• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEOR

2.2 Budaya Organisasi

Penggunaan istilah budaya organisasi dengan mengacu pada budaya yang berlaku dalam perusahaan, karena pada umumnya perusahaan itu dalam bentuk organisasi, yaitu kerja sama antar beberapa orang yang membentuk kelompok atau satuan kerja sama tersendiri. Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yakni buddhaya sebagai bentuk jamak dari budddhi yang berarti akal. Disini tampaknya menekankan kepada aspek kolektif, bahwa budaya adalah hasil kerja dari sejumlah akal dan bukan hanya satu akal individual saja. Di dalamnya mencakup tiga unsur, yakni cipta, rasa, dan karsa (pikiran, perasaan dan keinginan/kehendak) (Kusdi, 2011:11).

Menurut Sutrisno (2010:2) budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi- asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Dalam buku lain menurut Luthans dalam Lako (2004:29), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.

Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Menurut Robbin (1996:289) riset paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi.

1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil risiko.

2. Perhatian ke rincian. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.

5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.

6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai.

7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu continuum dari rendah ke tinggi. Maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.

organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual. Keempat, budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial (Robbins dalam Sutrisno, 2010:10).

Dalam hubungan dengan segi sosial, budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. (Gordon dalam Sutrisno, 2010:11).

Perkembangan dan kesinambungan suatu perusahaan akan sangat tergantung pada budaya perusahaan. Menurut Susanto dalam Sutrisno (2010:27), mengemukakan bahwa budaya suatu perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai andalan daya saing suatu perusahaan dalam menghadapi perubahan dan tantangan. Budaya organisasi juga dapat dijadikan sebagai rantai pengikat untuk menyamakan persepsi atau arah pandang anggota organisasi terhadap suatu permasalahan sehingga akan menjadi satu kekuatan untuk mencapai suatu tujuan.

Beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robins dalam Sutrisno (2011:27-28) sebagai berikut:

1. Membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada dalam organisasi.

2. Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi para anggota organisasi. Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi.

3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu. 4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen – komponen organisasi

yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil.

Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga nilai – nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu organisasi.

Menurut Miler dalam Sutrisno (2010:14-15) mengatakan bahwa masa mendatang ditandai oleh kompetisi global, dan perusahaan yang sukses ialah yang mampu mengelola budaya baru dengan nilai-nilai yang mengembangkan perilaku ke arah keberhasilan yang kompetitif. Kita sedang memasuki era baru dan peradaban baru yang bersifat global, saling tergantung, saling bersaing, yang ditandai oleh:

1. Motivasi berdasar atas imbalan materi saja semakin tidak memadai. Kebutuhan-kebutuhan pribadi yang bersifat materi semakin menurun, sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani semakin meningkat. Manajer yang berhasil harus belajar semangat baru yang produktif di dalam perusahaan. Pekerjaan manajer harus membantu karyawannya dalam pencapaian harga diri mereka.

2. Sifat-sifat pekerjaan menjadi kurang fisikal, dalam arti kurang menyadarkan pada kekuatan fisik semata-mata, melainkan lebih banyak bersifat kognitif, karena karyawan dituntut untuk lebih berpikir kreatif, belajar, dan turut ambil bagian;

3. Pada masa sekarang karyawan mempunyai banyak pilihan yang lebih luas daripada sebelumnya. Ia dapat pindah, berlatif, dan berorganisasi. Manajemen dengan intimidasi mulai lenyap, dan manajemen dengan keterlibatan atau partisipasi serta dorongan positif mulai dilaksanakan;

4. Jumlah manajer akan menurun drastis. Pekerja-pekerja yang berpengetahuan membutuhkan hanya sedikit pengawas apabila mereka dilatih sepenuhnya, dilibatkan, ditugasi, dan diberi imbalan yang layak. Manajer-manajer yang masih ada dan bertahan ialah para teknisi ahli yang akan memberikan konsultasi dengan seni membuat komitmen, bukan seni memerintah;

5. Persaingan dunia tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga dalam bidang kemampuan manajemen. Kita sedang ditantang, bukan karena negara-negara lain sedang mengembangkan teknologinya, tetapi mereka menantang kita dalam keterampilan manajemen. Kemampuan manajemen akan menjadi penentu yang paling kritikal bagi keberhasilan perusahaan dan bangsa dalam persaingan yang baru.

Menurut Ouchi dalam Sutrisno (2011:13) ada tujuh jenis nilai yang menjadi pengukur budaya perusahaan:

1. Komitmen pada karyawan; 2. Evaluasi terhadap karyawan; 3. Karier;

4. Kontrol;

5. Pembuatan keputusan; 6. Tanggung jawab; dan 7. Perhatian pada manusia.

Dokumen terkait