DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH
ANIF LAILATUSIFAH
A24063381
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
ANIF LAILATUSIFAH. Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di Dataran Menengah. Dibimbing oleh FAIZA CHAIRANI SUWARNO dan YUDIWANTI WAHYU E. K.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi dan
potensi produksi populasi putatif mutan tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan
Molk.) generasi M3 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m dpl) yang
dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2010. Tanaman purwoceng
merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh endemik di Dataran Tinggi
Dieng, Jawa Tengah (1 830 m dpl). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan
sumber bahan baku industri suplemen minuman karena mengandung senyawa
afrosidiak yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah
stamina. Selama ini purwoceng dibudidayakan secara sederhana dalam skala kecil
di habitat endemiknya. Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman
purwoceng agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati
pusat produksinya yang kebanyakan di dataran rendah.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman
purwoceng putatif mutan generasi M3 dengan dosis radiasi 10, 20, 30, dan 40 Gy
yang diperoleh dari Kebun Percobaan Gunung Putri. Bahan lain yang digunakan
adalah polybag, paranet dan media tanam campuran yaitu tanah, pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan yang sama. Penelitian dilakukan dengan
mengamati populasi tanaman yaitu karakteristik pertumbuhan, morfologi dan
potensi produksinya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada
taraf 5 %.
Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif menunjukkan bahwa secara
umum tanaman purwoceng generasi M3 memiliki warna daun dan warna tangkai
daun yaitu merah dan hijau. Karakter kualitatif lainnya yaitu tipe kanopi yang
ditemukan pada tanaman purwoceng generasi M3 ada tiga macam yaitu tegak,
semi tegak dan rebah. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter kuantitatif
perbedaan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi
M3 ini diduga selain akibat irradiasi sinar gamma, juga akibat faktor lingkungan.
Bobot segar tanaman purwoceng generasi M3 antar masing-masing dosis
irradiasi tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 3.13–7.33 g/tanaman. Hasil analisis
kandungan metabolit sekunder tanaman purwoceng generasi M3 (sitosterol,
stigmasterol, saponin, dan bergapten) antar masing-masing perlakuan irradiasi
tidak berbeda nyata. Kandungan masing-masing jenis metabolit sekunder didalam
populasi tanaman purwoceng generasi M3 juga tidak berbeda nyata. Rata-rata
kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten berturut-turut 0.40,
0.70, 0.53, dan 0.82 %. Pada populasi yang dipelajari, korelasi antara jumlah
daun, panjang tangkai, panjang daun, dan diameter kanopi dengan bobot basah
tidak nyata. Korelasi positif dan nyata terjadi antara jumlah daun terhadap diameter
EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN
PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M3
DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Anif Lailatusifah
A24063381
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
Judul :
Nama : Anif Lailatusifah NIM : A24063381
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS.
NIP. 19521008 198103 2 001 NIP. 19631107 198811 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anif Lailatusifah, dilahirkan pada tanggal 30 Agustus
1988 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem.
Tahun 1992 penulis lulus dari TK Kusuma Mekar I dan melanjutkan
pendidikan sekolah dasar di SDN Bugel pada tahun 1994. Tahun 2000 penulis
melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di MTs M Darul
Ulum dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Pendidikan sekolah menengah atas
dilalui di MAN Yogyakarta 1 dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis
diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Agronomi
dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
Selama sebagai mahasiswa penulis aktif dalam UKM Eco-Agrifarma
sebagai anggota divisi produksi, serta aktif mengikuti berbagai kepanitiaan di
lingkungan internal kampus. Penulis pernah mendapatkan hibah dari DIKTI
dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan tahun 2008
dengan judul “Terarium In Vitro: Taman Mini dalam Ruang”, tahun 2010 dengan “Kultur Seni : Flowerbed In D’Bottle” dan “Komersialisasi Martabak Buah Kombinasi ‘Mabuk’ sebagai Kudapan Sehat dan Lezat”, serta PKM Penelitian
dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Paclobutrazol dalam Induksi Pembungaan
(Flowering) Mawar Mini Hibrida Var. Rosmarun dan Yulikara secara In Vitro”, dan pada tahun 2011 PKM bidang Kewirausahaan dengan judul “Kultur seni:
Terarium Berbasis Kultur Jaringan” dan “Pengembangan Martabak Buah
Kombinasi Berbasis Tepung Lokal: Mocaf, Tepung Ubi Jalar dan Tepung Biji
Nangka”. Penulis pada tahun 2008 menjadi Tim Pameran IPB dalam Lomba
Poster dan Gelar Produk Non-PKM Pekan “Ilmiah Mahasiswa Nasional XXI” di
Unissula, Semarang. Penulis pada tahun 2009 lolos seleksi Program
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayat, dan kasih
sayang-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan baik dan lancar. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para
pengikutnya yang tetap istiqomah dalam mengikuti dan memegang teguh
ajaranNya.
Skripsi yang berjudul “Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di Dataran Menengah”. diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS., selaku Dosen pembimbing pertama yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS., selaku Dosen pembimbing kedua yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
3. Ir. Supijatno, MSi., selaku Dosen pembimbing akademik, yang telah
mendampingi dan mengarahkan selama menempuh studi di Departemen
Agronomi dan Hortikultura.
4. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS., selaku Dosen penguji yang telah memberikan
saran dan perbaikan dalam penulisan naskah skripsi.
5. Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem selaku orang tua, serta seluruh keluarga besar
penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi, nasehat, kasih
sayang, dan pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dan studi di Institut Pertanian Bogor.
6. Bapak Wawan, Bapak Mardiana, Mb’ Irni dan seluruh staf Kebun Percobaan
Balai Tanaman Obat Cicurug, Sukabumi yang telah memberikan arahan dan
7. Sahabat-sahabat: Sulis Mardiana, Agustina Dewi L, Devi Mustikawati,
V. Susirani, Seriulina, Elisabeth T., Ana Y., Nurul F., Fitria Dwinanda, Winda H.,
Atrie Y., Linda O., Agustina S. dan seluruh penghuni Laboratorium Ecotoxycology Waste and Bioagent; & kakak-kakak: Ahmawati P. Mahendra R., Fitria Yuniarsih, Wacih Tresnasih, Teti M., dan Sri Hartati; juga
kawan-kawan IKAMADITA (Ikatan Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta) yang
selalu menemani dan memberikan semangat selama menempuh perkuliahan
dan penyelesaian studi di IPB.
