• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2010. Penanaman dilakukan pada 4 Januari 2010 dan penyulaman dilakukan empat kali yaitu pada 27 Januari, 4 Februari, 6 Maret, dan 20 Maret 2010. Pemanenan purwoceng dilakukan pada umur tanaman 6 bulan atau 24 MSP, yaitu 4 Juli– 20 September. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data penelitian (Tabel 1).

Berdasarkan data iklim (Lampiran 2) suhu rata-rata per bulan di lokasi penelitian adalah 25.5 0C, dengan rata-rata suhu pada pagi hari 22.1 0C, saat siang hari 30.9 0C, dan ketika sore hari 23.4 0C. Rata-rata kelembaban udara berkisar 68.92–81.67 %. Apabila dibandingkan dengan kondisi di daerah Dieng, maka suhu dan kelembaban di Kebun Percobaan Cicurug berada di atas kondisi habitat

aslinya yang mempunyai suhu berkisar 15–21 0C dan kelembaban udara antara 60–75 %. Suhu akan berpengaruh pada reaksi kimia atau proses metabolisme

tanaman. Suhu yang optimum akan menciptakan kondisi yang optimal pula pada proses metabolisme tanaman dan apabila suhu berada diatas atau dibawah suhu tersebut maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut fungsi peluang Maxwell-Bolztman, setiap kenaikan suhu 10 0C maka laju reaksi kimia tanaman yang dikendalikan oleh enzim akan meningkatkan 2 kali lipat (Salisbury dan Ross, 1995b). Berdasarkan Kartasapoetra (1986) kelembaban mampu mendorong pertumbuhan tanaman dengan memperlambat hilangnya air di tanah. Akan tetapi, kelembaban yang tinggi juga dapat mendorong perkembangan organisme terutama cendawan, yang memungkinkan menyebabkan timbulnya penyakit dan kematian pada tanaman.

Rata-rata jumlah curah hujan di lokasi Kebun Percobaan Cicurug pada saat penelitian dilaksanakan yaitu 2 372.36 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 16 hari. Curah hujan tertinggi selama penelitian yaitu pada bulan Maret (6 695 mm). Curah hujan dan jumlah hari hujan yang tinggi menyebabkan kondisi

ketiga jumlah tanaman mati sangat tinggi. Menurut Kartasapeotra (1986) curah hujan berpengaruh pada pengikisan dan pencucian unsur hara, serta menimbulkan kerugian fisik tanah.

Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum penelitian menunjukkan bahwa lahan penelitian memiliki kemasaman tanah (pH) masam sebesar 5.20 dan bertekstur liat. Kandungan C-organik (2.31 %), kandungan N-total (0.21 %), dan kandungan P (8.1 ppm) termasuk sedang. Kandungan K (0.64 me/100g) termasuk tinggi, sedangkan Ca (3.76 me/100g) termasuk rendah. Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada Lampiran 3 .

Kondisi iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dan kesuburan tanah di Cicurug berbeda jauh dengan kondisi habitat endemik purwoceng di Dataran Tinggi Dieng. Suhu dan kelembaban udara di Cicurug berada diatas kisaran habitat endemiknya, sedangkan rata-rata curah hujan lebih rendah yaitu < 4 000 mm/th. Tingkat kesuburan tanah di Cicurug sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa lokasi yang telah disurvei oleh Rahardjo et al. (2004) yaitu Dieng, Tawangmangu, Tangkuban Perahu, Manoko, dan Ciwidei. Survei ini dilakukan untuk mengkarakterisasi lingkungan tumbuh tanaman purwoceng (Lampiran 4). Dari kelima lokasi yang disurvei, empat lokasi kecuali Ciwidei diduga memiliki agroekosistem yang sedikit mirip dengan Dieng dan cocok untuk ditanami purwoceng dengan berbagai tambahan perlakuan agronomis (penambahan pupuk organik, pemupukan N, P dan Ca, serta penggunaan naungan). Apabila lokasi Cicurug dibandingkan dengan kelima lokasi diatas maka akan masuk kategori yang tidak dianjurkan untuk pengembangan purwoceng karena memiliki tekstur tanah yang tinggi liatnya, pH masam, dan kesuburannya relatif rendah bahkan dibandingkan dengan lokasi Ciwidei.

