• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 Dan Potensi Produksinya Di Dataran Menengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 Dan Potensi Produksinya Di Dataran Menengah"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH

ANIF LAILATUSIFAH

A24063381

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

ANIF LAILATUSIFAH. Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di Dataran Menengah. Dibimbing oleh FAIZA CHAIRANI SUWARNO dan YUDIWANTI WAHYU E. K.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi dan

potensi produksi populasi putatif mutan tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) generasi M3 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m dpl) yang

dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2010. Tanaman purwoceng

merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh endemik di Dataran Tinggi

Dieng, Jawa Tengah (1 830 m dpl). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan

sumber bahan baku industri suplemen minuman karena mengandung senyawa

afrosidiak yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah

stamina. Selama ini purwoceng dibudidayakan secara sederhana dalam skala kecil

di habitat endemiknya. Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman

purwoceng agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati

pusat produksinya yang kebanyakan di dataran rendah.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman

purwoceng putatif mutan generasi M3 dengan dosis radiasi 10, 20, 30, dan 40 Gy

yang diperoleh dari Kebun Percobaan Gunung Putri. Bahan lain yang digunakan

adalah polybag, paranet dan media tanam campuran yaitu tanah, pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan yang sama. Penelitian dilakukan dengan

mengamati populasi tanaman yaitu karakteristik pertumbuhan, morfologi dan

potensi produksinya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada

taraf 5 %.

Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif menunjukkan bahwa secara

umum tanaman purwoceng generasi M3 memiliki warna daun dan warna tangkai

daun yaitu merah dan hijau. Karakter kualitatif lainnya yaitu tipe kanopi yang

ditemukan pada tanaman purwoceng generasi M3 ada tiga macam yaitu tegak,

semi tegak dan rebah. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter kuantitatif

(3)

perbedaan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi

M3 ini diduga selain akibat irradiasi sinar gamma, juga akibat faktor lingkungan.

Bobot segar tanaman purwoceng generasi M3 antar masing-masing dosis

irradiasi tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 3.13–7.33 g/tanaman. Hasil analisis

kandungan metabolit sekunder tanaman purwoceng generasi M3 (sitosterol,

stigmasterol, saponin, dan bergapten) antar masing-masing perlakuan irradiasi

tidak berbeda nyata. Kandungan masing-masing jenis metabolit sekunder didalam

populasi tanaman purwoceng generasi M3 juga tidak berbeda nyata. Rata-rata

kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten berturut-turut 0.40,

0.70, 0.53, dan 0.82 %. Pada populasi yang dipelajari, korelasi antara jumlah

daun, panjang tangkai, panjang daun, dan diameter kanopi dengan bobot basah

tidak nyata. Korelasi positif dan nyata terjadi antara jumlah daun terhadap diameter

(4)

EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN

PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M3

DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Anif Lailatusifah

A24063381

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul :

Nama : Anif Lailatusifah NIM : A24063381

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS.

NIP. 19521008 198103 2 001 NIP. 19631107 198811 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr

NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Anif Lailatusifah, dilahirkan pada tanggal 30 Agustus

1988 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem.

Tahun 1992 penulis lulus dari TK Kusuma Mekar I dan melanjutkan

pendidikan sekolah dasar di SDN Bugel pada tahun 1994. Tahun 2000 penulis

melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di MTs M Darul

Ulum dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Pendidikan sekolah menengah atas

dilalui di MAN Yogyakarta 1 dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis

diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Agronomi

dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama sebagai mahasiswa penulis aktif dalam UKM Eco-Agrifarma

sebagai anggota divisi produksi, serta aktif mengikuti berbagai kepanitiaan di

lingkungan internal kampus. Penulis pernah mendapatkan hibah dari DIKTI

dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan tahun 2008

dengan judul “Terarium In Vitro: Taman Mini dalam Ruang”, tahun 2010 dengan “Kultur Seni : Flowerbed In D’Bottle” dan “Komersialisasi Martabak Buah Kombinasi ‘Mabuk’ sebagai Kudapan Sehat dan Lezat”, serta PKM Penelitian

dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Paclobutrazol dalam Induksi Pembungaan

(Flowering) Mawar Mini Hibrida Var. Rosmarun dan Yulikara secara In Vitro”, dan pada tahun 2011 PKM bidang Kewirausahaan dengan judul “Kultur seni:

Terarium Berbasis Kultur Jaringan” dan “Pengembangan Martabak Buah

Kombinasi Berbasis Tepung Lokal: Mocaf, Tepung Ubi Jalar dan Tepung Biji

Nangka”. Penulis pada tahun 2008 menjadi Tim Pameran IPB dalam Lomba

Poster dan Gelar Produk Non-PKM Pekan “Ilmiah Mahasiswa Nasional XXI” di

Unissula, Semarang. Penulis pada tahun 2009 lolos seleksi Program

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayat, dan kasih

sayang-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

dengan baik dan lancar. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para

pengikutnya yang tetap istiqomah dalam mengikuti dan memegang teguh

ajaranNya.

Skripsi yang berjudul “Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di Dataran Menengah”. diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS., selaku Dosen pembimbing pertama yang

telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan

penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS., selaku Dosen pembimbing kedua yang

telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan

penyusunan skripsi.

3. Ir. Supijatno, MSi., selaku Dosen pembimbing akademik, yang telah

mendampingi dan mengarahkan selama menempuh studi di Departemen

Agronomi dan Hortikultura.

4. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS., selaku Dosen penguji yang telah memberikan

saran dan perbaikan dalam penulisan naskah skripsi.

5. Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem selaku orang tua, serta seluruh keluarga besar

penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi, nasehat, kasih

sayang, dan pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi dan studi di Institut Pertanian Bogor.

6. Bapak Wawan, Bapak Mardiana, Mb’ Irni dan seluruh staf Kebun Percobaan

Balai Tanaman Obat Cicurug, Sukabumi yang telah memberikan arahan dan

(8)

7. Sahabat-sahabat: Sulis Mardiana, Agustina Dewi L, Devi Mustikawati,

V. Susirani, Seriulina, Elisabeth T., Ana Y., Nurul F., Fitria Dwinanda, Winda H.,

Atrie Y., Linda O., Agustina S. dan seluruh penghuni Laboratorium Ecotoxycology Waste and Bioagent; & kakak-kakak: Ahmawati P. Mahendra R., Fitria Yuniarsih, Wacih Tresnasih, Teti M., dan Sri Hartati; juga

kawan-kawan IKAMADITA (Ikatan Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta) yang

selalu menemani dan memberikan semangat selama menempuh perkuliahan

dan penyelesaian studi di IPB.

8. Florito’s team, 4Glam’s team dan Marbusis team atas kerjasama merangkai mimpi-mimpi.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa AGH-43 yang telah memberikan kenangan

yang tidak akan terlupakan serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah

membantu penulis selama kuliah dan penyelesaian tugas akhir ini. Semoga hasil

penelitian ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ... 4

Syarat Tumbuh Purwoceng ... 8

Pemuliaan Mutasi ... 9

Sinar Gamma ... 11

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode Penelitian ... 13

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Pengamatan ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 17

Karakter Kualitatif Warna Daun ... 22

Warna Tangkai Daun ... 24

Tipe Kanopi ... 25

Karakter Kuantitatif Jumlah Daun ... 26

Panjang Tangkai ... 29

Panjang Daun ... 30

Diameter Kanopi ... 31

Bobot Tanaman ... 33

Metabolit Sekunder ... 35

Korelasi Antar Karakter Kuantitatif ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3 ... 22

2. Hasil Uji-t Bobot Segar Tanaman Purwoceng Generasi M3 antar

Perlakuan Dosis Irradiasi ... 33

3. Hasil Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng

Generasi M3 ... 35

4. Nilai Uji Korelasi Antar Karakter Kuantitatif Tanaman Purwoceng

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng ... 4

2. Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng ... 16

3. Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen ... 19

4. Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ... 20

5. Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng ... 21

6. Keragaman Warna Daun Purwoceng pada Dua Fase Umur ... 22

7. Warna Tangkai Daun Purwoceng ... 24

8. Tipe Kanopi ... 25

9. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 26

10. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 29

11. Rata-rata Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 31

12. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 32

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M3 Tiap Perlakuan Irradiasi

pada Umur Berbeda ... 44

2. Kondisi Iklim di Kebun Percobaan Cicurug, Sukabumi Selama Penelitian ... 44

3. Hasil Analisis Tanah Kebun Percobaan Balittro Cicurug ... 45

4. Perbandingan Karakter Agroekologi dan Sifat Fisik-Kimia Tanah di Dieng, Tawangmangu, Tangkubanprahu, Manoko, Ciwidey, dan Cicurug ... 46

