• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA

NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

TESIS

Oleh

PIRMAWAN SITORUS

087005011/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA

NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PIRMAWAN SITORUS

087005011/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

Nama Mahasiswa : Pirmawan Sitorus Nomor Pokok : 087005011

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 29 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota

:

1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Kejaksaan Republik Indonesia diberi kewenangan oleh undang-undang sebagai Jaksa Pengacara Negara bertindak dalam mengambil aset hasil korupsi melalui gugatan perdata (Pasal 38 C UUPTPK) di samping pelaku korupsi dikenakan sanksi pidana (Pasal 4 UUPTPK). Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi dalam implementasinya dilakukan oleh negara melalui Jaksa Pengacara Negara terhadap pelaku korupsi sangat kecil jumlahnya. Untuk memaksimalkan pengembalian aset hasil korupsi maka negara harus terus-menerus menggalakkan upaya hukum secara perdata. Karena pada prinsipnya bahwa aset hasil korupsi merupakan hak negara, maka oleh sebab itu, hak negara tersebut harus dikembalikan kepada negara untuk dipergunakan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Pengambilan aset hasil korupsi melalui gugatan perdata memperlihatkan keseriusan negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi. Seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal sekalipun tetap memungkinkan digugat untuk mengembalikan aset hasil korupsi dapat dilakukan Jaksa Pengacara Negara melalui gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa (Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK).

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah; Pertama, Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN)?, Kedua, Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui Jaksa sebagai Pengacara Negara?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta pemilihan terhadap pasal-pasal yang relevan dengan permasalahan dimaksud. Sebagai bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai bahan hukum sekunder adalah berbagai makalah, jurnal ilmiah, diktat, hasil-hasil penelitian, artikel di surat kabar maupun dari internet.

(6)

acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya.

Saran di dalam penelitian ini diantaranya adalah; Pertama, Perlu dilakukukan reformasi peraturan perundang-undangan anti korupsi, terutama berkaitan dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi (UNCAC 2003) karena UUPTPK belum mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi, khususnya mengenai prinsip-prinsip pengembalian aset negara yang dikorupsi melalui gugatan perdata, Kedua, Mekanisme civil forfeiture sebagaimana dianut di berbagai negara perlu diadopsi dalam pengaturan gugatan perdata pengembalian aset negara yang dikorupsi karena mengingat gugatan perdata yang diatur dalam UUPTPK maupun HIR tidak optimal dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara juga karena saat ini Jaksa Pengacara Negara dihadapkan pada kendala-kendala teknis, Ketiga, Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif sebagaimana diatur dalam UUPTPK saat ini, artinya diharapkan perubahan terhadap UUPTPK, Keempat, Di samping upaya gugatan perdata, mekanisme penyelesaian yang bersifat alternatif, dalam hal ini ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa) perlu dipertimbangkan dalam reformasi hukum sebagai upaya pengembalian aset hasil korupsi, dam Kelima, Memberikan prioritas pengembalian kerugian keuangan negara melalui mekanisme administratif dengan melakukan tuntutan ganti rugi atau melalui Uang Pengganti.

(7)

ABTRACT

Indonesian attorneys have, by law, the authority, as the legal attorneys, to revert the corrupted assets through the civil suit in court (Article 4 UUPTPK). The Authority of The Attorneys, as The Legal Attorneys in Reverting The Corrupted Assets has inadequate implementation. Therefore, the action should be maximized by continuously encouraging the legal action through the civil suit. Since the corrupted assets belong to the government, they have to be reverted by the government for the benefit of the people. The reversion of the corrupted assets through the civil suit indicates that the government is serious. Even though the accused or the defendant has already died, he can be charged to give back the corrupted assets. The attorneys have the authority to sue his heir(s) in the civil suit in court (Article 33 and 34 UUPTPK).

The research problems are: First, do the attorneys, by law, have the authority to act as the legal attorneys (JPN)? Secondly, how is the civil suit applied by the legal attorneys in reverting the corrupted assets?

The research uses the normative legal research method with the qualitative approach that refers to the values and norms of law found in the ordinance and the selection of articles which are relevant to the case. The primary law material is Act Number 16, 2004 about the criminal Corruption Eradication. The secondary law material is the variety of papers, scientific journals, university text books, researches, and articles in the newspapers and in the internet.

