DAFTAR INFORMAN
7. Nama : Karni Manurung
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Petani Alamat : Tanah Jawa
8. Nama : Rojakat Sitompul
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Petani Alamat : Pahae
9. Nama : Andi Samosir
Umur : 55 Tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Tanah Jawa
10.Nama : Marulak Sitinjak
Umur : 56 Tahun
(Sumber : Perpustakaan Tengku Lukhman Sinar)
(Padi yang berusia 1bulan sesudah ditanam dan pengairan untuk dialiri ke tiap petak sawah)
(Petani perempuan yang sedang menanam padi di salah satu pemilik petak sawah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa)
DAFTAR PUSTAKA
ANRI, Simeloengoen 1933.
BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka 1983.
BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 1985.
BPS Kabupaten Simalungun, Kecamatan Tanah Jawa Dalam Angka 1992.
Chatib, Nazief, dkk, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Medan : Proyek Penelitian
Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1976/1977, 31 Desember 1976.
Damanik, Jahutar, Raja SangNaualuh, Medan : Medio, 1981.
Edisaputra, Simalungun Jogjanya Sumatera, Medan : Up. Bina Satria 45, 1978.
Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980.
Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, jakarta : Djambatan,
1997.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,
1987.
Madya Alip Bin Rahim dan Beny Octofryana Yousca Marpaung, Kampung Etnik
Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya,
Moerdiono, (at all), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1997.
Naim, Mochtar, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2013.
Proyek pengembangan Permuseuman Sumatera Utara Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten
Simalungun, Medan, 1980/1981.
Purba, Elvis F dan O.H.S. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) : sebab,
motif dan akibat perpindahan penduduk dari dataran tinggi toba, Medan :
Monora, 1997.
Purba, M,D, Adat Perkawinan Simalungun, Medan : M.D. Purba, 1985.
Purba, M.D, Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun, Medan : M.D Purba, 1986.
Purba, Rudolf,(at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan
Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite
Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011.
Rahmanta, Ekonomi Pertanian, Medan : USU Press, 2014.
Reid, Anthony J.S, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1996.
Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige : Karl Sianipar Company, 1977.
Silitonga, Chrisman,(at all), Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994,
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Pemikiran Tentang Batak : Setelah 150 Tahun
Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2011.
Simanjuntak Bungaran Antonius, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta
: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Sinaga, Martin Lukito, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil,
Yogyakarta : PT Lkis Pelangi Aksara, 2004.
Sinaga, Martin Lukito dan Juandaha Raya P. Dasuha, TOLE! DEN TIMORLANDEN
DAS EVANGELLIUM : Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di
Simalungun 2 September 1903-2003, P. Siantar : Kolportase GKPS, 2003.
Skripsi Andri Ersada Tarigan, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: Peranannya
Dalam Pelestarian Budaya Simalungun Dan Penyebaran Agama Kristen
(1928-1942).
Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX ,
Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004.
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk
Indonesia, Mei 2001.
Tideman, J, Simalungun, Pematangsiantar : Media Group, 2012.
Sumber Internet :
Girsangvision.blogspot.com “J Tideman, Simeloengoen : Het Land Der Timoer
BAB III
Latar Belakang Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa
Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara 1960-1992
3.1 Migrasi
Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam migrasi terdapat unsur-unsur pokok, yakni meninggalkan kampung halaman,
dengan kemauan sendiri, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau
mencari pengalaman, serta merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.44
Penduduk sebagai pelaku terhadap peristiwa migrasi dalam hal ini adalah Suku Batak
Toba. Perpindahan dilakukan dalam mencari lahan untuk padi-sawah yang dekat
dengan jalur irigasi yang telah dibangun pemerintah Belanda secara meluas di tanah
Simalungun (Tanah Jawa, Siantar dan Pane). Pada tahun 1903-1904 orang toba
masuk ke Simalungun lewat Tiga Ras.45 Antara tahun 1960-1966 hampir 250.000
orang toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya.
Suku Batak Toba disebut juga masyarakat agraris, dalam masyarakat agraris
tanah merupakan faktor produksi yang penting. Suku Batak Toba atau masyarakat
agraris sering pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, terkhusus ke daerah yang
44
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 3.
45
jarang penduduknya serta memiliki lahan kosong yang luas dan tidak sedikit juga ke
daerah yang ramai penduduknya yang tentu saja daerah yang dituju memiliki nilai
lebih. Perpindahan yang di lakukan oleh Suku Batak Toba tergolong sukses, hal ini
dapat di lihat dari perubahan yang terjadi di daerah Kecamatan Tanah Jawa. Misalnya
dalam bidang pertanian di daerah ini yang semakin jauh membaik dibandingkan
dengan sebelum kedatangan Suku Batak Toba.46 Proses perpindahan yang dilakukan
pada saat itu tidaklah semudah yang kita bayangkan seperti sekarang ini, serta adanya
beberapa faktor yang memaksakan itu harus terjadi, mendorong dan mempercepat
perpindahan mereka ke daerah lain baik faktor pendorong dan penarik baik dari
daerah asal maupun daerah yang dituju. Dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan perpindahan itu terjadi, yakni :
1. Faktor pendorong dari daerah asal
a. Faktor Geografis
Letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakatnya yang tinggal di daerah itu, sama halnya dengan masyarakat orang
Batak Toba yang secara geografis mempengaruhi kehidupan orang Batak Toba
dengan segala sistem kehidupannya. Dilihat secara geografis Kabupaten Tapanuli
Utara terletak pada 1˚-20¹- 2º4¹LU dan 98º 10¹ -99º 35¹ BT47 dengan luas daerah
46
Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa, pertanian padi masih jauh tertinggal dan yang di usahakan lebih dominan adalah jagung. Pertanian jagung juga kurang bagus dan hasilnya tidak memuaskan. Namun setelah kedatangan batak toba banyak yang beralih dari pertanian jagung ke pertanian padi. (wawancara dengan Bapak Edison Simanjuntak)
47
11.625,41 Km². Daerah asal (Tapanuli Utara) sebagian besar daerahnya berupa
dataran tinggi dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung
jajaran Bukit Barisan yang berada pada 300-1500 m diatas permukaan laut (dpl),
serta topografi48 bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol
sampai dengan di atas 40% yang permukaan tanah banyak bergunung dan
berlembah-lembah yang menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan
usaha pertanian dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana
pengairan.49 Unsur ketinggian dan kemiringan lahan turut menentukan budidaya
tanaman. Dengan posisi letak berada di punggung jajaran Bukit Barisan, Tapanuli
Utara kurang beruntung karena merupakan hulu sungai-sungai yang bermuara ke
Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera Utara serta Danau Toba. Secara lambat
laun terjadi pengikisan lapisan dan humus tanah sehingga daerah ini relatif kurang
subur, yang menyebabkan dampak negatif terhadap pertanian yang pada
gilirannya mendorong penduduk, terutama para petani pindah dan menyebar ke
berbagai daerah. Walaupun pada awalnya keterbatasan sektor pertanian dan
kesulitan ekonomi sebagai faktor pendorong, namun kesuksesan yang ingin
dicapai ditentukan oleh hal yang lebih kompleks yaitu nilai-nilai tradisional yang
dianut oleh orang Batak Toba. Perpindahan orang Batak Toba ke daerah lain
dikenal dengan nama “Marserak” (menyebar).
48
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk didalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.