5. Hasil Pengamatan Warna Daun, Warna Tangkai Daun dan Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3 ... 47

6. Hasil Pengamatan Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3... 49

7. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 ... 53

8. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 ... 53

9. Hasil Uji-t Panjang Daun Majemuk Tanaman Generasi M3 ... 53

10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 ... 53

11. Hasil Uji-t Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M3 antar Perlakuan Dosis Irradiasi ... 54

12. Hasil Uji-t antar Jenis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M3... 54

13. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 54

14. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 55

15. Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 56

16. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP... 56

17. Bobot Segar dan Kering Purwoceng Generasi M3 Umur 6 BST ... 57

(13)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan yang subur dan

dikaruniai biodiversitas yang tinggi. Negara tropis ini sudah dikenal sebagai

penghasil berbagai macam komoditas pertanian termasuk tanaman obat. Kondisi

tanah dan iklim yang sesuai, serta keanekaragaman flora yang tinggi membuat

negara ini menjadi penghasil komoditas obat-obatan dari alam yang potensial.

Penggunaan tanaman obat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional

di Indonesia sudah dilakukan sejak dahulu. Jenis tanaman yang digunakan pun

sangat beragam. Menurut Departemen Kesehatan (2007) diperkirakan 40 000

spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30 000 di antaranya tumbuh di

Indonesia. Sekitar 180 spesies dari jumlah spesies diatas yang dimanfaatkan

sebagai bahan oleh industri obat tradisional.

Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati,

khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan

kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi budaya memakai obat

tradisional. Kecenderungan ini telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai

gelombang hijau baru (new green wave) atau tren gaya hidup kembali ke alam (back to nature). Bahkan WHO menjelaskan bahwa hingga 65 % dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional dimana

didalamnya termasuk penggunaan obat-obat bahan alam (Departemen Kesehatan,

2007).

Salah satu jenis tanaman obat yang kini kian marak baik di dunia industri

obat maupun dalam bidang biofarmaka adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.). Purwoceng merupakan tanaman yang mengandung senyawa afrodisiak

yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina

(Raharjo dan Rostiana, 2006). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan

sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk

(14)

peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita (Balittro, 2008).

Tanaman purwoceng selama ini dibudidayakan secara sederhana dalam

skala kecil di habitat endemiknya yaitu di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Menurut Yuhono (2004) tanaman ini berkembang di empat desa yaitu Sikunang,

Dieng, Petak Banteng, dan Sembungan. Umumnya tanaman ini dibudidayakan di

pekarangan petani dengan luasan yang sempit.

Meningkatnya permintaan tanaman purwoceng oleh industri jamu di

Indonesia dan status kelangkaan (endangered species) tanaman purwoceng di habitat endemiknya, serta area budidaya yang sangat terbatas, mendorong adanya

suatu upaya peningkatan produksi. Selama ini kendala utama yang dihadapi

dalam produksi tanaman obat adalah kesesuaian lahan, iklim, dan masalah bibit.

Beberapa kendala tersebut juga menjadi faktor pembatas dalam pengembangan

budidaya tanaman purwoceng saat ini.

Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang cocok menentukan mutu

tanaman obat yang dihasilkan. Tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh di segala

tempat. Apabila dapat tumbuh pun, maka hasil produksinya tidak akan maksimal.

Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman purwoceng agar dapat

tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati pusat produksinya

yang kebanyakan di dataran rendah. Upaya peningkatan produksi tanaman ini

dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman dan perbaikan teknik budidaya.

Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu

tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan

untuk memperoleh tanaman yang mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik di

luar habitat aslinya. Keberhasilan suatu program pemulian tanaman adalah adanya

keragaman tanaman. Menurut Poespodarsono (1988) keragaman genetik dapat

diperoleh dari koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi (secara fisik atau

kimia).

Memperhatikan kekhasan habitatnya tanaman purwoceng diduga memiliki

keragaman yang kecil, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan keragamannya.

(15)

keragaman pada tanaman adalah dengan mutasi.

Menurut Poespodarsono (1988) mutasi adalah perubahan genetik baik gen

tunggal ataupun sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi juga dapat

menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimia suatu tanaman. Mutasi secara

alami sulit terjadi. Kusumo, et al. (2008) melakukan mutasi buatan secara fisik dengan irradiasi sinar gamma pada benih tanaman purwoceng untuk memperoleh

keragaman secara cepat. Populasi putatif mutan tanaman purwoceng telah

diperoleh hingga generasi M3.

Yuhono (2004) mengungkapkan bahwa peluang pengembangan

purwoceng masih terbentang luas. Pemuliaan terhadap purwoceng perlu terus

dilakukan untuk mengkonservasi dan memelihara kelestarian tanaman, serta

memperoleh tanaman purwoceng yang mampu tumbuh baik (adaptif) di dataran

rendah dan mempunyai hasil produksi yang optimal.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan populasi tanaman

purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma dan potensi

produksinya di dataran menengah.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan morfologi dan karakteristik pertumbuhan pada populasi

tanaman purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma

yang ditanam di dataran menengah.

2. Terdapat perbedaan potensi produksi dan kandungan metabolit sekunder pada

(16)

Gambar 1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng. Tanaman (1), Bunga kuncup (2), Bunga mekar (3), Buah (4), Akar dari tanaman berumur 6 bulan (5). (Sumber: Darwati dan Roostika, 2006).

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan salah satu tanaman afrodisiak (obat kuat) asli Indonesia. Tanaman ini awalnya dijumpai tumbuh

secara liar di sekitar dataran tinggi Dieng, disekitar gunung Pangrango (Jawa

Barat) dan daerah-daerah pegunungan di Jawa Timur pada ketinggian 1 800–

3 000 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Heyne, 1985). Purwoceng dikenal

dengan nama antanan gunung di daerah Jawa Barat (Sunda), purwoaceng atau

purwoceng di Jawa Tengah, dan di daerah lainnya disebut pula dengan suripandak

abang atau gebangan (Yuhono, 2004). Menurut Raharjo dan Yuhono (2006)

klasifikasi botani purwoceng sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Famili : Apiaceae

Genus : Pimpinella

Spesies : Pimpinella pruatjan Molk.; sinonim Pimpinella alpina Kds.

1 2

4 5

(17)

membentuk rosset, tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tangkai daun

tumbuh rapat menutupi batang tanaman, seolah batang tanaman tidak ada, jumlah

tangkai daun lebih kurang 46.50 buah/tanaman. Pangkal tangkai daun pada

umumnya berwarna merah kecoklatan dan sebagian kecil (< 2 %) berwarna

kehijauan. Panjang tangkai daun lebih kurang 18.80 cm. Biasanya tajuk tanaman

menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk

berkisar lebih kurang 37.90 cm (Raharjo dan Yuhono, 2006).

Purwoceng mempunyai daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan,

di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan

pinggiran bergerigi. Warna permukaan daun hijau, dan permukaan bawahnya

berwarna hijau keputih-putihan. Purwoceng mempunyai perakaran tunggang, akar

bagian pangkal semakin umur tanaman bertambah, semakin membesar seolah

membentuk umbi seperti bentuk gingseng, tetapi tidak sebesar gingseng, akar-akar

rambut keluar di ujungnya (Raharjo et al., 2005).

Purwoceng banyak diinginkan oleh industri obat karena dapat digunakan

sebagai obat kuat pria. Kandungan metabolit sekunder pada tanaman ini antara

lain senyawa golongan kumarin, flavonoid, alkaloid, dan terpenoid-steroid.

Komponen kimia berkhasiat afrodisiak yang terdapat dalam jaringan tanaman

purwoceng dari golongan steroid adalah sitosterol dan stigmasterol, bergapten dari

turunan furanokumarin, serta saponin dari golongan triterpenoid (Rostiana et al., 2007).