8. Florito’s team, 4Glam’s team dan Marbusi’s team atas kerjasama merangkai mimpi-mimpi.
9. Seluruh teman-teman mahasiswa AGH-43 yang telah memberikan kenangan
yang tidak akan terlupakan serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu penulis selama kuliah dan penyelesaian tugas akhir ini. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ... 4
Syarat Tumbuh Purwoceng ... 8
Pemuliaan Mutasi ... 9
Sinar Gamma ... 11
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
Bahan dan Alat ... 13
Metode Penelitian ... 13
Pelaksanaan Penelitian ... 14
Pengamatan ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 17
Karakter Kualitatif Warna Daun ... 22
Warna Tangkai Daun ... 24
Tipe Kanopi ... 25
Karakter Kuantitatif Jumlah Daun ... 26
Panjang Tangkai ... 29
Panjang Daun ... 30
Diameter Kanopi ... 31
Bobot Tanaman ... 33
Metabolit Sekunder ... 35
Korelasi Antar Karakter Kuantitatif ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3 ... 22
2. Hasil Uji-t Bobot Segar Tanaman Purwoceng Generasi M3 antar
Perlakuan Dosis Irradiasi ... 33
3. Hasil Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng
Generasi M3 ... 35
4. Nilai Uji Korelasi Antar Karakter Kuantitatif Tanaman Purwoceng
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng ... 4
2. Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng ... 16
3. Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen ... 19
4. Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ... 20
5. Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng ... 21
6. Keragaman Warna Daun Purwoceng pada Dua Fase Umur ... 22
7. Warna Tangkai Daun Purwoceng ... 24
8. Tipe Kanopi ... 25
9. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 26
10. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 29
11. Rata-rata Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 31
12. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M3 Tiap Perlakuan Irradiasi
pada Umur Berbeda ... 44
2. Kondisi Iklim di Kebun Percobaan Cicurug, Sukabumi Selama Penelitian ... 44
3. Hasil Analisis Tanah Kebun Percobaan Balittro Cicurug ... 45
4. Perbandingan Karakter Agroekologi dan Sifat Fisik-Kimia Tanah di Dieng, Tawangmangu, Tangkubanprahu, Manoko, Ciwidey, dan Cicurug ... 46
5. Hasil Pengamatan Warna Daun, Warna Tangkai Daun dan Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3 ... 47
6. Hasil Pengamatan Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3... 49
7. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 ... 53
8. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 ... 53
9. Hasil Uji-t Panjang Daun Majemuk Tanaman Generasi M3 ... 53
10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 ... 53
11. Hasil Uji-t Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M3 antar Perlakuan Dosis Irradiasi ... 54
12. Hasil Uji-t antar Jenis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M3... 54
13. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 54
14. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 55
15. Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ... 56
16. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP... 56
17. Bobot Segar dan Kering Purwoceng Generasi M3 Umur 6 BST ... 57
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan yang subur dan
dikaruniai biodiversitas yang tinggi. Negara tropis ini sudah dikenal sebagai
penghasil berbagai macam komoditas pertanian termasuk tanaman obat. Kondisi
tanah dan iklim yang sesuai, serta keanekaragaman flora yang tinggi membuat
negara ini menjadi penghasil komoditas obat-obatan dari alam yang potensial.
Penggunaan tanaman obat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional
di Indonesia sudah dilakukan sejak dahulu. Jenis tanaman yang digunakan pun
sangat beragam. Menurut Departemen Kesehatan (2007) diperkirakan 40 000
spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30 000 di antaranya tumbuh di
Indonesia. Sekitar 180 spesies dari jumlah spesies diatas yang dimanfaatkan
sebagai bahan oleh industri obat tradisional.
Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati,
khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan
kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi budaya memakai obat
tradisional. Kecenderungan ini telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai
gelombang hijau baru (new green wave) atau tren gaya hidup kembali ke alam (back to nature). Bahkan WHO menjelaskan bahwa hingga 65 % dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional dimana
didalamnya termasuk penggunaan obat-obat bahan alam (Departemen Kesehatan,
2007).
Salah satu jenis tanaman obat yang kini kian marak baik di dunia industri
obat maupun dalam bidang biofarmaka adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan
Molk.). Purwoceng merupakan tanaman yang mengandung senyawa afrodisiak
yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina
(Raharjo dan Rostiana, 2006). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan
sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk
peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita (Balittro, 2008).
Tanaman purwoceng selama ini dibudidayakan secara sederhana dalam
skala kecil di habitat endemiknya yaitu di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Menurut Yuhono (2004) tanaman ini berkembang di empat desa yaitu Sikunang,
Dieng, Petak Banteng, dan Sembungan. Umumnya tanaman ini dibudidayakan di
pekarangan petani dengan luasan yang sempit.
Meningkatnya permintaan tanaman purwoceng oleh industri jamu di
Indonesia dan status kelangkaan (endangered species) tanaman purwoceng di habitat endemiknya, serta area budidaya yang sangat terbatas, mendorong adanya
suatu upaya peningkatan produksi. Selama ini kendala utama yang dihadapi
dalam produksi tanaman obat adalah kesesuaian lahan, iklim, dan masalah bibit.
Beberapa kendala tersebut juga menjadi faktor pembatas dalam pengembangan
budidaya tanaman purwoceng saat ini.
Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang cocok menentukan mutu
tanaman obat yang dihasilkan. Tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh di segala
tempat. Apabila dapat tumbuh pun, maka hasil produksinya tidak akan maksimal.
Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman purwoceng agar dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati pusat produksinya
yang kebanyakan di dataran rendah. Upaya peningkatan produksi tanaman ini
dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman dan perbaikan teknik budidaya.
Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu
tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan
untuk memperoleh tanaman yang mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik di
luar habitat aslinya. Keberhasilan suatu program pemulian tanaman adalah adanya
keragaman tanaman. Menurut Poespodarsono (1988) keragaman genetik dapat
diperoleh dari koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi (secara fisik atau
kimia).
Memperhatikan kekhasan habitatnya tanaman purwoceng diduga memiliki
keragaman yang kecil, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan keragamannya.
keragaman pada tanaman adalah dengan mutasi.
Menurut Poespodarsono (1988) mutasi adalah perubahan genetik baik gen
tunggal ataupun sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi juga dapat
menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimia suatu tanaman. Mutasi secara
alami sulit terjadi. Kusumo, et al. (2008) melakukan mutasi buatan secara fisik dengan irradiasi sinar gamma pada benih tanaman purwoceng untuk memperoleh
keragaman secara cepat. Populasi putatif mutan tanaman purwoceng telah
diperoleh hingga generasi M3.
Yuhono (2004) mengungkapkan bahwa peluang pengembangan
purwoceng masih terbentang luas. Pemuliaan terhadap purwoceng perlu terus
dilakukan untuk mengkonservasi dan memelihara kelestarian tanaman, serta
memperoleh tanaman purwoceng yang mampu tumbuh baik (adaptif) di dataran
rendah dan mempunyai hasil produksi yang optimal.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan populasi tanaman
purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma dan potensi
produksinya di dataran menengah.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan morfologi dan karakteristik pertumbuhan pada populasi
tanaman purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma
yang ditanam di dataran menengah.
2. Terdapat perbedaan potensi produksi dan kandungan metabolit sekunder pada
Gambar 1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng. Tanaman (1), Bunga kuncup (2), Bunga mekar (3), Buah (4), Akar dari tanaman berumur 6 bulan (5). (Sumber: Darwati dan Roostika, 2006).
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan salah satu tanaman afrodisiak (obat kuat) asli Indonesia. Tanaman ini awalnya dijumpai tumbuh
secara liar di sekitar dataran tinggi Dieng, disekitar gunung Pangrango (Jawa
Barat) dan daerah-daerah pegunungan di Jawa Timur pada ketinggian 1 800–
3 000 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Heyne, 1985). Purwoceng dikenal
dengan nama antanan gunung di daerah Jawa Barat (Sunda), purwoaceng atau
purwoceng di Jawa Tengah, dan di daerah lainnya disebut pula dengan suripandak
abang atau gebangan (Yuhono, 2004). Menurut Raharjo dan Yuhono (2006)
klasifikasi botani purwoceng sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Famili : Apiaceae
Genus : Pimpinella
Spesies : Pimpinella pruatjan Molk.; sinonim Pimpinella alpina Kds.
1 2
4 5
membentuk rosset, tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tangkai daun
tumbuh rapat menutupi batang tanaman, seolah batang tanaman tidak ada, jumlah
tangkai daun lebih kurang 46.50 buah/tanaman. Pangkal tangkai daun pada
umumnya berwarna merah kecoklatan dan sebagian kecil (< 2 %) berwarna
kehijauan. Panjang tangkai daun lebih kurang 18.80 cm. Biasanya tajuk tanaman
menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk
berkisar lebih kurang 37.90 cm (Raharjo dan Yuhono, 2006).
Purwoceng mempunyai daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan,
di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan
pinggiran bergerigi. Warna permukaan daun hijau, dan permukaan bawahnya
berwarna hijau keputih-putihan. Purwoceng mempunyai perakaran tunggang, akar
bagian pangkal semakin umur tanaman bertambah, semakin membesar seolah
membentuk umbi seperti bentuk gingseng, tetapi tidak sebesar gingseng, akar-akar
rambut keluar di ujungnya (Raharjo et al., 2005).
Purwoceng banyak diinginkan oleh industri obat karena dapat digunakan
sebagai obat kuat pria. Kandungan metabolit sekunder pada tanaman ini antara
lain senyawa golongan kumarin, flavonoid, alkaloid, dan terpenoid-steroid.
