• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Gambaran Umum Kecamatan Tanah Jawa 1960-1992

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Kecamatan Tanah Jawa adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Simalungun. Suku asli dari kecamatan ini adalah suku Simalungun. Kecamatan Tanah Jawa dulunya adalah kerajaan tradisional yang dikenal dengan kerajaan Tanah Jawa, termasuk kerajaan yang termasyur di zamannya hingga berita ini sampai kepada pemerintah kolonial Belanda di Tanah Batak (Tapanuli Utara). Menurut J Tideman17 mengenai asal-usul keturunan Raja Tanah Jawa, di Urat (Samosir) pada masa lalu hidup Nai Heong (Nadi Hoyong) yang memiliki tiga putera (si Mula Raja dan kedua saudaranya). Mereka pergi ke simalungun dan berhenti di danau Toba dan mendarat di Sipolha, kemudian mereka terus ke timur melalui darat. Bertemu dengan seorang Minangkabau yang mengumpulkan getah pohon Jorlang untuk dijual sehingga dikenal dengan Jorlang Hataran. Saudara tertua tinggal disini yang menjadi leluhur Tuan Jorlang Hataran, sedangkan Si Muha Raja, dia tidak memerintah di wilayah ini, karena dia memutuskan untuk meninggalkan Jorlang Hataran dan pergi bersama pengumpul rotan Minangkabau. Dia berkelana juga ke Jawa. Dari pulau ini Si Muha Raja membawa serta tanah dan air, dengan tujuan setelah kembali ke Sumatera dia akan di mengusir saudaranya dari Jorlang Hataran. Di Tanjung Bale, si Muha Raja meninggalkan temannya dan pergi ke barat menuju daerah Tanah Jawa.

Gambaran Geografi), www.simeloengoen.com, 24 November 2015.

17

Si Muha Raja dihadapkan kepada Raja Sitanggang dan bertanya dari mana ia tiba. Dia menjawab dia adalah orang asing dan tersesat dalam hutan. Raja Sitanggang mengajaknya untuk mencari bagot (tuak) di hutan. Pada suatu hari Si Muha Raja melihat Tupai yang memanjat aren dan berhasil menangkapnya, dia mendekat

ternyata hewan ini berbicara dengan suara manusia “tor gotok, tor gotok, ada bambu

besar yang melengkung, yang ditarik ke atas dan ditekan kebawah dan terikat”.

Karena hewan ini meminum semua tuaknya menjelang sore dia kembali tanpa membawa minuman kepada Raja yang akan dipersembahkan kepada Raja.18 Raja Sitanggang sangat marah dengan hal ini dan menduga dia berbohong. Saat itu Raja Sitanggang bersumpah apabila benar ada Tupai yang berbicara, Si Muha Raja akan diangkat menjadi Raja Tanah Jawa, tetapi bila dia berbohong dia akan dibunuh. Raja Sitanggang kemudian mengirim seorang hulubalang kepercayaan yang menegaskan kata-kata Si Muha Raja, tetapi masih tetap belum percaya. Setelah itu dia mengirimkan permaisurinya (Puang Bolon) tetapi dengan hasil yang sama sampai Raja Sitanggang akhirnya pergi dan tidak lagi membantah kebenaran itu. Sebelumnya Sitanggang mengikatkan sebuah ranting sehingga tampak seperti ular lalu berkata apabila itu bukan ular maka Si Muha Raja akan terbunuh, tetapi apabila memang ular maka dia akan menjadi Raja. Dia menyuruh menebang sebuag cabang membuat kain itu jatuh tetapi berubah menjadi ular, ini disebut dengan ulok sawah. Si Muha Raja

mengingatkan pada janji Sitanggang dengan berkata “Tanah dimana saya berdiri

18

adalah Tanah Jawa dan Airnya adalah Air Jawa”. Sitanggang terlalu kuat dan dia

mengajaknya berkelahi, dia terbunuh. Si Muha Raja menjadi Raja di daerah itu yang disebut Tanah Jawa. Desas-desus bahwa Si Muha Raja menjadi raja Tanah Jawa beredar di Dolok Panribuan dimana saudaranya menjadi raja disana. Tuan Dolok Panribuan menyampaikan laporan itu kepada raja Hatahunan, leluhur Tuan Girsang dan Simpangan Bolon agar mereka membawa kerbau ke Tanah Jawa untuk dipotong di sana sebagai saksi raja baru.