Khasiat utama tanaman ini berada pada bagian akar. Akan tetapi, saat ini

semua bagian tanaman baik akar, daun, maupun batang telah dimanfaatkan karena

terbukti juga mengandung senyawa aktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Wahyuni (2010) kadar saponin dan fitosterol pada akar tidak berbeda jika

dibandingkan pada batang dan daun purwoceng. Akarnya dikenal sebagai

afrosidak (obat kuat) dan juga mengandung senyawa diuretik yang dapat

melancarkan air kemih. Tanaman purwoceng baik bagian tajuk maupun akar juga

mengandung vitamin E yang dapat meningkatkan fertilitas spermatozoid. Selain

mengandung vitamin E, di bagian tajuk juga mengandung bergapten yang

(18)

purwoceng, khasiat purwoceng tidak kalah dengan gingseng dari Cina atau Korea

(Raharjo et al., 2004). Penggunaan herbal purwoceng di Dataran Tinggi Dieng bermula dari penduduk atau petani sekitar yang setiap selesai bekerja keras

kemudian mengkonsumsi air seduhan purwoceng dengan tujuan untuk menjaga

dan meningkatkan kesehatan, serta menjaga agar tidak masuk angin karena daerah

sekitar pegunungan Dieng memiliki lahan yang terjal, berbukit (tingkat

kecuraman sampai 800), dan cuaca yang sangat dingin sehingga menuntut para

petani setempat harus tetap prima kesehatannya. Perkembangan selanjutnya,

tanaman ini semakin dicari terutama oleh perusahaan industri obat tradisional

sebagai bahan baku obat kuat (Yuhono, 2004).

Industri obat tradisional biasanya menerima hasil panen tanaman

purwoceng dalam bentuk simplisia. Gunawan dan Mulyani (2004) menjelaskan

bahwa simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan

obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan

bentuk. Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI

(No.230/Menkes/IX/176) adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan

belum mengalami perubahan proses apapun juga dan kecuali dinyatakan lain

umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Umumnya simplisia purwoceng

diproses menjadi bentuk-bentuk olahan seperti bubuk (serbuk), ekstrak dan

kapsul.

Pemenuhan kebutuhan simplisia purwoceng selama ini berasal dari

budidaya di pekarangan rumah penduduk di Dieng, dengan cara sederhana dan

luasan yang terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ermiati et al. (2005) di Desa Sikunang, rata-rata kepemilikan lahan usahatani purwoceng per petani

sekitar 37 m2, dengan kisaran kepemilikan 4–200 m2.

Potensi tanaman purwoceng sebagai bahan subtitusi atau pengganti

gingseng sangat besar karena permintaan pasar cukup tinggi. Kemala dalam

Ermiati et al. (2005) menyebutkan bahwa perkiraan serapan purwoceng di Jawa Tengah mencapai 6 900 kg tanaman segar per tahun. Berdasarkan penelitian

Yuhono (2004) beberapa industri obat tradisional meminta pasokan secara rutin

(19)

bahwa rendahnya tingkat produktivitas dan terbatasnya areal produksi khususnya

di daerah Dieng karena bersaing dengan tanaman hortikultura lainnya seperti

kentang dan bawang daun, sehingga menyebabkan harga purwoceng menjadi

relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Ermiati et al. (2005) harga purwoceng basah ditingkat petani berkisar Rp. 50 000,00 hingga Rp. 85 000,00 per kg. Rahardjo

dan Yuhono (2006) menerangkan bahwa harga herbal kering purwoceng dapat

mencapai Rp. 200 000,00 hingga Rp. 400 000,00 per kg.

Berdasarkan analisis usahatani yang dilakukan Yuhono (2004) dan

Ermiati et al. (2005) yang dilakukan di Desa Sikunang menunjukkan bahwa usahatani purwoceng menguntungkan, layak dan mempunyai prospek yang bagus

untuk dikembangkan. Benefit Cost Rasio yang diperoleh dari analisis usahatani purwoceng menunjukkan lebih dari satu (B/C Rasio > 1), berturut-turut adalah

4.63 dan 2.26. Keuntungan yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 25 juta

rupiah per luasan lahan 1 000 m2. Hal ini menguatkan bahwa budidaya purwoceng

secara luas merupakan peluang untuk menjamin kecukupan suplai bahan baku dan

meningkatkan pendapatan petani purwoceng.

Kendala perluasan budidaya purwoceng selama ini antara lain terbatasnya

area produksi akibat kesesuaian lahan dan tergesernya lahan potensial terutama di

Dieng oleh produk hortikultura, serta keterbatasan sumber bibit. Menurut

Rahardjo et al. (2006) yang harus diperhatikan dalam faktor kesesuaian lahan mencakup elevasi, kelembaban, suhu dan kesuburan tanah. Hal ini sangat penting

karena kondisi agroklimat suatu lahan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Berdasarkan penelitian sebelumnya Rahardjo et al. (2004) mengungkapkan bahwa beberapa daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman purwoceng

karena mempunyai sifat-sifat agroekosistem yang hampir mirip dengan habitat

aslinya yaitu Tawangmangu (1 120 m dpl), Gunung Putri (1 540 m dpl),

Tangkuban Perahu (1 680 m dpl), dan Manoko (1 240 m dpl).

Tanaman purwoceng diperbanyak secara generatif menggunakan biji. Biji

yang dihasilkan cukup banyak yaitu sekitar 2 260 biji per rumpun tanaman

purwoceng. Biji yang telah masak berwarna hitam, ukurannya sangat kecil dan

(20)

M1 sangat rendah yaitu kurang dari 10 %. Benih yang disemai mulai

berkecambah pada 7 minggu setelah semai. Berdasarkan penelitian Sukarman

et al. (2006) benih purwoceng yang mempunyai daya berkecambah paling bagus adalah benih yang berumur 7 minggu setelah inisiasi pembungaan (MSA), yaitu

memiliki daya berkecambah 23 %. Menurut Rusmin (2010) masa masak fisiologis

benih pada tiga kelompok bunga (payung) berbeda-beda. Masak benih dari

payung pertama dan ketiga sekitar umur 7 MSA, dengan daya berkecambah

masing-masing 5.75 % dan 10.50 %, sedangkan pada payung kedua yaitu umur

8 MSA dengan daya berkecambah 22.75 %. Oleh karena daya berkecambah benih

purwoceng yang sangat rendah sedangkan permintaan terhadap bibit purwoceng

yang terus meningkat, menyebabkan harga bibit cukup mahal yaitu Rp. 4 000,00–

Rp. 10 000,00/bibit. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam perluasan area

budidaya purwoceng, ditambah lagi adanya mitos yang berkembang di

masyarakat bahwa tanaman purwoceng tidak dapat tumbuh selain di Desa

Sikunang.

Masalah lain yang mengancam pada setiap usaha budidaya tanaman adalah

hama dan penyakit. Menurut Rahardjo dan Yuhono (2006) hama yang sering

menyerang tanaman purwoceng yaitu kutu daun (Aphid sp.) dan keong (molusca tidak bercangkang). Penyakit yang pernah ditemukan pada tanaman purwoceng

yaitu penyakit busuk batang, tetapi penyakit ini jarang ditemukan atau dapat

dikatakan tidak ada.

Syarat Tumbuh Purwoceng

Purwoceng merupakan tanaman yang tumbuh baik pada dataran dengan

ketinggian 1 800–3 300 m dpl. Habitat asli tanaman purwoceng di Dieng berada

pada ketinggian antara 1 850–2 050 m dpl, dengan suhu udara antara 15–21 0C,

dan kelembaban udara antara 60–75 %, dan curah hujan di atas 4 000 mm/tahun.

Purwoceng awalnya merupakan tumbuhan liar yang hidup di bawah tegakan

tanaman keras atau hutan, sehingga kurang bagus pertumbuhannya apabila

tanaman ini mendapat penyinaran matahari langsung. Oleh karena itu untuk

(21)

jika ditanam pada tanah yang kaya bahan organik dengan pH tanah5.7–6.0

(Rahardjo dan Yuhono, 2006).

Tanaman purwoceng di Dieng tumbuh pada tanah berjenis Andosol.

