• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN

ANIF LAILATUSIFAH. Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di Dataran Menengah. Dibimbing oleh FAIZA CHAIRANI SUWARNO dan YUDIWANTI WAHYU E. K.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi dan potensi produksi populasi putatif mutan tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) generasi M3 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m dpl) yang dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2010. Tanaman purwoceng merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh endemik di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (1 830 m dpl). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan sumber bahan baku industri suplemen minuman karena mengandung senyawa afrosidiak yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Selama ini purwoceng dibudidayakan secara sederhana dalam skala kecil di habitat endemiknya. Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman purwoceng agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati pusat produksinya yang kebanyakan di dataran rendah.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman purwoceng putatif mutan generasi M3 dengan dosis radiasi 10, 20, 30, dan 40 Gy yang diperoleh dari Kebun Percobaan Gunung Putri. Bahan lain yang digunakan adalah polybag, paranet dan media tanam campuran yaitu tanah, pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan yang sama. Penelitian dilakukan dengan mengamati populasi tanaman yaitu karakteristik pertumbuhan, morfologi dan potensi produksinya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada taraf 5 %.

Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif menunjukkan bahwa secara umum tanaman purwoceng generasi M3 memiliki warna daun dan warna tangkai daun yaitu merah dan hijau. Karakter kualitatif lainnya yaitu tipe kanopi yang ditemukan pada tanaman purwoceng generasi M3 ada tiga macam yaitu tegak, semi tegak dan rebah. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter kuantitatif secara umum tidak berbeda nyata antar dosis irradiasi. Keragaman morfologi dan

perbedaan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi M3 ini diduga selain akibat irradiasi sinar gamma, juga akibat faktor lingkungan.

Bobot segar tanaman purwoceng generasi M3 antar masing-masing dosis irradiasi tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 3.13–7.33 g/tanaman. Hasil analisis kandungan metabolit sekunder tanaman purwoceng generasi M3 (sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten) antar masing-masing perlakuan irradiasi tidak berbeda nyata. Kandungan masing-masing jenis metabolit sekunder didalam populasi tanaman purwoceng generasi M3 juga tidak berbeda nyata. Rata-rata kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten berturut-turut 0.40, 0.70, 0.53, dan 0.82 %. Pada populasi yang dipelajari, korelasi antara jumlah daun, panjang tangkai, panjang daun, dan diameter kanopi dengan bobot basah tidak nyata. Korelasi positif dan nyata terjadi antara jumlah daun terhadap diameter kanopi dan panjang tangkai terhadap panjang daun.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan yang subur dan dikaruniai biodiversitas yang tinggi. Negara tropis ini sudah dikenal sebagai penghasil berbagai macam komoditas pertanian termasuk tanaman obat. Kondisi tanah dan iklim yang sesuai, serta keanekaragaman flora yang tinggi membuat negara ini menjadi penghasil komoditas obat-obatan dari alam yang potensial.

Penggunaan tanaman obat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional di Indonesia sudah dilakukan sejak dahulu. Jenis tanaman yang digunakan pun sangat beragam. Menurut Departemen Kesehatan (2007) diperkirakan 40 000 spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30 000 di antaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 180 spesies dari jumlah spesies diatas yang dimanfaatkan sebagai bahan oleh industri obat tradisional.

Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi budaya memakai obat tradisional. Kecenderungan ini telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai gelombang hijau baru (new green wave) atau tren gaya hidup kembali ke alam (back to nature). Bahkan WHO menjelaskan bahwa hingga 65 % dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional dimana didalamnya termasuk penggunaan obat-obat bahan alam (Departemen Kesehatan, 2007).