49
Selain topografi dan kesuburan lahan yang kurang mendukung pertanian,
pengaruh iklim50 juga turut menentukan berhasil tidaknya panen. Musim yang
tidak menentu, seperti di daerah Humbang dan Samosir mengakibatkan
penderitaan petani karena padi atau tanaman palawija lainnya menjadi layu dan
akhirnya mati. Kesulitan di bidang pertanian terus berlangsung. Hutan semakin
gundul dan sumber air pun semakin berkurang. Kesulitan air semakin terasa sejak
Belanda melakukan pembalakan hutan, sehingga sumber air untuk persawahan
sangat kurang. Akibatnya banyak persawahan yang berubah menjadi perladangan.
Tahun 1961 misalnya Samosir mengalami goncangan hebat, hampir 1
tahun terjadi musim kemarau yang memaksa masyarakat mengalihkan tanaman
padi menjadi kacang dan bawang.51 Pada waktu itu bahaya kelaparan mulai
mengancam jiwa penduduk sehingga ke luar daerah secara spontan dan meminta
untuk dipindahkan. Situasi kehidupan sangat menyedihkan, akibatnya banyak
penduduk dari Samosir bekerja diluar daerahnya sebagai tenaga kerja musiman.
Banyak suami yang meninggalkan isteri dan anak-anaknya didesa untuk
berdagang keliling (marjajo), tetapi banyak juga yang pindah dengan tujuan
mencari lahan pertanian. Daerah migrasi yang dituju biasanya daerah persawahan
yang lebih baik dan subur seperti daerah Dairi dan Simalungun.
50
Pengertian iklim adalah suatu keadaan rata-rata cuaca di suatu wilayah dalam jangka waktu yang relatif cukup lama.
51
b. Faktor Sosial dan Demografi
Dalam kehidupan keseharian masyarakat Batak Toba, memiliki prinsip
yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah lulu anak lulu tano yang berarti
suka akan anak suka akan tanah (semakin banyak anak/keturunan maka akan
dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka). Bagi
masyarakat Batak Toba, tanah sangat memegang peranan penting karena
norma-norma ditujukan kepada sistem pertanahan, seperti halnya dalam adat, dalihan
na tolu52 dan harajaon53.
Tujuan budaya Batak Toba adalah untuk mewujudkan 3H yakni
Hasangapon, Hagabeon dan Hamoraon. Setiap orang mendambakan banyak
anak, tanah untuk pertanian dan ternak. Akan tetapi, tanah yang tandus dan iklim
yang kurang baik menyebabkan penentuan dari jenis tanaman dan hasil panen
yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin
bertambah. Kemungkinan pembukaan areal pertanian terutama persawahan baru
di daerah sendiri semakin berkurang dan muncullah para petani-petani yang haus
akan lahan yang subur dan luas. Keterbatasan di daerah sendiri menyebabkan
52
Dalihan natolu berfungsi dalam mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
53
mereka keluar dari Tapanuli Utara. Sebagian dari petani pindah ke daerah lain
seperti ke daerah Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.54 Jarak dan kebiasaan di
daerah asal turut menentukan pilihan ke daerah mana akan pindah. Penduduk
yang pindah dari Toba Holbung, Silindung dan Samosir tidak sedikit memilih ke
daerah Tanah Jawa untuk meneruskan pola pertanian sawah dari kampung
halamannya dan sebagian besar memilih menetap dan tinggal di daerah pertanian.
Migrasi yang terjadi ternyata banyak kaum muda bukan hanya kaum tua saja,
khususnya bagi kaum tani, keterbatasan lahan pertanian akibat faktor fisik
Geografis, iklim, ekologi dan tanah-tanah adat tidak menutup kemungkinan
bahwa bagi anak sulung (siahaan) dan anak bungsu (Siampudan) untuk
meninggalkan kampung halamannya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa
tanah sangat memegang peranan penting dalam adat Batak Toba, sebagai sumber
mencari penghidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi
anggota keluarga dan keturunan yang akan datang serta untuk menggapai
ke-kepalaan, sebagaimana terkandung dalam ungkapan lulu anak lulu tano. Setiap
keluarga muda yang sudah mandiri (manjae) secara tidak langsung didorong
untuk membangun kampung-kampung baru. Pemberian sebidang tanah kepada
anak yang telah bekeluarga dalam bentuk tanah (panjaean), menyebabkan
semakin banyak rumah tangga petani yang memiliki dan menguasai lahan yang
sempit. Melihat sifat dasar orang Batak yang rindu berkawan (sihol mardongan),
54
memperbesar arus perpindahan dari satu kampung mengikuti teman sekampung
yang pindah terlebih dulu ke daerah lain. Teman atau saudara yang sudah pindah
akan memberi kabar kekampung halaman, hal ini menyebabkan penduduk yang
berada dikampung halaman ikut melakukan perpindahan karena lahan yang lebih
subur didaerah lain dan keinginan dapat lebih maju seperti temannya.55
c. Faktor Budaya
Faktor budaya juga dapat dianggap sebagai faktor dalam
bermigrasi/berpindah. Seperti dalam misi atau konsep budaya Suku Batak Toba
yaitu 3h “hasangapon (kedudukan sosial), hamoraon (keberhasilan dalam aspek
materi dan pengetahuan) dan hagabeon (kebahagiaan, kesejahteraan dan
memiliki banyak keturunan)”. Disamping dari konsep 3H ini yang paling utama
adalah kerendahan hati (haserepon) akan tetapi hal ini sangat jarang diutarakan
sebagai salah satu ukuran keberhasilan di masyarakat Batak Toba. Dalam konsep
hamoran seseorang dianggap kaya adalah jika mampu memberi kepada orang
lain, karena dengan kemampuannya untuk memberi maka dia adalah seorang
kaya berarti ada yang lebih dia berikan kepada orang lain. Ukuran kehormatan
(hasangapon) juga tidak selalu sejalan dengan posisi/jabatan seseorang di dalam
masyarakat. Kehormatan seseorang adalah hasil dari perjalanan panjang yang
dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sebagai dari
sistem nilai yang ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Kalau seseorang memiliki
55
haserepon, tentu kehormatan ini akan dicapai. Banyak contoh yang menunjukkan
orang-orang yang dihormati dalam lingkungannya walaupun jabatan/posisinya
tidak tinggi, sebaliknya banyak juga orang-orang yang sudah memiliki
kedudukan/posisi yang cukup terhormat, tetapi tidak dihormati didalam
lingkungannya. Demikian juga dengan ukuran hagabeon, banyaknya keturunan
adalah salah satu cara untuk mencapai 2 keberhasilan di atas yaitu hamoraon dan
hasangapon. Juga dengan adanya keturunan, diharapkan nama seseorang akan
diabadikan melalui keturunan-keturunannya. Akan tetapi melihat kondisi dan
keterbatasan lahan pertanian dan adat yang melingkupinya (hagabeon
banyaknya keturunan) menyebabkan pertambahan penduduk yang menjadi
tekanan terhadap lahan pertanian dan sekaligus terjadinya kemiskinan pada
masyarakat. Rumah penduduk masih sederhana, kesehatan tidak terjamin dan
tidak sedikit penduduk yang memakan ubi sebagai makanan utama. Seyogianya
setiap orang tidak ingin hidup dalam kemiskinan, mereka akan selalu berupaya
untuk meraih kekayaan materi dan ingin dihormati seperti misi dalam budaya
Batak Toba yakni hamoraon dan hasangapon. Akan tetapi, sektor pertanian
sebagai sumber utama mencari nafkah tidak dapat diharapkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang semakin beraneka, dan dipersulit lagi dari pertambahan
penduduk sedangkan luas areal pertanian relatif tetap. Dapat dikatakan bahwa
ketidakcukupan lahan pertanian untuk menjamin kelangsungan hidup anggota
keluarga mendorong masyarakat mencari perluasan lahan pertanian ke daerah
yang tidak subur dan juga hujan turun dengan tidak teratur. Hujan yang tidak
turun hampir setahun di Samosir memaksa sekitar 50.000 penduduknya keluar
antara tahun 1961-1965.56 Sesudah pengakuan kedaulatan (1950), Tapanuli
memandang ke pusat dan mengharapkan adanya perhatian, sedikitnya hanya
sekedar dapat mengembalikan keadaan normal hasil perkebunan mereka.