Tanaman ini tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya bahan organik, gembur,

kurang kandungan liatnya, dan kemasaman tanahnya normal. Tanah Dieng

termasuk dalam tanah yang subur, kandungan C-organiknya sangat tinggi,

kapasitas tukar kation, kandungan Ca dan K tinggi, sedangkan kandungan N, P,

dan Na tergolong cukup. Selain sifat tanahnya yang gembur dan subur, kondisi

iklimnya memiliki curah hujan yang cukup, suhu udara dingin, dan kelembaban

udara tidak terlalu basah (Rahardjo et al., 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Rahardjo dan Rostiana (2006) purwoceng

dapat tumbuh dan dibudidayakan secara optimal baik di dalam maupun di luar

lingkungan tumbuh aslinya. Purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian

tempat 1 500 – 2 050 m dpl, curah hujan > 4 000 mm/tahun, suhu udara 15–25.8 0C,

tanah yang subur kaya bahan organik, gembur, dan memiliki pH 5.6–7 (netral).

Pemuliaan Mutasi

Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu

tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Pemuliaan tanaman

dapat dilakukan secara konvensional maupun non-konvensional. Pemuliaan secara

konvensional sangat umum dilakukan, seperti hibridisasi, seleksi dan introduksi,

sedangkan pemuliaan non-konvensional misalnya mutasi.

Peningkatan keragaman populasi dasar dapat dilakukan salah satunya

melalui induksi mutasi atau mutasi buatan. Mutasi dapat dibedakan menjadi tiga

macam yaitu mutasi kromosom, gen, dan genom. Mutasi buatan dapat terjadi bila

digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu. Mutagen adalah substansi

atau perlakuan yang dapat mengakibatkan mutasi. Ada tiga kelompok mutagen

yaitu radiasi, non-radiasi dan kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan antara

lain sinar-X dari alat Rontgen, sinar gamma dari Cobalt-60, sinar beta dari radio

(22)

genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan terjadinya

keragaman genetik (Soeranto dalam Herison, 2007). Menurut Poespodarsono (1988) mutasi merupakan perubahan genetik baik pada gen tunggal, sejumlah gen

atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada bagian yang sedang aktif

membelah (meristematik) seperti tunas dan biji yang tidak dalam keadaan dorman.

Sel meristematik memiliki radiosensitivitas tinggi terhadap mutagen yang

diberikan. Soeranto dalam Herison et al. (2008) mengungkapkan bahwa dari sejumlah mutan yang dihasilkan terdapat peluang untuk mendapatkan genotipe

yang lebih baik dibandingkan plasma nutfah asal. Pada tanaman sorgum, induksi

mutasi fisik dengan irradiasi sinar gamma terhadap benih telah berhasil

meningkatkan keragaman genetik tanaman sorgum.

Keberhasilan upaya irradiasi untuk meningkatkan keragaman populasi

sangat ditentukan oleh radiosensitivitas genotipe yang diirradiasi. Tingkat

sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe

(Banerji and Datta dalam Herison et al., 2008). Menurut Handayani (2006) berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan irradiasi pada

tanaman, antara lain genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia

perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen,

temperatur dan dosis radiasi. Selain menghasilkan perubahan pada karakter

morfologi atau penampilan fenotipik tanaman seperti warna dan jumlah petal

bunga, induksi mutasi juga dapat menghasilkan mutan yang memiliki ketahanan

terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan.

Program pemuliaan tanaman melalui metode mutasi memiliki beberapa

kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk

bekerja pada gen yang spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh

dari proses mutasi. Kekurangan lain dari metode ini adalah bahwa kerusakan pada

struktur genetik dapat berubah normal kembali sebelum termanifestasi sebagai

mutasi dan terekspresi sebagai fenotipe mutan (Micke dan Donini, 1993).

Penelitian-penelitian mengenai pemuliaan mutasi telah banyak dilakukan.

Wijaya (2006) melakukan penelitian irradiasi sinar gamma pada benih tanaman

(23)

5 hingga 35 Gy. Dosis yang diberikan pada tanaman seledri daun sebesar 25 Gy

menghasilkan perubahan bentuk pada tanaman, sedangkan pada dosis 20 Gy

terjadi penyimpangan warna pangkal batang menjadi pucat kemerahan. Mutan

potensial yang terbentuk pada populasi tanaman seledri daun adalah tanaman

dengan perlakuan dosis irradiasi 20 dan 25 Gy. Pemuliaan pada tanaman hias

juga telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian Wegadara (2008)

pada Anthurium (Anthurium andreanum) dengan dosis irradiasi sinar gamma sebesar 10 hingga 200 Gy. Umumnya pemuliaan mutasi tanaman hias dilakukan

untuk memperoleh keragaman jenis tanaman karena semakin unik tanaman yang

dihasilkan maka semakin disukai oleh konsumen tanaman hias. Wegadara (2008)

melaporkan bahwa perlakuan irradiasi sinar gamma menurunkan panjang akar,

panjang daun, lebar daun dan tinggi tanaman Anthurium. Tanaman dengan

perlakuan 10 Gy mempunyai bentuk daun yang berbeda yaitu asimetris dan

melengkung ke bawah. Tanaman yang mendapat perlakuan 20 Gy tumbuh kerdil

dengan jumlah daun yang banyak.

Sinar Gamma

Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah

ditemukan sinar Alpha (α) dan Beta (β) oleh Rutherford dan F. Soddy. Sinar

gamma berasal dari inti atom dan dapat dikeluarkan oleh inti yang tidak stabil.

Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan gelombang pemancar

terpendek, sehingga menggambarkan radiasi elektromagnetik dengan level energi

tinggi. Tingkat radiasi yang dihasilkan dalam reaktor nuklir bisa mencapai

10 MeV dan biasanya diperoleh dari radio isotop Cobalt-60 (Co60) atau

Cesium-137 (Ce137). Cobalt-60 mempunyai dua macam energi radiasi yaitu

1.33 dan 1.17 MeV dengan waktu paruh 5.3 tahun. Satuan Standar International

(SI) yang digunakan untuk dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satuan dosis radiasi

merupakan banyaknya energi yang diserap oleh suatu benda atau target. Satuan

(24)

mempercepat terjadinya variasi pada suatu spesies. Irradiasi sinar gamma dapat

menghasilkan energi yang tinggi sehingga dapat merusak ikatan kimia suatu

senyawa menjadi senyawa baru apabila diberikan pada biji, tunas tanaman, serbuk

sari, pucuk apikal, jaringan dan sel. Sinar gamma dihasilkan dari radioisotop dan

reaktor nuklir, sumber Cobalt-60. Apabila sinar gamma ditembakkan pada biji,

dapat menyebabkan di dalam inti sel terjadi mutasi genom, kromosom, gen atau

mutasi diluar inti seperti pada plastida dan mitokondria. Mutasi genom

menyebabkan perubahan jumlah kromosom yaitu penambahan atau pengurangan

seluruh kromosom atau sebagian set kromosom. Mutasi kromosom menyebabkan

translokasi, inversi, duplikasi dan delesi, sedangkan mutasi gen menyebabkan

perubahan pada satu basa suatu nukleotida (Poespodarsono, 1988).

Menurut Ichikawa dan Ikhusima dalam Astuti (2005) pemberian irradiasi sinar gamma pada suatu tingkat dosis tertentu dapat merangsang pertumbuhan

tanaman. Hal ini disebabkan hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem

untuk membelah diri, menyebabkan aktivitas pembelahan sel-sel meristem yang

(25)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman

Obat, Rempah dan Aromatik (Balittro), Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Areal

penelitian bertopografi datar dengan ketinggian 550 m dpl dan curah hujan

rata-rata 3 900–4 500 mm/tahun. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai

September 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tanaman purwoceng

generasi M3 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri. Selain

itu bahan lain yang dibutuhkan yaitu pupuk kandang dan pasir sebagai campuran

media tanam serta polybag. Peralatan yang digunakan meliputi paranet 45 dan 50 %, peralatan olah tanah, peralatan tanam, dan peralatan ukur (meteran dan

timbangan).