The conclusion of the research shows that: First, attorneys have the authority to act in the civil suit in court as legal attorneys, as it is regulated in article 30, subsection (2), and Article 35 point d of The Indonesian Attorney Act. Secondly, the application of the corrupted assets is based on the principles of Asset Recovery, of the civil suit as an alternative reverting of the government assets, of the civil suit as an alternative of the multi jurisdiction litigation, of the freezing and confiscating, and expropriating the corrupted assets and laundered money. The harmony between UUPTPK and UNCAC 2003, concerning the civil suit, and related to Articles 32, 33, 34 and Article C UUPTPK, is required since there is no evidence inversion like civil forfeiture in other countries. Civil law does not give simplicity but it tends to hamper. For examples, it does not have evidence inversion, no ad hoc judge, no litigation process for the accused/defendant/prisoner who has already died, no simplicity in the process of confiscation warrant, the arbitration process which should be done, and so on.

(8)

we have to reform the UUPTPK. Fourthly, besides the civil suit as the alternative mechanism of the resolution, the ADR (Alternative Dispute Resolution) or APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) should be considered in the law reform in order to revert the corrupted assets. Fifthly, the priority of reverting the government corrupted money should be given through the administrative mechanism by loss or money compensation.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan atas Kasih yang telah diberikanNYA serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ”Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi”. Tesis ini di buat dan diselesaikan

sebagai suatu syarat untuk mendapat gelar magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Pembimbing Utama serta Bapak syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

6. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan mendo’akan penulis. Salam bahagia penulis haturkan kepada isteri tercinta dan anak-anak tersayang atas kerelaan waktu mereka tersita dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis segera menyelesaikan studi.

Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.Semoga kasih Tuhan senatiasa menyertai Kita dalam hidup damai dan tentram.

Puji Tuhan

Hormat penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Pirmawan Sitorus

Temp/Tgl. Lahir : Jakarta/ 30 November 1971

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar St. Tarsisius Menado, Lulus Tahun 1984

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 92 Jakarta, Lulus Tahun 1987

3. Sekolah Menengah Atas Immanuel Medan, Lulus Tahun 1990

4. Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan Lulus Tahun 1996

5. Kelas Kekhususan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas

(12)

DAFTAR ISI

E. Keaslian Penelitian... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Landasan Konsepsional... 26

G. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29

2. Sumber Data... 30

3. Teknik Pengumpulan Data... 31

4. Analisis Data ... 32

BAB II : BUDAYA MORAL SEBAGAI TERJADNYA KORUPSI TERHADAP ASET-ASET NEGARA... 33

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 33

B. Kondisi Korupsi di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya ... 43

C. Eksistensi dan Budaya Korupsi Bagi Perekonomian Negara ... 46

D. Budaya Moral Sebagai Antisipasi Terjadinya Korupsi Terhadap Aset-Aset Negara ... 49

BAB III : DASAR HUKUM KEWENANGAN JAKSA SEBAGAI PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET NEGARA HASIL KORUPSI... 55

Stolen Asset Recovery Inituitive Sebagai Dasar Pokok Dalam Pengembalian Aset Negara ... 55

A. Imlikasi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Civil Forfeiture... 60

C. Anomali Penggunaan Istilah Jaksa Pengacara Negara... 67

(13)

BAB IV : PENERAPAN ATURAN GUGATAN PERDATA TERHADAP

PENGAMBILAN ASET NEGARA... 91

A. Model Ideal Pengaturan Khusus Gugatan Perdata ... 91

B. Model Ideal Pengambilan Aset Hasil Korupsi... 106

C. Pembayaran Uanag Pengganti Dalam Perkara Korupsi... 117

D. Penerapan Aturan gugatan Perdata Terhadap Pengambilan Aset Negara ... 126

1. Gugatan perdata Atas Dasar Tidak Cukup Unsur Bukti ... 130

2. Gugatan Perdata Atas Dasar Putusan Bebas ... 133

3. Gugatan Perdata Atas Dasar Meninggalnya Tersangka Atau Terdakwa... 137

4. Gugatan Perdata Terhadap Hasil Korupsi yang Belum Dikenai Perampasan... 139

E. Contoh Gugatan Perkara Perdata Antara Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia Dengan H.M. Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar ... 142

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 154

A. Kesimpulan ... 154

B. Saran... 159

(14)

ABSTRAK

Kejaksaan Republik Indonesia diberi kewenangan oleh undang-undang sebagai Jaksa Pengacara Negara bertindak dalam mengambil aset hasil korupsi melalui gugatan perdata (Pasal 38 C UUPTPK) di samping pelaku korupsi dikenakan sanksi pidana (Pasal 4 UUPTPK). Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi dalam implementasinya dilakukan oleh negara melalui Jaksa Pengacara Negara terhadap pelaku korupsi sangat kecil jumlahnya. Untuk memaksimalkan pengembalian aset hasil korupsi maka negara harus terus-menerus menggalakkan upaya hukum secara perdata. Karena pada prinsipnya bahwa aset hasil korupsi merupakan hak negara, maka oleh sebab itu, hak negara tersebut harus dikembalikan kepada negara untuk dipergunakan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Pengambilan aset hasil korupsi melalui gugatan perdata memperlihatkan keseriusan negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi. Seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal sekalipun tetap memungkinkan digugat untuk mengembalikan aset hasil korupsi dapat dilakukan Jaksa Pengacara Negara melalui gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa (Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK).

