• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Moral Sebagai Antisipasi Terjadinya Korupsi Terhadap

BAB II : BUDAYA MORAL SEBAGAI TERJADNYA KORUPS

D. Budaya Moral Sebagai Antisipasi Terjadinya Korupsi Terhadap

Sering dinyatakan, bahwa upaya kebijakan kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan) dapat ditempuh dengan menggunakan sarana hukum pidana dan upaya lain yang ”bukan hukum pidana”. Dilihat secara integral, upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan satu kesatuan berbagai subsistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya hukum” (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/ normatif), lembaga/struktur/aparat penegak hukum (komponen

struktural/ institusional beserta mekanisme prosedural/administrasinya), dan nilai- nilai budaya hukum (komponen kultural).79

Penegakan supremasi hukum harus disertai dengan pemahaman bahwa manusia merupakan insan pokok (pelaku utama) dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan, seperti yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman : “the legal system is not a machine, it is run by human beings,”80 maka untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang sebenar-benarnya, tidak hanya sistem peraturan perundang-undangan saja yang baik dan memadai, tetapi juga manusia -dengan perilakunya juga harus memiliki kepribadian yang baik, memiliki kemampuan dan integritas yang layak dan tinggi serta memiliki kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku, baik itu oleh aparatur penegak hukum maupun oleh seluruh anggota masyarakat.

Dari beberapa faktor penyebab korupsi, terlihat bahwa faktor manusia/masyarakat sangat dominan dalam memberikan kesempatan yang menyebabkan korupsi menjadi tumbuh subur. Hal ini membuktikan bahwa penanggulangan/pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya bergantung pada kebijakan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian sanksi terhadap perbuatan korupsi seseorang, tetapi juga perlu dukungan perilaku dari

79

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bab VII (Citra Aditya Bakti, 2003) dan Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Bab XIII (Prenada Group, 2008), hal. 67.

80

seluruh lapisan masyarakat agar tidak lagi bersikap permisif yang menimbulkan keadaan kondusif terhadap keberadaan korupsi tersebut.

Dari uraian singkat di atas terlihat, bahwa penegakan hukum/undang-undang oleh aparat penegak hukum belum merupakan jaminan berhasilnya penanggulangan kejahatan (inklusif korupsi). Keberhasilannya masih harus ditunjang oleh budaya sikap dan perilaku.

Salah satu bentuk pendekatan integral yang terkait erat dengan upaya penanggulangan korupsi terhadap aset negara atau keuangan negara, adalah pendekatan edukatif dalam membangun budaya anti-korupsi. Pendekatan budaya antikorupsi inipun ditegaskan dalam mukaddimah/pembukaan/“preamble” UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) 2003, dengan menggunakan istilah “to foster a culture of rejection of corruption” (meningkatkan budaya penolakan terhadap korupsi).81 Peningkatan budaya anti-korupsi ini, tentunya juga tidak terlepas dari proses pendidikan moral sebagai bagian dari kebijakan/pendekatan integral. Pentingnya pendekatan integral atau komprehensif melalui pendekatan moral ini pernah pula dikemukakan oleh Dr. Ibrahim F. I. Shihata82 yang menyatakan antara lain:

“Attempts to combat corruption may have a greater chance of success if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility of eliminating it altogether…They are best advised to avoid

81

Statement lengkapnya berbunyi : “Bearing also in mind the principles of proper management of public affairs and public property, fairness, responsibility and equality before the law and the need to safeguard integrity and to foster a culture of rejection of corruption”.

82

Ibrahim Shihata adalah “Senior Vice President and General Councel of the World Bank” dan “Secreta-ry-General of the International Centre for Settlement of Investment Disputes (Washington DC)”, dalam Hendarman Supandji, Op. cit, hal. 19.

simplistic solutions and the narrow approaches typically advocated in different social disciplines…It should address the economic, political, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the close linkages among these aspects.83

Bertolak dari pernyataan di atas, selanjutnya Ibrahim Shihata menjelaskan bahwa upaya penanggulangan korupsi (“Efforts to Combat Corruption”) tidak dapat ditempuh hanya dengan pembaharuan hukum, tetapi juga harus ditempuh dengan berbagai upaya pembaharuan lainnya yang integral, antara lain dengan “moral reform”.84

Salah satu pembaharuan moral yang menonjol untuk mendapatkan perhatian kita dalam memberantas korupsi adalah ”moral kejujuran”. Istilah “korupsi” di samping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang “busuk”, juga disangkut pautkan kepada ketidakjujuran seseorang. Watak/sifat tidak jujur merupakan salah satu penyebab terjadinya perbuatan korupsi.