Salah satu jenis tanaman obat yang kini kian marak baik di dunia industri obat maupun dalam bidang biofarmaka adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.). Purwoceng merupakan tanaman yang mengandung senyawa afrodisiak yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina (Raharjo dan Rostiana, 2006). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh. Selain itu, kandungan vitamin E di dalam herba

peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita (Balittro, 2008). Tanaman purwoceng selama ini dibudidayakan secara sederhana dalam skala kecil di habitat endemiknya yaitu di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Menurut Yuhono (2004) tanaman ini berkembang di empat desa yaitu Sikunang, Dieng, Petak Banteng, dan Sembungan. Umumnya tanaman ini dibudidayakan di pekarangan petani dengan luasan yang sempit.

Meningkatnya permintaan tanaman purwoceng oleh industri jamu di Indonesia dan status kelangkaan (endangered species) tanaman purwoceng di habitat endemiknya, serta area budidaya yang sangat terbatas, mendorong adanya suatu upaya peningkatan produksi. Selama ini kendala utama yang dihadapi dalam produksi tanaman obat adalah kesesuaian lahan, iklim, dan masalah bibit. Beberapa kendala tersebut juga menjadi faktor pembatas dalam pengembangan budidaya tanaman purwoceng saat ini.

Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang cocok menentukan mutu tanaman obat yang dihasilkan. Tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh di segala tempat. Apabila dapat tumbuh pun, maka hasil produksinya tidak akan maksimal. Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman purwoceng agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati pusat produksinya yang kebanyakan di dataran rendah. Upaya peningkatan produksi tanaman ini dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman dan perbaikan teknik budidaya.

Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan untuk memperoleh tanaman yang mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik di luar habitat aslinya. Keberhasilan suatu program pemulian tanaman adalah adanya keragaman tanaman. Menurut Poespodarsono (1988) keragaman genetik dapat diperoleh dari koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi (secara fisik atau kimia).

Memperhatikan kekhasan habitatnya tanaman purwoceng diduga memiliki keragaman yang kecil, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan keragamannya. Keragaman tanaman purwoceng dapat ditingkatkan dengan hibridisasi, tetapi cara

keragaman pada tanaman adalah dengan mutasi.

Menurut Poespodarsono (1988) mutasi adalah perubahan genetik baik gen tunggal ataupun sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi juga dapat menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimia suatu tanaman. Mutasi secara alami sulit terjadi. Kusumo, et al. (2008) melakukan mutasi buatan secara fisik dengan irradiasi sinar gamma pada benih tanaman purwoceng untuk memperoleh keragaman secara cepat. Populasi putatif mutan tanaman purwoceng telah diperoleh hingga generasi M3.

Yuhono (2004) mengungkapkan bahwa peluang pengembangan purwoceng masih terbentang luas. Pemuliaan terhadap purwoceng perlu terus dilakukan untuk mengkonservasi dan memelihara kelestarian tanaman, serta memperoleh tanaman purwoceng yang mampu tumbuh baik (adaptif) di dataran rendah dan mempunyai hasil produksi yang optimal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan populasi tanaman purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma dan potensi produksinya di dataran menengah.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan morfologi dan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma yang ditanam di dataran menengah.

2. Terdapat perbedaan potensi produksi dan kandungan metabolit sekunder pada populasi tanaman purwoceng generasi M3 yang ditanam di dataran menengah.

Gambar 1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng. Tanaman (1), Bunga kuncup (2), Bunga mekar (3), Buah (4), Akar dari tanaman berumur 6 bulan (5). (Sumber: Darwati dan Roostika, 2006).

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan salah satu tanaman afrodisiak (obat kuat) asli Indonesia. Tanaman ini awalnya dijumpai tumbuh secara liar di sekitar dataran tinggi Dieng, disekitar gunung Pangrango (Jawa Barat) dan daerah-daerah pegunungan di Jawa Timur pada ketinggian 1 800– 3 000 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Heyne, 1985). Purwoceng dikenal dengan nama antanan gunung di daerah Jawa Barat (Sunda), purwoaceng atau purwoceng di Jawa Tengah, dan di daerah lainnya disebut pula dengan suripandak abang atau gebangan (Yuhono, 2004). Menurut Raharjo dan Yuhono (2006) klasifikasi botani purwoceng sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Famili : Apiaceae Genus : Pimpinella

Spesies : Pimpinella pruatjan Molk.; sinonim Pimpinella alpina Kds.

