• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Pengaruh Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa 1960-1992

4.6 Budaya

Suku Simalungun adalah suku asli di daerah Kecamatan Tanah Jawa. Suku Simalungun telah memiliki budaya sendiri dan memiliki filosofi yakni Habonaron Do Bona (kebenaran adalah pangkal segala sesuatu) yang telah diterapkan bertahun-tahun. Maksudnya bahwa setiap kebenaran pasti menang, cepat atau lambat demikian juga yang jahat pasti kalah. Hubungan antar manusia dalam kehidupan Suku Simalungun diatur dalam sistem kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran (tiga kedudukan lima sebarisan). Hubungan berdasarkan sistem ini telah disosialisasikan kepada anak sejak mengenal lingkungan yang paling dekat yakni keluarga. Nilai inilah yang diyakini oleh Suku Simalungun di dalam kehidupan. Seperti peribahasa

105

Simalungun yang mengatakan bahwa “Parlobei nadilat bibir ase marsahap” artinya

lebih dulu bibir dijilat sebelum berbicara (jangan asal berbicara).106

Keorisinilan budaya dan adat istiadat Suku Simalungun mulai mengalami perubahan dengan hadirnya suku pendatang yakni Suku Batak Toba. Banyaknya Suku Batak Toba yang datang ke wilayah ini mengakibatkan adanya percampuran budaya. Budaya yang lebih dikenal di Kecamatan Tanah Jawa adalah budaya Batak Toba bukan budaya Simalungun. Meskipun suku asli di wilayah ini adalah suku Simalungun, hal ini terjadi karena Suku Batak Toba merupakan masyarakat yang paling dominan dan sifat dari Suku Batak Toba dengan Suku Simalungun berbanding terbalik. Dimana sifat dari Suku Batak Toba ini dikenal dengan keagresifannya, egois, suara yang keras, tidak pendendam (jika tidak senang akan langsung diutarakan), haus akan tanah dan selalu ingin menjadi nomor satu (ingin monang) walaupun tidak didaerahnya sendiri, sedangkan Suku Simalungun dikenal dengan sifat yang tertutup. Melihat sifat dari suku pendatang (Batak Toba) secara tidak langsung menjadi tekanan terhadap Suku Simalungun sendiri, karena mereka seperti dijajah dirumahnya sendiri yang akhirnya banyak Suku Simalungun yang memilih pindah ke Simalungun Atas. Akan tetapi bagi Suku Simalungun yang memilih menetap tinggal di Kecamatan Tanah Jawa ini dan berbaur dengan suku pendatang sifatnya lebih aktif tetapi mudah tersinggung dibanding orang Batak Toba.107 Suku Simalungun menjadi suku minoritas di Kecamatan Tanah Jawa. Suku Simalungun

106

Juandaha Raya P. Dasuha, op.cit, hlm 22. 107

tidak dapat mempertahankan hak atas tanahnya sendiri. Tidak hanya dalam bidang budaya saja yang membuat Suku Simalungun seperti tersisih di daerahnya sendiri tetapi juga dalam bidang politik. Dimana dalam bidang politik, yang lebih banyak menguasai adalah suku pendatang begitu juga yang duduk di instansi pemerintahan. Dapat dikatakan kalau Suku Simalungun hanya tergolong sedikit dalam status sosial tersebut.

BAB V

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu desa ke desa lain atau dari desa ke kota. Batak Toba adalah salah satu sub-suku yang banyak melakukan migrasi ke berbagai daerah baik ke Sumatera, Jawa, Papua dan Sulawesi. Salah satu daerah tujuan dari perpindahan Suku Batak Toba adalah Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Kecamatan Tanah Jawa memiliki lahan yang luas dan kondisi tanah yang subur, serta penduduk dari wilayah ini tergolong sedikit. Kedatangan Suku Batak Toba ke Tanah Jawa Kabupaten Simalungun disebabkan oleh beberapa faktor, yakni dari pihak pemerintah kolonial belanda yang sengaja mendatangkan suku batak toba dari Tapanuli Utara untuk mengatasi persoalan pangan yang terjadi di wilayah Simalungun karena Batak Toba dikenal akan kegigihan, keterampilan dan kerja keras dalam bertani, dari pihak Missionaris yang berusaha mengabarkan Injil ke wilayah Simalungun baik dari orang eropa dan paling banyak dari Suku Batak Toba sendiri, dan yang terjadi hingga sekarang adalah faktor dari orang Batak Toba sendiri untuk mencari lapangan kerja baru mengingat tanah yang terdapat di daerah asal (Tapanuli Utara) kurang produktif dibandingkan dengan kesuburan tanah di wilayah Simalungun terutama dalam bercocok tanam.

Terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran ketika masuknya Simalungun dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dalam sistem nilai tradisional kebudayaan Batak Toba selalu mendambakan memiliki banyak keturunan (hagabeon), selain itu setiap keluarga ingin sejahtera dan kaya (hamoraon) serta memiliki wibawa sosial (hasangapon). Melihat kondisi alam di wilayah Tapanuli Utara dimana mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan keadaan tanahnya yang kurang subur maka tidak semua orang atau keluarga mampu meraih dua nilai terakhir ini karena tidak semua keluarga memiliki tanah yang luas. Solusi yang dilakukan adalah meninggalkan daerah asalnya dengan harapan akan sukses di daerah tujuannya.

Banyaknya Suku Batak Toba yang berpindah ke wilayah ini menjadikan mereka penduduk yang mayoritas. Datangnya Batak Toba ke wilayah ini membawa pengaruh bagi masyarakat sekitar. Dengan kedatangan mereka di daerah ini persoalan pangan bisa di atasi bahakan daerah ini sebagai salah satu daerah yang memiliki lumbung padi terbesar di Sumatera Utara selain Kecamatan Bandar. Pertanian semakin maju dan Suku Simalungun yang tadinya tidak mengetahui bagaimana mengolah lahan basah menjadi mengerti pengelolaannya dan tidak hanya lahan kering atau ladang saja yang dikerjakan. Tidak hanya dibagian pertanian saja yang mengalami kemajuan tetapi juga dalam bidang agama, pendidikan, dan politik serta di wilayah ini juga telah terjadi akulturasi budaya.

Dalam bidang keagamaan, Suku Simalungun mayoritas memeluk agama Kristen, namun tidak sedikit juga memeluk agama Islam. Sebagai masyarakat yang beragama, mereka sangat menghargai agama yang satu dengan yang lain dan tidak terdengar konflik pada masyarakat yang berbeda agama. Dalam bidang pendidikan di wilayah ini juga mengalami kemajuan, batak toba yang bermigrasi ke wilayah ini tidak hanya yang bekerja di sektor pertanian tetapi juga dalam sektor non-pertanian. Yang bekerja dalam sektor non-pertanian adalah mereka yang telah mendapatkan pendidikan di daerah asalnya. Misalnya yang bekerja sebagai Guru. Tenaga pengajar di wilayah ini adalah sebagian besar suku batak toba. Dalam bidang politik dan budaya yang lebih banyak dikenal adalah orang-orang Batak Toba.

Disamping itu, suku asli dari Kecamatan Tanah Jawa adalah Suku Simalungun, seharusnya bahasa yang sering digunakan adalah Bahasa Simalungun. Di daerah ini disebabkan lebih mayoritas Suku Batak Toba dibanding dengan Suku Asli (Simalungun) sehingga masyarakat lebih sering terdengar berbicara menggunakan nada yang tinggi dan bahasa yang digunakan dalam sehari-hari adalah Bahasa Batak Toba. Dan sangat disayangkan Suku Asli Simalungun menjadi suku minoritas dan mereka banyak memilih tinggal di Simalungun atas dibandingkan di Simalungun Bawah. Masyarakat yang tinggal di pusat Kecamatan ini adalah sebagian besar Suku Batak Toba, sedangkan masyarakat yang tinggal diwilayah perkebunan adalah Suku Jawa.

5.2Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan yang sudah disimpulkan diatas, maka peneliti berharap memberikan saran yaitu:

1. Diharapkan agar masyarakat yang bekerja terkhusus sebagai petani lebih bisa mengupayakan serta meningkatkan teknik pertanian yang bisa mendorong dan meningkatkan produksi tanaman.

2. Diharapkan agar pemerintah dan masyarakat yang tinggal di daerah Kecamatan Tanah Jawa saling menjaga dan memperbaiki irigasi agar petani bisa memproleh hasil panen dua kali dalam setahun dengan hasil yang maksimal.