Perdagangan kemenyan terus merosot sekitar 6,5 juta pertahun, tetapi naiknya
harga kopra dan karet menyebabkan perhatian pemerintah lebih fokus pada
kedua komoditi tersebut dan kemenyan tidak dipandang lagi sebagai kepentingan
nasional. Kesulitan-kesulitan ekonomi terus berlangsung. 57 Karena tekanan
ekonomi semakin besar dan kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan
lebih besar di daerah lain petani-petani pun keluar dari kampungnya.
Situasi seperti ini mau tidak mau akan mendorong mereka untuk pindah
ke daerah lain agar dapat berdiri dikaki sendiri (manjae) untuk menghidupi
keluarganya dan ingin lebih sejahtera dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Biasanya sebagian besar Suku Batak Toba sekali meninggalkan kampung
halamannya biasanya mereka tidak kembali lagi ke kampung asalnya, jika
seandainya gagal di daerah yang baru ditempatinya maka akan memilih lebih
baik pindah ke daerah lain lagi daripada harus kekampung halaman yang asli.
Mereka akan pulang pada hari-hari besar seperti Hari Natal dan Tahun Baru
56Wawancara
dengan Bapak Jayas Siallagan, 20 November 2015.
57
ataupun pada saat ada yang terjadi dan memaksa mereka pulang dan hanya
beberapa hari saja dan setelah itu akan kembali ke tanah perantauannya. Selain
itu ada juga yang bekerja musiman, ada beberapa kasus untuk sebagian
masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk
bekerja di berbagai daerah yang hanya bersifat sementara. Kelompok ini disebut
dengan mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara
periodik mereka kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun
1980-an.58
Di daerah asal kegiatan petani dan industri rumah tangga adalah kegiatan
utama perekonomian. Pada umunya pekerjaan kaum lelaki tidak dapat dielakkan,
seperti membajak sawah, mengangkut padi pulang, mengerjakan pekerjaan
pengairan, pekerjaan bangun-membangun dan ketika sawah masih banyak belum
selesai kaum lelaki kebanyakan bekerja di sawah.59 Para petani
bergotong-royong dari satu tahap ke tahap berikutnya sampai akhirnya padi yang dipanen
itu sampai di rumah dan sistem upah jarang terjadi. Ketika tanah tidak
bertambah luas lagi dan perbandingan tanah akan pertumbuhan penduduk tidak
sanggup lagi untuk menjaga kelangsungan hidup, secara pasti banyak kaum
laki-laki memilih untuk bermigrasi dan wanita (istri) yang ditinggal lalu mengurus
pengolahan tanah yang di daerah asal. Banyaknya kaum lelaki bermigrasi tidak
58Wawancara
dengan Marulak Sitinjak, 23 November 2015. 59
cukup lagi untuk melakukan pekerjaan secara gotong-royong sehingga sistem
upah muncul. Namun, sistem non-upah dengan gotong-royong tidak hilang
begitu saja hingga sekarang sebahagian dari masyarakat (Desa Pahae Julu) masih
menerapkan sistem tersebut.60
Masyarakat yang pindah tidak hanya mencari lahan yang luas untuk
pertanian saja, ada juga yang mencari pekerjaan diluar sektor pertanian, serta
sesalu menerapkan budayanya. Yang menjadi alasan terjadinya migrasi ke daerah
lain dilihat dari segi faktor budaya dan bisa juga disebut sebagai faktor ekonomi
dalam Suku Batak Toba adalah adanya tekanan terhadap ekonomi keluarga,
kurangnya lahan sawah untuk dikelola, mencari pekerjaan yang lebih baik diluar
sektor pertanian, sering mengalami gagal panen dalam bertani, tidak ingin selalu
tergantung pada orangtua dan tentu saja untuk meningkatkan taraf hidup yang
lebih baik dari sebelumnya di daerah asal.61
d. Faktor adanya Pembukaan Jaringan Jalan
Suatu hal yang menguntungkan bagi Suku Batak Toba, bahwa sejak
zaman sebelum kemerdekaan jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai
daerah ke pelosok-pelosok yang menjadi prasarana menghubungkan dan
60Wawancara
dengan Rojakat Sitompul, 20 Agustus 2015.
61
memperkenalkan Suku Batak dengan dunia luar. 62 Jaringan jalan yang
menghubungkannya adalah jalan darat. Perpindahan penduduk dari Tapanuli
Utara ke daerah sekitarnya, seperti ke Simalungun dan Dairi ditempuh dalam
beberapa hari perjalanan dan menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam
migrasi dulu karena kondisi jalanan masih sederhana dan luasnya setapak.
Dimana transportasi masih sangat susah dijumpai. Pada zaman penjajahan,
pembangunan jalan-jalan Negara, Provinsi, Kabupaten dan Desa dibangun secara
gotong-royong, rodi atau kerja paksa. Tahap demi tahap jalan dikerikil hingga
seperti yang banyak dilihat dewasa ini.
Pada tahun selanjutnya jalan-jalan yang lebih besar dibangun untuk
menghubungkan ke daerah luar. Terlebih lagi semenjak masuknya pengaruh
kolonial Belanda di tanah batak pembangunan jalan dipercepat untuk tujuannya
memperluas wilayah jajahannya. Dimulai dari daerah jajahannya kemudian
daerah yang hendak ditujunya dalam memperluas kekuasaannya. Pada masa
kolonial Belanda jaringan jalan di daerah Sumatera Utara sudah agak memadai.
Pembukaan jalan-jalan dari daerah pedalaman diikuti oleh pembangunan jalan
besar, jalan berastagi dan kabanjahe di dataran tinggi karo dan jalan melalui
Simalungun ke Danau Toba yang terus ke selatan ke Tapanuli dan Sibolga yang
merupakan urat nadi utama jaringan jalan. Dengan adanya jaringan jalan ini
dapat mempercepat tersebarnya informasi dari satu daerah ke daerah lain.
62
Dengan terbetiknya berita dari para Missionaris tentang adanya
kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang
sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini mencoba mengadu nasib dan
mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka
melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar
Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur
Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba
yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari
Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga
Dolok.
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani
melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute
kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh
pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar
dari tanah Batak. Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri
sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan
raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada
Dolok menuju Pematang Siantar, Tanah Jawa.63 Dengan dibukanya jalan raya itu,
percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak.