1 2

4 5

membentuk rosset, tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tangkai daun tumbuh rapat menutupi batang tanaman, seolah batang tanaman tidak ada, jumlah tangkai daun lebih kurang 46.50 buah/tanaman. Pangkal tangkai daun pada umumnya berwarna merah kecoklatan dan sebagian kecil (< 2 %) berwarna kehijauan. Panjang tangkai daun lebih kurang 18.80 cm. Biasanya tajuk tanaman menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk berkisar lebih kurang 37.90 cm (Raharjo dan Yuhono, 2006).

Purwoceng mempunyai daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan, di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan pinggiran bergerigi. Warna permukaan daun hijau, dan permukaan bawahnya berwarna hijau keputih-putihan. Purwoceng mempunyai perakaran tunggang, akar bagian pangkal semakin umur tanaman bertambah, semakin membesar seolah membentuk umbi seperti bentuk gingseng, tetapi tidak sebesar gingseng, akar-akar rambut keluar di ujungnya (Raharjo et al., 2005).

Purwoceng banyak diinginkan oleh industri obat karena dapat digunakan sebagai obat kuat pria. Kandungan metabolit sekunder pada tanaman ini antara lain senyawa golongan kumarin, flavonoid, alkaloid, dan terpenoid-steroid. Komponen kimia berkhasiat afrodisiak yang terdapat dalam jaringan tanaman purwoceng dari golongan steroid adalah sitosterol dan stigmasterol, bergapten dari turunan furanokumarin, serta saponin dari golongan triterpenoid (Rostiana et al., 2007).

Khasiat utama tanaman ini berada pada bagian akar. Akan tetapi, saat ini semua bagian tanaman baik akar, daun, maupun batang telah dimanfaatkan karena terbukti juga mengandung senyawa aktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wahyuni (2010) kadar saponin dan fitosterol pada akar tidak berbeda jika dibandingkan pada batang dan daun purwoceng. Akarnya dikenal sebagai afrosidak (obat kuat) dan juga mengandung senyawa diuretik yang dapat melancarkan air kemih. Tanaman purwoceng baik bagian tajuk maupun akar juga mengandung vitamin E yang dapat meningkatkan fertilitas spermatozoid. Selain mengandung vitamin E, di bagian tajuk juga mengandung bergapten yang berfungsi dalam meningkatkan stamina tubuh (Raharjo et al., 2006).

bahwa rendahnya tingkat produktivitas dan terbatasnya areal produksi khususnya di daerah Dieng karena bersaing dengan tanaman hortikultura lainnya seperti kentang dan bawang daun, sehingga menyebabkan harga purwoceng menjadi relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Ermiati et al. (2005) harga purwoceng basah ditingkat petani berkisar Rp. 50 000,00 hingga Rp. 85 000,00 per kg. Rahardjo dan Yuhono (2006) menerangkan bahwa harga herbal kering purwoceng dapat mencapai Rp. 200 000,00 hingga Rp. 400 000,00 per kg.

Berdasarkan analisis usahatani yang dilakukan Yuhono (2004) dan Ermiati et al. (2005) yang dilakukan di Desa Sikunang menunjukkan bahwa usahatani purwoceng menguntungkan, layak dan mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan. Benefit Cost Rasio yang diperoleh dari analisis usahatani purwoceng menunjukkan lebih dari satu (B/C Rasio > 1), berturut-turut adalah 4.63 dan 2.26. Keuntungan yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 25 juta rupiah per luasan lahan 1 000 m2. Hal ini menguatkan bahwa budidaya purwoceng secara luas merupakan peluang untuk menjamin kecukupan suplai bahan baku dan meningkatkan pendapatan petani purwoceng.