3. Diharapkan interaksi antar suku yang tinggal diwilayah ini dan budaya yang telah diterapkan di daerah Kecamatan Tanah Jawa semakin terjaga dan tetap menghargai perbedaan yang ada baik dalam budaya, bahasa (logat berbicara) dan agama.

4. Diharapkan pendidikan diwilayah ini semakin dikembangkan dan fasilitas untuk menunjang pendidikan dipenuhi.

5. Diharapkan perekonomian diwilayah ini semakin ditingkatkan baik dalam berdagang, bertani dan industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

BAB II

Gambaran Umum Penelitian

2.1 Letak Geografis

Tanah Jawa terletak di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara pada 02º 55′ LU dan 99 º 05′ dengan luas wilayahnya mencapai 647.74 (tahun 1960) dan 491.75 (1992) yang berada pada 260 m di atas permukaan laut (dpl).14 Daerah kecamatan Tanah Jawa memiliki topografi perbukitan dengan konstur tanah yang bergelombang, yang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Siantar, sebelah selatan dengan Kabupaten Asahan/Tapanuli Utara, sebelah barat dengan Kecamatan Dolok Panribuan, sebelah timur dengan Kecamatan Hutabayu Raja. Wilayah topografi perbukitan merupakan sumber aliran sungai yang cukup potensial yang dimiliki Kecamatan Tanah Jawa untuk mengairi lahan petanian bahkan perkebunan rakyat.

Kecamatan Tanah Jawa terdiri dari 30 Nagori (desa)/kelurahan pada tahun 198315, sedangkan pada tahun 1992 terdapat 17 Desa/Kelurahan yang terdapat di

14

BPS Kabupaten Simalungun

15

Pada tahun 1983 kecamatan tanah jawa terdapat 30 desa yakni Bah Jambi I, Pagar Jambi, Mariah Jambi, Bah Jambi II, Totap Majawa, Marubun Jaya, Balimbingan, Baja Dolok, Maligas Tongah, Tangga Batu, Saribu Asih, Buntu Turunan, Jawa Tongah, Panombean Marjanji, Tonduhan, Bahalat Bayu, Tanjung Maraja, Jawa Maraja, Bosar Bayu, Maligas Bayu, Dolok Sinumbah, Raja Maligas, Hutabayu, Silakkidir, Mariah Hombang, Pulo Bayu, Bosar Galugur, Muara Mulia, Pem. Tanah Jawa, Tanjung Pasir. (sumber, Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 1983 : Kantor Statistik Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, hlm. 27.)

Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) adalah Desa Bah Jambi II, Desa Tangga Batu, Desa Buntu Turunan, Desa Baja Dolok, Desa Saribu Asih, Desa Balimbingan, Desa Tonduhan, Desa Bosar Galugur, Desa Maligas Tongah, Desa Marubun Jaya, Desa Panombean Marjanji, Desa Pagar Jambi, Desa Totap Majaya, Kelurahan Pematang Tanah Jawa, Desa Tanjung Pasir, Desa Jawa Tongah, dan Desa Muara Mulia. Tanah Jawa berjarak ± 50 Km dari kantor Bupati Simalungun dengan waktu tempuh ± 1 jam, sedangkan dengan kotamadya Pematang Siantar hanya berjarak ± 21 Km dengan waktu tempuh ± 30 menit. Jaringan jalan pada umumnya lurus-lurus dan sudah ada yang di aspal, diperkeras, jalan tanah dan jalan setapak. Lebar jalan utama sekitar 4-5 m, sedangkan jalan-jalan cabang hanya sekitar 3 m. Untuk menuju ibukota kabupaten sendiri dan beberapa kabupaten lainnya masyarakat kecamatan tanah jawa melalui Kotamadya Pematang Siantar. Awal jaringan jalan di Kecamatan Tanah Jawa adalah Pematang Siantar - Pematang Tanah Jawa - Pasir Mandoge. Jalan ini juga membuka daerah simanuk-manuk yang sulit dicapai dan menjadi bagian dari sambungan jalan ke Kuta Cane (Tanah Alas), Kaban Jahe (Tanah Karo), Pematang Siantar, Asahan Hulu, Bila, Pane Rokan, dan Pekan Baru. Adanya lalu-lintas yang padat, pasar yang ramai, perkebunan dan juga irigasi yang terdapat di wilayah Tanah Jawa sanagat berpengaruh pada perkembangan daerah ini ditambah dengan pengangkutan hasil bumi dan perdagangan berkembang dengan baik.16