Pembangunan jalan di sekitar Danau Toba (Pangururan-Tele) memberi
kemudahan bagi penduduk Batak Toba meninggalkan kampung halamannya
menuju daerah lain seperti Simalungun dan Dairi. Sedangkan perbatasan wilayah
Siantar dan Tanah Jawa terjadi perbaikan besar pertama dalam jaringan jalan
kotapraja dibuka pada tahun 1918 dengan membangun jembatan beton lengkap
di jalan marihat dan meninggikan jalan ini. Hal serupa juga dilakukan pada tahun
berikutnya dengan jalan menuju sekolah, disini juga dibangun sebuah jembatan
beton yang dibangun di atas Bah Bolon dan jalan setempat dinaikkan setinggi 3
meter. Pengerasan jalan raya dimulai secepatnya. Lahan pasar seluruhnya
diperkeras dengan pedas.
2. Faktor penarik dari daerah tujuan
Bagi Suku Batak Toba misi budayanya yakni hamoraon, hasangapon dan
hagabeon adalah tujuan utamanya. Untuk menggapai itu semua harus dilakukan
dengan usaha dan kerja keras. Melihat daerah asal yang topografinya
bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan
di atas 40% yang permukaan tanah yang banyak bergunung dan
berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian
63
dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan, akan sulit
untuk mencapai misi budaya tersebut. Sehingga banyak masyarakat memilih
untuk pindah ke daerah lain yang memiliki nilai lebih dibanding daerah asal yang
tentu saja sebagai faktor penarik dari daerah yang dituju.
Perpindahan penduduk dari desa ke desa atau dari daerah pertanian ke
daerah pertanian pada umumnya dilakukan oleh para petani. Ketiadaan lahan
atau karena lahan yang dapat diusahai dikampung asal semakin sempit,
mendorong mereka mencari lahan yang lebih luas dan lebih subur di luar
Tapanuli dengan harapan dapat memberikan pendapatan yang lebih besar. Suku
Batak Toba banyak memilih pindah ke wilayah Simalungun dan lebih
dominannya berada di wilayah Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun
karena memiliki lahan yang luas dan subur yang cocok untuk pertanian ditambah
lagi setelah kerajaan tradisional Tanah Jawa dihapuskan. Suku Batak Toba
mempunyai keahlian tersendiri dalam hal bertani dan ini dijadikan bekal untuk
membangun persawahan. Sesuai dengan keahlian mereka dibidang persawahan,
di daerah baru mereka membuka lahan-lahan yang cocok untuk persawahan.
Salah satu cara yang ditempuh adalah mengubah hutan menjadi persawahan
dengan membuka tali air dari sungai yang terdekat. Kesuburan lahan jelas akan
mempengaruhi tingkat produktivitas sehingga hasil yang diperoleh akan lebih
besar dan dengan didorong iklim dan irigasi yang memungkinkan panen dua kali
Dari lahan yang lebih luas dan lebih subur diharapkan keadaan ekonomi
mereka akan lebih baik dibandingkan dengan daerah yang ditinggalkan dan
keadaan sosial ekonomi orangtuanya. Alasan pindah dari daerah asal ke daerah
yang dituju adalah adanya lahan pertanian yang luas, daerah yang lebih subur,
keadaan ekonomi lebih baik, dan daerah yang memungkinkan untuk memiliki
tanah sendiri.
Selain dari daerah yang subur, faktor yang menyebabkan kedatangan
Suku Batak Toba ke Kecamatan Tanah Jawa adalah adanya perkawinan antara
masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli utara dengan masyarakat Kecamatan
Tanah Jawa. Dalam adat Batak Toba, jika puteri/wanita (dari Tapanuli Utara)
menikah dengan laki-laki dari Tanah Jawa maka kemungkinan besar akan tinggal
di daerah si laki-laki, serta nanti jika ditanya asal daerah kepada anaknya maka
otomatis adalah daerah dari orangtua laki-laki (Tanah Jawa).
Kemudian juga dengan adanya penempatan Pegawai Negeri Sipil di
Kecamatan Tanah Jawa. Terlebih pada tahun 1960-an masyarakat yang mendapat
pendidikan banyak yang mengalihkan perhatiannya kepada intansi pemerintahan
yang dianggap dapat mengubah status sosial.64 Banyak Suku Batak Toba yang
pindah atau penempatannya di Kecamatan Tanah Jawa, karena banyaknya tenaga
64
pendidik yang dibutuhkan dan inilah yang menarik perhatian dari Suku Batak
Toba melakukan perpindahan ke Tanah Jawa.
3.2 Interaksi Batak Toba
Suku Batak Toba adalah suku pendatang di wilayah kecamatan Tanah
Jawa Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara. Banyaknya migrasi Suku
Batak Toba ke wilayah ini menjadikan mereka masyarakat yang dominan.
Kedatangan Suku Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa memberikan dampak yang
positif baik dalam bidang pertanian dan pemerintahan yang semakin memiliki
kemajuan. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat mereka tinggal, mereka
dapat berbaur dengan suku asli (Simalungun), suku jawa, suku karo, mandailing
serta sesama Suku Batak Toba yang datang dari berbagai daerah.
Awalnya kedatangan Batak Toba ke wilayah ini mengakibatkan
perpecahan antara Batak Toba dan Simalungun. Dimana Batak Toba termasuk
suku yang istimewa yang diperlakukan oleh kolonial Belanda, walaupun masih
terdapat sistem perbudakan di sebagian masyarakat Batak Toba. Mengingat
bahwa masyarakat Batak Toba adalah suku yang sengaja di datangkan oleh
Belanda dalam mengatasi persoalan pangan karena terbatasnya sumber-sumber
beras dan masyarakat yang sudah mendapat pendidikan di daerah asal dapat
masyarakat asli (Simalungun).65 Sehingga sebagian dari masyarakat Simalungun
berniat bisa masuk dan bekerja di pemerintahan agar masyarakatnya tidak
semakin tersisih. Akan tetapi tidak semua masyarakat berpandangan seperti itu,
sebagian masyarakat memilih mundur ke daerah yang sekarang disebut dengan
Simalungun Atas melihat gerak Batak Toba yang cepat dan agresif, suara yang
keras. Kecemburuan sosial tersebut tidak bertahan lama, suku pendatang (baik
Suku Batak Toba, Suku Mandailing dan Batak Karo) berusaha berbaur dengan
suku asli yang sudah lama di daerah tersebut. Bagaimanapun juga mereka adalah
pendatang yang ingin meningkatkan taraf hidupnya. 66 Terlebih lagi suku
pendatang dan suku asli mempunyai kemiripan budaya, arti bahasa, akan tetapi
logat bicara yang berbeda. Datangnya Suku Batak Toba menjadikan pertanian
semakin membaik dan Suku Simalungun semakin mengerti bagaimana sistem
bertani di sawah sehingga mereka tidak hanya mengusahakan sistem perladangan
saja.