Tingginya kasus korupsi di Indonesia yang telah berhasil diungkap dan ditangani aparat penegak hukum, merupakan indikator bahwa tingkat ketidak jujuran sikap koruptif di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat dan berada pada tingkat yang memprihatinkan. Oleh karena itu, perlu terus ditingkatkan upaya sinergi dari segenap komponen bangsa, dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi. Semakin meningkatnya korupsi, merupakan salah satu bentuk dari absennya

83

Dikemukakan dalam Simposium Internasional Ke-14 mengenai “Economic Crimes” di Inggris tahun 1996, Barry Rider (Ed.), “Corruption : The Enemy Within”, Kluwer Law International, The Hague, Netherland, 1997, hal.. 263.

84

Ibrahim Shihata, Op. cit, hal. 264-269, meliputi “economic reform”, “legal and judicial

reform”, “administrative (civil service) reform”, “other institutional reforms”, “moral reform”, dan

kejujuran, dan ketidakmampuan masyara-kat dalam membangun komitmen kejujuran. Padahal sikap jujur, sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu sarana atau tools untuk menghindarkan diri dari sikap koruptif yang selama ini telah menjadi suatu problematik hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika perbuatan korupsi ini dibiarkan begitu saja merajalela, maka kita tidak akan dapat membangun bangsa ini secara baik dan berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi dan kebijakan yang komprehensif, dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi.

Kalau sering dikatakan, bahwa korupsi sudah membudaya, dan korupsi identik dengan ketidakjujuran, berarti budaya ketidakjujuran juga semakin parah. Oleh karena itu korupsi (budaya ketidakjujuran) harus dihadapi dengan “strategi budaya”, yaitu membina budaya jujur dan sekaligus integralitas moral religius yang berkualitas. Kalaupun Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK secara terus menerus melaksanakan tugasnya, dalam kurun waktu puluhan tahun, belum tentu korupsi berhasil diberantas secara tuntas, apabila budaya jujur (budaya anti-korupsi) dan integralitas moral ini masih belum terbina dan terbentuk.

Usaha membangun budaya anti korupsi, harus berawal dari membangun watak/sifat jujur, dan ini harus dilakukan sejak dini. Perilaku korupsi harus dipe-rangi sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan moral di samping pengembangan aspek intelektual pada generasi muda. Dengan ditanamkannya sejak dini sifat jujur (kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat dan kepada Tuhan) diharapkan dapat mengembangkan sikap antikorupsi. Indonesia saat ini,

sudah berada dalam usia 1 (satu) abad lebih dihitung dari hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908), namun justru menunjukkan sema-kin terpuruk dalam hal moralitas. Degradasi moral banyak terjadi di masyarakat, bahkan sudah menurun pada generasi muda. Kondisi ini merupakan pemicu maraknya perbuatan menyimpang dan perilaku Korupsi di Indonesia. Dengan dasar pendidikan intelektual yang dilandasi oleh moral dan iman yang kuat, diharapkan generasi muda tidak akan terbawa arus budaya korupsi dan kemorosotan moral. Salah satu jalan untuk membendung arus budaya korupsi dan kemerosotan moral itu adalah dengan membangun budaya jujur. Adanya ketentuan hukum dan penegak hukum saja tidak cukup. Kita perlu kesadaran hukum atau budaya hukum yang tumbuh kuat dalam masyarakat. Jika kesadaran hukum dan budaya hukum tumbuh kuat,maka orang akan patuh pada hukum. Kepatuhan seperti itu tumbuh dari bibit awal yang namanya kejujuran.

Dokumen terkait