• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi UIN Maliki Malang adalah perilaku civitas akademika dalam melakukan perannya masing-masing yang didasari oleh kesadaran yang tinggi atas peran yang disandang dalam meraih cita-cita bersama. Kesadaran itu dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam terhadap visi dan misi yang dikembangkan, yang hal itu tercermin dalam pemikiran, sikap dan tindakan dalam menjalankan tugas sehari-sehari. Oleh kerana itu sivitas akademika, pimpinan, dosen karyawan dan mahasiswa merupakan cerminan dari tradisi UIN Maliki Malang.

Sebagai gambaran performan yang dibangun masing-masing unsur kelembagaan dan juga peribadi yang berada di bawah lembaga pendidikan tinggi ini adalah sebagai berikut:

(1) Pertama, Penampilan (performance) fisik UIN Maliki Malang; Secara fisik kampus UIN Maliki Malang sebagai lembaga pendidikan tinggi yang beridentitas dan berparadiqma Islam harus menampilkan citra yang antara lain: (a) Berwibawa, sejuk rapi dan indah; (b) Modern dan dinamis, serta dihuni orang-orang yang terpilih yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, sesama manusia, dan peduli pada lingkungan; (c) Terpercaya dan menumbuhkan keteladanan bagi masyarakat.

(2) Kedua, Kelembagaan; (a) Memiliki tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah; (b) Memiliki tradisi yang mendorong lahirnya kewibawaan akademik bagi seluruh sivitas akademika; (c) Memiliki kecakapan manajemen yang mampu menggerakkan semua potensi untuk mengembangkan kreatifitas warga kampus.

Selanjutnya dalam mengembangkan tradisi yang ada kita mengenal UIN Malaiki Malang dengan pengembangan konsep tarbiyah ulul albab, konsep tarbiyah ulul albab menjadi sebuah paradigma dan ideologi yang berkembang di kampus ini.

Perilaku Budaya Religius Tarbiyah ulul albab UIN Maliki Malang

Masyarakat kampus sangat beragam, baik dari latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial dan lain sebagainya, yang hal ini akan berpengaruh kepada pemahaman keagamaan seseorang dan akhirnya akan tampak dalam tingkah laku mereka yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam badah.

Wujud aktualisasi religius di kampus dapat dipilah pada tiga pilihan iaitu: 1) fisik, 2) kegiatan, dan 3) sikap dan prilaku. Dari segi fisik, aktualisasi niali-nilai religius tersebut dalam sarana ibadah (masjid/mushola), perpustakaan, tulisan (spanduk) dan perangkat lunak seperti buku, kaset, dan peraturan-peraturan. Aktualisasi religius yang mudah dilihat adalah kegiatan-kegiatan; pelaksanaan ibadah (solat jama’ah) kuliah, dan pertemuan (seminar, diskusi, pengajian, tahlilan, manasik, kursus, training, dan sebagainya). Dan aktualisasi yang lebih dalam maknanya diwujudkan dalam sikap dan prilaku seperti salam, sapan, kunjungan, santunan, dan penampilan (pakaian).

Perguruan Tinggi Islam diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai religius yang dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, iaitu:

(1) Pertama, Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.

(2) Kedua, Experimental values (nilai-nilai penghayatan); menyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga. (3) Ketiga, Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil

sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.

Religiusitas pendidikan mendasarkan bangunan epistimologinya ke dalam tiga kerangka ilmu iaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta orientasi pendidikan.

(1) Pertama, dasar filsafat religiusitas pendidikan adalah filsafat teosentrisme yang menjadikan Tuhan sebagai pijakannya.

(2) Kedua, tujuan religiusitas pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengabdian kepada-Nya. Hal tersebut bisa diartikan bahawa kehidupan duniawi bukan tujuan final, tetapi sekadar gerbong menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final perjalanan hidup manusia.

(3) Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam setiap proses pendidikan yang dijalankan.