Dikalangan Suku Batak ada beberapa pengertian yang menyatakan
kesatuan teritorial di dalam masyarakat desa ialah huta, kuta,. Huta (bahasa toba
dan simalungun) biasanya merupakan kesatuan yang dihuni oleh keluarga yang
asal satu klen. Kuta (bahasa karo) biasanya lebih besar dari Huta dan terdiri dari
65
Di hati orang Simalungun ada perasaan dikalahkan akibat pola penanaman padi sawah yang lebih efektif dari orang toba, ditambah mereka merasa dikuasai akibat penetrasi agresif dari kelompok pendatang yang nota bene lebih dulu mengenal huruf dan maju akibat pengkristenan yang mereka alami. (Martin Lukito Sinaga, op.cit, hlm 63)
66
penduduk yang asal dari beberapa klen yang berbeda-beda. Pada orang Karo,
Toba, Simalungun dan Mandailing, tiap-tiap desa mempunyai sebuah balai desa
sebagai tempat dilakukan sidang-sidang pengadilan dan sidang lain (balai
kerapatan).67
Dalam Suku Batak Karo dan Batak Simalungun ada perbedaan antara
golongan yang merupakan keturunan dari para pendiri huta, dengan golongan
yang merupakan keturunan dari penduduk kuta. Golongan para pendidri kuta
ialah para merga taneh yang memiliki tanah yang paling luas, sedangkan
golongan lainnya biasanya hanya memiliki tanah yang sekedar cukup untuk
hidup (terbatas). Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah
bermata pencaharian bercocok tanam. Dalam bercocok tanam baik diladang
maupun disawah, orang perempuan batak mengambil peranan yang bisa
dikatakan penting, sedangkan laki-laki mengerjakan tahap-tahap seperti
membersihkan, menyiapkan saluran-saluran air (irigasi), membajak.
Kebersamaan masyarakat batak di daerah ini sangat baik, mereka
sama-sama mengenal sistem gotong-royong dalam bercocok tanam. Dalam bahasa
Karo disebut raron, bahasa Toba disebut marsiurupan/marsiadap ari dan bahasa
Simalungun disebut dengan marsiurupan/marharoan/sapangambei manoktok
hitei. Mereka bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota
secara bergiliran. Disamping bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata
67
pencarian pada orang batak umumnya. Biasanya mereka memelihara kerbau,
sapi, babi68, kambing, ayam, dan bebek. Kerbau dalam masyarakat batak
keseluruhan banyak dibutuhkan sebagai binatang penghela dan untuk upacara
adat, sedangkan babi banyak dimakan, tetapi juga dalam adat (jika tidak mampu
membeli kerbau). Sedangkan sapi, kambing, ayam dan bebek dijual untuk
menambah pundi-pundi keluarga.
68
Babi adalah ternak yang dijadikan makanan utama dalam adat Batak Toba disamping ternak kerbau serta upacara keagamaan (sering ditemui dalam acara pembaptisan atau disebut dengan
BAB IV
Pengaruh Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten
Simalungun 1960-1992
4.1 Pertanian
Migrasi sebagai suatu proses perpindahan penduduk mengalami peningkatan
yang cukup berarti pada beberapa dasawarsa belakangan ini, terutama di
negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Peningkatan arus migrasi ini
terutama terjadi dari desa menuju kota atau dari desa ke desa. Dilihat dari sebab
terjadinya, pada dasarnya migrasi timbul karena adanya perbedaan kondisi alam dan
kondisi sosial ekonomi antara daerah yang satu dengan yang lain serta dari berbagai
pihak lain seperti agama (Mission) dan politik. Terbatasnya sumber daya alam dan
lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi menjadi faktor
dominan bagi penduduk untuk meninggalkan daerah asal.69
Namun dalam masyarakat Batak Toba yang bermigrasi dan tinggal di
kecamatan Tanah Jawa sebagian besar bekerja di sektor pertanian70. Sejalan dengan
perubahan dan perkembangan yang terjadi, masyarakat atau para petani tidak tinggal
berdiam diri di daerah pertanian yang sempit dengan berbagai kendala, tetapi mereka
69
Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX , Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004, hlm. 34.
70
banyak yang pindah untuk melanjutkan pola pertanian dengan teknologi pertanian
yang dibawa dari kampung halamannya ke daerah yang dituju.71 Seperti yang telah
disebutkan di atas salah satu suku yang melakukan ini adalah suku batak toba,
sehingga bisa dikatakan sangat banyak ditemukan orang-orang Batak Toba tinggal di
daerah persawahan.
Datangnya Suku Batak Toba ke wilayah ini tidak begitu saja mendapat lahan
yang langsung bisa dikerjakan, mereka harus membuka lahannya sendiri untuk
dikerjai.72 Tanah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa ini adalah dulunya disebut
tanah Kerajaan Tanah Jawa, namun masyarakat lebih mengenal tanah itu milik Tuan
Kaliamsyah (salah satu anggota Kerajaan di kerajaan Tanah Jawa). Tuan Kaliamsyah
memberikan atau membiarkan lahan itu untuk dikerjai dan menjadi milik masyarakat
itu sendiri. 73 Sama seperti halnya yang tertera di dalam Zelfbestuursbesluit
Simalungun. Dalam ZELFBESTUURSBESLUIT ddo. 8 Juni 1933 No. 12
goedgekeurd door den Gouverneur der Ooskust van Sumatra ddo. 26 Juni 1933
tentang Peratoeran Sawah Simeloengen 1933 bahwa Peratoeran memakai tanah dan
mengenakan hasil air (Oepah Radja ni Bondar) dari semoea sawah2 jang digenangi
air dalam bahagian Irrigatie jang ada di Simeloengen, dalam Fatsal 1 disebutkan
“Peratoeran oemoem” : Baik kepada pendoedoek negeri disini ataupoen pendoedoek
71
Chrisman Silitonga, dkk, Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Jakarta : Perhepi, 1995. Hlm 34.
72
J Tideman, op.cit, hlm 222.
73
negeri lain jang datang ke Simeloengoen boleh diberi tanah2 boeat dipakai
toeroen-toemoeroen, dan Fatsal 2 disebutkan “Lebar tanah jang akan diberikan” : Boeat
seseorang (seroemah) tanah itoe diberikan boeat didjadikan sawah tidak boleh lebih
dari 1 H A. Lebarnja dibagian Irrigatie jang baroe diboeka.74
Namun setelah Simalungun masuk dalam NKRI, pernyataan diatas tidak
diberlakukan lagi. Semenjak berlakunya U.U.P.A No.5 Tahun 1960 ditentukan bahwa
tanah-tanah swapraja yang tadinya hanya terdapat hak mengusahakan, dengan
sendirinya di konversi menjadi milik pribadi.75 Sedangkan Suku Batak Toba yang
datang kemudian untuk mendapatkan lahan pertanian harus membeli tanah untuk
diusahakan, yang mana harga tanah dihitung berdasarkan harga perkaleng Padi.
Tahun 1970 Jika ingin membeli tanah dengan luas 0,5 Ha maka harus membayar
1.500 kaleng padi dengan harga Rp. 1000,00 /kaleng padi dan harga perkaleng padi
ini bervariasi tergantung yang menjual tanah tersebut.76 Namun ada juga masyarakat
yang datang tidak memiliki tanah yang kesehariannya sebagai petani dapat mengelola
tanah yang dipercayakan padanya atau sering disebut dengan menyewa kepada
74
ANRI, Simeloengoen 1933, hlm. 34.
75
Rudolf Purba, (at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011, hlm. 346.
76
pemilik tanah yang kaya dengan sistem bagi hasil (artinya orang mengelola tanah
yang bukan miliknya, harus membagi setengah dari hasil panennya).77
Dapat dilihat secara umum, Suku Batak Toba yang berpindah dan bekerja
dalam kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani
yang mengusahai lahan sempit. 78 Sebaliknya petani-petani berlahan sempit
mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anaknya hanya
tamat SLTP.
Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman
monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka
lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu karena di daerah yang baru
dapat panen dua kali atau lebih, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan
kesehariannya, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan
produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi
petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke
pekerjaan lain yang lebih produktif. Di berbagai desa, terdapat petani-petani Batak
Toba mengusahai sampai 0,5 Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka
kurang tanggap terhadap perubahan dan hanya berpegang pada apa yang tampak
77
Beny Octofryana Yousca Marpaung dan Madya Alip Bin Rahim, Kampung Etnik Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya, Medan : Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hlm 24.
78
dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka
kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang
dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang
berkembang dengan lebih cepat. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang telah
menjual tanah yang dibelinya atau tanah yang dibukanya dahulu (kepentingan
mereka) bahkan ada pula yang menjadi petani penyewa dan pada akhirnya ada yang
pindah ke daerah lain seperti Riau. Salah satu sub suku yang banyak melakukan
migrasi ke berbagai daerah adalah Suku Batak Toba. Suku Batak Toba bisa di jumpai
di berbagai daerah di Indonesia. Karena tidak ingin tinggal di desa dan ingin
berkembang, ada yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan
di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua.
Para perantau batak toba ini tidak hanya bekerja sebagai petani dan biasanya
mempunyai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk
mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada
pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat prioritas.
Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor
pertanian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas tenaga kerja
dari sektor pertanian ke non-pertanian antara lain adalah konversi lahan pertanian ke
lahan industri, perubahan teknologi dan hubungan kerja di sektor pertanian, dan
sektor lain.79 Sedangkan di beberapa daerah yang dekat dengan jalan raya
petani-petani yang memiliki lahan yang luas, biasanya memiliki hidup dalam tingkat sosial
ekonomi yang lebih baik.
Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah,
Suku Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan
nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai
pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam
kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian
yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan
terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani,
penangkap ikan, pedagang atau pegawai. Oleh karena minimnya pendapatan
masyarakat di Tapanuli, Suku Batak Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar
Tapanuli (salah satunya adalah Kabupaten Simalungun).
Dari data sensus tahun 1983 yang telah dilakukan bahwa jumlah rumah tangga
Suku Batak Toba yang bekerja dalam pertanian (padi) sangat banyak di Kecamatan
Tanah Jawa mencapai luas panen 12.583 ha, jumlah produksi 66.855 ton dan rata-rata
per Ha nya adalah 5,31 ton/ha.80 Hal ini menunjukkan potensi pertanian sangat besar,
dan perlu perhatian yang lebih dari semua kalangan, karena tenaga atau sumber daya
manusia yang tersedia cukup banyak. Selain sumber daya manusia yang memadai di
Kecamatan Tanah Jawa, sumber daya alam juga merupakan faktor yang mendukung
79
Chrisman Silitonga, dkk, op,cit. Hlm 34.
80
peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sumber daya alam yang dimiliki
daerah Kecamatan Tanah Jawa antara lain: air (sebagai sarana irigasi/pengairan),
tumbuhan (hutan, pertanian, perkebunan) dan tanah (lahan
pertanian/perkebunan/perikanan). Sehingga Simalungun menjadi lumbung padi dan
beras terbanyak di Sumatera Utara dan daerah paling banyak adalah kecamatan
Tanah Jawa dan Kecamatan Bandar. Akan tetapi dari sensus pertanian yang
dilakukan oleh departemen pertanian, yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1985
– 1992 telah terjadi penyusutan lahan pertanian di Simalungun. Penyusutan lahan
tersebut disebabkan oleh proses konversi lahan pertanian ke penggunaan
non-pertanian, sehingga total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta ha. Konversi
lahan juga terjadi dari lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian komoditi atau
tanaman keras. Hal ini pun terjadi di Kecamatan Tanah Jawa khususnya dan daerah
Kabupaten Simalungun pada umumnya. Jumlah luas tanah pertanian di wilayah
Tabel 4.1 : Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Padi Sawah Pada Tahun 1992.
No Desa/Kelurahan Luas Panen
4.2 Agama
Jauh sebelum datangnya pengaruh dari agama Islam dan Kristen, masyarakat
Simalungun sudah memiliki kepercayaan sendiri yang sering disebut dengan agama
suku. Agama suku adalah suatu kepercayaan akan makhluk-makhluk gaib yang
biasanya berdiam di tempat-tempat keramat seperti yang dipercayai berada di pohon
keramat (terutama di wilayah Bandar). Disamping itu juga masyarakat Simalungun
percaya dengan namanya Naibata yakni menguasai dunia atas, dunia tengah dan
dunia bawah. Masyarakat Simalungun sangat percaya dan mengilhami filosofi yang
telah diajarkan turun-temurun dan sampai sekarang masih dijalankan, yakni
Habonaran do Bona (kebenaran adalah pangkal segala sesuatu.81
Pada tahun 1891 Kerajaan Tanah Jawa takluk kepada pemerintah kolonial
Belanda. Melihat penyebaran agama Islam mengalami kemajuan di wilayah
Simalungun serta raja simalungun (raja siantar dan kaum aristokrat Tanah Jawa)
menganut agama Islam yang menyebabkan rakyatnya ikut untuk memeluk agama
tersebut. Sehigga pemerintah kolonial belanda meminta untuk melakukan
pengkristenan di daerah Simalungun.82 Di dalam penyebaran Injil ini tidak hanya
dilakukan oleh lembaga RMG (Rheinische Mission Gesellchaft) namun juga oleh
Suku Batak Toba 83 yang datang ke wilayah ini. Jika zending di Tapanuli bisa
diterima masyarakat dan menjadikan agama mayoritas dalam Suku Batak Toba,
namun berbeda halnya dalam penyebaran injil di wilayah Simalungun. Dimana
masyarakatnya masih tertutup dan susah untuk berbaur dengan suku pendatang serta
bahasa yang digunakan dalam Mission ini adalah bahasa batak toba84, sehingga sulit
diterima oleh suku asli Simalungun dan tidak sedikit menghadapi tantangan. Namun
lambat laun, atas upaya usaha dan kekuatan zending dalam pengkristenan masyarakat
dapat berkembang diseluruh Simalungun. Tahun-tahun berikutnya, jumlah Suku
Batak Toba yang sudah beragama kristen makin membanjiri Simalungun Bawah,
khususnya di perkebunan daerah.85 Para Mission juga melakukan usaha yakni dengan
membangun sekolah untuk mendidik para pemuda. Zending memusatkan kegiatannya
di bidang pendidikan dan perawatan kesehatan penduduk.86 Pendirian sekolah
ternyata cukup mendapat respon yang positif dari masyarakat setempat. Tujuan
dengan dibangunnya sekolah ini adalah untuk mendidik anak-anak agar bisa
membaca dan mengalami kemajuan, tetapi tetap dalam misi awalnya dengan
mengajarkan agama yang benar dan ini dianggap sebagai sarana yang dipandang
sangat efektif untuk mengabarkan Injil. Awalnya dalam pengabaran Injil yang
dilakukan oleh para Mission dibangun Gereja yang disebut dengan nama HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan). Sampai pada akhir tahun 1952 masyarakat Kristen
84
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah penyebaran injil di simalungun dengan menggunakan bahasa batak toba yang tidak dimengerti oleh masyarakat simalungun.
85
Juandaha Raya P. Purba, op.cit, hlm 154.