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah; Pertama, Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN)?, Kedua, Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui Jaksa sebagai Pengacara Negara?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta pemilihan terhadap pasal-pasal yang relevan dengan permasalahan dimaksud. Sebagai bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai bahan hukum sekunder adalah berbagai makalah, jurnal ilmiah, diktat, hasil-hasil penelitian, artikel di surat kabar maupun dari internet.

(15)

acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya.

Saran di dalam penelitian ini diantaranya adalah; Pertama, Perlu dilakukukan reformasi peraturan perundang-undangan anti korupsi, terutama berkaitan dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi (UNCAC 2003) karena UUPTPK belum mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi, khususnya mengenai prinsip-prinsip pengembalian aset negara yang dikorupsi melalui gugatan perdata, Kedua, Mekanisme civil forfeiture sebagaimana dianut di berbagai negara perlu diadopsi dalam pengaturan gugatan perdata pengembalian aset negara yang dikorupsi karena mengingat gugatan perdata yang diatur dalam UUPTPK maupun HIR tidak optimal dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara juga karena saat ini Jaksa Pengacara Negara dihadapkan pada kendala-kendala teknis, Ketiga, Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif sebagaimana diatur dalam UUPTPK saat ini, artinya diharapkan perubahan terhadap UUPTPK, Keempat, Di samping upaya gugatan perdata, mekanisme penyelesaian yang bersifat alternatif, dalam hal ini ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa) perlu dipertimbangkan dalam reformasi hukum sebagai upaya pengembalian aset hasil korupsi, dam Kelima, Memberikan prioritas pengembalian kerugian keuangan negara melalui mekanisme administratif dengan melakukan tuntutan ganti rugi atau melalui Uang Pengganti.

(16)

ABTRACT

Indonesian attorneys have, by law, the authority, as the legal attorneys, to revert the corrupted assets through the civil suit in court (Article 4 UUPTPK). The Authority of The Attorneys, as The Legal Attorneys in Reverting The Corrupted Assets has inadequate implementation. Therefore, the action should be maximized by continuously encouraging the legal action through the civil suit. Since the corrupted assets belong to the government, they have to be reverted by the government for the benefit of the people. The reversion of the corrupted assets through the civil suit indicates that the government is serious. Even though the accused or the defendant has already died, he can be charged to give back the corrupted assets. The attorneys have the authority to sue his heir(s) in the civil suit in court (Article 33 and 34 UUPTPK).

The research problems are: First, do the attorneys, by law, have the authority to act as the legal attorneys (JPN)? Secondly, how is the civil suit applied by the legal attorneys in reverting the corrupted assets?

The research uses the normative legal research method with the qualitative approach that refers to the values and norms of law found in the ordinance and the selection of articles which are relevant to the case. The primary law material is Act Number 16, 2004 about the criminal Corruption Eradication. The secondary law material is the variety of papers, scientific journals, university text books, researches, and articles in the newspapers and in the internet.

The conclusion of the research shows that: First, attorneys have the authority to act in the civil suit in court as legal attorneys, as it is regulated in article 30, subsection (2), and Article 35 point d of The Indonesian Attorney Act. Secondly, the application of the corrupted assets is based on the principles of Asset Recovery, of the civil suit as an alternative reverting of the government assets, of the civil suit as an alternative of the multi jurisdiction litigation, of the freezing and confiscating, and expropriating the corrupted assets and laundered money. The harmony between UUPTPK and UNCAC 2003, concerning the civil suit, and related to Articles 32, 33, 34 and Article C UUPTPK, is required since there is no evidence inversion like civil forfeiture in other countries. Civil law does not give simplicity but it tends to hamper. For examples, it does not have evidence inversion, no ad hoc judge, no litigation process for the accused/defendant/prisoner who has already died, no simplicity in the process of confiscation warrant, the arbitration process which should be done, and so on.