Pada saat awal pertumbuhan, yaitu 2 sampai 4 MSP, tanaman menunjukkan gejala tanaman kekurangan unsur N. Beberapa tanaman daunnya menguning terutama pada daun tua serta terdapat bercak warna (kuning-putih) berukuran kecil di permukaan atas daun (Gambar 3). Setelah dilakukan pemupukan pada 4 MSP maka daun tanaman berangsur-angsur berubah menjadi hijau. Salisbury dan Ross (1995a) menerangkan bahwa tumbuhan yang mengandung nitrogen untuk sekedar tumbuh saja akan menunjukkan gejala kekahatan yakni klorosis terutama pada daun tua.

Gambar 3. Ge per Berdasarkan a penelitian termasuk sangat mudah hilang (leaching) NO3-, deni terfiksasi oleh minera

Selama peneli (OPT) yaitu kutu daun hama penting yang m di permukaan daun menyebabkan daun be ini menghisap cairan Hama ini berasosia simbion, misalnya dilakukan terhadap h mencuci daun menggun

Selain Aphid

jenis organisme pen tangkai daun, tetapi b dan Rostiana (2007) tanaman purwoceng moluska. Hama ini pa dengan cara memaka

1

Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen. Bercak put permukaan daun (1), Daun tua menguning (2). n analisis tanah yang telah dilakukan, unsur N uk kategori sedang. Menurut Hardjowigeno (

g atau tidak tersedia bagi tanaman, baik diakiba denitrifikasi NO3- menjadi N2, volatisasi NH4

ral liat, maupun dikonsumsi oleh mikroorganis nelitian berlangsung terdapat organisme pengg u daun (Aphid sp., Aphididae: Homoptera). Kutu d menyerang hampir seluruh populasi tanaman. H un bagian bawah, menghisap cairan dari un berkerut dan menggulung. Menurut Pracaya n dari tumbuhan untuk mendapatkan nutrisi y iasi dengan beberapa kelompok serangga berbagai jenis semut (Formicidae). Penge p hama tersebut yaitu pengendalian manual den

ggunakan deterjen.

sp. ditemukan gejala serangan lain yang b penyebabnya. Gejala serangan berupa pemot pi beberapa ditinggalkan disekitarnya (tidak dim 2007) menjelaskan bahwa salah satu hama y g (di Dieng) adalah keong tidak bercangkang pada umumnya muncul di musim penghujan akan daun purwoceng, sehingga pada seran

2 putih-kuning pada ). ur N total di lokasi no (2003) unsur N kibatkan pencucian 4+ menjadi NH3, nisme tanah. gganggu tanaman u daun merupakan n. Hama ini berada ri tanaman, serta a (2007) serangga yang dibutuhkan. ngga yaitu serangga engendalian yang engan tangan dan

belum diketahui otongan tangkai-dimakan). Rahardjo yang menyerang ng yang tergolong an dan menyerang angan yang berat

Gambar 4. Se me se Ge dipot dit terlihat daun purwoc (2010) melaporkan ba Kebun Percobaan Ci diatas, yang disebabk purwoceng generasi M awal bulan Juni. P (23 tanaman). Bebera ada pula yang dipoton

Penyakit pada merupakan komodita yang ditemukan pada b kemudian layu dan m tampak akar tanaman m

2b

1

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (O menyerang permukaan daun bagian bawa serangan OPT: tangkai daun dipotong hingg Gejala serangan OPT: hanya beberapa tang dipotong (2b), Gejala serangan OPT: be ditinggalkan disekitar tanaman (2c)

oceng gundul tinggal batang dan bunganya n bahwa pada tanaman purwoceng generasi M2 Cicurug terdapat gejala serangan yang sama babkan belalang. Diduga hama yang meny i M3 juga diakibatkan oleh belalang. Serangan Presentase kerusakan akibat hama ini me rapa tanaman hanya dipotong sebagian tangkai potong hingga habis (Gambar 4).

pada tanaman tersebut hampir tidak ada kar oditas yang relatif baru di KP Balittro Cicurug. da beberapa tanaman yaitu bagian tajuk mula-m n membusuk berwarna coklat. Apabila tanama

an membusuk (Gambar 5).

