• Tidak ada hasil yang ditemukan

n penelitian lanjutan yang dilakukan Rostiana

segar di Kebun Percobaan Gunung Putri deng nduk yang sama mencapai 16.63 g/tanaman dari purwoceng generasi M3 di Cicurug sangat

gan hasil panen di daerah endemiknya (Dien

al. (2006) menyatakan bahwa kondisi agroekol diaan air) merupakan faktor pembatas da

berpengaruh secara langsung terhadap pe ondisi agroekologi Cicurug sangat berbeda dengan

n mempunyai tingkat kesuburan relatif rendah.

er

enyawa yang merupakan metabolit sekunde tanaman purwoceng antara lain sterol ponin, dan bergapten (Ma’mun et al., 2006). ndungan metabolit sekunder dalam tanaman purw

6 BST tidak berbeda nyata antar dosis irr n 11). Selain itu, hasil uji-t antar jenis metaboli

k berbeda nyata (Lampiran 12).

eng Generasi M3

ana et al. (2007) ngan enam nomor dari Pipru 02. Hasil t rendah apabila eng) dan Gunung ekologi (terutama dalam budidaya pertumbuhan dan gan kondisi daerah

kunder berkhasiat ol (sitosterol dan . Hasil penelitian purwoceng generasi irradiasi (Tabel 2 bolit sekunder yang

Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M3

Standar baku mutu simplisia purwoceng yang dapat dijadikan acuan dalam perdagangan maupun dalam industri, baik dari Materia Medika Indonesia (MMI) maupun Standar Nasional Indonesia (SNI) selama ini belum ada. Berdasarkan penelitian Ma’mun et al. (2007), beberapa industri jamu di Indonesia seperti PT. Nyonya Meneer dan PT. Sido Muncul menentukan persyaratan sendiri untuk simplisia purwoceng, yaitu kadar air 10%, kandungan saponin minimum 0.1%, dan bebas dari jamur. Hasil analisis metabolit sekunder pada tanaman purwoceng di pabrik jamu Nyonya Meneer menunjukkan kandungan saponinnya 0.20 %, sitosterol 0.60 %, stigmasterol 0.16 % dan bergapten 0.06 %.

Tanaman purwoceng generasi M3 memiliki persentase kandungan saponin, stigmasterol dan bergapten diatas hasil analisis di pabrik jamu Nyonya Meneer, sedangkan sitosterol mempunyai persentase yang lebih rendah atau dibawah hasil analisis tersebut. Menurut Moreao et al. dalam Rahardjo et al.

(2006) sitosterol dapat dikonversi ke dalam bentuk steroid lainnya dan rasio sitosterol dan stigmasterol dapat berubah pada kondisi tanaman yang mengalami senesen.

Ma’mun et al. (2007) telah menetapkan nilai-nilai parameter mutu simplisia purwoceng yang merupakan usulan bahan rancangan standar mutu simplisia purwoceng yaitu sebagai berikut: kadar air 9.00–14.0 %, kadar abu 8.90–23.0 %, kadar sari dalam air 17.10–3.20 %, kadar sari dalam alkohol 6.50–18.0 %, sitosterol 0.03–0.16 %, stigmasterol 0.06–0.16 %, saponin 0.14–0.20 %, dan bergapten 0.02–0.06 %. Tanaman purwoceng generasi M3 pada penelitian ini mempunyai persentase kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten di atas standar tersebut.

Senyawa Kimia (%) Dosis Iradiasi (Gy) Rata-rata

10 20 30 40 β-Sitosterol 0.32 0.52 0.41 0.36 0.40 Stigmasterol 0.82 0.77 0.68 0.65 0.73 Bergapten 0.59 0.56 0.48 0.49 0.53 Saponin 0.92 0.85 0.78 0.73 0.82 Rata-rata 0.66 0.68 0.59 0.56

Berdasarkan penelitian Hernani dalam Ma’mun (2007) sumber tanaman purwoceng yang berbeda dan bagian tanaman yang tidak homogen menghasilkan komposisi kimia yang berbeda pula. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Wahyuni (2010) yaitu kadar metabolit sekunder antara akar dengan batang dan daun purwoceng generasi M1 tidak berbeda nyata sehingga dapat menunjukkan bahwa seluruh bagian tanaman purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai obat. Berdasarkan hasil penelitiannya, tanaman purwoceng generasi M1 yang ditanam di Cicurug memiliki kisaran kadar saponin 1.305–2.239 % dan fitosterol 0.955–2.725 % dimana kadar bahan aktif tertinggi terdapat pada tanaman kontrol diikuti tanaman purwoceng generasi M1 10, 20, 30, 50 dan 40 Gy. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Wahyuni (2010), persentase hasil uji kandungan senyawa aktif saponin dan fitosterol pada tanaman purwoceng generasi M3 tidak setinggi pada tanaman purwoceng generasi M1.

