana; minyak nilam 10%) memiliki nilai di bawah 4.5. Meskipun tidak terlalu berselisih jauh dari nilai pH yang disarankan, kedua formula tersebut tidak memenuhi syarat untuk dijadikan produk yang diterapkan secara langsung pada kulit manusia.

Keempat formula yang lain memiliki nilai pH antara 4.5 sampai 7. Hal ini menunjukkan bahwa formula tersebut dapat digolongkan pada formula yang baik berdasarkan nilai pH. Begitu juga dengan Sofell Spray (SS) sebagai produk pembanding yang memiliki nilai pH 4.73, memenuhi syarat yang dianjurkan sebagai produk yang diterapkan secara langsung pada kulit manusia.

Formula dengan pelarut metanol memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan formula dengan pelarut heksana. Hal ini disebabkan karena metanol memiliki sifat yang lebih basa daripada heksana. Bila dilihat dari struktur kimianya, metanol cenderung untuk memiliki sifat yang basa karena mengandung gugus OH-. Sedangkan heksana tidak memiliki gugus OH -(Jacobs, 1997).

(45)

tinggi (basa). Dan pada formula yang menggunakan pelarut heksana, nilai pH-nya tidak beraturan (tidak ada trend). Konsentrasi mipH-nyak nilam yang digunakan tidak mempengaruhi nilai pH dari produk formula.

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap nilai pH (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (0.6634 < 5.99). Perbedaan konsentrasi minyak nilam juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (1.0472 < 5.14). Interaksi antara penggunaan pelarut dan perbedaan konsentrasi minyak nilam juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pH, dengan f hitung < nilai f tabel (1.5442 < 5.14). Analisis ragam tersebut dilakukan pada taraf nyata α = 0.05.

2. Bobot Jenis

Bobot jenis juga merupakan salah satu syarat mutu yang menjadi parameter pada pembuatan antinyamuk. Prinsip pengukuran bobot jenis adalah membandingkan bobot contoh terhadap bobot air pada suhu dan volume yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Nilai bobot jenis rata-rata dari produk antinyamuk berdasarkan masing-masing formula yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 16.

(46)

Nilai bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI untuk produk nonaerosol adalah 0.7 sampai dengan 1.2 g/ml. Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa antinyamuk dengan pelarut heksana dan konsentrasi minyak nilam 5% (formula H5) tidak memenuhi syarat tersebut karena memiliki bobot jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI (0.69 g/ml < 0.7 g/ml). Sedangkan formula yang lain dinilai baik karena berada pada kisaran bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI. Produk pembanding Sofell Spray (SS) juga memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan SNI karena

memiliki bobot jenis sebasar 0.96 g/ml.

Semakin banyak konsentrasi minyak nilam yang digunakan menyebabkan bobot jenis formula semakin bertambah. Berarti jumlah minyak nilam yang digunakan memberikan pengaruh pada bobot jenis formula.

Bila kita melihat dari struktur kimia pada metanol dan heksana, seharusnya heksana memberikan nilai bobot jenis yang lebih besar daripada metanol. Namun yang terjadi pada penelitian ini adalah sebaliknya. Formula yang menggunakan pelarut metanol memiliki bobot jenis yang relatif lebih tinggi daripada formula yang menggunakan pelarut heksana. Heksana adalah pelarut yang bersifat inert. Selama pencampuran (homogenasi), diduga bahwa heksana yang tidak tercampur dengan baik mengalami penguapan sehingga menyebabkan bobot jenis formula menjadi lebih rendah dari seharusnya. Penguapan heksana ini ditandai dengan terciumnya aroma uap heksana pada saat proses homogenasi.

Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut yang digunakan memberikan pengaruh yang berarti terhadap nilai bobot jenis, dengan f hitung > nilai f tabel (13,657.6776 > 5.99). Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan uji Newman Keuls. Hasilnya menunjukkan bahwa memang terjadi perbedaan yang berarti antara penggunaan pelarut metanol dan pelarut heksana. Hal tersebut dikarenakan perbadaan sifat antara pelarut metanol dan pelarut heksana.