2c 2b

n (OPT). Aphid sp. wah (1), Gejala hingga habis (2a), ngkai daun yang beberapa tangkai ya saja. Wahyuni 2 yang ditanam di ma dengan gejala nyerang tanaman n ini terjadi mulai

mencapai 25.49% ai daunnya, tetapi

karena purwoceng ug. Gejala penyakit mula menguning, an dicabut maka

Gambar 5. Ge D m Menurut Kar merupakan gejala pe Phytium, Rhizoctonia mendukung pertumbu faktor yang mempeng optimum untuk perke basah, dan curah hu serangan.

Warna Daun

Pengamatan w dan fase daun tua. terdapat pada daun pur hijau dan kemerahan.

1

3

Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng. D Daun mengering (berwarna coklat) d membusuk (b), Batang membusuk (c), Akar m artasapoetra (2004) kondisi tanaman diata penyakit busuk akar yang dapat disebabka

ia atau Phytoptora. Kondisi lingkungan yang buhan mikroorganisme. Menurut Pracaya ( engaruhi timbulnya penyakit antara lain: t rkembangan penyakit (berkisar 25–30 0C), tan

hujan yang tinggi dapat mengakibatkan sem

Karakter Kualitatif

n warna daun dilakukan pada dua fase yaitu f . Hasil pengamatan menunjukkan adanya dua un purwoceng bagian atas maupun bagian baw

n.

4 2

. Daun Layu (a), dan batangnya membusuk (d).

atas (Gambar 5) kan oleh patogen ng lembab sangat (2003) beberapa temperatur yang tanah yang terlalu semakin ganasnya

u fase daun muda dua warna yang bawah yaitu warna

Gambar 6. K W pa pe pa pe ba da Rostiana et al. 6 BST menggunaka kedalam dua warna didominasi warna hi penelitian ini, hasil pe menunjukkan lima kom

Kombinasi wa generasi M3 didomin kombinasi 2 hanya terd warna daun dengan 1 (0.98 %) dan 2 (1.96

4 1

Keragaman Warna Daun Purwoceng pada D Warna hijau pada permukaan atas daun muda ( pada permukaan bawah daun muda (2), War permukaan bawah daun muda (3a-b). Warna m pada permukaan atas daun tua (4), War permukaan atas daun tua (5), Warna hijau pa bawah daun tua (6), Warna merah pada per daun tua (7).

al. (2007) membedakan warna daun tanaman p kan RHS (The Royal Horticultural Society

na yaitu warna merah dan hijau. Warna hijau tetapi ada juga yang berwarna merah l pengamatan pada populasi tanaman purwoce

kombinasi warna dari kedua warna ini (Gambar

warna daun yang ditemukan pada populasi tana inasi oleh kombinasi 1 yaitu 94 tanaman (92 erdapat pada 4 tanaman (3.92 %). Jumlah tanama n kombinasi 3, 4 dan 5 masing-masing adal

%) tanaman (Tabel 1). 5 2 4 1 3a 6

Dua Fase Umur. a (1), Warna hijau arna merah pada merah keunguan arna hijau pada u pada permukaan permukaan bawah n purwoceng umur ty Colour Cards) na daun tua-muda h keunguan. Pada oceng generasi M3 bar 6). naman purwoceng (92 %) sedangkan man yang memiliki

alah 2 (1.96 %),

7

Keterangan : WDMA: Warna daun muda atas; WDMB: Warna daun muda bawah; WDTA: Warna daun tua atas; WDTB: Warna daun tua bawah.