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengamati populasi tanaman dengan empat

tingkat irradiasi pada benih yaitu 10, 20, 30, dan 40 Gy. Semua individu tanaman

diamati karakteristik pertumbuhan, morfologi dan potensi produksinya. Analisis

data dilakukan dengan menggunakan uji–t pada taraf 5% mengikuti cara Walpole

(1995). Persamaan yang digunakan pada pengujian adalah:

t

hitung =

(

)

2 1 2 1 1 1 n n s x x p + −

dengan Sp =

(

)

(

)

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 − + − + − n n s n s n Keterangan

x1 x2 : Nilai tengah contoh 1 dan 2

s12, s22 : Ragam contoh 1 dan 2

n1, n2 : Banyaknya tanaman contoh 1 dan 2

(26)

Nilai berbeda nyata apabila

t

hitung> ttabel dan tidak berbeda nyata apabila

t

hitung≤ ttabel, ttabel diperoleh dari nilai sebaran-t pada selang kepercayaan 5 % dan

db (n1-n2)-2 (Walpole, 1995).

Pelaksanaan Penelitian

Benih purwoceng yang diperoleh dari Gunung Putri merupakan benih M3

dari tanaman generasi M2. Benih dikecambahkan dengan menaburkannya pada

polybag besar berisi media campuran tanah-kompos-pasir dengan perbandingan volume yang sama di bawah naungan paranet 50%. Benih dari tiap dosis irradiasi

dikecambahkan dalam polybag terpisah. Benih yang berkecambah dan tumbuh membentuk 3–4 daun (daun tunggal membulat dengan pinggiran bergerigi)

kemudian dipindahkan ke polybag kecil. Setelah bibit berumur kurang lebih satu bulan di persemaian dalam polybag kecil, maka tanaman siap dipindahkan ke bedengan.

Persiapan lahan dilakukan dengan membuat bedengan di bawah naungan

paranet 45 % setinggi 1 m dengan tinggi bedengan 25–30 cm, dan lebar bedengan

masing-masing 1 m. Setelah itu dibuat lubang tanam dengan jarak 30 cm x 30 cm,

dan pada setiap lubang tanam ditambahkan kompos 0.25–0.5 kg. Populasi

tanaman per bedeng berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah bibit yang tersedia

(22–42 tanaman). Jumlah seluruh tanaman adalah 102 tanaman.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pemupukan,

dan pengendalian hama penyakit. Penyiangan dilakukan setiap 2 minggu

bersamaan dengan pengamatan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan

mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Pemupukan dilakukan 1 bulan

setelah tanaman dipindahkan ke bedeng (BST). Dosis pupuk yang diberikan

adalah 4.5 g Urea /tanaman, 4 g SP-18 /tanaman dan 1 g KCl /tanaman. Pupuk

urea diberikan tiga kali yaitu 1, 3 dan 5 BST. Pengendalian terhadap hama dan

penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama Aphid sp. dilakukan secara manual dengan tangan. Penyakit busuk akar dikendalikan

(27)

Pemanenan purwoceng dilakukan pada umur 6 bulan setelah pindah

tanam. Cara pemanenan dilakukan dengan menggali dan mengangkat seluruh

bagian tanaman menggunakan kored. Akar dijaga agar tidak putus sehingga dapat

terangkat semua bagian tanaman. Setelah dipanen, tanaman dipisahkan antara

bagian akar, batang dan daun. Hasil panen kemudian dikeringanginkan (1–2 hari)

dan dioven pada suhu 400C selama 2 hari.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada seluruh populasi tanaman pada petak

penelitian. Tanaman yang diamati adalah tanaman yang telah dipindahkan ke

bedengan. Pengamatan dimulai saat tanaman berumur 4 minggu setelah

dipindahkan ke bedeng (MSP), dan selanjutnya diamati setiap 4 minggu. Peubah

yang diamati pada penelitian ini dibedakan menjadi karakter kualitatif dan

kuantitatif. Karakter kualitatif meliputi warna daun, warna tangkai daun dan tipe

kanopi sedangkan karakter kuantitatif yang diamati yaitu jumlah daun, panjang

tangkai, panjang daun, diameter kanopi, bobot tanaman, dan kadar metabolit

sekunder. Berikut diuraikan cara pengamatan peubah:

A. Karakter Kualitatif

1. Warna daun

Pengamatan warna daun dilakukan pada daun muda dan daun tua, pada

permukaan atas dan bawah daun. Warna daun yang biasa ditemukan pada

tanaman purwoceng adalah hijau dan merah.

2. Warna tangkai daun

Pengamatan dilakukan pada pangkal tangkai daun dan kecenderungan warna

pada tangkai secara keseluruhan tiap tanaman. Warna tangkai yang ditemukan

sama seperti warna daun yaitu hijau dan merah.

3. Tipe kanopi

Tipe kanopi purwoceng ditentukan dengan melihat kecenderungan bentuk

tangkai-tangkai daun dalam satu tanaman yang dibedakan menjadi tiga tipe,

(28)

Gambar 2. Ske (ki

B. Karakter Kuantita

1. Jumlah Daun

Data jumlah daun

segar dan anak daunn

2. Panjang tangkai da

Panjang tangkai y

yaitu mengukur

permukaan tanah s

3. Panjang daun

Data panjang da

terpanjang, yaitu

di atas tanah sampa

4. Diameter kanopi

Data diameter kanopi

daun terluar yang

mata angin:

Barat-5. Bobot tanaman

Data bobot diperol

segar dan bobot

menunjukkan pote

6. Metabolit Sekunde

Metabolit sekunde

dan saponin. Ana

diambil dari setiap pe

Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Pur (kiri), Semi tegak (tengah), Rebah (kanan).

ntitatif

un diperoleh dengan menghitung seluruh daun

aunnya telah terbuka penuh.

daun

yang diukur adalah tangkai pada daun majem

ukur panjang dari pangkal tangkai daun yang

h sampai tempat munculnya anak daun terbawa

daun diperoleh dengan mengukur daun

u mengukur panjang dari pangkal tangkai d

pai ujung daun.

anopi purwoceng diperoleh dengan mengukur

g letaknya berhadapan, misalnya menggunaka

-Timur atau Utara-Selatan.

roleh setelah tanaman dipanen (umur 6 bula

bobot setelah dikeringkan. Bobot tanaman

n potensi produksi tanaman purwoceng.

kunder

kunder yang dianalisis adalah sitosterol, stigmast

nalisis kandungan metabolit sekunder tanam

ap perlakuan irradiasi.

urwoceng: Tegak

un majemuk yang

jemuk terpanjang,

ng tepat di atas

ah.

un majemuk yang

daun yang tepat

ukur jarak dua ujung

akan penentu arah

bulan), yaitu bobot

n yang dipanen

asterol, bergapten,

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2010.

Penanaman dilakukan pada 4 Januari 2010 dan penyulaman dilakukan empat kali

yaitu pada 27 Januari, 4 Februari, 6 Maret, dan 20 Maret 2010. Pemanenan

purwoceng dilakukan pada umur tanaman 6 bulan atau 24 MSP, yaitu 4 Juli–

20 September. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data

penelitian (Tabel 1).

Berdasarkan data iklim (Lampiran 2) suhu rata-rata per bulan di lokasi

penelitian adalah 25.5 0C, dengan rata-rata suhu pada pagi hari 22.1 0C, saat siang

hari 30.9 0C, dan ketika sore hari 23.4 0C. Rata-rata kelembaban udara berkisar

68.92–81.67 %. Apabila dibandingkan dengan kondisi di daerah Dieng, maka

suhu dan kelembaban di Kebun Percobaan Cicurug berada di atas kondisi habitat

aslinya yang mempunyai suhu berkisar 15–21 0C dan kelembaban udara antara

60–75 %. Suhu akan berpengaruh pada reaksi kimia atau proses metabolisme

tanaman. Suhu yang optimum akan menciptakan kondisi yang optimal pula pada

proses metabolisme tanaman dan apabila suhu berada diatas atau dibawah suhu

tersebut maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut fungsi peluang

Maxwell-Bolztman, setiap kenaikan suhu 10 0C maka laju reaksi kimia tanaman

yang dikendalikan oleh enzim akan meningkatkan 2 kali lipat (Salisbury dan

Ross, 1995b). Berdasarkan Kartasapoetra (1986) kelembaban mampu mendorong

pertumbuhan tanaman dengan memperlambat hilangnya air di tanah. Akan tetapi,

kelembaban yang tinggi juga dapat mendorong perkembangan organisme

terutama cendawan, yang memungkinkan menyebabkan timbulnya penyakit dan

kematian pada tanaman.