Menurut Sinabela dalam Ma’mun et al. (2007) mutu simplisia berkaitan erat dengan kompleksibilitas komposisi senyawa-senyawa di dalamnya. Hal ini disebabkan sifat alami konsistuen kimia dalam simplisia yang merupakan campuran berbagai metabolit sekunder yang secara kualitatif dan kuantitatif dapat berubah karena berbagai faktor, baik genetik maupun lingkungan. Perbedaan kandungan bahan aktif pada tanaman purwoceng generasi M3 dinilai lebih karena kondisi lingkungan. Curah hujan dan kelembaban yang sangat tinggi membuat tanaman mengalami stress dan memacu akumulasi pembentukan metabolit sekunder.

Berdasarkan penelitian Djazuli et al. (2007) ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan yang dapat diserap oleh tanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman purwoceng. Oleh karena produksi simplisia purwoceng diperoleh dari seluruh bagian tanaman, maka agar mendapatkan kandungan metabolit yang tinggi diperlukan pertumbuhan vegetatif tanaman yang optimal. Diduga dengan meningkatkan kesuburan tanah di Cicurug maka dapat meningkatkan produksi dan kadar metabolit sekunder tanaman purwoceng.

Keterangan : *= signifikan berkorelasi pada taraf 5%

Angka didalam kurung menunjukkan nilai peluang korelasi (Pr> |r|)

Korelasi Antar Karakter Kualitatif

Bobot basah tanaman merupakan peubah yang menjadi tolok ukur produksi simplisia tanaman obat. Simplisia tanaman purwoceng diambil dari seluruh bagian tanaman, baik tajuk (daun dan batang) maupun akar. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa bobot basah tanaman purwoceng generasi M3 tidak berkorelasi dengan peubah lainnya (Tabel 3). Korelasi positif nyata hanya terjadi pada peubah jumlah daun dengan diameter kanopi (r = 0.98*), dan panjang daun dengan panjang tangkai (r = 0.98*).

Tabel 3. Nilai Uji Korelasi Antar Karakter Kuantitatif Tanaman Purwoceng Generasi M3

Bobot basah tanaman purwoceng generasi M3 tidak berkorelasi dengan keempat peubah lainnya diduga karena nilai koefisien keragaman (KK) bobot basah sangat besar yaitu 84.39%. Hal ini berarti bahwa peubah produksi tanaman mempunyai nilai yang sangat beragam. Selain itu, peubah lainnya juga memiliki nilai KK yang besar yaitu jumlah daun 73.44%, panjang tangkai 56.61%, panjang daun 55.83%, dan diameter kanopi 52.16%. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman purwoceng genersi M3 mempunyai keragaman karakter kuantitatif yang besar sehingga polas hubungan antar peubahnya tidak berpola.

Karakter Kuantitatif Bobot Basah Jumlah Daun Panjang Tangkai Panjang Daun Diameter Kanopi Bobot Basah - 0.69 (0.313) 0.69 (0.313) 0.69 (0.3045) 0.54 (0.4592) Jumlah Daun - 0.82 (0.177) 0.92 (0.075) 0.98* (0.022) Panjang Tangkai - 0.98* (0.023) 0.719 (0.281) Panjang Daun - 0.85 (0.14) Diameter Kanopi -

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif menunjukkan bahwa secara umum tanaman purwoceng generasi M3 memiliki warna daun dan warna tangkai daun yaitu merah dan hijau. Karakter kualitatif lainnya yaitu tipe kanopi yang ditemukan pada tanaman purwoceng generasi M3 ada tiga macam yaitu tegak, semi tegak dan rebah. Tanaman generasi M3 yang diberi perlakuan irradiasi (10, 20, 30, dan 40 Gy) memiliki rata-rata karakter kuantitatif (jumlah daun, panjang tangkai daun, panjang daun, dan diameter kanopi) yang meningkat setiap minggunya. Karakter kuantitatif secara umum tidak berbeda nyata antar dosis irradiasi. Keragaman morfologi dan perbedaan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi M3 ini diduga selain akibat irradiasi sinar gamma, juga akibat faktor lingkungan.