Komponen kimia berkhasiat afrodisiak yang terdapat dalam jaringan tanaman
purwoceng dari golongan steroid adalah sitosterol dan stigmasterol, bergapten dari
turunan furanokumarin, serta saponin dari golongan triterpenoid (Rostiana et al., 2007).
Khasiat utama tanaman ini berada pada bagian akar. Akan tetapi, saat ini
semua bagian tanaman baik akar, daun, maupun batang telah dimanfaatkan karena
terbukti juga mengandung senyawa aktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Wahyuni (2010) kadar saponin dan fitosterol pada akar tidak berbeda jika
dibandingkan pada batang dan daun purwoceng. Akarnya dikenal sebagai
afrosidak (obat kuat) dan juga mengandung senyawa diuretik yang dapat
melancarkan air kemih. Tanaman purwoceng baik bagian tajuk maupun akar juga
mengandung vitamin E yang dapat meningkatkan fertilitas spermatozoid. Selain
mengandung vitamin E, di bagian tajuk juga mengandung bergapten yang
purwoceng, khasiat purwoceng tidak kalah dengan gingseng dari Cina atau Korea
(Raharjo et al., 2004). Penggunaan herbal purwoceng di Dataran Tinggi Dieng bermula dari penduduk atau petani sekitar yang setiap selesai bekerja keras
kemudian mengkonsumsi air seduhan purwoceng dengan tujuan untuk menjaga
dan meningkatkan kesehatan, serta menjaga agar tidak masuk angin karena daerah
sekitar pegunungan Dieng memiliki lahan yang terjal, berbukit (tingkat
kecuraman sampai 800), dan cuaca yang sangat dingin sehingga menuntut para
petani setempat harus tetap prima kesehatannya. Perkembangan selanjutnya,
tanaman ini semakin dicari terutama oleh perusahaan industri obat tradisional
sebagai bahan baku obat kuat (Yuhono, 2004).
Industri obat tradisional biasanya menerima hasil panen tanaman
purwoceng dalam bentuk simplisia. Gunawan dan Mulyani (2004) menjelaskan
bahwa simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan
obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan
bentuk. Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI
(No.230/Menkes/IX/176) adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan
belum mengalami perubahan proses apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Umumnya simplisia purwoceng
diproses menjadi bentuk-bentuk olahan seperti bubuk (serbuk), ekstrak dan
kapsul.
Pemenuhan kebutuhan simplisia purwoceng selama ini berasal dari
budidaya di pekarangan rumah penduduk di Dieng, dengan cara sederhana dan
luasan yang terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ermiati et al. (2005) di Desa Sikunang, rata-rata kepemilikan lahan usahatani purwoceng per petani
sekitar 37 m2, dengan kisaran kepemilikan 4–200 m2.
Potensi tanaman purwoceng sebagai bahan subtitusi atau pengganti
gingseng sangat besar karena permintaan pasar cukup tinggi. Kemala dalam
Ermiati et al. (2005) menyebutkan bahwa perkiraan serapan purwoceng di Jawa Tengah mencapai 6 900 kg tanaman segar per tahun. Berdasarkan penelitian
Yuhono (2004) beberapa industri obat tradisional meminta pasokan secara rutin
bahwa rendahnya tingkat produktivitas dan terbatasnya areal produksi khususnya
di daerah Dieng karena bersaing dengan tanaman hortikultura lainnya seperti
kentang dan bawang daun, sehingga menyebabkan harga purwoceng menjadi
relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Ermiati et al. (2005) harga purwoceng basah ditingkat petani berkisar Rp. 50 000,00 hingga Rp. 85 000,00 per kg. Rahardjo
dan Yuhono (2006) menerangkan bahwa harga herbal kering purwoceng dapat
mencapai Rp. 200 000,00 hingga Rp. 400 000,00 per kg.
Berdasarkan analisis usahatani yang dilakukan Yuhono (2004) dan
Ermiati et al. (2005) yang dilakukan di Desa Sikunang menunjukkan bahwa usahatani purwoceng menguntungkan, layak dan mempunyai prospek yang bagus
untuk dikembangkan. Benefit Cost Rasio yang diperoleh dari analisis usahatani purwoceng menunjukkan lebih dari satu (B/C Rasio > 1), berturut-turut adalah
4.63 dan 2.26. Keuntungan yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 25 juta
rupiah per luasan lahan 1 000 m2. Hal ini menguatkan bahwa budidaya purwoceng
secara luas merupakan peluang untuk menjamin kecukupan suplai bahan baku dan
meningkatkan pendapatan petani purwoceng.
Kendala perluasan budidaya purwoceng selama ini antara lain terbatasnya
area produksi akibat kesesuaian lahan dan tergesernya lahan potensial terutama di
Dieng oleh produk hortikultura, serta keterbatasan sumber bibit. Menurut
Rahardjo et al. (2006) yang harus diperhatikan dalam faktor kesesuaian lahan mencakup elevasi, kelembaban, suhu dan kesuburan tanah. Hal ini sangat penting
karena kondisi agroklimat suatu lahan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan penelitian sebelumnya Rahardjo et al. (2004) mengungkapkan bahwa beberapa daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman purwoceng
karena mempunyai sifat-sifat agroekosistem yang hampir mirip dengan habitat
aslinya yaitu Tawangmangu (1 120 m dpl), Gunung Putri (1 540 m dpl),
Tangkuban Perahu (1 680 m dpl), dan Manoko (1 240 m dpl).
Tanaman purwoceng diperbanyak secara generatif menggunakan biji. Biji
yang dihasilkan cukup banyak yaitu sekitar 2 260 biji per rumpun tanaman
purwoceng. Biji yang telah masak berwarna hitam, ukurannya sangat kecil dan
M1 sangat rendah yaitu kurang dari 10 %. Benih yang disemai mulai
berkecambah pada 7 minggu setelah semai. Berdasarkan penelitian Sukarman
et al. (2006) benih purwoceng yang mempunyai daya berkecambah paling bagus adalah benih yang berumur 7 minggu setelah inisiasi pembungaan (MSA), yaitu
memiliki daya berkecambah 23 %. Menurut Rusmin (2010) masa masak fisiologis
benih pada tiga kelompok bunga (payung) berbeda-beda. Masak benih dari
payung pertama dan ketiga sekitar umur 7 MSA, dengan daya berkecambah
masing-masing 5.75 % dan 10.50 %, sedangkan pada payung kedua yaitu umur
8 MSA dengan daya berkecambah 22.75 %. Oleh karena daya berkecambah benih
purwoceng yang sangat rendah sedangkan permintaan terhadap bibit purwoceng
yang terus meningkat, menyebabkan harga bibit cukup mahal yaitu Rp. 4 000,00–
Rp. 10 000,00/bibit. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam perluasan area
budidaya purwoceng, ditambah lagi adanya mitos yang berkembang di
masyarakat bahwa tanaman purwoceng tidak dapat tumbuh selain di Desa
Sikunang.
Masalah lain yang mengancam pada setiap usaha budidaya tanaman adalah
hama dan penyakit. Menurut Rahardjo dan Yuhono (2006) hama yang sering
menyerang tanaman purwoceng yaitu kutu daun (Aphid sp.) dan keong (molusca tidak bercangkang). Penyakit yang pernah ditemukan pada tanaman purwoceng
yaitu penyakit busuk batang, tetapi penyakit ini jarang ditemukan atau dapat
dikatakan tidak ada.
Syarat Tumbuh Purwoceng
Purwoceng merupakan tanaman yang tumbuh baik pada dataran dengan
ketinggian 1 800–3 300 m dpl. Habitat asli tanaman purwoceng di Dieng berada
pada ketinggian antara 1 850–2 050 m dpl, dengan suhu udara antara 15–21 0C,
dan kelembaban udara antara 60–75 %, dan curah hujan di atas 4 000 mm/tahun.