Tabel 1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3

Kombinasi warna daun diatas diduga bukan diakibatkan oleh irradiasi melainkan merupakan penyesuaian tanaman terhadap lingkungan. Menurut Rostiana et al. (2007) warna pada organ tanaman purwoceng merupakan ekspresi genetik yang kemungkinan dipengaruhi juga oleh lingkungan karena ada interaksi antara antosianin dengan komponen hara dan keasaman tanah. Salisbury dan Ross (1995b) menyebutkan bahwa pada larutan asam antosianin dominan berwarna merah, tetapi menjadi ungu dan biru dengan meningkatnya kemasaman tanah.

Pada penelitian sebelumnya, tanaman generasi M1 yang ditanam di Cicurug menghasilkan enam kombinasi warna daun yaitu lima kombinasi warna yang sama dengan tanaman generasi M3 dan satu kombinasi warna dengan permukaan daun muda bagian atas berwarna hijau sedangkan permukaan bawah dan kedua permukaan daun tuanya berwarna merah (Pulungan, 2008). Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010) tanaman purwoceng generasi M2 yang juga ditanam di Cicurug menghasilkan tiga kombinasi warna daun yaitu kombinasi 1 dan 2 (Tabel 1), serta kombinasi warna daun yang kedua permukaan daun mudanya berwarna merah keunguan, sedangkan warna kedua permukaan daun tua adalah hijau. Variasi warna yang telah diamati pada penelitian Pulungan (2008) dan Wahyuni (2010) tidak hanya terdapat pada tanaman yang diirradiasi, tetapi juga terdapat pada tanaman kontrol.

Kombinasi Kombinasi Warna Daun Jumlah Tanaman Persentase

(%)

WDMA WDMB WDTA WDTB

1 Hijau Hijau Hijau Hijau

41 tanaman 10 Gy 22 tanaman 20 Gy 16 tanaman 30 Gy 15 tanaman 40 Gy

92.15

2 Hijau Merah Hijau Hijau

1 tanaman 10 Gy 2 tanaman 30 Gy 1 tanaman 40 Gy

3.92

3 Hijau Hijau Hijau Merah 1 tanaman 40 Gy

1 tanaman 20 Gy 1.96

4 Hijau Merah Hijau Merah 1 tanaman 20 Gy 0.98

5 Hijau Hijau Merah Merah 1 tanaman 40 Gy

Habitat asli ta Oleh karena itu digun lingkungan tanaman. matahari akan memac tidak melakukan pros yang mengendalikan p tumbuhan melindungi tanaman nilam yang terkena matahari lang yang berfungsi melindu

Warna Tangkai Dau

Tanaman purw merah dan hijau (Gam terdiri dari tanaman y populasi memiliki tang tangkai daun berwar 10 Gy.

Keragaman w hasil pengamatan Ra warna tangkai daun p hijau. Identifikasi ciri menunjukkan bahwa Gambar 7.

1

tanaman purwoceng merupakan tanaman diba unakan paranet untuk mengurangi intensitas c n. Salisbury dan Ross (1995c) menerangkan acu sintesis antosianin pada organ yang sedikit roses fotosintesis. Mekanisme cahaya dapat m n pembentukan flavonoid serta antosianin yang ngi diri dari radiasi UV. Berdasarkan penelitian ng ternaung daunnya tampak berwarna hijau, ngsung berwarna hijau keunguan. Pigmen ini d indungi klorofil dari kerusakannya akibat fotook

aun

purwoceng yang diamati memiliki warna tang ambar 7). Sebanyak 96.08 % populasi purwoce yang bertangkai daun berwarna merah keung tangkai daun yang berwarna hijau. Tanaman y arna hijau hanya terdapat pada tanaman per

n warna tangkai ini diduga bukan akibat irradia ahardjo et al. (2005) menunjukkan bahwa te pada tanaman purwoceng yaitu warna merah iri agronomis yang telah dilakukan di Dieng da a sebagian besar warna tangkai daun yaitu m 7. Warna Tangkai Daun Purwoceng: Hija

Keunguan (2).