Berdasarkan ketiga kerangka konsep religiusitas pendidikan di atas dapat diartikan bahawa religiusitas pendidikan menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada mahasiswa dalam pendidikan dan kehidupan. Religiusitas pendidikan melalui kecerdasan spiritual juga memberi garis panduan kepada dosen untuk mengajarkan arti pentingnya religiusitas kepada para peserta didiknya. Religiusitas pendidikan menajamkan kualitas kecerdasan spiritual terhadap dosen maupun mahasiswa, hal tersebut dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial kepada mahasiswa sejak usia dini, dan untuk dosen juga dapat memperoleh hal tersebut melalui sikap keteladan dalam setiap proses yang terjadi dalam pendidikan. Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa terlepas dari peran Perguruan Tinggi Islam beserta pengembangannya termasuk dalam mewujudkan budaya religius kampus.

Bila dicermati bahawa kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, pendidikan sebagai praksis pembangunan bangsa menampakkan wujudnya dalam berbagai pranata (institusi) pendidikan, seperti dosen dan pemimpin pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga-lembaga-lembaga keagamaan, pusat-pusat keilmuan, dan pusat-pusat seni dan budaya. Melalui pranata-pranata kependidikan itu, berbagai kekuatan pendidikan mejadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa berarti pula memfungsikan dan mendinamiskan peranan pranata-pranata kependikan itu secara terpadu dan berkelanjutan.

Demikian pula Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang adalah lembaga pendidikan tinggi milik negara yang secara administratif berada dalam tanggung jawab Kementerian Agama R.I. dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). dan Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dinaungi oleh kedua kementerian tersebut, maka Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang mengembang dua misi sekaligus, iaitu misi keilmuan dan keagamaan (dakwah).

Atas dasar itu, pengelolaan dan pengembangan UIN Maliki Malang diarahkan pada usaha untuk memenuhi kualifikasi keilmuan dan keagamaan (keislaman) melalui pendekatan integratif. Sebagai lembaga keilmuan, ia dituntut untuk dapat memenuhi tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat. Adapun sebagai lembaga keagamaan, UIN Maliki Malang mengembang misi mengejawantahkan semangat, ajaran, nilai-nilai dan tradisi Islam dalam konsep maupun implementasi pendidikannya.

Berpedoman pada pengembangan kedua tugas tersebut, maka misi pertama pendidikan di UIN Maliki Malang adalah untuk melahirkan sarjana yang memiliki empat kekuatan, iaitu kemantapan akidah dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu serta kematangan profesional. Dengan empat kekuatan itu UIN Maliki Malang mengidiealisasikan manusia yang berkarakter ulama yang intelek profesional dan intelek profesional yang ulama. Dalam pengertian ini, maka Sumber Daya Manusia (human resources) yang diharapkan di sini adalah mereka yang mampu memahami ajaran Islam secara mandiri dari sumber-sumber aslinya (kitab-kitab berbahasa Arab), menghayati, serta mengamalkan ajaran agama. Selain itu, mereka merupakan orang-orang yang menguasai beberapa disiplin ilmu sesuai dengan pilihan profesinya.

Sarana-Prasarana Kegiatan-kegiatan (Budaya) Religius Mahasiswa

Dalam aktifitas ibadah para civitas akademika di kampus UIN Malang tidaklah sulit kerana memang di UIN Maliki Malang ada dua masjid yang berada di dalam kampus, iaitu masjid tarbiyah dan masjid ulul albab. Dua masjid selain digunakan untuk solat rawatib juga diselenggarakan solat Jum’at. Untuk jamaah juga selalu penuh pada waktu solat Jumaatnya. Selain itu di dalam masjidnya sendiri sering diadakan berbagai kegiatan keagamaan misalnya khatam Quran, salawat diba’ maupun kegiatan akademik lainnya misalnya bedah buku, seminar, dialog dan sebagainya.

Selain masjid adanya Ma’had membantu dalam proses pembentukan karakter mahasiswa dan membantu dalam menciptakan iklim religious di kampus UIN Maliki Malang. Pemisahan ma’had putri dengan ma’had putra membawa kesan tersendiri bahawa kampus UIN Maliki Malang ingin menciptakan iklim layaknya pesantren. Ma’had inilah yang hadir secara fungsional dalam mengasah prilaku mahasiswa.