Purwoceng awalnya merupakan tumbuhan liar yang hidup di bawah tegakan
tanaman keras atau hutan, sehingga kurang bagus pertumbuhannya apabila
tanaman ini mendapat penyinaran matahari langsung. Oleh karena itu untuk
jika ditanam pada tanah yang kaya bahan organik dengan pH tanah5.7–6.0
(Rahardjo dan Yuhono, 2006).
Tanaman purwoceng di Dieng tumbuh pada tanah berjenis Andosol.
Tanaman ini tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya bahan organik, gembur,
kurang kandungan liatnya, dan kemasaman tanahnya normal. Tanah Dieng
termasuk dalam tanah yang subur, kandungan C-organiknya sangat tinggi,
kapasitas tukar kation, kandungan Ca dan K tinggi, sedangkan kandungan N, P,
dan Na tergolong cukup. Selain sifat tanahnya yang gembur dan subur, kondisi
iklimnya memiliki curah hujan yang cukup, suhu udara dingin, dan kelembaban
udara tidak terlalu basah (Rahardjo et al., 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Rahardjo dan Rostiana (2006) purwoceng
dapat tumbuh dan dibudidayakan secara optimal baik di dalam maupun di luar
lingkungan tumbuh aslinya. Purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian
tempat 1 500 – 2 050 m dpl, curah hujan > 4 000 mm/tahun, suhu udara 15–25.8 0C,
tanah yang subur kaya bahan organik, gembur, dan memiliki pH 5.6–7 (netral).
Pemuliaan Mutasi
Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu
tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Pemuliaan tanaman
dapat dilakukan secara konvensional maupun non-konvensional. Pemuliaan secara
konvensional sangat umum dilakukan, seperti hibridisasi, seleksi dan introduksi,
sedangkan pemuliaan non-konvensional misalnya mutasi.
Peningkatan keragaman populasi dasar dapat dilakukan salah satunya
melalui induksi mutasi atau mutasi buatan. Mutasi dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu mutasi kromosom, gen, dan genom. Mutasi buatan dapat terjadi bila
digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu. Mutagen adalah substansi
atau perlakuan yang dapat mengakibatkan mutasi. Ada tiga kelompok mutagen
yaitu radiasi, non-radiasi dan kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan antara
lain sinar-X dari alat Rontgen, sinar gamma dari Cobalt-60, sinar beta dari radio
genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan terjadinya
keragaman genetik (Soeranto dalam Herison, 2007). Menurut Poespodarsono (1988) mutasi merupakan perubahan genetik baik pada gen tunggal, sejumlah gen
atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada bagian yang sedang aktif
membelah (meristematik) seperti tunas dan biji yang tidak dalam keadaan dorman.
Sel meristematik memiliki radiosensitivitas tinggi terhadap mutagen yang
diberikan. Soeranto dalam Herison et al. (2008) mengungkapkan bahwa dari sejumlah mutan yang dihasilkan terdapat peluang untuk mendapatkan genotipe
yang lebih baik dibandingkan plasma nutfah asal. Pada tanaman sorgum, induksi
mutasi fisik dengan irradiasi sinar gamma terhadap benih telah berhasil
meningkatkan keragaman genetik tanaman sorgum.
Keberhasilan upaya irradiasi untuk meningkatkan keragaman populasi
sangat ditentukan oleh radiosensitivitas genotipe yang diirradiasi. Tingkat
sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe
(Banerji and Datta dalam Herison et al., 2008). Menurut Handayani (2006) berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan irradiasi pada
tanaman, antara lain genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia
perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen,
temperatur dan dosis radiasi. Selain menghasilkan perubahan pada karakter
morfologi atau penampilan fenotipik tanaman seperti warna dan jumlah petal
bunga, induksi mutasi juga dapat menghasilkan mutan yang memiliki ketahanan
terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan.
Program pemuliaan tanaman melalui metode mutasi memiliki beberapa
kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk
bekerja pada gen yang spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh
dari proses mutasi. Kekurangan lain dari metode ini adalah bahwa kerusakan pada
struktur genetik dapat berubah normal kembali sebelum termanifestasi sebagai
mutasi dan terekspresi sebagai fenotipe mutan (Micke dan Donini, 1993).
Penelitian-penelitian mengenai pemuliaan mutasi telah banyak dilakukan.
Wijaya (2006) melakukan penelitian irradiasi sinar gamma pada benih tanaman
5 hingga 35 Gy. Dosis yang diberikan pada tanaman seledri daun sebesar 25 Gy
menghasilkan perubahan bentuk pada tanaman, sedangkan pada dosis 20 Gy
terjadi penyimpangan warna pangkal batang menjadi pucat kemerahan. Mutan
potensial yang terbentuk pada populasi tanaman seledri daun adalah tanaman
dengan perlakuan dosis irradiasi 20 dan 25 Gy. Pemuliaan pada tanaman hias
juga telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian Wegadara (2008)
pada Anthurium (Anthurium andreanum) dengan dosis irradiasi sinar gamma sebesar 10 hingga 200 Gy. Umumnya pemuliaan mutasi tanaman hias dilakukan
untuk memperoleh keragaman jenis tanaman karena semakin unik tanaman yang
dihasilkan maka semakin disukai oleh konsumen tanaman hias. Wegadara (2008)
melaporkan bahwa perlakuan irradiasi sinar gamma menurunkan panjang akar,
panjang daun, lebar daun dan tinggi tanaman Anthurium. Tanaman dengan
perlakuan 10 Gy mempunyai bentuk daun yang berbeda yaitu asimetris dan
melengkung ke bawah. Tanaman yang mendapat perlakuan 20 Gy tumbuh kerdil
dengan jumlah daun yang banyak.
Sinar Gamma
Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah
ditemukan sinar Alpha (α) dan Beta (β) oleh Rutherford dan F. Soddy. Sinar
gamma berasal dari inti atom dan dapat dikeluarkan oleh inti yang tidak stabil.
Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan gelombang pemancar
terpendek, sehingga menggambarkan radiasi elektromagnetik dengan level energi
tinggi. Tingkat radiasi yang dihasilkan dalam reaktor nuklir bisa mencapai
10 MeV dan biasanya diperoleh dari radio isotop Cobalt-60 (Co60) atau
Cesium-137 (Ce137). Cobalt-60 mempunyai dua macam energi radiasi yaitu
1.33 dan 1.17 MeV dengan waktu paruh 5.3 tahun. Satuan Standar International
(SI) yang digunakan untuk dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satuan dosis radiasi
merupakan banyaknya energi yang diserap oleh suatu benda atau target. Satuan
mempercepat terjadinya variasi pada suatu spesies. Irradiasi sinar gamma dapat
menghasilkan energi yang tinggi sehingga dapat merusak ikatan kimia suatu
senyawa menjadi senyawa baru apabila diberikan pada biji, tunas tanaman, serbuk
sari, pucuk apikal, jaringan dan sel. Sinar gamma dihasilkan dari radioisotop dan
reaktor nuklir, sumber Cobalt-60. Apabila sinar gamma ditembakkan pada biji,
dapat menyebabkan di dalam inti sel terjadi mutasi genom, kromosom, gen atau
mutasi diluar inti seperti pada plastida dan mitokondria. Mutasi genom
menyebabkan perubahan jumlah kromosom yaitu penambahan atau pengurangan
seluruh kromosom atau sebagian set kromosom. Mutasi kromosom menyebabkan
translokasi, inversi, duplikasi dan delesi, sedangkan mutasi gen menyebabkan
perubahan pada satu basa suatu nukleotida (Poespodarsono, 1988).