(I-2.2 Sistem Kemasyarakatan

Kecamatan Tanah Jawa adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Simalungun. Suku asli dari kecamatan ini adalah suku Simalungun. Kecamatan Tanah Jawa dulunya adalah kerajaan tradisional yang dikenal dengan kerajaan Tanah Jawa, termasuk kerajaan yang termasyur di zamannya hingga berita ini sampai kepada pemerintah kolonial Belanda di Tanah Batak (Tapanuli Utara). Menurut J Tideman17 mengenai asal-usul keturunan Raja Tanah Jawa, di Urat (Samosir) pada masa lalu hidup Nai Heong (Nadi Hoyong) yang memiliki tiga putera (si Mula Raja dan kedua saudaranya). Mereka pergi ke simalungun dan berhenti di danau Toba dan mendarat di Sipolha, kemudian mereka terus ke timur melalui darat. Bertemu dengan seorang Minangkabau yang mengumpulkan getah pohon Jorlang untuk dijual sehingga dikenal dengan Jorlang Hataran. Saudara tertua tinggal disini yang menjadi leluhur Tuan Jorlang Hataran, sedangkan Si Muha Raja, dia tidak memerintah di wilayah ini, karena dia memutuskan untuk meninggalkan Jorlang Hataran dan pergi bersama pengumpul rotan Minangkabau. Dia berkelana juga ke Jawa. Dari pulau ini Si Muha Raja membawa serta tanah dan air, dengan tujuan setelah kembali ke Sumatera dia akan di mengusir saudaranya dari Jorlang Hataran. Di Tanjung Bale, si Muha Raja meninggalkan temannya dan pergi ke barat menuju daerah Tanah Jawa.

Gambaran Geografi), www.simeloengoen.com, 24 November 2015.

17

Si Muha Raja dihadapkan kepada Raja Sitanggang dan bertanya dari mana ia tiba. Dia menjawab dia adalah orang asing dan tersesat dalam hutan. Raja Sitanggang mengajaknya untuk mencari bagot (tuak) di hutan. Pada suatu hari Si Muha Raja melihat Tupai yang memanjat aren dan berhasil menangkapnya, dia mendekat

ternyata hewan ini berbicara dengan suara manusia “tor gotok, tor gotok, ada bambu

besar yang melengkung, yang ditarik ke atas dan ditekan kebawah dan terikat”.

Karena hewan ini meminum semua tuaknya menjelang sore dia kembali tanpa membawa minuman kepada Raja yang akan dipersembahkan kepada Raja.18 Raja Sitanggang sangat marah dengan hal ini dan menduga dia berbohong. Saat itu Raja Sitanggang bersumpah apabila benar ada Tupai yang berbicara, Si Muha Raja akan diangkat menjadi Raja Tanah Jawa, tetapi bila dia berbohong dia akan dibunuh. Raja Sitanggang kemudian mengirim seorang hulubalang kepercayaan yang menegaskan kata-kata Si Muha Raja, tetapi masih tetap belum percaya. Setelah itu dia mengirimkan permaisurinya (Puang Bolon) tetapi dengan hasil yang sama sampai Raja Sitanggang akhirnya pergi dan tidak lagi membantah kebenaran itu. Sebelumnya Sitanggang mengikatkan sebuah ranting sehingga tampak seperti ular lalu berkata apabila itu bukan ular maka Si Muha Raja akan terbunuh, tetapi apabila memang ular maka dia akan menjadi Raja. Dia menyuruh menebang sebuag cabang membuat kain itu jatuh tetapi berubah menjadi ular, ini disebut dengan ulok sawah. Si Muha Raja

mengingatkan pada janji Sitanggang dengan berkata “Tanah dimana saya berdiri

18

adalah Tanah Jawa dan Airnya adalah Air Jawa”. Sitanggang terlalu kuat dan dia

mengajaknya berkelahi, dia terbunuh. Si Muha Raja menjadi Raja di daerah itu yang disebut Tanah Jawa. Desas-desus bahwa Si Muha Raja menjadi raja Tanah Jawa beredar di Dolok Panribuan dimana saudaranya menjadi raja disana. Tuan Dolok Panribuan menyampaikan laporan itu kepada raja Hatahunan, leluhur Tuan Girsang dan Simpangan Bolon agar mereka membawa kerbau ke Tanah Jawa untuk dipotong di sana sebagai saksi raja baru.