2

dibawah naungan. s cahaya dan suhu kan bahwa cahaya it atau sama sekali mengaktifkan gen ng merupakan cara an Haryanti (2008) u, sedangkan yang diduga antosianin ooksidasi.

ngkai daun yaitu oceng generasi M3 unguan dan 3.92 % n yang mempunyai

perlakuan irradiasi

diasi. Berdasarkan terdapat dua tipe ah kecoklatan dan dan Gunung Putri merah kecoklatan ijau (1), Merah

Gambar 8. Tipe (98 %) dan sebagian ke Pulungan (2008) war dipindah dan sesudah warna kemerahan (89.36 halnya dengan hasil pe 98.38 % warna tang keunguan dan kurang

Tipe Kanopi

Tipe kanopi y tiga macam yaitu t Gambar 2). Berdasark kanopi populasi tana Tanaman purwoceng sedangkan tipe tegak 24 MSP, diperoleh 66 dan 36 tanaman yang maka anak daunnya s berat sehingga rebah.

1

ipe Kanopi: Tegak (1), Semi tegak (2), Rebah ( n kecil kehijauan (2 %). Berdasarkan penelitian arna tangkai daun tanaman purwoceng genera udah dipindah ke lapangan adalah sama yaitu

89.36 %) sedangkan sisanya berwarna hijau ( penelitian Wahyuni (2010) yang menunjukka ngkai dari populasi tanaman purwoceng M2 ng dari 2 % berwarna hijau.

nopi yang ditemukan pada tanaman purwoceng g u tegak, semi tegak dan rebah (Gambar 8

arkan Lampiran 4, tipe semi tegak tampak mendom naman purwoceng pada 4 MSP yaitu 90 tana

ng yang memiliki tipe rebah ada 11 tanam ak hanya 1 tanaman (0.98 %). Pada akhir pe h 66 tanaman yang memiliki tipe kanopi semi t ng kanopinya bertipe rebah (35.29 %). Semaki a semakin banyak sehingga tangkai daun sema

h. 3 2 h (3). an yang dilakukan nerasi M1 sebelum u didominasi oleh u (10.64 %). Sama ukkan bahwa hampir 2 adalah merah generasi M3 ada mengacu pada endominasi bentuk naman (88.23 %). aman (10.78 %) pengamatan yaitu i tegak (64.71 %)

akin tua tanaman akin panjang dan

Tanaman purw yang lebih cepat re generasi M3 30 Gy, kanopi semi tegak hin daun yang sedikit sehi

Jumlah Daun

Daun yang di purwoceng terdiri dar satu tangkai. Jumla pertumbuhannya. Gam yang diamati pada se pengamatan populasi berbeda secara bergant

Berdasarkan ha hanya terdapat pada

Gambar 9. B

purwoceng generasi M3 yang memiliki kecende rebah dan tipe kanopi rebah terbanyak a

, diikuti 10, 20, dan 40 Gy. Tanaman yan hingga akhir pengamatan diduga dipengaruhi ol ehingga daun tidak terlalu berat.

Karakter Kuantitatif

diamati pada penelitian ini merupakan daun dari beberapa anak daun yang berpasangan yan

lah daun terus mengalami peningkatan ambar 9 menunjukkan pertumbuhan purwoce setiap populasi perlakuan irradiasi. Nilai rata-si tanaman generarata-si M3 yang memiliki jumlah

antian.

n hasil uji-t, tanaman yang mempunyai perbeda a awal pertumbuhan. Tanaman yang berasal 9. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Gene

Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi

nderungan kanopi k adalah tanaman

ang memiliki tipe uhi oleh jumlah anak

n majemuk. Daun ang terdapat pada n selama periode oceng generasi M3 -rata pada setiap ah daun terbanyak

daan jumlah daun l dari benih yang nerasi M3 pada

diberi perlakuan dosis irradiasi 30 Gy nyata memiliki jumlah daun lebih sedikit dibandingkan tanaman dengan perlakuan 10 Gy pada umur 4 MSP. Pada umur 8 MSP tanaman dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy nyata memiliki daun lebih banyak dibandingkan tanaman dengan perlakuan 20 Gy dan 30 Gy (Lampiran 13). Tanaman yang berasal dari benih dengan perlakuan dosis irradiasi 40 Gy memiliki jumlah daun rata-rata terbanyak pada akhir pengamatan (24 MSP) yaitu 10.0 tangkai/tanaman. Berdasarkan penelitian Rahardjo et al. (2005) jumlah daun

purwoceng di daerah Dataran Tinggi Dieng pada 6 BST kurang lebih 25.6 tangkai/tanaman, sedangkan pada umur 9 BST tanaman purwoceng memiliki

jumlah daun sekitar 46.5 tangkai/tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni

(2010) jumlah daun purwoceng generasi M2 yang ditanam di Cicurug bisa mencapai 21.3 tangkai/tanaman pada tanaman 0 Gy (22 MSP) sedangkan pada generasi M2

yang ditanam di daerah Cibadak pada ketinggian 950 m dpl, mencapai 9.4 tangkai/tanaman pada perlakuan dosis irradiasi 10 Gy (8 MSP). Apabila

dibandingkan dengan jumlah daun pada tanaman yang ditanam di Dataran Tinggi Dieng, jumlah daun yang dihasilkan tanaman di Cicurug jauh lebih rendah. Jika dibandingkan dengan penanaman sebelumnya, yaitu purwoceng generasi M2 di Cicurug, jumlah daun yang dihasilkan tanaman generasi M3 juga lebih rendah.

Keragaman jumlah daun generasi M3 diduga selain disebabkan oleh irradiasi sinar gamma juga diakibat faktor lingkungan. Faktor lingkungan dapat berupa faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi organisme pengganggu tanaman (OPT), gulma dan mikroorganisme tanah. Faktor abiotik antara lain suhu, curah hujan, kelembaban udara, intensitas cahaya serta kesuburan tanah.

Perkembangan maupun pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh unsur-unsur cuaca. Unsur yang paling berpengaruh terhadap perkembangan tanaman adalah suhu dan panjang hari, sedangkan pada pertumbuhan tanaman hampir semua unsur cuaca sangat mempengaruhinya (Handoko, 1994). Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi dan proses biokimia dalam fotosintesis. Proses fotosistesis dan respirasi dipengaruhi oleh katalisator yaitu enzim yang mempunyai toleransi terhadap suhu lingkungan yang sangat terbatas dan bervariasi untuk tiap jenis tanaman karena enzim tersebut berasal dari protein yang spesifik. Pada batas kisaran suhu optimum maka optimum pula

proses metabolisme tanaman. Suhu udara yang meningkat maka akan mengurangi produk fotosistesis karena akan merusak enzim, sedangkan suhu yang lebih rendah akan mengurangi kecepatan reaksi metabolisme (Salisbury dan Ross, 1995b).

Salisbury dan Ross (l995b) menjelaskan bahwa proses respirasi membutuhkan sukrosa dan pati yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, proses fotosintesis yang optimal dibutuhkan agar proses respirasi dapat berjalan dengan optimal. Apabila keseimbangan antara proses respirasi dan fotosintesis telah tercapai, maka pertumbuhan tanaman dapat berjalan dengan baik. Disamping digunakan untuk proses metabolisme tanaman, metabolit primer hasil fotosintesis juga digunakan untuk menyusun metabolit sekunder yang mendukung proses adaptasi dan proteksi tanaman.

Proses fotosintesis tidak lepas dari peran cahaya matahari. Respon tanaman terhadap intensitas cahaya yang berbeda tergantung dari sifat adaptif tanaman tersebut. Respon terhadap intensitas cahaya tinggi dapat menguntungkan atau merugikan. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan rusaknya struktur kloroplas, sehingga menyebabkan produktifitas tanaman menurun.