Menurut Ichikawa dan Ikhusima dalam Astuti (2005) pemberian irradiasi sinar gamma pada suatu tingkat dosis tertentu dapat merangsang pertumbuhan
tanaman. Hal ini disebabkan hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem
untuk membelah diri, menyebabkan aktivitas pembelahan sel-sel meristem yang
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman
Obat, Rempah dan Aromatik (Balittro), Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Areal
penelitian bertopografi datar dengan ketinggian 550 m dpl dan curah hujan
rata-rata 3 900–4 500 mm/tahun. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai
September 2010.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tanaman purwoceng
generasi M3 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri. Selain
itu bahan lain yang dibutuhkan yaitu pupuk kandang dan pasir sebagai campuran
media tanam serta polybag. Peralatan yang digunakan meliputi paranet 45 dan 50 %, peralatan olah tanah, peralatan tanam, dan peralatan ukur (meteran dan
timbangan).
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengamati populasi tanaman dengan empat
tingkat irradiasi pada benih yaitu 10, 20, 30, dan 40 Gy. Semua individu tanaman
diamati karakteristik pertumbuhan, morfologi dan potensi produksinya. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan uji–t pada taraf 5% mengikuti cara Walpole
(1995). Persamaan yang digunakan pada pengujian adalah:
t
hitung =(
)
2 1 2 1 1 1 n n s x x p + −
dengan Sp =
(
)
(
)
2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 − + − + − n n s n s n Keterangan
x1 x2 : Nilai tengah contoh 1 dan 2
s12, s22 : Ragam contoh 1 dan 2
n1, n2 : Banyaknya tanaman contoh 1 dan 2
Nilai berbeda nyata apabila
t
hitung> ttabel dan tidak berbeda nyata apabilat
hitung≤ ttabel, ttabel diperoleh dari nilai sebaran-t pada selang kepercayaan 5 % dandb (n1-n2)-2 (Walpole, 1995).
Pelaksanaan Penelitian
Benih purwoceng yang diperoleh dari Gunung Putri merupakan benih M3
dari tanaman generasi M2. Benih dikecambahkan dengan menaburkannya pada
polybag besar berisi media campuran tanah-kompos-pasir dengan perbandingan volume yang sama di bawah naungan paranet 50%. Benih dari tiap dosis irradiasi
dikecambahkan dalam polybag terpisah. Benih yang berkecambah dan tumbuh membentuk 3–4 daun (daun tunggal membulat dengan pinggiran bergerigi)
kemudian dipindahkan ke polybag kecil. Setelah bibit berumur kurang lebih satu bulan di persemaian dalam polybag kecil, maka tanaman siap dipindahkan ke bedengan.
Persiapan lahan dilakukan dengan membuat bedengan di bawah naungan
paranet 45 % setinggi 1 m dengan tinggi bedengan 25–30 cm, dan lebar bedengan
masing-masing 1 m. Setelah itu dibuat lubang tanam dengan jarak 30 cm x 30 cm,
dan pada setiap lubang tanam ditambahkan kompos 0.25–0.5 kg. Populasi
tanaman per bedeng berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah bibit yang tersedia
(22–42 tanaman). Jumlah seluruh tanaman adalah 102 tanaman.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pemupukan,
dan pengendalian hama penyakit. Penyiangan dilakukan setiap 2 minggu
bersamaan dengan pengamatan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan
mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Pemupukan dilakukan 1 bulan
setelah tanaman dipindahkan ke bedeng (BST). Dosis pupuk yang diberikan
adalah 4.5 g Urea /tanaman, 4 g SP-18 /tanaman dan 1 g KCl /tanaman. Pupuk
urea diberikan tiga kali yaitu 1, 3 dan 5 BST. Pengendalian terhadap hama dan
penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama Aphid sp. dilakukan secara manual dengan tangan. Penyakit busuk akar dikendalikan
Pemanenan purwoceng dilakukan pada umur 6 bulan setelah pindah
tanam. Cara pemanenan dilakukan dengan menggali dan mengangkat seluruh
bagian tanaman menggunakan kored. Akar dijaga agar tidak putus sehingga dapat
terangkat semua bagian tanaman. Setelah dipanen, tanaman dipisahkan antara
bagian akar, batang dan daun. Hasil panen kemudian dikeringanginkan (1–2 hari)
dan dioven pada suhu 400C selama 2 hari.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada seluruh populasi tanaman pada petak
penelitian. Tanaman yang diamati adalah tanaman yang telah dipindahkan ke
bedengan. Pengamatan dimulai saat tanaman berumur 4 minggu setelah
dipindahkan ke bedeng (MSP), dan selanjutnya diamati setiap 4 minggu. Peubah
yang diamati pada penelitian ini dibedakan menjadi karakter kualitatif dan
kuantitatif. Karakter kualitatif meliputi warna daun, warna tangkai daun dan tipe
kanopi sedangkan karakter kuantitatif yang diamati yaitu jumlah daun, panjang
tangkai, panjang daun, diameter kanopi, bobot tanaman, dan kadar metabolit
sekunder. Berikut diuraikan cara pengamatan peubah:
A. Karakter Kualitatif
1. Warna daun
Pengamatan warna daun dilakukan pada daun muda dan daun tua, pada
permukaan atas dan bawah daun. Warna daun yang biasa ditemukan pada
tanaman purwoceng adalah hijau dan merah.
2. Warna tangkai daun
Pengamatan dilakukan pada pangkal tangkai daun dan kecenderungan warna
pada tangkai secara keseluruhan tiap tanaman. Warna tangkai yang ditemukan
sama seperti warna daun yaitu hijau dan merah.
3. Tipe kanopi
Tipe kanopi purwoceng ditentukan dengan melihat kecenderungan bentuk
tangkai-tangkai daun dalam satu tanaman yang dibedakan menjadi tiga tipe,
Gambar 2. Ske (ki
B. Karakter Kuantita
1. Jumlah Daun
Data jumlah daun
segar dan anak daunn
2. Panjang tangkai da
Panjang tangkai y
yaitu mengukur
permukaan tanah s
3. Panjang daun
Data panjang da
terpanjang, yaitu
di atas tanah sampa
4. Diameter kanopi
Data diameter kanopi
daun terluar yang
mata angin:
Barat-5. Bobot tanaman
Data bobot diperol
segar dan bobot
menunjukkan pote
6. Metabolit Sekunde
Metabolit sekunde
dan saponin. Ana
diambil dari setiap pe
Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Pur (kiri), Semi tegak (tengah), Rebah (kanan).
ntitatif
un diperoleh dengan menghitung seluruh daun
aunnya telah terbuka penuh.
daun
yang diukur adalah tangkai pada daun majem
ukur panjang dari pangkal tangkai daun yang
h sampai tempat munculnya anak daun terbawa
daun diperoleh dengan mengukur daun
u mengukur panjang dari pangkal tangkai d
pai ujung daun.
anopi purwoceng diperoleh dengan mengukur
g letaknya berhadapan, misalnya menggunaka
-Timur atau Utara-Selatan.
roleh setelah tanaman dipanen (umur 6 bula
bobot setelah dikeringkan. Bobot tanaman
n potensi produksi tanaman purwoceng.
kunder
kunder yang dianalisis adalah sitosterol, stigmast
nalisis kandungan metabolit sekunder tanam
ap perlakuan irradiasi.
urwoceng: Tegak
un majemuk yang
jemuk terpanjang,
ng tepat di atas
ah.
un majemuk yang
daun yang tepat
ukur jarak dua ujung
akan penentu arah
bulan), yaitu bobot
n yang dipanen
asterol, bergapten,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2010.
Penanaman dilakukan pada 4 Januari 2010 dan penyulaman dilakukan empat kali
yaitu pada 27 Januari, 4 Februari, 6 Maret, dan 20 Maret 2010. Pemanenan
purwoceng dilakukan pada umur tanaman 6 bulan atau 24 MSP, yaitu 4 Juli–
20 September. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data
penelitian (Tabel 1).