Sungguh berbeda ketika kita memasuki kampus UIN Maliki Malang. Hal ini tidak menghairankan kerana kampus ini adalah kampus yang memadukan antara kultur pesantren dengan kultur Universitas. Di dalam kampus UIN Maliki Malang ini, kita akan sering menyaksikan suasana ruhiyah. Doa-doa yang dilantunkan oleh para santri dan kyai di dalam masjid, bacaan-bacaan al-Qur’an yang terdengar silih berganti, salawat Nabi yang dikumandangkan setelah azan salat-salat fardu, akan membuat suasana jiwa, suasana batin ini damai dan tenteram.

Di malam hari, para santri dibangunkan dan dibiasakan untuk menjalankan sholat tahajjud yang sudah sejak awal memang sudah dibiasakan untuk menjalankannya. Sambil menunggu waktu jamaah Solat Subuh, ada yang membaca Quran secara tartil, ada yang berzikir, dan ada pula yang berdoa.

Suasana ruhiyah semacam ini memang ditumbuhkembangkan di UIN Maliki Malang ini. Kerana konsep pendidikan UIN Maliki Malang adalah tarbiyah ulul albab. Sebuah konsep pendidikan yang tidak hanya pada sisi kognitif semata, namun juga perlu diasah pada sisi kalbunya dengan banyak-banyak berzikir pada Allah SWT. Zikir dan amal soleh menjadi konsep dasar dalam pendidikan di UIN Maliki Malang ini. Semangat ini telah mempengaruhi sebahagian besar civitas akademika, dan selanjutnya semangat inilah yang kemudian dikembangkan dan dipahami dalam segala aktivitas warga kampus.

Konsep tarbiyah Ūlul al-bāb ini telah mewarnai suasana ruhiyah civitas akademika, suasana ruhiyah ini tidak hanya terjadi pada para santri, namun suasana ruhiyah itu juga terjaidi pada level karyawan, dosen dan para pimpinan. Hal ini sebagai kebijakan yang luar biasa dan didukung oleh segenap civitas akademik.

Keberadaan Ma’had Sunan Ampel al-Aly memang sebuah fenomena manarik yang telah dikembangkan oleh UIN Maliki Malang sehingga berbeda dengan kebanyakan perguruan tinggi agama Islam lainnya, hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi UIN Maliki Malang. Ma’had inilah yang menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi para orang tua dalam mengkuliahkan putra-putri dalam era kehidupan modern yang serba bebas ini. Penyebutan nama ma’had dan bukan asrama, dikhawatirkan melahirkan kesan bahawa bangunan itu hanya semata-mata dijadikan tempat tinggal sebagai pengganti rumah kos mahasiswa. Juga tidak disebut pondok pesantren, melainkan disebut Ma’had Aly untuk membedakan dengan pondok pesantren pada umunya. Sebutan Ma’had Aly dimaksudkan agar memberi kesan bahawa lokasi itu benar-benar dimaksudkan sebagai tempat yang dimiliki nuansa pendidikan Islam bagi mahasiswa dan sekaligus memudahkan UIN Maliki Malang dalam membentuk keperibadian mahasiswa ūlul al-bāb.

Suasana Religius Mahasiswa

Komponen-komponen pendidikan dosen, karyawan dan mahasiswa bekerja di kampus ini harus dilandasi oleh niat memenuhi kewajiban dan agar menjadi dekat dan memperoleh ridha Allah SWT. Niat secara tegas seperti itu dikedepankan, sebab bagi setiap muslim dan muslimat, thalab al-`ilm hukumnya adalah wajib, bahkan berlangsung sepanjang hayat: min al-mahd ila al-lahd.

Kesamaan tujuan berupa sama-sama menggapai ridha Allah itu harus melahirkan hubungan yang saling mencintai dan menghargai antara seluruh komunitas kampus. Sekalipun pada intinya lingkup pendidikan, tak terkecuali pendidikan di perguruan tinggi, secara langsung hanya sebatas hubungan antara dosen dan mahasiswa, tetapi tidak terpuji jika mengabaikan peran-peran pihak lain seperti, karyawan. Tata krama pendidikan Islam mengajarkan bahawa siapapun yang memudahkan jalan bagi pengembangan ilmu harus dihargai. Bahkan, Allah SWT dalam salah satu hadis Nabi berjanji akan memberikan balasan berupa syurga.

