• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Untuk mengetahui tentang kewenangan kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam pengembalian aset hasil korupsi, didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau umpan balik ataupun perbaikan dari teori sebelumnya. Teori yang digunakan adalah teori negara hukum (rechtsstaat), teori tujuan hukum dan teori penegakan hukum (law enforcement).

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat).22 Franz Magnis Suseno,23 mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.

Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang

22

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

23

Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.

penegakan hukum. L.M. Friedman,24 bahwa hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.

R. Subekti,25 menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Sudikno Mertokusumo26 mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,27 lebih jauh mengatakan bahwa pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula.

24

L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York, Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11.

25

H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

26

Ibid.

27

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto,28 merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karenanya keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dengan proses pemeriksaan di persidangan sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas sebagai penegak hukum (law enforcement).

Berdasarkan teori tujuan hukum, maka akan menimbulkan reaksi atau umpan balik dari peran dan fungsi kejaksaan dalam perspektif ajaran/paradigma hukum. Dapat dipastikan bahwa pada hakikatnya eksistensi kejaksaan dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah untuk mencapai tujuan hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.29

Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum yang mengatur. Ketertiban merupakan

28

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

29

syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.30

Sementara itu, para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”.31 Dalam perkembangan dan kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Dalam suatu negara hukum modern (welfare state) tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”kesejahteraan”.32

Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat tempat ia hidup.33

Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif dalam bidang kepidanaan serta Pengacara Negara dalam keperdataan dan Tata Usaha

30

Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

31

E. Utrecht., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya.

32

Mochtar Kusumaatmadja., “Introduction to the morals and legislation”, Lihat Fungsi dan

Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Op. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan

menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris.

33

Negara.34 Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Sedangkan fungsi represifnya, kejaksaan melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari penyidik POLRI atau penyidik PNS.35

Langkah-langkah penegakan hukum melalui preventif dan represif tersebut terikat kepada aturan-aturan hukum, prosedur-prosedur tertentu serta dikontrol oleh hukum, sebagaimana Lili Rasjidi mengatakan bahwa, ”sebagai alat pembatas” dan langkah-langkah tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada negara dan masyarakat.36

Tujuan hukum menurut B. Arief Sidharta,37 merupakan cita hukum bangsa Indonesia yang berakar dalam Pancasila, yang dinyatakan dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan falsafah dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara.

34

Marwan Effendy., Op. cit, hal. 153.

35

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Pasal 27, dan Pasal 29 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

36

Lili Rasjidi., Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 71.

37

B. Arief Sidharta., ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2.

Dalam pengertian lain, ketiga tujuan hukum tersebut, masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil (functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian hukum.38

Paham atau pemikiran yang lain digunakan di dalam penelitian ini adalah paham The Rule of Law, paham rechtsstaat, dan paham negara hukum Indonesia yang berdasarkan teori distribusi (pemisahan) kekuasaan dan distribusi fungsi kekuasaan.

Plato, adalah seorang filsuf Yunani, orang pertama kali melahirkan pemikiran tentang paham ”negara hukum” yang terkenal dalam tulisannya nomoi. Kemudian berawal dari pemikiran tersebut, berkembanglah konsep continental dan rechtsstaat, konsep Anglo Saxon, dan the rule of law serta konsep-konsep lainnya.39 Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan-gagasan tersebut melahirkan konsep Negara Hukum Formal yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, dan konsep Negara Hukum Material oleh J. Stahl. Demikian pula, Albert Venn Dicey mengajukan konsepnya tentang the rule of law ada 3 (tiga) elemen atau unsur the rule of law, yaitu:40

1. Keunggulan mutlak hukum;

38

Marwan Effendy., Op. cit, hal. 154.

39

Mohammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dlihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), hal. 73-74.

40

J.J. Rousseaw, De Contract Social, Book I, ch. IV, (Oxford: Ronald Grimsley, 1972), hal. 37.

2. Persamaan di hadapan hukum;

3. Konsep yang berdasarkan konstitusi adalah hasil pengakuan hak-hak individual oleh para hakim.

Menurut H.W.R. Wade, mengidentifikasikan ada 5 (lima) aspek the rule of law yaitu;41

1. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum;

2. Pemerintah harus berperilaku dengan suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi;

3. Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan diputuskan oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif;

4. Harus seimbang (even handed) antara pemerintah dan warga negara; dan 5. Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang ditegaskan

menurut undang-undang.