(17)

we have to reform the UUPTPK. Fourthly, besides the civil suit as the alternative mechanism of the resolution, the ADR (Alternative Dispute Resolution) or APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) should be considered in the law reform in order to revert the corrupted assets. Fifthly, the priority of reverting the government corrupted money should be given through the administrative mechanism by loss or money compensation.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam bidang perdata semakin penting dalam mengembalikan aset atau keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi. Karena menurut hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2007 yang diluncurkan oleh Transparancy International (TI) Indonesia, ternyata negara Indonesia belum dapat menurunkan tingkat pertumbuhan korupsinya secara signifikan. Indonesia masih berada di urutan ke-143 dari 180 negara di Dunia dengan nilai 2,3 atau peringkat ke-37 terkorup. Ini berarti nilai Indonesia turun 0,1 dari sebelumnya pada tahun 2006 IPK sebesar 2,4.1

Hasil survei beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong, dalam laporannya yang berjudul The Asian Intelligence Report, menyebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara terkorup di antara 12 negara di kawasan Asia.2

Laporan PERC mengenai tingginya tingkat korupsi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Majalah Der Spiegel pernah mempublikasikan hasil survei dari Lembaga Transparancy Internasional yang mencantunkan Indonesia termasuk negara

1

http://www.kpk.gi.id/modules/, Korupsi Terstruktur Akibat Kebijakan Pemerintah, diakses terakhir tanggal 12 Oktober 2009.

2

(19)

terkorup di antara 41 negara di dunia. Hasil laporan terakhir dari Lembaga Transparancy Internasional menurut laporan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Taufik Efendi, pada tahun 2007 di Hotel Madani Medan, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada posisi 143 dari 179 negara terkorup.3

Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi atas dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp.185,92 miliar, ditambah lagi ganti rugi immateriil Rp.10 triliun pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada tanggal 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM. Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian aset negara melalui pengajuan gugatan perdata. Dalam hal pengembalian aset negara, maka Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamda TUN) memerintahkan Direktorat jajarannya untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).4

3

Harian Portibi DNP, Kamis 1 November 2007.

4

(20)

Begitu pula hasil korupsi yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, sebesar US$ 9,3 juta yang disimpan dalam bentuk rekening bank di Hongkong, Irwan Salim US$ 5 juta di Bank Swiss, dalam bentuk dana di Amerika Serikat, Cina, Australia, dan negara tetangga Singapura diperkirakan mencapai Rp.6-7 triliun.5 Dana korupsi atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke luar negeri sekitar Rp.18,5 triliun dalam rekening beberapa bank di Amerika Serikat.6

Beberapa contoh perbuatan korupsi di atas, Amin Suryadi,7 mengungkapkan bahwa korupsi terbatas pada tiga unsur yaitu, penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum, dan kerugian negara. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UUPTPK) terdapat 27 jenis korupsi yang masih belum diketahui oleh publik seperti suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

UUPTPK memberikan batasan mengenai pengertian sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administratfi berupa denda atas tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau mengatur format pengajuan gugatan provisi. Dachmer juga membantah sita jaminan sudah memasuki pokok perkara sehingga harus diabaikan oleh majelis hakim dan sita jaminan tidak masuk pokok perkara tersebut. Inti dari pokok perkara, Dachmer, adalah karena penyelahgunaan dana Yayasan Beasiswa Supersemar, sedangkan sita jaminan bertujuan untuk mencegar pelarian aset yayasan.

5

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses terakhir tanggal 20 Juni 2008.

6

http://kontak.club.fr, dikases terakhir tanggal 9 November 2008.

7

(21)

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”8

Ketentuan pencantuman denda pada pasal-pasal dalam UUPTPK, mengisyaratkan bahwa korupsi terhadap aset negara baik besar maupun kecil harus dikembalikan ke kas negara, untuk kembali diperuntukkan sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah demi kepentingan publik.

Pengembalian uang negara atau aset negara hasil dari perbuatan korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi atau menutupi perbuatan korupsi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas negara melalui ditransfer antar rekening ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut.9

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi sangat diperlukan pemberian sanksi yang tegas walaupun uang yang dikorupsinya itu telah dikembalikan, hal ini dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 4 UUPTPK:

8

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemebrantasan Tindak Pidana korupsi (UUPTPK), Pasal 2 Ayat (1).

9

(22)

”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanyanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Berdasarkan bunyi Pasal 4 tersebut, maka mengenai pemberantasan korupsi dapat ditarik benang merah bahwa:

1. Menghukum pelaku; dan

2. Mengembalikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia,10 dapat dilakukan oleh sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada umumnya selalu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal bertindak sebagai pembela (Pengacara atau Advokat) untuk mengembalikan aset atau harta hasil korupsi di sidang pengadilan, maka UUPTPK di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan diberikan kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.

Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan

10

(23)

tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture.11 Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.12

Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula

11

Anthony Kennedy, “Designing a civil forfeiture system: an issues list for policymakers and legislator”, Journal of Financial Crime, Tanggal 13 Februari 2006, hal 5. Model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian, dinama bahwa model ini merupakan model yang memfokuskan kepada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Karena pada prinsipnya penerapan model ini adalah bahwa hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat. Terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain; Pertama, Civil

forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat

diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, Civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Keempat, Civil

forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin

untuk dilakukan. Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.