Rata-rata jumlah curah hujan di lokasi Kebun Percobaan Cicurug pada saat

penelitian dilaksanakan yaitu 2 372.36 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan

16 hari. Curah hujan tertinggi selama penelitian yaitu pada bulan Maret

(6 695 mm). Curah hujan dan jumlah hari hujan yang tinggi menyebabkan kondisi

(30)

ketiga jumlah tanaman mati sangat tinggi. Menurut Kartasapeotra (1986) curah

hujan berpengaruh pada pengikisan dan pencucian unsur hara, serta menimbulkan

kerugian fisik tanah.

Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum penelitian menunjukkan

bahwa lahan penelitian memiliki kemasaman tanah (pH) masam sebesar 5.20 dan

bertekstur liat. Kandungan C-organik (2.31 %), kandungan N-total (0.21 %), dan

kandungan P (8.1 ppm) termasuk sedang. Kandungan K (0.64 me/100g) termasuk

tinggi, sedangkan Ca (3.76 me/100g) termasuk rendah. Hasil analisis tanah secara

lengkap disajikan pada Lampiran 3 .

Kondisi iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dan kesuburan tanah di

Cicurug berbeda jauh dengan kondisi habitat endemik purwoceng di Dataran Tinggi

Dieng. Suhu dan kelembaban udara di Cicurug berada diatas kisaran habitat

endemiknya, sedangkan rata-rata curah hujan lebih rendah yaitu < 4 000 mm/th.

Tingkat kesuburan tanah di Cicurug sangat rendah jika dibandingkan dengan

beberapa lokasi yang telah disurvei oleh Rahardjo et al. (2004) yaitu Dieng, Tawangmangu, Tangkuban Perahu, Manoko, dan Ciwidei. Survei ini dilakukan

untuk mengkarakterisasi lingkungan tumbuh tanaman purwoceng (Lampiran 4).

Dari kelima lokasi yang disurvei, empat lokasi kecuali Ciwidei diduga memiliki

agroekosistem yang sedikit mirip dengan Dieng dan cocok untuk ditanami

purwoceng dengan berbagai tambahan perlakuan agronomis (penambahan pupuk

organik, pemupukan N, P dan Ca, serta penggunaan naungan). Apabila lokasi

Cicurug dibandingkan dengan kelima lokasi diatas maka akan masuk kategori

yang tidak dianjurkan untuk pengembangan purwoceng karena memiliki tekstur

tanah yang tinggi liatnya, pH masam, dan kesuburannya relatif rendah bahkan

dibandingkan dengan lokasi Ciwidei.

Pada saat awal pertumbuhan, yaitu 2 sampai 4 MSP, tanaman

menunjukkan gejala tanaman kekurangan unsur N. Beberapa tanaman daunnya

menguning terutama pada daun tua serta terdapat bercak warna (kuning-putih)

berukuran kecil di permukaan atas daun (Gambar 3). Setelah dilakukan

pemupukan pada 4 MSP maka daun tanaman berangsur-angsur berubah menjadi

hijau. Salisbury dan Ross (1995a) menerangkan bahwa tumbuhan yang

mengandung nitrogen untuk sekedar tumbuh saja akan menunjukkan gejala

(31)

Gambar 3. Ge per

Berdasarkan a

penelitian termasuk

sangat mudah hilang

(leaching) NO3-, deni

terfiksasi oleh minera

Selama peneli

(OPT) yaitu kutu daun

hama penting yang m

di permukaan daun

menyebabkan daun be

ini menghisap cairan

Hama ini berasosia

simbion, misalnya

dilakukan terhadap h

mencuci daun menggun

Selain Aphid

jenis organisme pen

tangkai daun, tetapi b

dan Rostiana (2007)

tanaman purwoceng

moluska. Hama ini pa

dengan cara memaka

1

Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen. Bercak put permukaan daun (1), Daun tua menguning (2).

n analisis tanah yang telah dilakukan, unsur N

uk kategori sedang. Menurut Hardjowigeno (

g atau tidak tersedia bagi tanaman, baik diakiba

denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatisasi NH4

ral liat, maupun dikonsumsi oleh mikroorganis

nelitian berlangsung terdapat organisme pengg

u daun (Aphid sp., Aphididae: Homoptera). Kutu d menyerang hampir seluruh populasi tanaman. H

un bagian bawah, menghisap cairan dari

un berkerut dan menggulung. Menurut Pracaya

n dari tumbuhan untuk mendapatkan nutrisi y

iasi dengan beberapa kelompok serangga

berbagai jenis semut (Formicidae). Penge

p hama tersebut yaitu pengendalian manual den

ggunakan deterjen.

sp. ditemukan gejala serangan lain yang b

penyebabnya. Gejala serangan berupa pemot

pi beberapa ditinggalkan disekitarnya (tidak dim

2007) menjelaskan bahwa salah satu hama y

g (di Dieng) adalah keong tidak bercangkang

pada umumnya muncul di musim penghujan

akan daun purwoceng, sehingga pada seran

2

putih-kuning pada ).

ur N total di lokasi

no (2003) unsur N

kibatkan pencucian

4+ menjadi NH3,

nisme tanah.

gganggu tanaman

u daun merupakan

n. Hama ini berada

ri tanaman, serta

a (2007) serangga

yang dibutuhkan.

ngga yaitu serangga

engendalian yang

engan tangan dan

belum diketahui

otongan

tangkai-dimakan). Rahardjo

yang menyerang

ng yang tergolong

an dan menyerang

(32)

Gambar 4. Se me se Ge dipot dit terlihat daun purwoc

(2010) melaporkan ba

Kebun Percobaan Ci

diatas, yang disebabk

purwoceng generasi M

awal bulan Juni. P

(23 tanaman). Bebera

ada pula yang dipoton

Penyakit pada

merupakan komodita

yang ditemukan pada b

kemudian layu dan m

tampak akar tanaman m

2b

1

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (O menyerang permukaan daun bagian bawa serangan OPT: tangkai daun dipotong hingg Gejala serangan OPT: hanya beberapa tang dipotong (2b), Gejala serangan OPT: be ditinggalkan disekitar tanaman (2c)

oceng gundul tinggal batang dan bunganya

n bahwa pada tanaman purwoceng generasi M2

Cicurug terdapat gejala serangan yang sama

babkan belalang. Diduga hama yang meny

i M3 juga diakibatkan oleh belalang. Serangan

Presentase kerusakan akibat hama ini me

rapa tanaman hanya dipotong sebagian tangkai

potong hingga habis (Gambar 4).

pada tanaman tersebut hampir tidak ada kar

oditas yang relatif baru di KP Balittro Cicurug.

da beberapa tanaman yaitu bagian tajuk mula-m

n membusuk berwarna coklat. Apabila tanama

an membusuk (Gambar 5).

2c 2b

n (OPT). Aphid sp. wah (1), Gejala hingga habis (2a), ngkai daun yang beberapa tangkai ya saja. Wahyuni

2 yang ditanam di

ma dengan gejala

nyerang tanaman

n ini terjadi mulai

mencapai 25.49%

ai daunnya, tetapi

karena purwoceng

ug. Gejala penyakit

mula menguning,

[image:32.595.99.497.270.661.2]
(33)

Gambar 5. Ge D m

Menurut Kar

merupakan gejala pe

Phytium, Rhizoctonia

mendukung pertumbu

faktor yang mempeng

optimum untuk perke

basah, dan curah hu

serangan.

Warna Daun

Pengamatan w

dan fase daun tua.

terdapat pada daun pur

hijau dan kemerahan.

1

3

Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng. D Daun mengering (berwarna coklat) d membusuk (b), Batang membusuk (c), Akar m

artasapoetra (2004) kondisi tanaman diata

penyakit busuk akar yang dapat disebabka

ia atau Phytoptora. Kondisi lingkungan yang buhan mikroorganisme. Menurut Pracaya (

engaruhi timbulnya penyakit antara lain: t

rkembangan penyakit (berkisar 25–30 0C), tan

hujan yang tinggi dapat mengakibatkan sem

Karakter Kualitatif

n warna daun dilakukan pada dua fase yaitu f

. Hasil pengamatan menunjukkan adanya dua

un purwoceng bagian atas maupun bagian baw

n.