Eratnya hubungan antara dosen dan mahasiswa harus ditunjukkan sebagaimana hubungan antara orang tua dan anaknya, antara petani dan tanamannya, atau antara gembala dengan binatang peliharaannya. Kedua belah pihak, antara dosen dan mahasiswa, harus ada nuansa kasih sayang yang mendalam. Perasaan sukses bagi dosen bukan tatkala menerima reward atau ma`îsyah pada setiap bulannya, tetapi justru tatkala mahasiswanya mengalami

kemajuan. Lebih dari itu, kegembiraan lebih terasa tatkala melihat dan/atau mendengar bahawa mahasiswanya telah mampu dan berhasil melakukan sesuatu amal soleh di tengah masyarakat. Sebaliknya, dosen akan merasa susah tatkala menyaksikan mahasiswanya tidak mengalami kemajuan yang berarti. Dosen sebagaimana petani ataupun penggembala, bergembira ria tatkala tanaman dan ternaknya tumbuh subur dan berkembang biak dengan baik. Itulah gambaran dan metafora hubungan dosen dan mahasiswa di kampus yang beridentitas Islam ini. Hubungan dosen dan mahasiswa tidak cukup diikat oleh peraturan atau perundang-undangan yang tertulis, hubungan itu diikat oleh suasana batin, rasa dan kasih sayang yang mendalam.

Agar terjadi jalinan hubungan yang erat dan kukuh antara semua komponen perguruan tinggi ini harus dikembangkan ta`âruf atau keterbukaan. Ta`âruf akan melahirkan tafâhum. Saling memahami akan melahirkan tadhâmun atau saling menghargai. Tadhâmun akan memunculkan tarâhum dan akhirnya terjadilah suasana ta`âwun antara semua warga kampus. Hubungan seperti ini, bagi kaum muslimin dijamin tak akan membunuh daya kritis, sebab dalam Islam juga harus ditumbuh-kembangkan suasana tawâshaw bi al-haqq wa tawâshaw bi ash-shabr. Hubungan dosen dan mahasiswa diikat oleh suasana kasih sayang dan bukan yang lain, yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak.

Sikap dan perilaku buruk dan tidak terpuji, harus dihindari oleh semua pihak. Hubungan dosen dan mahasiswa harus dijauhkan dari nuansa transaksional, hegemonik dan kooptatik. Mereka yang merasa memiliki kelebihan tidak sombong kerana kelebihannya, dan yang berkekurangan tidak boleh direndahkan dan merasa rendah diri. Hubungan antar-warga kampus harus mencerminkan sebagai masyarakat yang berbudaya tinggi, memperoleh sinar ilahi (nûr ilâhi) dan menyandang budaya adiluhung iaitu budaya orang-orang yang berpendidikan tinggi Islam.

Selain itu di luar kegiatan Proses Belajar Mengajar (PBM) di kelas, mahasiswa juga mempunyai tradisi-tradisi keagamaan, misalnya mengaji, hafalan al-Qur’an, solat jamaah, puasa sunat, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.

Budaya Pendidikan Kampus Religius Ulul al-Bab

Budaya sebuah komunitas, tak terkecuali komunitas pendidikan, dapat dilihat dari dimensi lahir maupun batinnya. Budaya lahiriah meliputi hasil karya atau penampilan yang tampak atau yang dapat dilihat, misalnya penampilan fisik seperti gedung, penataan lingkungan pendidikan, sarana pendidikan dan sejenisnya. Sedangkan yang bersifat batiniah adalah hasil karya yang tidak tampak, tetapi dapat dirasakan. Hal itu misalnya menyangkut pola hubungan antar sesama, cara menghargai prestasi seseorang, sifat-sifat peribadi yang dimiliki baik kekurangan maupun kelebihannya, dan sebagainya. Budaya adalah sesuatu yang dianggap bernilai tinggi, yang dihargai, dihormati dan didukung bersama. Budaya juga berstrata, oleh kerana itu di tengah masyarakat terdapat anggapan budaya rendah, sedang dan tinggi. Dilihat dari perspektif organisasi, budaya juga berfungsi sebagai instrumen penggerak dinamika masyarakat.