Berdasarkan data iklim (Lampiran 2) suhu rata-rata per bulan di lokasi
penelitian adalah 25.5 0C, dengan rata-rata suhu pada pagi hari 22.1 0C, saat siang
hari 30.9 0C, dan ketika sore hari 23.4 0C. Rata-rata kelembaban udara berkisar
68.92–81.67 %. Apabila dibandingkan dengan kondisi di daerah Dieng, maka
suhu dan kelembaban di Kebun Percobaan Cicurug berada di atas kondisi habitat
aslinya yang mempunyai suhu berkisar 15–21 0C dan kelembaban udara antara
60–75 %. Suhu akan berpengaruh pada reaksi kimia atau proses metabolisme
tanaman. Suhu yang optimum akan menciptakan kondisi yang optimal pula pada
proses metabolisme tanaman dan apabila suhu berada diatas atau dibawah suhu
tersebut maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut fungsi peluang
Maxwell-Bolztman, setiap kenaikan suhu 10 0C maka laju reaksi kimia tanaman
yang dikendalikan oleh enzim akan meningkatkan 2 kali lipat (Salisbury dan
Ross, 1995b). Berdasarkan Kartasapoetra (1986) kelembaban mampu mendorong
pertumbuhan tanaman dengan memperlambat hilangnya air di tanah. Akan tetapi,
kelembaban yang tinggi juga dapat mendorong perkembangan organisme
terutama cendawan, yang memungkinkan menyebabkan timbulnya penyakit dan
kematian pada tanaman.
Rata-rata jumlah curah hujan di lokasi Kebun Percobaan Cicurug pada saat
penelitian dilaksanakan yaitu 2 372.36 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan
16 hari. Curah hujan tertinggi selama penelitian yaitu pada bulan Maret
(6 695 mm). Curah hujan dan jumlah hari hujan yang tinggi menyebabkan kondisi
ketiga jumlah tanaman mati sangat tinggi. Menurut Kartasapeotra (1986) curah
hujan berpengaruh pada pengikisan dan pencucian unsur hara, serta menimbulkan
kerugian fisik tanah.
Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum penelitian menunjukkan
bahwa lahan penelitian memiliki kemasaman tanah (pH) masam sebesar 5.20 dan
bertekstur liat. Kandungan C-organik (2.31 %), kandungan N-total (0.21 %), dan
kandungan P (8.1 ppm) termasuk sedang. Kandungan K (0.64 me/100g) termasuk
tinggi, sedangkan Ca (3.76 me/100g) termasuk rendah. Hasil analisis tanah secara
lengkap disajikan pada Lampiran 3 .
Kondisi iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dan kesuburan tanah di
Cicurug berbeda jauh dengan kondisi habitat endemik purwoceng di Dataran Tinggi
Dieng. Suhu dan kelembaban udara di Cicurug berada diatas kisaran habitat
endemiknya, sedangkan rata-rata curah hujan lebih rendah yaitu < 4 000 mm/th.
Tingkat kesuburan tanah di Cicurug sangat rendah jika dibandingkan dengan
beberapa lokasi yang telah disurvei oleh Rahardjo et al. (2004) yaitu Dieng, Tawangmangu, Tangkuban Perahu, Manoko, dan Ciwidei. Survei ini dilakukan
untuk mengkarakterisasi lingkungan tumbuh tanaman purwoceng (Lampiran 4).
Dari kelima lokasi yang disurvei, empat lokasi kecuali Ciwidei diduga memiliki
agroekosistem yang sedikit mirip dengan Dieng dan cocok untuk ditanami
purwoceng dengan berbagai tambahan perlakuan agronomis (penambahan pupuk
organik, pemupukan N, P dan Ca, serta penggunaan naungan). Apabila lokasi
Cicurug dibandingkan dengan kelima lokasi diatas maka akan masuk kategori
yang tidak dianjurkan untuk pengembangan purwoceng karena memiliki tekstur
tanah yang tinggi liatnya, pH masam, dan kesuburannya relatif rendah bahkan
dibandingkan dengan lokasi Ciwidei.
Pada saat awal pertumbuhan, yaitu 2 sampai 4 MSP, tanaman
menunjukkan gejala tanaman kekurangan unsur N. Beberapa tanaman daunnya
menguning terutama pada daun tua serta terdapat bercak warna (kuning-putih)
berukuran kecil di permukaan atas daun (Gambar 3). Setelah dilakukan
pemupukan pada 4 MSP maka daun tanaman berangsur-angsur berubah menjadi
hijau. Salisbury dan Ross (1995a) menerangkan bahwa tumbuhan yang
mengandung nitrogen untuk sekedar tumbuh saja akan menunjukkan gejala
Gambar 3. Ge per
Berdasarkan a
penelitian termasuk
sangat mudah hilang
(leaching) NO3-, deni
terfiksasi oleh minera
Selama peneli
(OPT) yaitu kutu daun
hama penting yang m
di permukaan daun
menyebabkan daun be
ini menghisap cairan
Hama ini berasosia
simbion, misalnya
dilakukan terhadap h
mencuci daun menggun
Selain Aphid
jenis organisme pen
tangkai daun, tetapi b
dan Rostiana (2007)
tanaman purwoceng
moluska. Hama ini pa
dengan cara memaka
1
Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen. Bercak put permukaan daun (1), Daun tua menguning (2).
n analisis tanah yang telah dilakukan, unsur N
uk kategori sedang. Menurut Hardjowigeno (
g atau tidak tersedia bagi tanaman, baik diakiba
denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatisasi NH4
ral liat, maupun dikonsumsi oleh mikroorganis
nelitian berlangsung terdapat organisme pengg
u daun (Aphid sp., Aphididae: Homoptera). Kutu d menyerang hampir seluruh populasi tanaman. H
un bagian bawah, menghisap cairan dari
un berkerut dan menggulung. Menurut Pracaya
n dari tumbuhan untuk mendapatkan nutrisi y
iasi dengan beberapa kelompok serangga
berbagai jenis semut (Formicidae). Penge
p hama tersebut yaitu pengendalian manual den
ggunakan deterjen.
sp. ditemukan gejala serangan lain yang b
penyebabnya. Gejala serangan berupa pemot
pi beberapa ditinggalkan disekitarnya (tidak dim
2007) menjelaskan bahwa salah satu hama y
g (di Dieng) adalah keong tidak bercangkang
pada umumnya muncul di musim penghujan
akan daun purwoceng, sehingga pada seran
2
putih-kuning pada ).
ur N total di lokasi
no (2003) unsur N
kibatkan pencucian
4+ menjadi NH3,
nisme tanah.
gganggu tanaman
u daun merupakan
n. Hama ini berada
ri tanaman, serta
a (2007) serangga
yang dibutuhkan.
ngga yaitu serangga
engendalian yang
engan tangan dan
belum diketahui
otongan
tangkai-dimakan). Rahardjo
yang menyerang
ng yang tergolong
an dan menyerang
Gambar 4. Se me se Ge dipot dit terlihat daun purwoc
(2010) melaporkan ba
Kebun Percobaan Ci
diatas, yang disebabk
purwoceng generasi M
awal bulan Juni. P
(23 tanaman). Bebera
ada pula yang dipoton
Penyakit pada
merupakan komodita
yang ditemukan pada b
kemudian layu dan m
tampak akar tanaman m
2b
1
Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (O menyerang permukaan daun bagian bawa serangan OPT: tangkai daun dipotong hingg Gejala serangan OPT: hanya beberapa tang dipotong (2b), Gejala serangan OPT: be ditinggalkan disekitar tanaman (2c)
oceng gundul tinggal batang dan bunganya
n bahwa pada tanaman purwoceng generasi M2
Cicurug terdapat gejala serangan yang sama
babkan belalang. Diduga hama yang meny
i M3 juga diakibatkan oleh belalang. Serangan
Presentase kerusakan akibat hama ini me
rapa tanaman hanya dipotong sebagian tangkai
potong hingga habis (Gambar 4).
pada tanaman tersebut hampir tidak ada kar
oditas yang relatif baru di KP Balittro Cicurug.
da beberapa tanaman yaitu bagian tajuk mula-m
n membusuk berwarna coklat. Apabila tanama
an membusuk (Gambar 5).