4 2

. Daun Layu (a), dan batangnya membusuk (d).

atas (Gambar 5)

kan oleh patogen

ng lembab sangat

(2003) beberapa

temperatur yang

tanah yang terlalu

semakin ganasnya

u fase daun muda

dua warna yang

[image:33.595.135.490.85.371.2]
(34)

Gambar 6. K W pa pe pa pe ba da Rostiana et al.

6 BST menggunaka

kedalam dua warna

didominasi warna hi

penelitian ini, hasil pe

menunjukkan lima kom

Kombinasi wa

generasi M3 didomin

kombinasi 2 hanya terd

warna daun dengan

1 (0.98 %) dan 2 (1.96

4 1

Keragaman Warna Daun Purwoceng pada D Warna hijau pada permukaan atas daun muda ( pada permukaan bawah daun muda (2), War permukaan bawah daun muda (3a-b). Warna m pada permukaan atas daun tua (4), War permukaan atas daun tua (5), Warna hijau pa bawah daun tua (6), Warna merah pada per daun tua (7).

al. (2007) membedakan warna daun tanaman p kan RHS (The Royal Horticultural Society

na yaitu warna merah dan hijau. Warna

hijau tetapi ada juga yang berwarna merah

l pengamatan pada populasi tanaman purwoce

kombinasi warna dari kedua warna ini (Gambar

warna daun yang ditemukan pada populasi tana

inasi oleh kombinasi 1 yaitu 94 tanaman (92

erdapat pada 4 tanaman (3.92 %). Jumlah tanama

n kombinasi 3, 4 dan 5 masing-masing adal

%) tanaman (Tabel 1).

5 2

4

1 3a

6

Dua Fase Umur. a (1), Warna hijau arna merah pada merah keunguan arna hijau pada u pada permukaan permukaan bawah n purwoceng umur

ty Colour Cards) na daun tua-muda

h keunguan. Pada

oceng generasi M3

bar 6).

naman purwoceng

(92 %) sedangkan

man yang memiliki

alah 2 (1.96 %),

7

[image:34.595.122.488.225.582.2]
(35)
[image:35.595.114.509.105.301.2]

Keterangan : WDMA: Warna daun muda atas; WDMB: Warna daun muda bawah; WDTA: Warna daun tua atas; WDTB: Warna daun tua bawah.

Tabel 1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3

Kombinasi warna daun diatas diduga bukan diakibatkan oleh irradiasi

melainkan merupakan penyesuaian tanaman terhadap lingkungan. Menurut

Rostiana et al. (2007) warna pada organ tanaman purwoceng merupakan ekspresi genetik yang kemungkinan dipengaruhi juga oleh lingkungan karena

ada interaksi antara antosianin dengan komponen hara dan keasaman tanah.

Salisbury dan Ross (1995b) menyebutkan bahwa pada larutan asam antosianin

dominan berwarna merah, tetapi menjadi ungu dan biru dengan meningkatnya

kemasaman tanah.

Pada penelitian sebelumnya, tanaman generasi M1 yang ditanam di Cicurug

menghasilkan enam kombinasi warna daun yaitu lima kombinasi warna yang sama

dengan tanaman generasi M3 dan satu kombinasi warna dengan permukaan daun

muda bagian atas berwarna hijau sedangkan permukaan bawah dan kedua

permukaan daun tuanya berwarna merah (Pulungan, 2008). Berdasarkan penelitian

Wahyuni (2010) tanaman purwoceng generasi M2 yang juga ditanam di Cicurug

menghasilkan tiga kombinasi warna daun yaitu kombinasi 1 dan 2 (Tabel 1), serta

kombinasi warna daun yang kedua permukaan daun mudanya berwarna merah

keunguan, sedangkan warna kedua permukaan daun tua adalah hijau. Variasi

warna yang telah diamati pada penelitian Pulungan (2008) dan Wahyuni (2010)

tidak hanya terdapat pada tanaman yang diirradiasi, tetapi juga terdapat pada

tanaman kontrol.

Kombinasi Kombinasi Warna Daun Jumlah Tanaman Persentase

(%)

WDMA WDMB WDTA WDTB

1 Hijau Hijau Hijau Hijau

41 tanaman 10 Gy 22 tanaman 20 Gy 16 tanaman 30 Gy 15 tanaman 40 Gy

92.15

2 Hijau Merah Hijau Hijau

1 tanaman 10 Gy 2 tanaman 30 Gy 1 tanaman 40 Gy

3.92

3 Hijau Hijau Hijau Merah 1 tanaman 40 Gy

1 tanaman 20 Gy 1.96

4 Hijau Merah Hijau Merah 1 tanaman 20 Gy 0.98

5 Hijau Hijau Merah Merah 1 tanaman 40 Gy

(36)

Habitat asli ta

Oleh karena itu digun

lingkungan tanaman.

matahari akan memac

tidak melakukan pros

yang mengendalikan p

tumbuhan melindungi

tanaman nilam yang

terkena matahari lang

yang berfungsi melindu

Warna Tangkai Dau

Tanaman purw

merah dan hijau (Gam

terdiri dari tanaman y

populasi memiliki tang

tangkai daun berwar

10 Gy.

Keragaman w

hasil pengamatan Ra

warna tangkai daun p

hijau. Identifikasi ciri

menunjukkan bahwa Gambar 7.

1

tanaman purwoceng merupakan tanaman diba

unakan paranet untuk mengurangi intensitas c

n. Salisbury dan Ross (1995c) menerangkan

acu sintesis antosianin pada organ yang sedikit

roses fotosintesis. Mekanisme cahaya dapat m

n pembentukan flavonoid serta antosianin yang

ngi diri dari radiasi UV. Berdasarkan penelitian

ng ternaung daunnya tampak berwarna hijau,

ngsung berwarna hijau keunguan. Pigmen ini d

indungi klorofil dari kerusakannya akibat fotook

aun

purwoceng yang diamati memiliki warna tang

ambar 7). Sebanyak 96.08 % populasi purwoce

yang bertangkai daun berwarna merah keung

tangkai daun yang berwarna hijau. Tanaman y

arna hijau hanya terdapat pada tanaman per

n warna tangkai ini diduga bukan akibat irradia

ahardjo et al. (2005) menunjukkan bahwa te pada tanaman purwoceng yaitu warna merah

iri agronomis yang telah dilakukan di Dieng da

a sebagian besar warna tangkai daun yaitu m 7. Warna Tangkai Daun Purwoceng: Hija

Keunguan (2).

2

dibawah naungan.

s cahaya dan suhu

kan bahwa cahaya

it atau sama sekali

mengaktifkan gen

ng merupakan cara

an Haryanti (2008)

u, sedangkan yang

diduga antosianin

ooksidasi.

ngkai daun yaitu

oceng generasi M3

unguan dan 3.92 %

n yang mempunyai

perlakuan irradiasi

diasi. Berdasarkan

terdapat dua tipe

ah kecoklatan dan

dan Gunung Putri

[image:36.595.139.478.474.608.2]
(37)
[image:37.595.103.471.493.749.2]

Gambar 8. Tipe (98 %) dan sebagian ke

Pulungan (2008) war

dipindah dan sesudah

warna kemerahan (89.36

halnya dengan hasil pe

98.38 % warna tang

keunguan dan kurang

Tipe Kanopi

Tipe kanopi y

tiga macam yaitu t

Gambar 2). Berdasark

kanopi populasi tana

Tanaman purwoceng

sedangkan tipe tegak

24 MSP, diperoleh 66

dan 36 tanaman yang

maka anak daunnya s

berat sehingga rebah.

1

ipe Kanopi: Tegak (1), Semi tegak (2), Rebah ( n kecil kehijauan (2 %). Berdasarkan penelitian

arna tangkai daun tanaman purwoceng genera

udah dipindah ke lapangan adalah sama yaitu

89.36 %) sedangkan sisanya berwarna hijau (

penelitian Wahyuni (2010) yang menunjukka

ngkai dari populasi tanaman purwoceng M2

ng dari 2 % berwarna hijau.

nopi yang ditemukan pada tanaman purwoceng g

u tegak, semi tegak dan rebah (Gambar 8

arkan Lampiran 4, tipe semi tegak tampak mendom

naman purwoceng pada 4 MSP yaitu 90 tana

ng yang memiliki tipe rebah ada 11 tanam

ak hanya 1 tanaman (0.98 %). Pada akhir pe

h 66 tanaman yang memiliki tipe kanopi semi t

ng kanopinya bertipe rebah (35.29 %). Semaki

a semakin banyak sehingga tangkai daun sema

h.