Tingkat perkembangan budaya sebuah komunitas masyarakat, dapat dilihat dari sisi yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lembaga pendidikan disebut berbudaya tinggi, dari sisi lahiriahnya, ketika ia berhasil membangun penampilan wajahnya sesuai dengan tuntutan

zaman. Misalnya, lembaga pendidikan itu: memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, berhasil membangun gedung sebagai sarana pendidikan yang mencukupi baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya, mampu menyediakan prasarana pendidikan yang memadai, menciptakan lingkungan bersih, rapi dan indah, memiliki jaringan atau network yang luas dan kuat, dan sebagainya. Sedangkan tingkat budaya batiniah dapat dilihat melalui cita-cita, pandangan tentang dunia kehidupan: menyangkut diri, keluarga dan orang lain atau sesama, apresiasi terhadap kehidupan spiritual dan seni, kemampuan mengembangkan ilmu dan hikmah. Masih dalam lingkup budaya batin dapat dilihat pula dari bagaimana mereka membangun interaksi dan interrelasi antara komunitasnya, mendudukkan dan menghargai orang lain dalam berbagai aktivitasnya, dan bagaimana mensyukuri nikmat serta kurnia yang diperoleh.

Menjadi sumber inspirasi dan kekuatan penggerak menuju ke arah kemajuan, baik dari sisi spiritual, intelektual dan profesional. Sebaliknya, komunitas yang diwarnai oleh suasana kehidupan yang saling tidak percaya, buruk sangka, tidak saling menghargai antara sesama, kufur, akan memperlemah semangat kerja dan melahirkan suasana stagnan. Pola hubungan sebagaimana disebutkan terakhir itu akan melahirkan atmosfir konflik yang tak produktif serta jiwa materialistik dan hubungan-hubungan transaksional yang akan berakibat memperlemah kehidupan organisasi kampus itu sendiri. Tarbiyah ūlil al-bāb harus dijauhkan dari budaya seperti itu. Sebab, sebaik-baik fasilitas yang disediakan berupa kemegahan gedung serta setinggi apapun kualitas tenaga pengajar, jika lembaga pendidikan tersebut tak mampu mengembangkan budaya tinggi, maka pendidikan tak akan menghasilkan produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, sekalipun budaya lahiriah tak berkategori tinggi, tetapi jika budaya batiniah dapat dikembangkan setinggi mungkin, produk pendidikan masih dapat diharapkan lebih baik hasilnya. Kampus Religius Tarbiyah ūlil al-bāb dalam menggapai tujuan pendidikan secara maksimal, mengembangan budaya lahiriah dan batiniah secara padu, simultan dan maksimal sesuai dengan potensi dan kekuatan yang ada.

Identitas dan Bahasa Pergaulan Warga Kampus Ūlul al-bāb

Seluruh warga kamupus UIN Maliki Malang di mana dan kapan saja harus berbusana dan menggunakan bahasa yang mencerminkan harkat dan darjat Islam yang amat agung dan tinggi. Menyangkut cara berpakaian, Islam sudah memberikan tuntunan yang jelas, wajib menutup aurat. Dosen, mahasiswa dan karyawan boleh menggunakan mode yang disenangi, tetapi selalu dilarang menyimpang dari norma yang digariskan oleh ajaran Islam. Menampakkan aurat, baik secara terang-terangan atau tersamar (berpakaian terlalu ketat), harus dihindari oleh seluruh komunitas kampus Islam ini.

Secara lebih detil perlu dikemukakan bahawa semua mahasiswa di kampus harus bersepatu, laki-laki tidak diperkenankan memakai kaos, giwang, kalung dan berambut panjang. Perempuan harus mengenakan pakaian yang menutup aurat wanita secara sempurna.

Menyangkut bahasa pergaulan sehari-hari, cepat atau lambat, atau paling tidak secara bertahap menggunakan Bahasa Arab dan/atau Inggris. Penggunaan bahasa asing bukan semata-mata menyesuaikan tuntutan zaman sehubungan dibukanya dunia perdagangan bebas, lebih dari itu ialah dimaksudkan sebagai upaya membangun identitas atau citra kampus Islam yang seharusnya memiliki kelebihan dibanding kampus-kampus lainnya. Alasan strategis lainnya, bahawa sebagai kampus yang melakukan kajian berbagai ilmu yang bersumber dari

literatur asing (Arab dan Inggris) maka kedua bahasa tersebut harus dikuasai secara baik dan oleh kerana itu berbahasa asing tersebut harus menjadi bagian dari kehidupan kampus ini.