Tuan Dolok Panribuan memiliki lopo di rumah penguasa otonom dan harus ada kursi baginya. Tuan Jorlang Hataran hanya memiliki sebuah rumah yang terpisah di Pematang Tanah Jawa, seperti para kepala Girsang dan Sipangan Bolon. Lopo ini disebut dengan lopo ujung, rumah para kepala Girang dan Sipangan Bolon disebut Bale Siporling.19 Akan tetapi kini tidak ada lagi.

Pada abad-20 daerah simalungun memasuki era baru, dengan kedatangan kolonial Belanda ke wilayah Simalungun yang bertujuan untuk memenuhi kepentingannya, serta adanya perubahan yang terjadi, disamping itu juga Zending (Penyebaran Injil) ikut memperluas misinya demi menghempang masuknya pengaruh Islam yang semakin meluas di kalangan suku Simalungun. Para missionaris dari eropa yang telah terlebih dahulu bekerja di wilayah Tapanuli berusaha juga untuk menyebarkan Injil ke wilayah Simalungun dengan dengan memanfaatkan tenaga putera daerah Tapanuli (sebagai penyeimbang populasi dan malahan melampaui

19

populasi penduduk asli). Disamping itu faktor kedatangan suku Batak Toba ke Simalungun juga berasal dari dirinya sendiri. Dengan potensi tanah yang subur di wilayah ini menarik perhatian Batak Toba dan untuk mencari lapangan kerja baru karena faktor keterbatasan lahan produktif di wilayah toba, adanya perkawinan antara masyarakat yang tinggal di Tapanuli Utara dengan yang ada di Kecamatan Tanah Jawa serta adanya penempatan PNS di Tanah Jawa.

Suku pendatang dari Tapanuli Utara sebagian besar bekerja sebagai petani20, namun ada juga yang bekerja di instansi pemerintah (bagi mereka yang telah mendapatkan pendidikan). Suku Batak Toba yang datang tidak hanya bertani tetapi mereka juga melakukan perluasan budaya dan agama yang telah didapatkannya dari daerah asal yang telah diberitakan para zending dari Eropa (I.L. Nomensen missioner dari Jerman). Suku Batak Toba memiliki Filosofi yang sudah diterapkan bertahun-tahun yakni berpedoman pada Dalihan Natolu dan mewujudkan misi budaya batak yang sering disebut dalam 3H (hagabeon, hasangapon, hamoraon). Pedoman dalam Dalihan Natolu adalah somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Somba marhula-hula, hula-hula adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang selalu disebut Tulang oleh anak dan yang harus selalu di hormati (pihak yang dirajakan). Manat mardongan tubu, dongan tubu adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Elek marboru, boru adalah saudara

20

Bertani adalah pekerjaan utama yang dilakukan masyarakat Batak Toba di daerah asal dan mereka sangat terampil. Sehingga banyak yang memilih bertani dibanding bekerja di dalam perkebunan. Terlebih lagi masih banyaknya lahan yang kosong.

perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat (pasu-pasu), istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan dan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam satu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru. Pedoman filsafat inilah yang dibawa masyarakat Batak Toba dimanapun mereka tinggal. Banyaknya Suku Batak Toba yang datang ke wilayah Kecamatan Tanah Jawa menyebabkan adanya percampuran budaya. Percampuran budaya ini terjadi karena ada perkawinan antara suku yang satu dengan suku yang lain (misalnya Suku Batak Toba dan Batak Simalungun, Batak Toba dan Batak Karo dan Batak Simalungun dan Batak Karo). Budaya batak toba yang lebih dikenal di Tanah Jawa dan penggunaan bahasa batak toba sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada suku ini. Sedangkan Batak Karo yang bermigrasi ke wilayah ini juga melakukan pesta rakyat agar tidak lupa akan adat istiadat mereka yang dibawa dari daerah asal yakni pesta rakyat etnis Goro-Goro Aron Mburo Ate Tedeh Merga Silima dengan berbagai pertunjukan diantaranya tarian Roti Manis dan Piso Surit. 21 Pesta rakyat ini memiliki makna dan mencerminkan kebersamaan bagi etnis batak karo ditengah masyarakat yang ada di Kecamatan Tanah Jawa. Pesta ini yang selalu dilakukan di Pasar Baru Jalan Mandoge Kampung Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.