Kendala perluasan budidaya purwoceng selama ini antara lain terbatasnya area produksi akibat kesesuaian lahan dan tergesernya lahan potensial terutama di Dieng oleh produk hortikultura, serta keterbatasan sumber bibit. Menurut Rahardjo et al. (2006) yang harus diperhatikan dalam faktor kesesuaian lahan mencakup elevasi, kelembaban, suhu dan kesuburan tanah. Hal ini sangat penting karena kondisi agroklimat suatu lahan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan penelitian sebelumnya Rahardjo et al. (2004) mengungkapkan bahwa beberapa daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman purwoceng karena mempunyai sifat-sifat agroekosistem yang hampir mirip dengan habitat aslinya yaitu Tawangmangu (1 120 m dpl), Gunung Putri (1 540 m dpl), Tangkuban Perahu (1 680 m dpl), dan Manoko (1 240 m dpl).

Tanaman purwoceng diperbanyak secara generatif menggunakan biji. Biji yang dihasilkan cukup banyak yaitu sekitar 2 260 biji per rumpun tanaman purwoceng. Biji yang telah masak berwarna hitam, ukurannya sangat kecil dan bobot 1 000 butirnya hanya 0.52 g (Rahardjo et al., 2005). Menurut penelitian

M1 sangat rendah yaitu kurang dari 10 %. Benih yang disemai mulai berkecambah pada 7 minggu setelah semai. Berdasarkan penelitian Sukarman

et al. (2006) benih purwoceng yang mempunyai daya berkecambah paling bagus adalah benih yang berumur 7 minggu setelah inisiasi pembungaan (MSA), yaitu memiliki daya berkecambah 23 %. Menurut Rusmin (2010) masa masak fisiologis benih pada tiga kelompok bunga (payung) berbeda-beda. Masak benih dari payung pertama dan ketiga sekitar umur 7 MSA, dengan daya berkecambah masing-masing 5.75 % dan 10.50 %, sedangkan pada payung kedua yaitu umur 8 MSA dengan daya berkecambah 22.75 %. Oleh karena daya berkecambah benih purwoceng yang sangat rendah sedangkan permintaan terhadap bibit purwoceng yang terus meningkat, menyebabkan harga bibit cukup mahal yaitu Rp. 4 000,00– Rp. 10 000,00/bibit. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam perluasan area budidaya purwoceng, ditambah lagi adanya mitos yang berkembang di masyarakat bahwa tanaman purwoceng tidak dapat tumbuh selain di Desa Sikunang.

Masalah lain yang mengancam pada setiap usaha budidaya tanaman adalah hama dan penyakit. Menurut Rahardjo dan Yuhono (2006) hama yang sering menyerang tanaman purwoceng yaitu kutu daun (Aphid sp.) dan keong (molusca tidak bercangkang). Penyakit yang pernah ditemukan pada tanaman purwoceng yaitu penyakit busuk batang, tetapi penyakit ini jarang ditemukan atau dapat dikatakan tidak ada.

Syarat Tumbuh Purwoceng

Purwoceng merupakan tanaman yang tumbuh baik pada dataran dengan ketinggian 1 800–3 300 m dpl. Habitat asli tanaman purwoceng di Dieng berada pada ketinggian antara 1 850–2 050 m dpl, dengan suhu udara antara 15–21 0C, dan kelembaban udara antara 60–75 %, dan curah hujan di atas 4 000 mm/tahun. Purwoceng awalnya merupakan tumbuhan liar yang hidup di bawah tegakan tanaman keras atau hutan, sehingga kurang bagus pertumbuhannya apabila tanaman ini mendapat penyinaran matahari langsung. Oleh karena itu untuk pertumbuhan yang baik saat budidaya, tanaman ini diperlukan naungan buatan

jika ditanam pada tanah yang kaya bahan organik dengan pH tanah5.7–6.0 (Rahardjo dan Yuhono, 2006).