Secara singkat dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut ini:

Gambar 6. Perilaku Religius

Perilaku di atas dijadikan dasar untuk berjihad dengan ikhlas menuju ridha Allah untuk membangun STAIN Malang oleh seluruh civitas akademika. Segenap daya dan upaya diwujudkan dalam kerja keras dengan semangat ikhlas tanpa pamrih. Semua perbuatan dan tindakan seluruh civitas akademika dikonstruk dalam tārbiyāh ūlūl al albāb

Kata ūlu al albāb adalah simbol petunjuk al-Qur’ān berkenan dengan visi pemikiran dan ilmu pengetahuan. Menurut Imam al-Biqa’i, albāb adalah akal yang memberi manfaat kepada pemiliknya dengan memilah isi substansi dari kulitnya. Seruan Yā Ūli al albāb, iaitu akal-akal yang bersih, serta pemahaman yang cemerlang, yang terlepas dari semua ikatan fisik, sehingga ia mampu menangkap ketinggian taqwa dan menjaga ketaqwaan itu. Menurut al-Harali albāb adalah sisi terdalam akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat diindra, seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk menangkap hakikat-hakikat makhluk, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Rābb mereka melalui ayat-ayat-Nya. Kaum ūlu al albāb mempunyai posisi istimewa dan eksklusif di sisi Allah. Hal ini dapat dilihat dalam dua ayat ini:

وُه

يِذَّلا

ل زْ ن أ

كْي ل ع

با تِكْلا

ُهْنِم

تا يآ

تا م كُْمُ

َّنُه

مُأ

ِبا تِكْلا

ُر خُأ و

تا ِبِا ش تُم

اَّم أ ف

نيِذَّلا

ِف

ْمِِبِوُلُ ق

غْي ز

ِبَّت ي ف

نوُع

ا م

ه با ش ت

ُهْنِم

ءا غِتْبا

ِة نْ تِفْلا

ءا غِتْبا و

ِهِليِوْأ ت

ا م و

ُم لْع ي

ُه ليِوْأ ت

َّلِّإ

ُهَّللا

نوُخِساَّرلا و

ِف

ِمْلِعْلا

نوُلوُق ي

اَّن مآ

ِهِب

لُك

ْنِم

ِدْنِع

ا نِّ ب ر

ا م و

ُرَّكَّذ ي

َّلِّإ

وُلوُأ

ِبا بْل ْلْا

Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’ān) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamāt, itulah pokok-pokok isi al-Qur’ān dan yang lain (ayat-ayat) mutashābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutashābihāt, daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

ْن م ف أ

ُم لْع ي

ا َّنَّ أ

لِزْنُأ

كْي لِإ

ْنِم

كِّب ر

ق ْلْا

ْن م ك

وُه

ى مْع أ

ا َّنَِّإ

ُرَّك ذ ت ي

وُلوُأ

ِبا بْل ْلْا

Adakah orang yang mengetahui bahawasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta. Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.

Ungkapan akhir dari kedua ayat di atas adalah pernyataan eksklusif Allah bagi kaum Ūlu al albāb, iaitu: (1) Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (2) Hanyalah orang-orang-orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Hal ini menunjukkan bahawa selain kaum ūlu al albāb orang lain tidak akan mendapat manfaat dan tidak akan memperoleh pelajaran. Artinya selain kaum ūlu al albāb tidak dapat memahami dengan baik pelajaran yang akan diperoleh dari ayat-ayat al-Qur’ān. Makna Ūlu al albāb memberikan pancaran kekuatan Ilahi yang dikejawantahkan dalam kekuatan intelektual untuk dipergunakan “širū” (mengembara) di muka bumi, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh panca indra. Ūlu al albāb mempunyai kekuatan (potensi) menganalisis kritis dan mentadabbur kandungan al-Qur’ān. Ūlu al albāb akan mampu memahami dua dunia, iaitu dunia yang mengandung ayat-ayat dari perbuatan-Nya, sedangkan dunia lainnya