Selain beberapa faktor di atas, kelembaban udara maupun kelembaban tanah juga perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Kramer and Kozlowski

dalam Widiastuti et al., (2004) menjelaskan bahwa kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Menurut Harjadi (1979) bahwa kelembaban tanah erat kaitannya dengan kandungan air tanah, dimana kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu kelembaban tanah juga berpengaruh terhadap kesuburan tanah dan perkembangan penyakit terutama cendawan.

Hasil penelitian Pulungan (2008) menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman purwoceng generasi M1 pada umur 4–8 MSP yaitu 20 Gy dengan 30 dan 40 Gy berbeda nyata, tetapi semua dosis irradiasi tidak berbeda nyata dengan

Gambar 10. R pa kontrol. Menurut pene menunjukkan bahwa dengan generasi M2 5 tidak terdapat perbed 50 Gy dan kontrol.

Panjang Tangkai Dau

Pengamatan pa pada setiap tanaman. semua dosis irradiasi tangkai daun purwoce hingga minggu terakh tangkai daun pada ta Rata-rata panjang tang saat 20 MSP dan me panjang tangkai dise belalang yang memot tangkai daun.

. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwocen pada Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi penelitian Wahyuni (2010) tanaman purwocen

a jumlah daun tanaman generasi M2 30 Gy 2 50 Gy dan kontrol pada semua umur tanaman. bedaan yang nyata antara jumlah daun tanam

Daun

n panjang tangkai daun dilakukan pada tangkai an. Rata-rata panjang tangkai purwoceng gen asi bertambah pada setiap minggunya. Secara

ceng terus mengalami peningkatan. Namun pad khir pengamatan (24 MSP) terjadi penurunan r

tanaman yang berasal dari benih perlakuan angkai daun tanaman perlakuan 20 Gy menga meningkat kembali pada umur 24 MSP (Gamba

sebabkan karena pada umur 20–24 MSP te otong tangkai daun sehingga mempengaruhi r

eng Generasi M3 oceng generasi M2 Gy berbeda nyata an. Selain itu juga man generasi M2

kai daun terpanjang generasi M3 pada ra umum panjang ada umur 20 MSP rata-rata panjang n 20 dan 40 Gy. ngalami penurunan bar 10). Penurunan terdapat serangan uhi rata-rata panjang

Hasil pengamatan tanaman generasi M3 menunjukkan bahwa rata-rata tangkai daun terpanjang pada akhir pengamatan adalah 12.64 cm (perlakuan 30 Gy). Menurut hasil penelitian Raharjo et al. (2005) panjang tangkai daun tanaman purwoceng 6 BST yang ditanam di daerah Dieng mencapai 16.60 cm. Wahyuni (2010) melaporkan bahwa rata-rata panjang tangkai terpanjang pada tanaman generasi M2 yang ditanam di Cicurug adalah 19.91cm.

Berdasarkan uji-t (Lampiran 13) tanaman generasi M3 30 Gy memiliki tangkai daun yang nyata lebih panjang dibanding tanaman perlakuan 4 Gy pada umur 12 hingga 20 MSP. Panjang tangkai daun tanaman generasi M3 30 Gy pada umur 16 MSP juga nyata lebih panjang dibanding tanaman perlakuan 10 Gy, dan pada umur 20 MSP nyata lebih panjang dibandingkan tanaman perlakuan 10 dan 20 Gy.

Keragaman panjang tangkai daun pada penelitian ini diduga selain akibat faktor irradiasi juga disebabkan faktor lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pulungan (2008), tanaman purwoceng generasi M1 yang ditanam di Cicurug pada umur 4-8 MSP menunjukkan bahwa dosis irradiasi tidak berpengaruh terhadap panjang tangkai daun. Menurut hasil penelitian Wahyuni (2010) di Cicurug, bahwa hasil uji-t karakter panjang tangkai daun pada tanaman generasi M2 50 Gy nyata lebih panjang dibandingkan dengan tanaman generasi M2 30 Gy dan kontrol pada umur

Dokumen terkait