2.3 Penduduk

Asal usul masyarakat Kecamatan Tanah Jawa merupakan kebanyakan dari suku pendatang dari Pulau Jawa dan Suku Batak Toba yang merantau ke daerah Simalungun. Suku Jawa sendiri datang dengan program pemerintah kolonial yang banyak memperkerjakan mereka di perkebunan-perkebunan yang terdapat di Simalungun. Sedangkan kedatangan Suku Batak Toba ke wilayah ini awalnya disebabkan 3 faktor yakni dari pihak pemerintah kolonial Belanda sendiri, pihak missionaris dan dengan keinginan merantau atau sering disebut transmigrasi mandiri untuk lebih meningkatkan taraf hidup karena lahan pertanian yang semakin sempit dan kesuburan tanah yang menurun. Sektor pertanian mendominasi sumber pendapatan daerah dibandingkan dengan sektor lain. Oleh sebab itu masalah pertanian menjadi suatu faktor strategis yang penting mendapat perhatian dari penulisan skripsi ini.

Banyaknya masyarakat yang datang ke wilayah ini menyebabkan daerah Simalungun Bawah seperti Tanah Jawa bisa dikatakan berubah menjadi kediaman orang Toba, sedangkan Dataran Tinggi (Simalungun Atas) kediaman orang Simalungun.22 Akibatnya peningkatan dalam jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian maupun non pertanian. Pada tahun 1962 jumlah penduduk di kecamatan Tanah Jawa adalah 95.576 jiwa, penduduk mengalami peningkatan pada

22

Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin Lukito Sinaga, TOLE! DEN TIMORLANDEN DAS EVANGELLIUM : Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003, P. Siantar : Kolportase GKPS, 2003, hlm 82.

tahun 1977 sebanyak 116.843 jiwa23 hal ini terjadi dikarenakan banyaknya migrasi yang datang untuk mencari lahan yang cocok untuk diusahakan dan ada yang datang dengan ikut saudara dan terutama adalah faktor ekonomi, tidak jauh berbeda dengan tahun 1977 pada tahun 1983 juga mengalami peningkatan penduduk, dimana penduduk tahun 1983 adalah 120.845 orang dan jumlah rumah tangganya mencapai 22.434 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 187 orang/ (lihat tabel 2.1). Pada tahun 1983 data kependudukan terdapat dua kelurahan atau nagori yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih besar dibandingkan Desa/nagori lainnya, yaitu: Desa Bah Jambi I dan Desa Maligas bayu. Hal ini didukung oleh letak wilayah yang dekat dengan pusat perkebunan dan pasar/perdagangan, serta jarak tempuh ke kantor pemerintahan kecamatan. Mayoritas penduduknya juga banyak melakukan kegiatan harian sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, jasa transportasi, guru, dan juga buruh bangunan/buruh tani/buruh perkebunan.

Tabel 2.1 : Jumlah Penduduk Warga di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun pada tahun 1983.

No. Nagori/Kelurahan Jumlah Penduduk L + P

Laki Perempuan 1. Bah Jambi I 3708 3793 7501 2 Pagar Jambi 800 748 1548 3. Bah Jambi II 2194 2228 4422 23

Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun, Medan, 1980/1981, hlm 251.

4. Mariah Jambi 2321 2224 4545 5. Totap Majawa 2133 2332 4465 6. Marubun Jaya 3044 2576 5620 7. Balimbingan 2971 2987 5958 8. Baja Dolok 1950 1693 3643 9. Maligas Tongah 2178 2261 4439 10. Tangga Batu 2094 2151 4245 11. Seribu Asih 1421 1548 2969 12. Buntu Turunan 1829 1854 3683 13. Jawa Tongah 1517 1623 3140 14. Panombean Marjanji 1563 1626 3189 15. Tonduhan 1442 1474 2916 16. Bahalat Bayu 1641 1900 3541 17. Tanjung Maraja 995 1218 2213 18. Jawa Maraja 1234 1246 2480 19. Bosar Bayu 1527 1549 3076

Dokumen terkait