(47)

Uji lanjut dengan menggunakan uji Newman – Keuls memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada setiap penggunaan konsentrasi minyak nilam. Perbedaan yang terbesar terjadi antara konsentrasi 5% dan 20%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi minyak nilam yang digunakan maka semakin besar pula bobot jenisnya.

Interaksi antara jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam pada analisis ragam (ANOVA) juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan, dengan f hitung > nilai f tabel (35.6450 > 5.14). Uji lanjut dengan menggunakan uji Newman – Keuls memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada setiap penggunaan pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang berbeda-beda.

Hasil analisis ragam (ANOVA) bobot jenis terhadap formula antinyamuk selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Kestabilan Emulsi

Suatu sistem emulsi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al., 2000).

(48)

Gambar 17. Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap stabilitas emulsi antinyamuk spray

Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa semua formula antinyamuk memiliki kestabilan yang sangat baik. Persentase kestabilan emulsi yang didapatkan dari pengujian memiliki nilai yang hampir mencapai 100%. Ini berarti semua formula yang terbentuk telah tercampur dengan sangat baik. Stabilitas emulsi untuk produk pembanding Soffel Spray adalah sebasar 99.73%, tidak berbeda jauh dengan stabilitas emulsi pada produk antinyamuk yang dihasilkan (berada pada kisaran 99.47 – 99.84%).

(49)

Namun begitu, berdasarkan analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan pada α = 0.05, penggunaan pelarut metanol dan heksana tidak berbeda secara nyata, dengan f hitung < nilai f tabel (5.3821 < 5.99). Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi minyak nilam yang digunakan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai bobot jenis, dengan f hitung < nilai f tabel (0.0225 < 5.14). Perbedaan konsentrasi dan jenis pelarut juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kestabilan emulsi formula, dengan f hitung < nilai f tabel (0.3755 < 5.14).

Hasil analisis ragam (ANOVA) kestabilan emulsi terhadap formula antinyamuk selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

4. Pembentukan Busa

Pembentukan busa juga menjadi salah satu parameter kualitas dari suatu larutan emulsi. Larutan emulsi yang baik tidak menghasilkan banyak busa saat dilakukan pengocokan ataupun pengadukan. Pengamatan busa stabil yang terjadi dilakukan saat larutan tersebut dikocok. Volume busa yang terbentuk menjadi tolok ukur dalam pengujian ini.

Volume rata-rata dari busa yang terbentuk untuk produk antinyamuk berdasarkan masing-masing formula dapat dilihat pada Gambar 18.

(50)

Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa busa yang terbentuk pada formula antinyamuk berada di kisaran 0.84 hingga 1.32 ml. Bila kita bandingkan antara produk pembanding Sofell Spray (SS) dengan formula yang dibuat, terlihat bahwa Soffel Spray memiliki stabilitas yang sangat baik karena tidak terbentuk busa sama sekali (volume = 0 ml), sedangkan formula antinyamuk spray memiliki volume busa berkisar antara 0.84 hingga 1.32 ml.

Formula dengan pelarut metanol ataupun heksana menghasilkan volume busa yang hampir sama. Dapat kita lihat bahwa semakin besar konsentrasi minyak nilam yang digunakan menyebabkan volume busanya makin sedikit. Berarti stabilitas emulsinya semakin baik. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian kestabilan emulsi sebelumnya.

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap volume pembentukan busa pada larutan, dengan f hitung < nilai f tabel (0.0216 < 5.99). Begitu juga dengan perbedaan konsentrasi minyak nilam yang digunakan, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap terbentuknya busa, dengan f hitung < nilai f tabel (2.9535 < 5.14). Interkasi antara perbedaan penggunaan pelarut dan konsentrasi minyak nilam juga tidak berpengaruh terhadap pembentukan busa, dengan f hitung < nilai f tabel (0.0216 < 5.14). Analisis ragam ini dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6.