Tanaman purwoceng di Dieng tumbuh pada tanah berjenis Andosol. Tanaman ini tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya bahan organik, gembur, kurang kandungan liatnya, dan kemasaman tanahnya normal. Tanah Dieng termasuk dalam tanah yang subur, kandungan C-organiknya sangat tinggi, kapasitas tukar kation, kandungan Ca dan K tinggi, sedangkan kandungan N, P, dan Na tergolong cukup. Selain sifat tanahnya yang gembur dan subur, kondisi iklimnya memiliki curah hujan yang cukup, suhu udara dingin, dan kelembaban udara tidak terlalu basah (Rahardjo et al., 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Rahardjo dan Rostiana (2006) purwoceng dapat tumbuh dan dibudidayakan secara optimal baik di dalam maupun di luar lingkungan tumbuh aslinya. Purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat 1 500 – 2 050 m dpl, curah hujan > 4 000 mm/tahun, suhu udara 15–25.8 0C, tanah yang subur kaya bahan organik, gembur, dan memiliki pH 5.6–7 (netral).

Pemuliaan Mutasi

Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Pemuliaan tanaman dapat dilakukan secara konvensional maupun non-konvensional. Pemuliaan secara konvensional sangat umum dilakukan, seperti hibridisasi, seleksi dan introduksi, sedangkan pemuliaan non-konvensional misalnya mutasi.

Peningkatan keragaman populasi dasar dapat dilakukan salah satunya melalui induksi mutasi atau mutasi buatan. Mutasi dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu mutasi kromosom, gen, dan genom. Mutasi buatan dapat terjadi bila digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu. Mutagen adalah substansi atau perlakuan yang dapat mengakibatkan mutasi. Ada tiga kelompok mutagen yaitu radiasi, non-radiasi dan kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan antara lain sinar-X dari alat Rontgen, sinar gamma dari Cobalt-60, sinar beta dari radio isotop dan sinar neutron dari reaktor atom (Poespodarsono, 1988).

genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan terjadinya keragaman genetik (Soeranto dalam Herison, 2007). Menurut Poespodarsono (1988) mutasi merupakan perubahan genetik baik pada gen tunggal, sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada bagian yang sedang aktif membelah (meristematik) seperti tunas dan biji yang tidak dalam keadaan dorman. Sel meristematik memiliki radiosensitivitas tinggi terhadap mutagen yang diberikan. Soeranto dalam Herison et al. (2008) mengungkapkan bahwa dari sejumlah mutan yang dihasilkan terdapat peluang untuk mendapatkan genotipe yang lebih baik dibandingkan plasma nutfah asal. Pada tanaman sorgum, induksi mutasi fisik dengan irradiasi sinar gamma terhadap benih telah berhasil meningkatkan keragaman genetik tanaman sorgum.

Keberhasilan upaya irradiasi untuk meningkatkan keragaman populasi sangat ditentukan oleh radiosensitivitas genotipe yang diirradiasi. Tingkat sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe (Banerji and Datta dalam Herison et al., 2008). Menurut Handayani (2006) berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan irradiasi pada tanaman, antara lain genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen, temperatur dan dosis radiasi. Selain menghasilkan perubahan pada karakter morfologi atau penampilan fenotipik tanaman seperti warna dan jumlah petal bunga, induksi mutasi juga dapat menghasilkan mutan yang memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan.

Program pemuliaan tanaman melalui metode mutasi memiliki beberapa kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk bekerja pada gen yang spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh dari proses mutasi. Kekurangan lain dari metode ini adalah bahwa kerusakan pada struktur genetik dapat berubah normal kembali sebelum termanifestasi sebagai mutasi dan terekspresi sebagai fenotipe mutan (Micke dan Donini, 1993).