3

2

h (3).

an yang dilakukan

nerasi M1 sebelum

u didominasi oleh

u (10.64 %). Sama

ukkan bahwa hampir

2 adalah merah

generasi M3 ada

mengacu pada

endominasi bentuk

naman (88.23 %).

aman (10.78 %)

pengamatan yaitu

i tegak (64.71 %)

akin tua tanaman

(38)

Tanaman purw

yang lebih cepat re

generasi M3 30 Gy,

kanopi semi tegak hin

daun yang sedikit sehi

Jumlah Daun

Daun yang di

purwoceng terdiri dar

satu tangkai. Jumla

pertumbuhannya. Gam

yang diamati pada se

pengamatan populasi

berbeda secara bergant

Berdasarkan ha

hanya terdapat pada Gambar 9.

B

purwoceng generasi M3 yang memiliki kecende

rebah dan tipe kanopi rebah terbanyak a

, diikuti 10, 20, dan 40 Gy. Tanaman yan

hingga akhir pengamatan diduga dipengaruhi ol

ehingga daun tidak terlalu berat.

Karakter Kuantitatif

diamati pada penelitian ini merupakan daun

dari beberapa anak daun yang berpasangan yan

lah daun terus mengalami peningkatan

ambar 9 menunjukkan pertumbuhan purwoce

setiap populasi perlakuan irradiasi. Nilai

rata-si tanaman generarata-si M3 yang memiliki jumlah

antian.

n hasil uji-t, tanaman yang mempunyai perbeda

a awal pertumbuhan. Tanaman yang berasal 9. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Gene

Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi

nderungan kanopi

k adalah tanaman

ang memiliki tipe

uhi oleh jumlah anak

n majemuk. Daun

ang terdapat pada

n selama periode

oceng generasi M3

-rata pada setiap

ah daun terbanyak

daan jumlah daun

[image:38.595.116.491.445.664.2]
(39)

diberi perlakuan dosis irradiasi 30 Gy nyata memiliki jumlah daun lebih sedikit

dibandingkan tanaman dengan perlakuan 10 Gy pada umur 4 MSP. Pada umur

8 MSP tanaman dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy nyata memiliki daun lebih

banyak dibandingkan tanaman dengan perlakuan 20 Gy dan 30 Gy (Lampiran 13).

Tanaman yang berasal dari benih dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy

memiliki jumlah daun rata-rata terbanyak pada akhir pengamatan (24 MSP) yaitu

10.0 tangkai/tanaman. Berdasarkan penelitian Rahardjo et al. (2005) jumlah daun

purwoceng di daerah Dataran Tinggi Dieng pada 6 BST kurang lebih

25.6 tangkai/tanaman, sedangkan pada umur 9 BST tanaman purwoceng memiliki

jumlah daun sekitar 46.5 tangkai/tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni

(2010) jumlah daun purwoceng generasi M2 yang ditanam di Cicurug bisa mencapai

21.3 tangkai/tanaman pada tanaman 0 Gy (22 MSP) sedangkan pada generasi M2

yang ditanam di daerah Cibadak pada ketinggian 950 m dpl, mencapai

9.4 tangkai/tanaman pada perlakuan dosis irradiasi 10 Gy (8 MSP). Apabila

dibandingkan dengan jumlah daun pada tanaman yang ditanam di Dataran Tinggi

Dieng, jumlah daun yang dihasilkan tanaman di Cicurug jauh lebih rendah. Jika

dibandingkan dengan penanaman sebelumnya, yaitu purwoceng generasi M2

di Cicurug, jumlah daun yang dihasilkan tanaman generasi M3 juga lebih rendah.

Keragaman jumlah daun generasi M3 diduga selain disebabkan oleh

irradiasi sinar gamma juga diakibat faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat

berupa faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi organisme pengganggu

tanaman (OPT), gulma dan mikroorganisme tanah. Faktor abiotik antara lain suhu,

curah hujan, kelembaban udara, intensitas cahaya serta kesuburan tanah.

Perkembangan maupun pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh

unsur-unsur cuaca. Unsur yang paling berpengaruh terhadap perkembangan

tanaman adalah suhu dan panjang hari, sedangkan pada pertumbuhan tanaman

hampir semua unsur cuaca sangat mempengaruhinya (Handoko, 1994). Suhu

berpengaruh terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi dan proses biokimia

dalam fotosintesis. Proses fotosistesis dan respirasi dipengaruhi oleh katalisator

yaitu enzim yang mempunyai toleransi terhadap suhu lingkungan yang sangat

terbatas dan bervariasi untuk tiap jenis tanaman karena enzim tersebut berasal dari

(40)

proses metabolisme tanaman. Suhu udara yang meningkat maka akan mengurangi

produk fotosistesis karena akan merusak enzim, sedangkan suhu yang lebih

rendah akan mengurangi kecepatan reaksi metabolisme (Salisbury dan Ross,

1995b).

Salisbury dan Ross (l995b) menjelaskan bahwa proses respirasi

membutuhkan sukrosa dan pati yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Oleh

karena itu, proses fotosintesis yang optimal dibutuhkan agar proses respirasi dapat

berjalan dengan optimal. Apabila keseimbangan antara proses respirasi dan

fotosintesis telah tercapai, maka pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan

baik. Disamping digunakan untuk proses metabolisme tanaman, metabolit primer

hasil fotosintesis juga digunakan untuk menyusun metabolit sekunder yang

mendukung proses adaptasi dan proteksi tanaman.

Proses fotosintesis tidak lepas dari peran cahaya matahari. Respon

tanaman terhadap intensitas cahaya yang berbeda tergantung dari sifat adaptif

tanaman tersebut. Respon terhadap intensitas cahaya tinggi dapat menguntungkan

atau merugikan. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap

intensitas cahaya yang harus diterima. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan

rusaknya struktur kloroplas, sehingga menyebabkan produktifitas tanaman

menurun.

Selain beberapa faktor di atas, kelembaban udara maupun kelembaban

tanah juga perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Kramer and Kozlowski

dalam Widiastuti et al., (2004) menjelaskan bahwa kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan

tanaman. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena

berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Menurut Harjadi (1979) bahwa

kelembaban tanah erat kaitannya dengan kandungan air tanah, dimana kelebihan

atau kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu

kelembaban tanah juga berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan perkembangan

penyakit terutama cendawan.

Hasil penelitian Pulungan (2008) menunjukkan bahwa jumlah

Gambar

Gambar 1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng. Tanaman (1), Bunga kuncup (2), Bunga mekar (3), Buah (4), Akar dari tanaman berumur  6 bulan (5)
Gambar 4. SeSerangan Organisme Pengganggu Tanaman (O
Gambar 5. Ge Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng. D
Gambar 6. KKeragaman Warna Daun Purwoceng pada D
+7

Referensi

Dokumen terkait

ekstrak kulit jeruk Pamelo tidak berbeda nyata secara signifikan terhadap pertumbuhan tinggi batang tanaman tomat, namun pada pengamatan infeksi akar menunjukkan bahwa

CEO transformational leadership and the new product development process: The mediating roles of organizational learning and innovation culture.. Seen Yu Ng, Garib Singh SK.,

Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita, menganggap hal yang biasa jika dirinya menjadi beban bagi keluarganya, menerima sakit sebagai takdir,

Efektifitas subsitusi senyawa ini akan tergantung dari keseimbangan ketersediaan kapur bebas yang diperoleh dari reaksi hidrasi SPI yang ada pada perekat dan alumina

Jika pada saat dimasukkan ke dalam gudang penerima barang melihat ada barang yang kondisinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka penerima barang akan

[r]

Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi angka kematian bayi adalah jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis, persentase persalinan yang dilakukan dengan bantuan

Berdasarkan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), BBNKAA dihitung dan ditetapkan oleh Gubernur dengan mengacu kepada perhitungan sebagaimana