C. UJI EFIKASI

Pengujian efikasi yang dilakukan adalah uji daya tolak (repelansi) terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pengujian ini dilakukan berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga (Lampiran 2).

Uji efikasi ditetapkan berdasarkan persen penolakan nyamuk terhadap lengan uji yang menggunakan produk antinyamuk spray, dan dibandingkan dengan lengan kontrol yang tidak menggunakan apa-apa.

(51)

Tabel 7. Hasil pengujian efikasi produk antinyamuk spray

Formula

Daya proteksi (%) Jam

ke-0

Jam ke-1

Jam ke-2

Jam ke-3

Jam ke-4

Jam ke-5

Jam

ke-6 Rata2 M5 96.89 84.12 59.81 54.57 69.38 75.16 79.67 74.23 M10 97.15 78.8 74.86 70.34 61.95 24.66 56.58 66.33 M20 100 93.87 93.07 75.71 60.71 52.09 73.92 78.48 H5 97.68 87.69 92.6 89.14 70.82 91.23 64.29 84.78 H10 96.01 92.38 63.79 66.34 46.66 77.5 66.94 72.80 H20 87 46.34 49.17 35.64 37.5 71.16 49.82 53.80 SS 100 98.57 92.17 88.06 89.86 94.85 82.22 92.25

(52)

Dari grafik dan tabel di atas dapat kita lihat bahwa produk pembanding Sofell Spray memiliki efektifitas penolakan nyamuk yang sangat baik, yaitu 92.25%. Syarat mutu untuk produk antinyamuk komersil yang menggunakan bahan aktif dari bahan kimia adalah > 80%. Bila dibandingkan dengan hal tersebut, antinyamuk formula H5 memiliki efektifitas yang paling mendekati, yaitu 84.78%. Formula H5 juga memiliki trendline yang paling mendekati produk Sofell Spray yang menggunakan bahan aktif dari bahan kimia.

Dapat kita lihat terjadi penurunan efektifitas dari waktu ke waktu. Penurunan tersebut disebabkan karena adanya penghilangan formula dari lengan uji. Penghilangan formula tersebut dapat terjadi karena adanya penguapan ataupun tersapu oleh benda-benda yang bersentuhan dengan lengan uji selama pengujian.

Pada formula dengan pelarut metanol, penambahan konsentrasi bahan aktif menyebabkan peningkatan efektifitas formula. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut metanol dan bahan aktif minyak nilam bekerja secara berkesinambungan. Berlainan dengan hal tersebut, formula dengan pelarut heksana memiliki nilai efektifitas yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi bahan aktif. Berarti, sifat-sifat fisik yang dimiliki oleh pelarut heksana serta pencampuran antara pelarut heksana dan minyak nilam telah menyebabkan efektifitas formula menjadi berkurang.

Analisis ragam yang dilakukan terhadap efektifitas antinyamuk spray (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas penolakannya, dengan f hitung < nilai f tabel (1.70 < 2.77). Perbedaan konsentrasi bahan aktif pun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektifitasnya, dengan nilai f hitung < nilai f tabel (1.31 < 2.66). Interaksi antara jenis pelarut dan konsentrasi bahan aktif juga tidak mempengaruhi efektifitas formula, dengan nilai f hitung < nilai f tabel (0.31 < 2.11).

(53)

D. SKOR KINERJA FORMULA

Skor kinerja formula dilakukan untuk mengetahui kinerja terbaik formulasi produk yang diperoleh dari masing-masing analisis dan karakterisasi aplikasi yang telah dibuat. Setiap formula mendapatkan skor dengan berbagai kriteria penilaian yang berbeda-beda untuk analisis dan karakterisasi yang berbeda. Pengambilan keputusan tersebut berdasarkan pada hasil formula yang terbaik dan yang diharapkan, serta merujuk pada pembahasan analisis dan hasil analisis produk (Machfudz, 2008).