86
Toba dan Kristen Simalungun bergabung lebih kurang sampai setengah abad lamanya
dalam nama organisasi gereja HKBP dan terhitung mulai tanggal 22 Januari 1953
Kristen Simalungun terlepas dari HKBP dan menjadi dalam Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS) tanpa nama Batak lagi yang dibawah pimpinan Ephorus pertama
Jaulung Wismark Saragih (JWS).87 Suku Batak Toba yang bermigrasi harus bisa
menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru tanpa kehilangan identitasnya sendiri.
Mereka membangun perkampungannya di daerah perantauan atas dasar hubungan
keluarga atau tempat asal yang sama. Mereka membangun Gereja di wilayah
perkampungannya sebab mereka Kristen. Mereka memegang adatnya dan mereka
selalu menggunakan bahasa Toba di antara mereka. Tetapi dari pihak lain orang Toba
harus menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Mereka tinggal di antara orang
Islam dan suku lain. Maka mereka harus juga memperhatikan kelompok yang lain. Di
Kecamatan Tanah Jawa kehidupan beragama bisa dikatakan dengan damai, saling
menghargai dan hingga saat ini tidak terdengar konflik yang disebabkan oleh
agama.88 Banyaknya masyarakat yang mempercayai agama dapat dilihat dalam BAB
II.
87
Sebelum menjadi Ephorus pertama dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Jaulung Wismark Saragih (JWS) adalah tadinya dalam HKBP sebagai wakil Ephorus buat gereja-gereja simalungun. ( Batara Sangti, op.cit, hlm 188.)
88
4.3 Pendidikan
Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Kecamatan Tanah Jawa,
pendidikan di daerah ini belum begitu dipentingkan. Karena masyarakat hanya tahu
bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh kerajaan yang memerintah pada masa itu.
Akan tetapi setelah masuknya pengaruh pemerintah kolonial Belanda, Zending dan
banyaknya suku pendatang dari suku batak toba, Pendidikan mulai dikembangkan.
Suku Batak Toba telah lebih dahulu mendapat pendidikan barat dibandingkan dengan
suku Simalungun. Bagaimana Suku Batak Toba bisa mendapat pendidikan barat?
Sebelum Belanda menjajah tanah Batak sebagai suatu daerah yang dikuasai secara
administratif dan sebelum para penginjil asing datang untuk menginjil orang Batak,
pendidikan masih bersifat asli pribumi89.
Unsur pendukung kurikulum asli pribumi yaitu pengetahuan praktis yang
menyangkut keamanan dan pertahanan, yang dipercaya dalam hal ini adalah guru90.
Orang yang sekaligus menjadi sumber kekuatan tersebut dinamakan guru atau datu
(untuk kelahiran dinamakan sibaso, untuk arsitektur dinamakan pande jabu, irigasi
dinamakan pande-aek). Pendidikan asli pribumi tersebut memiliki mata pelajaran
yang erat kaitannya dengan keyakinan kepercayaan, yaitu cara pemujaan arwah nenek
moyang. Namun setelah Belanda berkuasa di tanah Batak, terjadilah perkembangan
89
Pendidikan asli pribumi adalah mengutamakan pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan dan lingkungannya, misalnya bercocok tanam, berkebun, menangkap dan memelihara ikan serta ternak lainnya, mengenal musim dan kerumahtanggaan.
90
pendidikan secara pesat.91 Sistem pendidikan asli pribumi tadi mulai terdesak oleh
sistem pendidikan baru yang diperkenalkan oleh para Missionaris Jerman. Dengan
dikecapnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh orang eropa, Suku Batak Toba
mulai memberanikan diri untuk keluar dari daerahnya ditambah lagi dengan kondisi
lahan yang akan diusahakan semakin semakin sempit. Suku Batak Toba sebagian
besar memilih untuk keluar atau bermigrasi ke wilayah Simalungun setelah
mendengar akan wilayah simalungun serta dengan penduduknya yang masih bisa
dikatakan tergolong sedikit.
Perpindahan Suku Batak Toba ke Simalungun memiliki tujuan salah satunya
adalah Zending. Dalam melaksanakan tujuan dari Zending (penyebaran Injil) ini
untuk menarik perhatian masyarakat Simalungun yang masih tergolong sangat
tradisional maka didirikan sekolah (pendidikan). Dalam menjalankan tugas ini bukan
berarti tidak ada masalah atau tantangan, bahkan dalam menjalankan tujuannya para
missionaris harus mendekati penguasa yang terdapat di daerah itu kemudian
mendekati para masyarakat tersebut. Peranan RMG cukup besar dalam pendidikan.
Hal ini dilakukan agar masyarakat yang awalnya buta huruf bisa membaca dan
mengerti maksud dari tujuan mereka, serta untuk membendung penyebaran Islam
yang sangat cepat. Sehingga dikenal sekarang bahwa bidang pendidikan di
Simalungun dilakukan oleh zending baik orang eropa maupun orang pribumi yang
91
secara tepat bisa diminta bantuannya untuk mengarahkan perkembangan generasi
mendatang ke jalan yang lebih baik.
Pendidikan di wilayah ini semakin berkembang dan dengan masuknya
Simalungun dalam NKRI pada tahun 1950 pendidikan semakin membaik dengan
program pemerintah yang memaksimalkan agar masyarakat tidak buta huruf lagi.
Perpindahan orang-orang yang berpendidikan lebih menonjol setelah tahun
1950-an.92 Banyaknya Suku Batak Toba yang bermigrasi kewilayah kecamatan Tanah Jawa
baik yang telah mendapatkan pendidikan maupun yang tidak mendapatkan
pendidikan, sangat berpengaruh. Dimana disatu sisi masyarakat batak toba yang telah
mendapatkan pendidikan mengalihkan perhatiannya mencari pekerjaan yang lebih
baik karena dengan pendidikannya itu mereka berhak keluar dari lingkaran
kemiskinan. Setiap orang yang berpendidikan berlomba-lomba menjadi pekerja di
instansi pemerintahan, bank dan bekerja sebagai guru sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja terdidik di bidang-bidang lainnya yang menyebabkan lebih
banyak diisi oleh orang-orang Batak Toba dibandingkan dengan penduduk setempat.
Mereka memandang bahwa pendidikan menjadi suatu jalur mobilitas sosial
untuk mendapatkan pangkat (mewujudkan misi budaya Batak Toba yakni
Hasangapon). Sedangkan Suku Batak Toba yang datang dan bekerja sebagai petani
bisa mengajarkan bagaimana sistem pertanian yang harus dilakukan. Melihat
banyaknya suku pendatang (Suku Batak Toba) banyak yang duduk dibangku
92
pemerintahan dengan pendidikan yang mereka dapat, membuat masyarakat
Simalungun ingin lebih berkembang dan mendapatkan pendidikan93. Masyarakat
Simalungun semakin banyak yang mendapat pendidikan dengan didirikannya
sekolah-sekolah baik sekolah Negri/Inpres maupun sekolah swasta. Oleh karena
pendidikan adalah sarana untuk mencapai kedudukan yang lebih baik, maka belajar di
sekolah adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui walaupun tidak gampang.