2c 2b
n (OPT). Aphid sp. wah (1), Gejala hingga habis (2a), ngkai daun yang beberapa tangkai ya saja. Wahyuni
2 yang ditanam di
ma dengan gejala
nyerang tanaman
n ini terjadi mulai
mencapai 25.49%
ai daunnya, tetapi
karena purwoceng
ug. Gejala penyakit
mula menguning,
[image:32.595.99.497.270.661.2]Gambar 5. Ge D m
Menurut Kar
merupakan gejala pe
Phytium, Rhizoctonia
mendukung pertumbu
faktor yang mempeng
optimum untuk perke
basah, dan curah hu
serangan.
Warna Daun
Pengamatan w
dan fase daun tua.
terdapat pada daun pur
hijau dan kemerahan.
1
3
Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng. D Daun mengering (berwarna coklat) d membusuk (b), Batang membusuk (c), Akar m
artasapoetra (2004) kondisi tanaman diata
penyakit busuk akar yang dapat disebabka
ia atau Phytoptora. Kondisi lingkungan yang buhan mikroorganisme. Menurut Pracaya (
engaruhi timbulnya penyakit antara lain: t
rkembangan penyakit (berkisar 25–30 0C), tan
hujan yang tinggi dapat mengakibatkan sem
Karakter Kualitatif
n warna daun dilakukan pada dua fase yaitu f
. Hasil pengamatan menunjukkan adanya dua
un purwoceng bagian atas maupun bagian baw
n.
4 2
. Daun Layu (a), dan batangnya membusuk (d).
atas (Gambar 5)
kan oleh patogen
ng lembab sangat
(2003) beberapa
temperatur yang
tanah yang terlalu
semakin ganasnya
u fase daun muda
dua warna yang
[image:33.595.135.490.85.371.2]Gambar 6. K W pa pe pa pe ba da Rostiana et al.
6 BST menggunaka
kedalam dua warna
didominasi warna hi
penelitian ini, hasil pe
menunjukkan lima kom
Kombinasi wa
generasi M3 didomin
kombinasi 2 hanya terd
warna daun dengan
1 (0.98 %) dan 2 (1.96
4 1
Keragaman Warna Daun Purwoceng pada D Warna hijau pada permukaan atas daun muda ( pada permukaan bawah daun muda (2), War permukaan bawah daun muda (3a-b). Warna m pada permukaan atas daun tua (4), War permukaan atas daun tua (5), Warna hijau pa bawah daun tua (6), Warna merah pada per daun tua (7).
al. (2007) membedakan warna daun tanaman p kan RHS (The Royal Horticultural Society
na yaitu warna merah dan hijau. Warna
hijau tetapi ada juga yang berwarna merah
l pengamatan pada populasi tanaman purwoce
kombinasi warna dari kedua warna ini (Gambar
warna daun yang ditemukan pada populasi tana
inasi oleh kombinasi 1 yaitu 94 tanaman (92
erdapat pada 4 tanaman (3.92 %). Jumlah tanama
n kombinasi 3, 4 dan 5 masing-masing adal
%) tanaman (Tabel 1).
5 2
4
1 3a
6
Dua Fase Umur. a (1), Warna hijau arna merah pada merah keunguan arna hijau pada u pada permukaan permukaan bawah n purwoceng umur
ty Colour Cards) na daun tua-muda
h keunguan. Pada
oceng generasi M3
bar 6).
naman purwoceng
(92 %) sedangkan
man yang memiliki
alah 2 (1.96 %),
7
[image:34.595.122.488.225.582.2]Keterangan : WDMA: Warna daun muda atas; WDMB: Warna daun muda bawah; WDTA: Warna daun tua atas; WDTB: Warna daun tua bawah.
Tabel 1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3
Kombinasi warna daun diatas diduga bukan diakibatkan oleh irradiasi
melainkan merupakan penyesuaian tanaman terhadap lingkungan. Menurut
Rostiana et al. (2007) warna pada organ tanaman purwoceng merupakan ekspresi genetik yang kemungkinan dipengaruhi juga oleh lingkungan karena
ada interaksi antara antosianin dengan komponen hara dan keasaman tanah.
Salisbury dan Ross (1995b) menyebutkan bahwa pada larutan asam antosianin
dominan berwarna merah, tetapi menjadi ungu dan biru dengan meningkatnya
kemasaman tanah.
Pada penelitian sebelumnya, tanaman generasi M1 yang ditanam di Cicurug
menghasilkan enam kombinasi warna daun yaitu lima kombinasi warna yang sama
dengan tanaman generasi M3 dan satu kombinasi warna dengan permukaan daun
muda bagian atas berwarna hijau sedangkan permukaan bawah dan kedua
permukaan daun tuanya berwarna merah (Pulungan, 2008). Berdasarkan penelitian
Wahyuni (2010) tanaman purwoceng generasi M2 yang juga ditanam di Cicurug
menghasilkan tiga kombinasi warna daun yaitu kombinasi 1 dan 2 (Tabel 1), serta
kombinasi warna daun yang kedua permukaan daun mudanya berwarna merah
keunguan, sedangkan warna kedua permukaan daun tua adalah hijau. Variasi
warna yang telah diamati pada penelitian Pulungan (2008) dan Wahyuni (2010)
tidak hanya terdapat pada tanaman yang diirradiasi, tetapi juga terdapat pada
tanaman kontrol.
Kombinasi Kombinasi Warna Daun Jumlah Tanaman Persentase
(%)
WDMA WDMB WDTA WDTB
1 Hijau Hijau Hijau Hijau
41 tanaman 10 Gy 22 tanaman 20 Gy 16 tanaman 30 Gy 15 tanaman 40 Gy
92.15
2 Hijau Merah Hijau Hijau
1 tanaman 10 Gy 2 tanaman 30 Gy 1 tanaman 40 Gy
3.92
3 Hijau Hijau Hijau Merah 1 tanaman 40 Gy
1 tanaman 20 Gy 1.96
4 Hijau Merah Hijau Merah 1 tanaman 20 Gy 0.98
5 Hijau Hijau Merah Merah 1 tanaman 40 Gy
Habitat asli ta
Oleh karena itu digun
lingkungan tanaman.
matahari akan memac
tidak melakukan pros
yang mengendalikan p
tumbuhan melindungi
tanaman nilam yang
terkena matahari lang
yang berfungsi melindu
Warna Tangkai Dau
Tanaman purw
merah dan hijau (Gam
terdiri dari tanaman y
populasi memiliki tang
tangkai daun berwar
10 Gy.
Keragaman w
hasil pengamatan Ra
warna tangkai daun p
hijau. Identifikasi ciri
menunjukkan bahwa Gambar 7.
1
tanaman purwoceng merupakan tanaman diba
unakan paranet untuk mengurangi intensitas c
n. Salisbury dan Ross (1995c) menerangkan
acu sintesis antosianin pada organ yang sedikit
roses fotosintesis. Mekanisme cahaya dapat m
n pembentukan flavonoid serta antosianin yang
ngi diri dari radiasi UV. Berdasarkan penelitian
ng ternaung daunnya tampak berwarna hijau,
ngsung berwarna hijau keunguan. Pigmen ini d
indungi klorofil dari kerusakannya akibat fotook
aun
purwoceng yang diamati memiliki warna tang
ambar 7). Sebanyak 96.08 % populasi purwoce
yang bertangkai daun berwarna merah keung
tangkai daun yang berwarna hijau. Tanaman y
arna hijau hanya terdapat pada tanaman per
n warna tangkai ini diduga bukan akibat irradia
ahardjo et al. (2005) menunjukkan bahwa te pada tanaman purwoceng yaitu warna merah
iri agronomis yang telah dilakukan di Dieng da
a sebagian besar warna tangkai daun yaitu m 7. Warna Tangkai Daun Purwoceng: Hija
Keunguan (2).