Tuan Dolok Panribuan memiliki lopo di rumah penguasa otonom dan harus ada kursi baginya. Tuan Jorlang Hataran hanya memiliki sebuah rumah yang terpisah di Pematang Tanah Jawa, seperti para kepala Girsang dan Sipangan Bolon. Lopo ini disebut dengan lopo ujung, rumah para kepala Girang dan Sipangan Bolon disebut Bale Siporling.19 Akan tetapi kini tidak ada lagi.

Pada abad-20 daerah simalungun memasuki era baru, dengan kedatangan kolonial Belanda ke wilayah Simalungun yang bertujuan untuk memenuhi kepentingannya, serta adanya perubahan yang terjadi, disamping itu juga Zending (Penyebaran Injil) ikut memperluas misinya demi menghempang masuknya pengaruh Islam yang semakin meluas di kalangan suku Simalungun. Para missionaris dari eropa yang telah terlebih dahulu bekerja di wilayah Tapanuli berusaha juga untuk menyebarkan Injil ke wilayah Simalungun dengan dengan memanfaatkan tenaga putera daerah Tapanuli (sebagai penyeimbang populasi dan malahan melampaui

19

populasi penduduk asli). Disamping itu faktor kedatangan suku Batak Toba ke Simalungun juga berasal dari dirinya sendiri. Dengan potensi tanah yang subur di wilayah ini menarik perhatian Batak Toba dan untuk mencari lapangan kerja baru karena faktor keterbatasan lahan produktif di wilayah toba, adanya perkawinan antara masyarakat yang tinggal di Tapanuli Utara dengan yang ada di Kecamatan Tanah Jawa serta adanya penempatan PNS di Tanah Jawa.

Suku pendatang dari Tapanuli Utara sebagian besar bekerja sebagai petani20, namun ada juga yang bekerja di instansi pemerintah (bagi mereka yang telah mendapatkan pendidikan). Suku Batak Toba yang datang tidak hanya bertani tetapi mereka juga melakukan perluasan budaya dan agama yang telah didapatkannya dari daerah asal yang telah diberitakan para zending dari Eropa (I.L. Nomensen missioner dari Jerman). Suku Batak Toba memiliki Filosofi yang sudah diterapkan bertahun-tahun yakni berpedoman pada Dalihan Natolu dan mewujudkan misi budaya batak yang sering disebut dalam 3H (hagabeon, hasangapon, hamoraon). Pedoman dalam Dalihan Natolu adalah somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Somba marhula-hula, hula-hula adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang selalu disebut Tulang oleh anak dan yang harus selalu di hormati (pihak yang dirajakan). Manat mardongan tubu, dongan tubu adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Elek marboru, boru adalah saudara

20

Bertani adalah pekerjaan utama yang dilakukan masyarakat Batak Toba di daerah asal dan mereka sangat terampil. Sehingga banyak yang memilih bertani dibanding bekerja di dalam perkebunan. Terlebih lagi masih banyaknya lahan yang kosong.

perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat (pasu-pasu), istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan dan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam satu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru. Pedoman filsafat inilah yang dibawa masyarakat Batak Toba dimanapun mereka tinggal. Banyaknya Suku Batak Toba yang datang ke wilayah Kecamatan Tanah Jawa menyebabkan adanya percampuran budaya. Percampuran budaya ini terjadi karena ada perkawinan antara suku yang satu dengan suku yang lain (misalnya Suku Batak Toba dan Batak Simalungun, Batak Toba dan Batak Karo dan Batak Simalungun dan Batak Karo). Budaya batak toba yang lebih dikenal di Tanah Jawa dan penggunaan bahasa batak toba sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada suku ini. Sedangkan Batak Karo yang bermigrasi ke wilayah ini juga melakukan pesta rakyat agar tidak lupa akan adat istiadat mereka yang dibawa dari daerah asal yakni pesta rakyat etnis Goro-Goro Aron Mburo Ate Tedeh Merga Silima dengan berbagai pertunjukan diantaranya tarian Roti Manis dan Piso Surit. 21 Pesta rakyat ini memiliki makna dan mencerminkan kebersamaan bagi etnis batak karo ditengah masyarakat yang ada di Kecamatan Tanah Jawa. Pesta ini yang selalu dilakukan di Pasar Baru Jalan Mandoge Kampung Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.

Dokumen terkait