Bobot segar tanaman purwoceng generasi M3 berkisar 3.13–7.33 g/tanaman dan antar masing-masing dosis irradiasi tidak berbeda nyata. Kandungan metabolit sekunder tanaman purwoceng generasi M3 (sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten) antar masing-masing perlakuan irradiasi tidak berbeda nyata. Kandungan masing-masing jenis metabolit sekunder didalam populasi tanaman purwoceng generasi M3 juga tidak berbeda nyata. Rata-rata kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten berturut-turut 0.40, 0.70, 0.53, dan 0.82 %. Pada populasi yang dipelajari, korelasi antara jumlah daun, panjang tangkai, panjang daun, dan diameter kanopi dengan bobot basah tidak nyata. Korelasi positif dan nyata terjadi antara jumlah daun terhadap diameter kanopi dan panjang tangkai terhadap panjang daun.

Saran

Evaluasi keragaman purwoceng pada generasi selanjutnya sebaiknya digunakan kontrol untuk lebih memperjelas pengaruh induksi irradiasi sinar gamma, tidak hanya membandingkan antar dosis irradiasi.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Y. 2007. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Morphologi Anthurium hookeri http://www.mercubuanauniversity.co.id/Effects of Gamma Irradiation on Anthurium hookeri Morphology/Irradiasi Sinar Gamma. [11 Desember 2009].

Balitro. 2008. Purwoceng Viagra Jawa, Baik untuk Wanita. http://www.susukolostrum.com/Susu Kolostrum Skim Alami IgG Plus Fortico Dari Smart Naco Indonesia WorldWide.pdf. [4 Desember 2009]. Darwati, I. dan I. Rostiana. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina

Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12 (1): 9–15.

Departemen Kesehatan. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/Menkes/Sk/11i/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional http://www.litbang.depkes.go.id/download/regulasi/KMK_381/ 2007/OBAT TRADISIONAL.pdf. [29 Desember 2009].

Djazuli, M., J. Pitono, U. Kosasih, dan Nasrun. 2007. Optimalisasi Lahan Pertanaman Purwoceng melalui Sistem Pola Tanam. Dalam Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Tahun 2007. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 366–373.

Ermiati, C. Indrawanto dan O. Rostiana. 2005. Kelayakan Usahatani Purwoceng sebagai Tanaman Pekarangan dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat XXVIII-Bogor, 15–16 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hal 91–100.

Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta. 140 hal.

Handayani, W. 2006. Keragaman Genetik Mawar Mini dengan Irradiasi Sinar Gamma. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28 (4): 17–18. Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor 192 hal.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 hal. Harjadi, S.S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta. 194 hal.

Haryanti, S. 2008. Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth) pada Tingkat Naungan yang Berbeda. eprints.undip.ac.id/.../Sri_Haryanti,_RESPON_JUMLAH_DAUN_1.pdf. [27 Maret 2010].

Herison, C., Rustikawati, S.H. Sutjahjo dan S. Iis Aisyah.2007. Induksi mutasi melalui irradiasi sinar gamma terhadap benih untuk meningkatkan keragaman populasi dasar jagung (Zea mays L.). Jurnal Akta Agrosia 11 (1): 57–62.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Volume Ke-3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta. 1 550 hal.

Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 101 hal

Kusumo, Y.W.E., I. Darwati, I. Roostika, dan Rosita. 2008. Perakitan Varietas Unggul Purwoceng yang Toleran Dataran Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 23 hal.

Ma’mun, F. Manoi, A.S. Sembiring, M. Sukmasari, Kurniati, dan D. Kustiwa. 2007. Standarisasi Mutu Purwoceng. Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2007 Balai Tanaman Obat dan Aromatik. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 359–365.

Ma’mun, S. Suhirman, F. Manoi, B.S. Sembiring, Tritianingsih, M. Sukmasari, A. Gani, Tjitjah F., dan D. Kustiwa. 2006. Teknik Pembuatan Simplisia dan Ekstrak Purwoceng. Dalam Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Tahun 2006. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 316–324.

Micke, A. and B. Donini. 1993. Induced Mutation. In Hayward, M.D., N.O. Bosemark and I. Romagosa (Eds). Plant Breeding: Principles and Prospects. Chapman and Hall. London. 550 p.

Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemulian Tanaman. Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor. 169 hal.

Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. 417 hal Pulungan, M.Y. 2008. Keragaan Karakter Purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Tiga Lokasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 50 hal.

Raharjo, M., Sudiarto, Endjo D., S. Wahyuni, Sukarma, O. Trisilawati, A. Shusena, Kosasih, dan Susi N. 2004. Studi Teknologi Perbanyakan, Budidaya dan Konservasi Ex Situ Tanaman Obat Langka Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb.). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hal 277–292.

Raharjo, M., S. Wahyuni, O. Trisilawati, dan E. Djauhariya. 2005. Ciri Agronomis, Mutu, dan Lingkungan Tumbuh Tanaman Obat Langka Purwoceng (Pimpinella prustjan Molk.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII-Bogor, 15–16 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hal 62–71.

Rahardjo M. dan J.T. Yuhono. 2006. Budidaya Akar Wangi, Mentha dan Purwoceng. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. 65 hal. Raharjo, M. dan O. Rostiana. 2006. Budidaya Tanaman Obat Langka Purwoceng.

Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Tanaman Obat Menuju Kemandirian Masyarakat dalam Pengobatan Keluarga Jakarta, 7 September 2006. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 138–146. Rahardjo, M., I. Darwati dan A. Shusena. 2006. Produksi dan mutu simplisia

purwoceng berdasarkan lingkungan tumbuh dan umur tanaman. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412–2855 5 (1): 310–316.

Rostiana, O., W. Haryudin danA. Aisyah. 2005. Karakterisasi Nomor Koleksi Purwoceng di Gunung Putri. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII, Bogor, 15-16 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat obat. Bogor. Hal 55–61.

Rostiana, O., W. Haryudin, Rosita SMD, dan S.F. Syahid. 2006. Karakterisasi Nomor-nomor Koleksi Purwoceng. Dalam Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Tahun 2006. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 275–284.

Rusmin, D. 2010. Fenlogi dan Stimulasi Perkecambahan Benih Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 75 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995a. Fisiologi Tumbuhan Jilid Satu: Sel: Air, Larutan, dan Permukaan Edisi Empat Terjemahan Diah R. L dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 241 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995b. Fisiologi Tumbuhan Jilid Dua: Biokimia Tumbuhan Edisi Keempat Terjemahan Diah R. L dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 173 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995c. Fisiologi Tumbuhan Jilid Tiga: Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan Edisi Keempat Terjemahan Diah R. L dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Sukarman, D. Rusmin, Melati, dan Nasrun. 2006. Studi Peningkatan Viabilitas

Benih Purwoceng. Dalam Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Tahun 2006. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 299– 313.

Wahyuni, S. 2010. Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug dan Cibadak. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi 3. Terjemahan dari : Introduction to Statistics 3rd Edition. Penerjemah : B. Sumantri. PT Gramedia Utama. Jakarta. 515 hal.

Wegadara, M. 2008. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma pada Buah terhadap Keragaan Tanaman Anthurium (Anthurium andreanum). Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal.

Widiastuti, L., Tohari dan E. Sulistyaningsih. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman krisan dalam pot. Jurnal Ilmu Pertanian 11(2): 35–42.

Wijaya, A.K. 2006. Evaluasi Keragaan Fenotipe Tanaman Seledri Daun (Aphium graveolens L. Subsp. Secalium Alef.) Kultivar Amigo Hasil Irradiasi dengan Sinar Gamma Cobalt-60 (Co60). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 hal.

Van Harten, A.M. 1988 Mutation Breeding: Theory and Practical Applications. Cambridge University Press. Netherlands. 353 p.

Yuhono, J.T. 2004. Usaha Tani Purwoceng (Pimpinelle pruatjan Molkenb), Potensi, Peluang dan Masalah Pengembangannya. Buletin TRO XV(1): 25–32.

Lampiran 1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M3 Tiap Perlakuan Irradiasi pada Umur Berbeda

Umur Tanaman Jumlah Tanaman yang Hidup

1 Gy 2 Gy 3 Gy 4 Gy 4 MSP 34 21 14 10 8 MSP 42 23 17 17 12 MSP 41 21 15 15 16 MSP 31 19 14 11 20 MSP 22 15 14 6 24 MSP 13 12 10 5

Lampiran 2. Kondisi Iklim di Kebun Percobaan Cicurug, Sukabumi Selama

Dokumen terkait