Penelitian-penelitian mengenai pemuliaan mutasi telah banyak dilakukan. Wijaya (2006) melakukan penelitian irradiasi sinar gamma pada benih tanaman hortikultura yaitu seledri daun (Aphium graveolens L. subsp. Secalium Alef)

5 hingga 35 Gy. Dosis yang diberikan pada tanaman seledri daun sebesar 25 Gy menghasilkan perubahan bentuk pada tanaman, sedangkan pada dosis 20 Gy terjadi penyimpangan warna pangkal batang menjadi pucat kemerahan. Mutan potensial yang terbentuk pada populasi tanaman seledri daun adalah tanaman dengan perlakuan dosis irradiasi 20 dan 25 Gy. Pemuliaan pada tanaman hias juga telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian Wegadara (2008) pada Anthurium (Anthurium andreanum) dengan dosis irradiasi sinar gamma sebesar 10 hingga 200 Gy. Umumnya pemuliaan mutasi tanaman hias dilakukan untuk memperoleh keragaman jenis tanaman karena semakin unik tanaman yang dihasilkan maka semakin disukai oleh konsumen tanaman hias. Wegadara (2008) melaporkan bahwa perlakuan irradiasi sinar gamma menurunkan panjang akar, panjang daun, lebar daun dan tinggi tanaman Anthurium. Tanaman dengan perlakuan 10 Gy mempunyai bentuk daun yang berbeda yaitu asimetris dan melengkung ke bawah. Tanaman yang mendapat perlakuan 20 Gy tumbuh kerdil dengan jumlah daun yang banyak.

Sinar Gamma

Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah ditemukan sinar Alpha (α) dan Beta (β) oleh Rutherford dan F. Soddy. Sinar gamma berasal dari inti atom dan dapat dikeluarkan oleh inti yang tidak stabil. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan gelombang pemancar terpendek, sehingga menggambarkan radiasi elektromagnetik dengan level energi tinggi. Tingkat radiasi yang dihasilkan dalam reaktor nuklir bisa mencapai 10 MeV dan biasanya diperoleh dari radio isotop Cobalt-60 (Co60) atau Cesium-137 (Ce137). Cobalt-60 mempunyai dua macam energi radiasi yaitu 1.33 dan 1.17 MeV dengan waktu paruh 5.3 tahun. Satuan Standar International (SI) yang digunakan untuk dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satuan dosis radiasi merupakan banyaknya energi yang diserap oleh suatu benda atau target. Satuan Gray sebanding dengan 102 rad (radiation absorbed dose) atau 1 Gy = 100 rad (Van Harten, 1988).

mempercepat terjadinya variasi pada suatu spesies. Irradiasi sinar gamma dapat menghasilkan energi yang tinggi sehingga dapat merusak ikatan kimia suatu senyawa menjadi senyawa baru apabila diberikan pada biji, tunas tanaman, serbuk sari, pucuk apikal, jaringan dan sel. Sinar gamma dihasilkan dari radioisotop dan reaktor nuklir, sumber Cobalt-60. Apabila sinar gamma ditembakkan pada biji, dapat menyebabkan di dalam inti sel terjadi mutasi genom, kromosom, gen atau mutasi diluar inti seperti pada plastida dan mitokondria. Mutasi genom menyebabkan perubahan jumlah kromosom yaitu penambahan atau pengurangan seluruh kromosom atau sebagian set kromosom. Mutasi kromosom menyebabkan translokasi, inversi, duplikasi dan delesi, sedangkan mutasi gen menyebabkan perubahan pada satu basa suatu nukleotida (Poespodarsono, 1988).

Menurut Ichikawa dan Ikhusima dalam Astuti (2005) pemberian irradiasi sinar gamma pada suatu tingkat dosis tertentu dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem untuk membelah diri, menyebabkan aktivitas pembelahan sel-sel meristem yang lain meningkat.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Obat, Rempah dan Aromatik (Balittro), Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Areal penelitian bertopografi datar dengan ketinggian 550 m dpl dan curah hujan rata-rata 3 900–4 500 mm/tahun. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai September 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tanaman purwoceng generasi M3 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri. Selain itu bahan lain yang dibutuhkan yaitu pupuk kandang dan pasir sebagai campuran media tanam serta polybag. Peralatan yang digunakan meliputi paranet 45 dan 50 %, peralatan olah tanah, peralatan tanam, dan peralatan ukur (meteran dan timbangan).

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengamati populasi tanaman dengan empat

Dokumen terkait