12

(24)

memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum13.

Masalah pembuktian menggunakan asas civil forfeitur akan tetapi instrumen hukum yang diterapkan untuk mengembalikan aset negara atau harta negara yang dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disebut JPN). Untuk kekayaan negara dalam hal ini disamakan dengan aset negara yang haknya diambil alih oleh seorang atau lebih atau suatu korporasi yang dapat dimungkinkan terjadi melalui perbutaan korupsi selama melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang

13

(25)

telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang Undang.14 Salah satu bentuk wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah kewenangan untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara atau JPN diberi wewenang sebagai aktor yang berprofesi membela hak-hak negara dalam mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan.15 Beberapa kasus korupsi dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang di bela oleh JPN selama ini Jaksa hampir selalu menang dalam perkara-perkara perdata.16 Dengan demikian Jaksa tetap dapat bertindak sebagai penggugat dan juga sebagai tergugat.

Sejalan dengan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perubahan UU Kejaksaan RI dimaksudkan untuk

14

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan RI), Pasal 1 Ayat (1).

15

Kejaksaan Agung RI, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia/1945-1985, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985), hal. 226-227.

16

RM. Surachman dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

(26)

lebih memantapkan dan mensinergikan kedudukan dan peran serta memperluas wewenang Kejaksaan Republik Indonesia yakni sebagai Pengacara Negara.17

Tugas dan wewenang kejaksaan yang bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara, diperjelas di dalam Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 (selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai UU Kejaksaan RI). Profesi Jaksa memiliki aturan hukum berdasarkan UU Kejaksaan RI. Pertanyaan yang muncul adalah apakah jaksa diperkenankan beracara dalam lapangan hukum perdata?, dalam lapangan hukum perdata berdasarkan undang-undang ini hanya ada 2 (dua) pasal yang mengatur secara tegas tentang jaksa dapat beracara dalam lapangan hukum perdata yaitu Pasal 30 Ayat (2);18

”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.”

Sedangkan isi Pasal 35 butir d;

”Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”.

Dalam UU Kejaksaan RI juga mengatur dan mengukuhkan beberapa peranan dan tugas-tugas jaksa lainnya, antara lain, melakukan pengawasan atas pelaksanaan

17

Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 127.

18

Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif

(27)

putusan lepas bersyarat,19 diberi wewenang sebagai Jaksa Pengacara Negara, apabila negara menjadi pihak dalam gugatan perdata dan kalau seorang warga atau badan hukum meminta hakim Tata Usaha Negara untuk menguji apakah tindakan administratif terhadap dirinya yang diambil oleh pejabat pemerintah itu berlaku atau sah menurut hukum.20 Di bidang perdata dan tata usaha negara, Jaksa dapat bertindak khusus baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.21

Jika dilihat kedua pasal ini, ada tertulis Jaksa Di bidang Perdata dan Jaksa di bidang Tata Usaha Negara, yang bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah boleh bertindak di dalam maupun di luar pengadilan termaksud dalam lapangan hukum perdata untuk beracara hingga ke Mahkamah Agung.

Ketika beracara di muka peradilan umum (lapangan perdata), penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara (JPN) menuai kontroversi karena memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda. Biasanya jaksa akan menuntut si terdakwa, dan akan berhadapan dengan Pengacara (Advokat) akan membela hak-hak serta kepentingan si terdakwa. Profesi pengacara saat ini sudah dilebur menjadi satu pengertian yaitu Advokat, adalah profesi yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dimana salah satu syarat menjadi Advokat (pengacara) adalah bukan berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) melainkan harus melalui sebuah pendidikan khusus advokat dan telah lulus ujian sebagai advokat melalui ujian yang

19

UU Kejaksaan RI, ibid, Pasal 30 Ayat (1) Huruf (c).

20

RM. Surachman dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 41.

21

(28)

diselenggarakan oleh lembaga Advokat (seperti PERADI atau KAI). Sementara jaksa adalah seorang yang berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil. Apabila dalam bahasa sehari-hari kita menggunakan istilah JPN (Jaksa Pengacara Negara), maka akan terkesan seorang yang menjalankan profesi sebagai Pengacara sekaligus menjalankan profesi sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU tentu sudah pasti Pegawai Negeri Sipil) untuk membela kepentingan negara dalam hal aset negara yang dikorupsi. Sementara undang-undang kepegawaian melarang seorang Pegawai Negeri Sipil merangkap dua jabatan.