2
dibawah naungan.
s cahaya dan suhu
kan bahwa cahaya
it atau sama sekali
mengaktifkan gen
ng merupakan cara
an Haryanti (2008)
u, sedangkan yang
diduga antosianin
ooksidasi.
ngkai daun yaitu
oceng generasi M3
unguan dan 3.92 %
n yang mempunyai
perlakuan irradiasi
diasi. Berdasarkan
terdapat dua tipe
ah kecoklatan dan
dan Gunung Putri
[image:36.595.139.478.474.608.2]Gambar 8. Tipe (98 %) dan sebagian ke
Pulungan (2008) war
dipindah dan sesudah
warna kemerahan (89.36
halnya dengan hasil pe
98.38 % warna tang
keunguan dan kurang
Tipe Kanopi
Tipe kanopi y
tiga macam yaitu t
Gambar 2). Berdasark
kanopi populasi tana
Tanaman purwoceng
sedangkan tipe tegak
24 MSP, diperoleh 66
dan 36 tanaman yang
maka anak daunnya s
berat sehingga rebah.
1
ipe Kanopi: Tegak (1), Semi tegak (2), Rebah ( n kecil kehijauan (2 %). Berdasarkan penelitian
arna tangkai daun tanaman purwoceng genera
udah dipindah ke lapangan adalah sama yaitu
89.36 %) sedangkan sisanya berwarna hijau (
penelitian Wahyuni (2010) yang menunjukka
ngkai dari populasi tanaman purwoceng M2
ng dari 2 % berwarna hijau.
nopi yang ditemukan pada tanaman purwoceng g
u tegak, semi tegak dan rebah (Gambar 8
arkan Lampiran 4, tipe semi tegak tampak mendom
naman purwoceng pada 4 MSP yaitu 90 tana
ng yang memiliki tipe rebah ada 11 tanam
ak hanya 1 tanaman (0.98 %). Pada akhir pe
h 66 tanaman yang memiliki tipe kanopi semi t
ng kanopinya bertipe rebah (35.29 %). Semaki
a semakin banyak sehingga tangkai daun sema
h.
3
2
h (3).
an yang dilakukan
nerasi M1 sebelum
u didominasi oleh
u (10.64 %). Sama
ukkan bahwa hampir
2 adalah merah
generasi M3 ada
mengacu pada
endominasi bentuk
naman (88.23 %).
aman (10.78 %)
pengamatan yaitu
i tegak (64.71 %)
akin tua tanaman
Tanaman purw
yang lebih cepat re
generasi M3 30 Gy,
kanopi semi tegak hin
daun yang sedikit sehi
Jumlah Daun
Daun yang di
purwoceng terdiri dar
satu tangkai. Jumla
pertumbuhannya. Gam
yang diamati pada se
pengamatan populasi
berbeda secara bergant
Berdasarkan ha
hanya terdapat pada Gambar 9.
B
purwoceng generasi M3 yang memiliki kecende
rebah dan tipe kanopi rebah terbanyak a
, diikuti 10, 20, dan 40 Gy. Tanaman yan
hingga akhir pengamatan diduga dipengaruhi ol
ehingga daun tidak terlalu berat.
Karakter Kuantitatif
diamati pada penelitian ini merupakan daun
dari beberapa anak daun yang berpasangan yan
lah daun terus mengalami peningkatan
ambar 9 menunjukkan pertumbuhan purwoce
setiap populasi perlakuan irradiasi. Nilai
rata-si tanaman generarata-si M3 yang memiliki jumlah
antian.
n hasil uji-t, tanaman yang mempunyai perbeda
a awal pertumbuhan. Tanaman yang berasal 9. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Gene
Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi
nderungan kanopi
k adalah tanaman
ang memiliki tipe
uhi oleh jumlah anak
n majemuk. Daun
ang terdapat pada
n selama periode
oceng generasi M3
-rata pada setiap
ah daun terbanyak
daan jumlah daun
[image:38.595.116.491.445.664.2]diberi perlakuan dosis irradiasi 30 Gy nyata memiliki jumlah daun lebih sedikit
dibandingkan tanaman dengan perlakuan 10 Gy pada umur 4 MSP. Pada umur
8 MSP tanaman dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy nyata memiliki daun lebih
banyak dibandingkan tanaman dengan perlakuan 20 Gy dan 30 Gy (Lampiran 13).
Tanaman yang berasal dari benih dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy
memiliki jumlah daun rata-rata terbanyak pada akhir pengamatan (24 MSP) yaitu
10.0 tangkai/tanaman. Berdasarkan penelitian Rahardjo et al. (2005) jumlah daun
purwoceng di daerah Dataran Tinggi Dieng pada 6 BST kurang lebih
25.6 tangkai/tanaman, sedangkan pada umur 9 BST tanaman purwoceng memiliki
jumlah daun sekitar 46.5 tangkai/tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni
(2010) jumlah daun purwoceng generasi M2 yang ditanam di Cicurug bisa mencapai
21.3 tangkai/tanaman pada tanaman 0 Gy (22 MSP) sedangkan pada generasi M2
yang ditanam di daerah Cibadak pada ketinggian 950 m dpl, mencapai
9.4 tangkai/tanaman pada perlakuan dosis irradiasi 10 Gy (8 MSP). Apabila
dibandingkan dengan jumlah daun pada tanaman yang ditanam di Dataran Tinggi
Dieng, jumlah daun yang dihasilkan tanaman di Cicurug jauh lebih rendah. Jika
dibandingkan dengan penanaman sebelumnya, yaitu purwoceng generasi M2
di Cicurug, jumlah daun yang dihasilkan tanaman generasi M3 juga lebih rendah.
Keragaman jumlah daun generasi M3 diduga selain disebabkan oleh
irradiasi sinar gamma juga diakibat faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat
berupa faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi organisme pengganggu
tanaman (OPT), gulma dan mikroorganisme tanah. Faktor abiotik antara lain suhu,
curah hujan, kelembaban udara, intensitas cahaya serta kesuburan tanah.
Perkembangan maupun pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh
unsur-unsur cuaca. Unsur yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
tanaman adalah suhu dan panjang hari, sedangkan pada pertumbuhan tanaman
hampir semua unsur cuaca sangat mempengaruhinya (Handoko, 1994). Suhu
berpengaruh terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi dan proses biokimia
dalam fotosintesis. Proses fotosistesis dan respirasi dipengaruhi oleh katalisator
yaitu enzim yang mempunyai toleransi terhadap suhu lingkungan yang sangat
terbatas dan bervariasi untuk tiap jenis tanaman karena enzim tersebut berasal dari
proses metabolisme tanaman. Suhu udara yang meningkat maka akan mengurangi
produk fotosistesis karena akan merusak enzim, sedangkan suhu yang lebih
rendah akan mengurangi kecepatan reaksi metabolisme (Salisbury dan Ross,
1995b).
Salisbury dan Ross (l995b) menjelaskan bahwa proses respirasi
membutuhkan sukrosa dan pati yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Oleh
karena itu, proses fotosintesis yang optimal dibutuhkan agar proses respirasi dapat
berjalan dengan optimal. Apabila keseimbangan antara proses respirasi dan
fotosintesis telah tercapai, maka pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan
baik. Disamping digunakan untuk proses metabolisme tanaman, metabolit primer
hasil fotosintesis juga digunakan untuk menyusun metabolit sekunder yang
mendukung proses adaptasi dan proteksi tanaman.
Proses fotosintesis tidak lepas dari peran cahaya matahari. Respon
tanaman terhadap intensitas cahaya yang berbeda tergantung dari sifat adaptif
tanaman tersebut. Respon terhadap intensitas cahaya tinggi dapat menguntungkan
atau merugikan. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap
intensitas cahaya yang harus diterima. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan
rusaknya struktur kloroplas, sehingga menyebabkan produktifitas tanaman
menurun.
Selain beberapa faktor di atas, kelembaban udara maupun kelembaban
tanah juga perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Kramer and Kozlowski
dalam Widiastuti et al., (2004) menjelaskan bahwa kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan
tanaman. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena
berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Menurut Harjadi (1979) bahwa
kelembaban tanah erat kaitannya dengan kandungan air tanah, dimana kelebihan
atau kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu
kelembaban tanah juga berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan perkembangan
penyakit terutama cendawan.
Hasil penelitian Pulungan (2008) menunjukkan bahwa jumlah