Skor kinerja formulasi produk mencakup 5 kriteria, yaitu pH, bobot jenis, kestabilan emulsi, pembentukan busa, dan efektifitas penolakan terhadap nyamuk. Keseluruhan kriteria tersebut mewakili hasil analisis dan pengamatan produk.

Nilai pH diberi skor 1 dan 0. Angka 1 menyatakan kesesuaiannya terhadap nilai pH yang dianjurkan, sedangkan angka 0 menyatakan hal yang sebaliknya.

Bobot jenis diberi skor dari 0 hingga 5. Hal ini didasarkan pada kesesuaiannya dengan SNI, jumlah formula yang diuji, serta kinerja dari formula yang dipengaruhi secara signifikan oleh penggunaan pelarut dan bahan aktif. Angka 0 menyatakan ketidaksesuaiannya dengan SNI. Selanjutnya angka 1 hingga 5 menyatakan kedekatan bobot jenis antinyamuk dengan produk komersial pembanding (Sofell Spray). Semakin dekat bobot jenisnya dengan produk pembanding maka skornya akan semakin tinggi hingga mencapai skor 5 untuk antinyamuk yang memiliki bobot jenis terdekat dengan produk pembanding.

Kestabilan emulsi diberikan skor dari 0 hingga 5. Hal ini didasarkan pada banyaknya formula yang mewakili stabilitas emulsi. Angka 5 menyatakan formula yang memiliki persentase stabilitas terdekat dengan produk komersial sebagai pembanding. Semakin jauh nilainya dengan produk pembanding maka skornya akan semakin rendah hingga mencapai skor 0 untuk antinyamuk yang memiliki persentase stabilitas emulsi terjauh.

(54)

dengan produk pembanding maka skornya akan semakin rendah hingga mencapai skor 0 untuk antinyamuk yang memiliki volume busa terjauh.

Efektifitas formula diberikan skor dari 0 hingga 5. Hal ini didasarkan pada banyaknya formula yang mewakili persentase efektifitasnya. Angka 5 menyatakan formula yang memiliki persentase efektifitas terdekat dengan produk komersial sebagai pembanding. Semakin jauh nilainya dengan produk pembanding maka skornya akan semakin rendah hingga mencapai skor 0 untuk antinyamuk yang memiliki persentase efektifitas terjauh.

Hasil total skor kriteria-kriteria tersebut terdapat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Hasil total skor kinerja dari keseluruhan formula

No. Formula

Skor pH BJ Busa Stabilitas

Emulsi

Efisiensi penolakan

Total Skor

1. M5 0 3 0 3 3 9

2. M10 1 4 2 4 1 12

3. M20 1 5 1 5 4 16

4. H5 1 0 0 2 5 8

5. H10 0 1 3 1 2 7

6. H20 1 2 1 0 0 4

(55)

Gambar 20. Diagram total skor kinerja dari keseluruhan formula

Dari diagram di atas dapat kita peroleh urutan terbaik dari semua formula yang telah dibuat. Urutannya adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Urutan hasil kinerja dari keseluruhan formula No. Formula Deskripsi Formula Skor

1. M20 Pelarut: metanol

Konsentrasi miyak nilam: 20% 16 2. M10 Pelarut: metanol

Konsentrasi miyak nilam: 10% 12 3. M5 Pelarut: metanol

Konsentrasi miyak nilam: 5% 9 4. H5 Pelarut: heksana

Konsentrasi miyak nilam: 5% 8 5. H10 Pelarut: heksana

Konsentrasi miyak nilam: 10% 7 6. H20 Pelarut: heksana

(56)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Insektisida yang menggunakan bahan aktif alami seperti yang berasal dari tumbuhan nilam merupakan insektisida alternatif pengganti insektisida kimia yang memiliki beberapa dampak negatif terhadap lingkungan. Formulasi insektisida, dalam hal ini adalah antinyamuk spray, memiliki beberapa kriteria agar formulanya dapat dikatakan tergolong dalam formula yang baik. Pemilihan pelarut dan konsentrasi bahan aktif merupakan beberapa di antaranya. Formulasi pada pembuatan antinyamuk spray dilakukan dengan metode trial and error.