Dalam mengembalikan aset hasil korupsi, tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang melarang bagi Jaksa utuk bertindak menarik atau mengembalikan aset tersebut dari tangan para koruptor. Bahkan undang-undang memberikan wewenang kepada Jaksa dalam mengembalikan aset korupsi tersebut. Namun, penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara kurang tepat untuk diberikan kepada Jaksa karena menimbulkan persepsi yang salah terhadap penerapan undang-undang. Seharusnya bagi Jaksa yang bertindak sebagai Pengacara Negara diberikan istilah lain yang tidak menyangkut asal-usul berdasarkan latar belakang aktor (subyeknya).

(29)

penelitian di dalam tesis ini yang berjudul, ”Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan pokok permasalahan yang diteliti di dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN)?

2. Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mendalami dasar hukum kewenangan jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN);

2. Untuk mengetahui dan mendalami penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara?

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini dan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada, diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk:

(30)

banyak merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan masukan terhadap istilah Jaksa Pengacara Negara;

2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan, Pengacara (Advokat), dan para Hakim yang menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Di samping itu, diharapkan kepada Anggota DPR dan Pemerintah (perancang undang-undang) agar mencantumkan kalimat dalam pasal-pasal tentang istilah yang semestinya disandang oleh Jaksa sebagai pembela negara atau menggantikan istilah JPN dengan format istilah lain dan baku yang tidak menimbulkan benturan peraturan-peraturan yang telah ada tentang Kejaksaan dan Advokat.

E. Keaslian Penulisan

(31)

Sumatera Utara serta di institusi lain mengenai judul di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Untuk mengetahui tentang kewenangan kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam pengembalian aset hasil korupsi, didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau umpan balik ataupun perbaikan dari teori sebelumnya. Teori yang digunakan adalah teori negara hukum (rechtsstaat), teori tujuan hukum dan teori penegakan hukum (law enforcement).

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat).22 Franz Magnis Suseno,23 mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.

Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang

22

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

23

(32)

penegakan hukum. L.M. Friedman,24 bahwa hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.

R. Subekti,25 menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Sudikno Mertokusumo26 mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,27 lebih jauh mengatakan bahwa pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula.

24

L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York, Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11.

25

H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

26

Ibid.

27

(33)

Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto,28 merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karenanya keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dengan proses pemeriksaan di persidangan sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas sebagai penegak hukum (law enforcement).

Berdasarkan teori tujuan hukum, maka akan menimbulkan reaksi atau umpan balik dari peran dan fungsi kejaksaan dalam perspektif ajaran/paradigma hukum. Dapat dipastikan bahwa pada hakikatnya eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.29

Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan

28

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

29

(34)

syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.30

Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”.31 Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Dalam suatu negara hukum modern (welfare state) tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”kesejahteraan”.32

Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat tempat ia hidup.33

Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif dalam bidang kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan dan Tata Usaha

30

Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

31

E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya.

32

Mochtar Kusumaatmadja., “Introduction to the morals and legislation”, Lihat Fungsi dan

Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Op. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan

menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris.

33

(35)

Negara.34 Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Sedangkan fungsi represifnya, kejaksaan melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik POLRI atau penyidik PNS.35

Langkah-langkah penegakan hukum melalui preventif dan represif tersebut terikat kepada aturan-aturan hukum, prosedur-prosedur tertentu serta dikontrol oleh hukum, sebagaimana Lili Rasjidi mengatakan bahwa, ”sebagai alat pembatas” dan langkah-langkah tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada negara dan masyarakat.36

Tujuan hukum menurut B. Arief Sidharta,37 merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan falsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara.

34

Marwan Effendy., Op. cit, hal. 153.

35

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Pasal 27, dan Pasal 29 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

36

Lili Rasjidi., Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 71.

37

(36)

Dalam pengertian lain, ketiga tujuan hukum tersebut, masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil

(functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian hukum.38

Paham atau pemikiran yang lain digunakan di dalam penelitian ini adalah paham The Rule of Law, paham rechtsstaat, dan paham negara hukum Indonesia yang berdasarkan teori distribusi (pemisahan) kekuasaan dan distribusi fungsi kekuasaan.

Plato, adalah seorang filsuf Yunani, orang pertama kali melahirkan pemikiran tentang paham ”negara hukum” yang terkenal dalam tulisannya nomoi. Kemudian berawal dari pemikiran tersebut, berkembanglah konsep continental dan rechtsstaat, konsep Anglo Saxon, dan the rule of law serta konsep-konsep lainnya.39

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan-gagasan tersebut melahirkan konsep Negara Hukum Formal yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, dan konsep Negara Hukum Material oleh J. Stahl. Demikian pula, Albert Venn Dicey mengajukan konsepnya tentang the rule of law ada 3 (tiga) elemen atau unsur the rule of law, yaitu:40

1. Keunggulan mutlak hukum;

38

Marwan Effendy., Op. cit, hal. 154.