Paham negara rechtsstatt dilukiskan dengan ”negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan keamanan (de openbare orde en veligheid). Lunshof mengemukakan unsur-unsur negara hukum abad ke-20, yaitu:42

1. Pemisahan antara pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang, dan peradilan;

2. Penyusunan pembentuk undang-undang secara demokratis; 3. Asas legalitas; dan

4. Pengakuan terhadap hak asasi.

41

H.W.R. Wade, Administrative Law, (Oxford, 1984), hal. 22-24.

42

Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa Kontinental (rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep negara hukum tersebut dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut:

”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtsstaat, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.”43

Upaya menegakkan hukum, institusi-institusi penegak hukum, di satu sisi, dengan penetapan undang-undang mendapatkan kewenangan yang lebih luas. Namun, di sisi lain, ada institusi yang kewenangannya semakin dikurangi, misalnya kejaksaan Republik Indonesia. Pengurangan kewenangan itu diawali melalui KUHAP pada kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dipangkas hanya menjadi kewenangan penyedikian tindak pidana umum. Begitu pula halnya, penyidikan tindak pidana penyelundupan telah dimonopoli oleh instansi Bea Cukai. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, kewenangan penyidikan dan penuntutan berkurang dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum harus menanggung beban dengan kewenangan yang sudah berkurang tersebut, bukan karena tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang dibenarkan oleh undang- undang. Secara jujur, yang menjadi sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan semata-

43

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2, (Jakarta:Ghalai Indonesia, 1986), hal. 151, bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhari, Ibid, hal. 66.

mata karena perilaku aparatur kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan.

Kondisi seperti ini tampaknya tidak sejalan dengan niat luhur para wakil rakyat sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di negara yang berdasarkan atas hukum, amanat undang-undang yang merupakan salah satu pilar dalam sistem hukum Indonesia untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan ternyata justru dipasung, lebih fatal lagi adalah dibentuknya KPK yang mendapat kewenangan yang lebih besar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, karena di dasarkan pemikiran bahwa tindak pidana korupsi dipandang sebagai extraordinary crime. Walaupun lembaga dan metode yang selama ini sudah konvensional.

Pembentukan KPK tidak hanya bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku, melainkan juga bertentangan dengan asas dan prinsip hukum yang bersifat universal. Asas hukum dan prinsip yang berlaku secara universal menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang diserahi tugas untuk bertindak sebagai penuntut umum, tetapi undang-undang juga memberikan kewenangan yang sama kepada KPK untuk menjalankan tugas penuntutan dalam tindak pidana korupsi.44 Baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 maupun KUHAP berkedudukan sebagai undang-undang induk (undang-undang organik), karena substansinya mencakup sistem hukum serta kelembagaan yang melaksanakan sistem tersebut, sehingga

44

peraturan perundang-undangan lainnya yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang organik. Ironisnya pembuat undang-undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai landasan filosofi yang jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum (ius constutuendum).45

Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan.46 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu kiranya mendudukkan kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen dalam perpektif teori negara hukum dan teori pembagian kekuasaan. Sebagaimana telah dikemukakan oleh paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara hukum Indonesia bernjak dari latar kekuasaan para Raja-Raja pada waktu dulu. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang berkarakteristik administrative, sedangkan konsep the rule of law berkarakteristik judicial. Kemudian konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.

45

Romli Atmasasmita., Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 92.

46

Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.

Sejarah rechtsstaat (negara-negara Eropa Kontinental) dan the rule of law (negara-negara Anglo Saxon) menunjukkan perjuangan menentang kesewenang- wenangan penguasa. Sementara itu, negara hukum Indonesia jelas-jelas menentang kesewenang-wenangan penguasa dalam alam jajahan. Titik sentral rechtsstaat dan the rule of law adalah perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkan, bagi Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, dan jika muncul sengketa jalan musyawarah yang didahulukan sehingga peradilan hanya menjadi sarana penyelesaian akhir (the last resort).

Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat yaitu membatasi kekuasaan administrasi negara dan konsep the rule of law yaitu mengembangkan peradilan yang adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir, maka sangat perlu dilakukanpembagian kekuasaan di antara lembaga negara/pemerintah.

Eksistensi kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia. Kehadiran kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah; pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat

merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak kesewenag-wenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan Republik Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dalam proses peradilan.

Konsep negara hukum Indonesia inilah yang merupakan yang melatarbelakangi penegakan hukum terhadap pengembalian aset negara atas perbuatan korupsi karena perbuatan korupsi merugikan keuangan negara seharusnya dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.

Dalam rangka supremasi hukum, kejaksaan sangat penting fungsinya dalam mewujudkan hukum in concreto. Menurut Bagir Manan,47 mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum dan penegak hukum. Kejaksaan dan kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.

47

Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, 1995), hal. 17.

Dokumen terkait