Analisi ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan pada formula tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Formula M5 dan H10 tidak sesuai dengan nilai pH yang dianjurkan. Jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai bobot jenis. Perbedaan yang terbesar terjadi antara formula M20 dan H5. Formula H5 memiliki bobot jenis di luar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh SNI. Perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan tidak berpengaruh signifikan terhadap persentase kestabilan emulsi pada formula. Semua formula memiliki kestabilan emulsi yang sangat baik dengan persentase berkisar antara 99.47% hingga 99.84%. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan busa pada larutan.

(57)

yang dilakukan terhadap efektifitas antinyamuk spray menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut dan konsentrasi minyak nilam yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas penolakannya.

B. SARAN

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1988. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. Jakarta.

Arif I. 2009. indonetwork.co.id /indo_aromatik_m/44759/minyak-nilam.html [27 November 2010].

Backer, C. A. dan R. C. B. Van der Brink. 1963. Flora of Java. Netherlands: Noordhaff.

BALITRO. 2008. pengawasbenihtanaman.blogspot.com/2008/07/hal-yang-perlu-anda-ketahui-tentang.html [27 November 2010].

Benner, J. P. 1993. Pesticidal compounds from higher plant. J Pest Sci 39: 95-102. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay

Peninsula. London: Crown Agents for The Collonies Millbank.

Chapman, H. 1997. The potential of botanical essential oil for insect pest control. Integrated Pest Management 2: 101-109.

Cheng, T. C. 1973. General Parasitology. New York & London: Academic Press. Chou, D. K. 2005. Effects of Tween 20 and Tween 80 on the stability of

Albutropin during agitation. http://en.wikipedia.org/wiki/Tween_80. [13 Juni 2008].

Christopher, S. R. 1960. Aedes aegypti (L), The Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge University.

Dadang, B. W. Nugroho, dan D. Prijono. 1999. Bahan Pelatihan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.

Dummond, H. M. 1960. Patchouly oil. Patchouly Oil Journal of Perfuary and Essential Oil Record.

Grainge, M. dan S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York: Willey-Interscience Publication.

Green Cottage and Electrical Soap. 2000. Patchouli. http://www.greencottage.com/herbs/patchouli.html [28 Agustus 2008]. Guenther E. 1987. Minyak Atsiri. Terjemahan S. Ketaren. Jakarta: Universitas

(59)

Hadi, U. dan Koesharto. 2006. Nyamuk. In Sigit S. (eds). Hama Permukiman Indonesia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. pp 23-51.

Hathaway, G. J., Nick H., dan James P. Hughes. 1991. Proctor and Hughes'

chemical hazards of the workplace. 3rd ed. New York: Van Nostrand

Reinhold.

Jacobs, A. 1997. Understanding Organic Reaction Mechanism. United Kingdom: Cambridge University Press.

Jacobson, M. 1989. Botanical Pesticidees. Past, Present, and Future. In J. T. Arnason, B. J. R. Philogene and P. Morand (eds) Insecticides of Plant Orogin. Washington DC: Amer Chem Soc.

Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Resived and translated by P. A. Van der Laan. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru – Van Hoeve.

Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Terjemahan A. Saptorahardjo. Jakarta: Balai Pustaka.

Laksmanahardja, P. 2002. Perbaikan Sistem Penyulingan Minyak Atsiri dan Pengembangannya. Laporan Akhir 2002. Bogor: Balai Penelitian Pasca Panen.

Machfudz, F. 2008. Kajian Proses Pembuatan Dan Karakterisasi Eau De Cologne Aromatheraphy Lavender [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Mardiningsih, T. L., S. Rusli, E. A. Wikardi, Wiratno, dan Ma’mun. 1994. Monograf Nilam. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Mardiningsih, T. L., S. Rusli, E. A. Wikardi, dan S. L. Tobing. 1994. Kemungkinan produk nilam sebagai bahan penolak serangga. Prosiding seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. 1-2 Desember 1993. Bogor.

Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran. 2007. Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga. Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian.

(60)

Nagasampigi, B. A. 2001. Commercially important essential oil industry in chemistry. Prosiding Seminar Sehari Balai Besar Industri Kimia. 1 Februari 2001. Jakarta.

National Institute for Occupational Safety and Health. 2008. The Emergency Response Safety and Health Database: Methanol. http://www.cdc.gov/niosh/ershdb/EmergencyResponseCard_29750029.ht ml. [17 Maret 2009].

nkoguam.com/mosquitos.html [27 November 2010]

Nord, T. 2003. Use of ozone depleting substances in laboratories. http://www.norden.org/pub/ebook/2003-516.pdf. [17 Maret 2009].

O’Brien, R.D. 2004. Fats and Oils formulating and processing for applications. Florida: CRC Press.

Prijono, D. dan H. Triwidodo. 1993. Pemanfaatan insektisida nabati di tingkat petani. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. 1-2 Desember 1993. Bogor.

Putra, S. E. 1995. Nyamuk Aedes Aegypti, Bahaya dan Pengendaliannya. Padang: Universitas Andalas.

Rusli S. dan N. Nurjanah. 1990. Penelitian tanaman penghasil minyak atsiri di BALITRO. Edisi Khusus Littro 6 (1): 1-4. Bogor.

Sastroamidjojo, S. 1967. Obat Asli Indonesia. Khusus Tumbuh-tumbuhan yang Terdapat di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Soedarmo dan S. S. Porwo. 1988. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soedibyo, M. 1998. Alam, Sumber Kesehatan, Manfaat, dan Kegunaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Soemartono. 1984. Kemajuan-kemajuan Dalam Pemberantasan Hama. Jakarta: Balai Pustaka.

Standar Nasional Indonesia. 1992. Cara Uji Fisika Pestisida Bentuk Pekatan Yang Dapat Diemulsikan (emulsifiable concentrate, ec). SNI 02-2722-1992. Badan Standardisasi Nasional.

Standar Nasional Indonesia. 2006. Minyak Nilam (SNI 06-2385-2006). Badan Standardisasi Nasional.

Gambar

Gambar 12. Diagram alir proses produksi antinyamuk spray
Gambar 13. Neraca massa pembuatan larutan X
Gambar 14. Hasil formulasi antinyamuk spray
Gambar 15.  Grafik pengaruh perbedaan formula terhadap pH antinyamuk spray
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) terhadap minat

Pengaruh pemberian ekstrak daun kosambi terhadap ekspresi caspase3 pada sel epitel mukosa usus halus tikus model fibrosis hepar Caspase-3 merupakan protein yang berperan dalam

Antara idea strategik China adalah merealisasikan impian China; mementingkan faktor keamanan melalui misi diplomatik; memperluaskan kerjasama persahabatan dengan

Penelitian tentang lactate clearance juga dilakukan oleh Fleming et al (2017) yang meneliti tentang efek dari pemberian minuman mengandung oksigen terhadap lactate

Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang maju yang mengikuti perkembangan teknologi, hal ini dapat ditandai dari semakin banyak nya sekolah-sekolah yang maju menfasilitasi siswa

Langkah-langkah untuk menghitung nilai berat isi beton dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.5 adalah sebagai berikut.. Pada Gambar 3.5, buatlah kurva sesuai dengan

Integrasi Model Kano dan Dimensi Kualitas Produk Setelah mendapatkan hasil berupa atribut kuat dan lemah dari pengolahan kuesioner dimensi kualitas produk, dan atribut

Menentukan Faktor-Faktor Gaya Kepemimpinan yang Mempengaruhi Kinerja Bawahan Dalam menentukan faktor-faktor dalam sebuah model, digunakan metode analisis deskriptif yang