39

Mohammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dlihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), hal. 73-74.

40

(37)

2. Persamaan di hadapan hukum;

3. Konsep yang berdasarkan konstitusi adalah hasil pengakuan hak-hak individual oleh para hakim.

Menurut H.W.R. Wade, mengidentifikasikan ada 5 (lima) aspek the rule of law yaitu;41

1. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum;

2. Pemerintah harus berperilaku dengan suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi;

3. Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif;

4. Harus seimbang (even handed) antara pemerintah dan warga negara; dan 5. Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang ditegaskan

menurut undang-undang.

Paham negara rechtsstatt dilukiskan dengan ”negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan keamanan (de openbare orde en veligheid). Lunshof mengemukakan unsur-unsur negara hukum abad ke-20, yaitu:42

1. Pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang, dan peradilan;

2. Penyusunan pembentuk undang-undang secara demokratis; 3. Asas legalitas; dan

4. Pengakuan terhadap hak asasi.

41

H.W.R. Wade, Administrative Law, (Oxford, 1984), hal. 22-24.

42

(38)

Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa Kontinental (rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep negara hukum tersebut dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut:

”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtsstaat, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.”43

Upaya menegakkan hukum, institusi-institusi penegak hukum, di satu sisi, dengan penetapan undang-undang mendapatkan kewenangan yang lebih luas. Namun, di sisi lain, ada institusi yang kewenangannya semakin dikurangi, misalnya kejaksaan Republik Indonesia. Pengurangan kewenangan itu diawali melalui KUHAP pada kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dipangkas hanya menjadi kewenangan penyedikian tindak pidana umum. Begitu pula halnya, penyidikan tindak pidana penyelundupan telah dimonopoli oleh instansi Bea Cukai. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, kewenangan penyidikan dan penuntutan berkurang dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum harus menanggung beban dengan kewenangan yang sudah berkurang tersebut, bukan karena tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang dibenarkan oleh undang-undang. Secara jujur, yang menjadi sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan

43

(39)

mata karena perilaku aparatur kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan.

Kondisi seperti ini tampaknya tidak sejalan dengan niat luhur para wakil rakyat sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di negara yang berdasarkan atas hukum, amanat undang-undang yang merupakan salah satu pilar dalam sistem hukum Indonesia untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan ternyata justru dipasung, lebih fatal lagi adalah dibentuknya KPK yang mendapat kewenangan yang lebih besar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, karena di dasarkan pemikiran bahwa tindak pidana korupsi dipandang sebagai extraordinary crime. Walaupun lembaga dan metode yang selama ini sudah konvensional.

Pembentukan KPK tidak hanya bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku, melainkan juga bertentangan dengan asas dan prinsip hukum yang bersifat universal. Asas hukum dan prinsip yang berlaku secara universal menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang diserahi tugas untuk bertindak sebagai penuntut umum, tetapi undang-undang juga memberikan kewenangan yang sama kepada KPK untuk menjalankan tugas penuntutan dalam tindak pidana korupsi.44 Baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 maupun KUHAP berkedudukan sebagai undang-undang induk (undang-undang organik), karena substansinya mencakup sistem hukum serta kelembagaan yang melaksanakan sistem tersebut, sehingga

44

(40)

peraturan perundang-undangan lainnya yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang organik. Ironisnya pembuat undang-undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai landasan filosofi yang jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum (ius constutuendum).45

Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan.46 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu kiranya mendudukkan kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen dalam perpektif teori negara hukum dan teori pembagian kekuasaan. Sebagaimana telah dikemukakan oleh paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara hukum Indonesia bernjak dari latar kekuasaan para Raja-Raja pada waktu dulu. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang berkarakteristik administrative, sedangkan konsep the rule of law berkarakteristik judicial. Kemudian konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.

45

Romli Atmasasmita., Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 92.

46

(41)

Sejarah rechtsstaat (negara-negara Eropa Kontinental) dan the rule of law (negara-negara Anglo Saxon) menunjukkan perjuangan menentang kesewenang-wenangan penguasa. Sementara itu, negara hukum Indonesia jelas-jelas menentang kesewenang-wenangan penguasa dalam alam jajahan. Titik sentral rechtsstaat dan the rule of law adalah perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.

Sedangkan, bagi Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, dan jika muncul sengketa jalan musyawarah yang didahulukan sehingga peradilan hanya menjadi sarana penyelesaian akhir (the last resort).

Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat yaitu membatasi kekuasaan administrasi negara dan konsep the rule of law yaitu mengembangkan peradilan yang adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir, maka sangat perlu dilakukanpembagian kekuasaan di antara lembaga negara/pemerintah.

Eksistensi kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia. Kehadiran

(42)

merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak kesewenag-wenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan Republik Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dalam proses peradilan.

Konsep negara hukum Indonesia inilah yang merupakan yang melatarbelakangi penegakan hukum terhadap pengembalian aset negara atas perbuatan korupsi karena perbuatan korupsi merugikan keuangan negara seharusnya dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.

Dalam rangka supremasi hukum, kejaksaan sangat penting fungsinya dalam mewujudkan hukum in concreto. Menurut Bagir Manan,47 mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk

dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum dan penegak hukum. Kejaksaan dan kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.

47

(43)

2. Landasan Konsepsional

Kerangka konsep adalah konstruksi secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan. Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.48

b. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dalam ruang lingkup lembaga kejaksaan yang diberi wewenang Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.49

c. Pengacara atau Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.50

48

Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

49

Ibid, Pasal 30 Ayat (2), lihat Juga, Marwan Effendy., Op. cit, hal. 127.

50

(44)

d. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup yang mengandalkan suatu keahlian tertentu.51

e. Aset hasil korupsi adalah harta atau kekayaan negara yang terancam haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN). Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).52

f. Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembalikan beban

pembuktian dimana model ini merupakan model yang memfokuskan kepada gugatan terhadap aset bukan terhadap tersangka atau terdakwa, prinsip yang digunakan dalam penerapan model ini adalah hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat.53

g. Korupsi adalah tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang dalam lungkup jabatan pemerintah yakni Pegawai Negeri Sipil adalah meliputi:54

51

A. Sonny Keraf., Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 47-48.

52

Marwan Effendy., Op. Cit, hal. 165.

53

Anthony Kennedy., Op. cit, hal. 5.

54

(45)

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Kepegawaian;

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah;

5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.55 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.56 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.57 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

55

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

56

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

57

(46)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.58

Penelitian hukum normatif dikenal sebagai penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Berkenaan dengan penelitian kualitatif tersebut Anselmus Strauss dan Juliat Corbin menyebut sebagai berikut “qualitatif research we mean any kind of research that procedure findings not arrived at by means of statistical procedures or

other means of quantifications. It can refer to research about persons, lives, stories,

behaviours, but also about organization functionating, social covenants or

intellectual relationship”.59

Tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara

teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang

58

Ronald Dworkin, Legal Research, (Deadalus: Spring, 1973), hal. 250.

59

Anselmus Strauss, dan Juliat Corbin, Basic of Qualitative Research, Grounded Theory

(47)

tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.60 Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).61 Alasan dalam penelitian ini,didasarkan pada alasan yang pertama. 2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

60

William J. Filstead, Qualitative Methods: A Needed Perspective in Evaluation Research, dalam Thomas D. Cook dan Charles S. Reichardt, ed, Qualitative and Quantitative Methods in Evaluation Research, (London: Sage Publications, 1979), hal. 38.

61

(48)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan HIR/Rbg;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;62 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah.63 Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut

62

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 24.

63

(49)

akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.64 4. Analisis Data

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan yurisprudensi serta pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

64

Referensi

Dokumen terkait

• Dinding tersusun oleh jaringan epitel kubus bersilia dan pada tepinya terdapat lubang- lubang yang berhubungan dengan alveoli. • Pada bagian distal dari brionkiolus

Setelah dilihat dari penyusunan RPJMD di Provinsi Riau dimana terdapat tahapan-tahapan dalam hal ini penyusunan dilaksanakan oleh badan atau instansi yang

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan Panitia pengadaan barang jasa Dinas Koperasi perindustrian dan perdagangan Kabupaten Bondowoso

Mengenai sumber air bor di Pondok Pesantren Anwarul Huda itu banyak sekali warga disekitar Pondok yang benar-benar membutuhkan ketersediaan air itu, maka dari itu sudah seharusnya

Tugas Prarancangan Pabrik merupakan syarat terakhir yang wajib ditempuh untuk menyelesaikan program strata 1 di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Jadi dari perusahaan Industry Real estate dan Property juga merupakan sektor yang pertama memberi sinyal jatuh atau sedang bangunnya perekonomian sebuah

Masalah gizi dapat disebabkan oleh asupan makronutrien dan mikronutrien yang tidak sesuai kebutuhan. 5 Mikronutrien berperan sebagai koenzim atau bagian dari enzim pada

Jadi, ada Ibu yang harus mau dengar, Ketua Pengadilan Tinggi Medan, tidak berhasil, tapi Mahkamah Agung sudah bicara dengan Bapak