Disetiap sekolah yang didirikan harus terdapat Guru yang mengajar. Guru pada tahun
1983 di Kecamatan Tanah Jawa sekolah Negeri/Inpres sudah terdapat Kepala Sekolah
136 orang, Guru Kelas 712 orang, Guru Agama 186 orang, Guru Orkes 24 orang,
sekolah yang bersubsidi terdapat 38 orang, sekolah swasta terdapat 13 orang dan
jumlah murid seluruhnya adalah 27.397 orang. Sedangkan pada tahun 1985 Guru SD
Negri/Inpres sudah terdapat 1.072 orang, Guru SD swasta terdapat 55 orang dan
jumlah murid seluruhnya adalah 28.026 orang.94 Pada tahun 1992 jumlah murid SD
dan banyaknya SD, SMP, SMTA dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.
93
Pentingnya arti pendidikan disebabkan oleh kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada tidak ditujukan untuk mampu berdiri di atsa kaki sendiri, tapi lebih ditujukan untuk mempersiapkan diri untuk menjadi pegawai negeri. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam birokrasi pemerintahan semakin tinggi pulalah statusnya dalam masyarakat.
94
Tabel 4.2 : Banyaknya SD, SLTP SMA di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten
Dengan meningkatnya pendidikan memudahkan mendapatkan informasi dan
komunikasi di berbagai daerah baik regional da nasional, serta adanya kesadaran akan
harkat dan martabat sebagai suatu bangsa dan semakin terbinanya rasa kemampuan
untuk mengatur, mengawasi dan mengendalikan diri sendiri juga dalam perkumpulan
(organisasi). Semangat menuntut ilmu ini diteruskan sampai sekarang karena karena
kesempatan luas yang diberikan dalam bidang pendidikan kepada setiap orang
semenjak zaman kemerdekaan sudah menarik orang dari kabupaten atau
nagari-nagari lain (desa/kelurahan) untuk menjadi pegawai.97
4.4 Politik
Masuknya kolonial Belanda dan kekristenan ke Tapanuli membawa berbagai
perubahan di kalangan Suku Batak Toba. Walaupun mereka mempunyai tujuan yang
berbeda tetapi kerjasama antara mereka juga ada. Salah satu diantaranya pemberian
subsidi kepada sekolah-sekolah zending dan kemudahan-kemudahan serta dorongan
bagi orang batak toba meninggalkan kampung halamannya sesuai dengan misi
mereka.98 Suku Batak Toba sudah dapat ditemui di wilayah Simalungun semenjak
masih berdirinya kerajaan-kerajaan di simalungun terutama di Kerajaan Tanah Jawa.
Batak Toba datang ke Tanah Jawa sejak dibukanya perkebunan oleh kolonial Belanda
serta adanya penyebaran Injil yang dilakukan para Mission. Suku batak toba yang
terdapat di Tanah Jawa berasal dari tanah batak yakni dari Tapanuli Utara.
97
Mochtar Naim, op.cit, hlm 274.
98
Tujuan utama Suku Batak Toba melakukan perpindahan ke Kecamatan Tanah
Jawa adalah mencari nafkah untuk menambah penghasilan rumah tangga mereka.
Perpindahan penduduk dari pusat negeri toba (Tapanuli Utara) terjadi secara
besar-besaran, baik diwaktu penjajahan Belanda maupun setelah Indonesia Merdeka yang
merupakan suatu kemauan yang tak dapat dielakkan dan ditantang oleh siapapun
juga. Kedatangan Suku Batak Toba ke Simalungun bisa dikatakan tidak sia-sia,
karena Simalungun di awal abad ke-20 sudah merupakan penghasil beras.
Sesudah kemerdekaan hingga dewasa ini telah terjadi banyak perubahan di
kalangan Suku Batak Toba (termasuk subetnik Batak yang lain). Hal ini berhubungan
dengan tingkat kemajuan pendidikan, jangkauan mobilitas dan migrasi, jenis
pekerjaan atau profesi. Jabatan-jabatan modern yang ditawarkan sering dapat diraih
oleh orang Batak Toba. Jabatan-jabatan tersebut memberikan kesempatan kepada
mereka untuk memimpin dan menjadi pemimpin. Bagi orang-orang Batak yang
tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk
komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang
dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat
yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Suku Batak Toba yang berada
di Tanah Jawa, menempati hampir semua daerah yang ada di wilayah ini dan banyak
menempati posisi strategis sebagai pejabat, pegawai pemerintah, pedagang, politikus
penduduk dari Tapanuli Utara ke Tanah Jawa adalah dalam bidang politik. Politik
adalah kekuasaan.99
Dalam Suku Batak Toba, orang mencari kekuasaan bukan karena
pertimbangan ekonomi, tetapi karena pertimbangan kehormatan. Seperti yang kita
ketahui bahwa sebagian besar orang batak itu tidak mau disuruh melainkan harus
menyuruh. Weber menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan
seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, walaupun orang lain
melakukan penolakan.100 Bagi Suku Batak Toba, kekuasaan sangatlah penting.
Melihat bahwa tidak seimbangnya jumlah suku pendatang dengan suku asli
Simalungun yang ada di Tanah Jawa mengakibatkan adanya perubahan sosial, seperti
dalam hal Jabatan yang telah disebutkan diatas. Perubahan adalah proses transmisi
dari suatu kebudayaan pada kebudayaan lain melalui asimilasi101 dan akulturasi102.
Di Tanah Jawa masyarakat yang lebih dominan mendapatkan pendidikan
adalah Suku Batak Toba, karena pendidikan dianggap jalur yang tepat untuk
mencapai status yang lebih tinggi. Akan tetapi, sikap dan tingkah laku seseorang
99
Kekuasaan adalah gejala sosial, gejala yang terdapat dalam pergaulan hidup (gejala antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok). Dimana teori politiknya adalah suatu daerah dalam keadaannya yang bergerak sebagai lembaga yang hidup di tengah tenaga-tenaga sosial masyarakat. ( F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980, hlm 27.)
100
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm 227.
101
Asimilasi adalah transfer kebudayaan dari kebudayaan rendah dan belum maju sehingga terjadi perubahan.
102
dapat dilatarbelakangi oleh kepribadian atau karakter yang dibentuk oleh
kebudayaan, pendidikan dan fenomena sosial lainnya. Dalam keadaan yang demikian
bisa muncul pandangan pada tiap-tiap etnis bahwa kebudayaannya lebih superior atau
lebih baik daripada kebudayaan etnis lain. Sehingga antusiasme itu menimbulkan
kebanggaan yang berlebihan terhadap kebudayaan sendiri dan etnosentrisme103.
Sebab-sebab dari etnosentrisme ini adalah kepentingan yang masih
mementingkan suku, etnis, agama sendiri. Misalnya saja sikap masyarakat batak toba
pada awal abad-20 yang tidak mau bekerja kasar walaupun hasilnya bisa lebih baik
daripada menjadi petani 104, serta menganggap suku asli Simalungun sebagai
masyarakat yang malas dan pendendam, yang akhirnya banyak suku asli
(Simalungun) pindah ke Simalungun Atas melihat perkembangan dari suku
pendatang dan kerja keras serta ke agresifannya untuk mewujudkan tujuannya.
Cita-cita sekaligus tujuan hidup orang batak toba ialah memperoleh kekayaan
(Hamoraon), banyak keturunan (Hagabeon) dan kehormatan (Hasangapon). Ketiga
tujuan hidup ini saling berkaitan satu sama lain. Unsur yang satu menunjang
keberadaan unsur yang lain. Unsur hamoraon menunjang kekuasaan, demikian juga
unsur hagabeon yang menciptakan kerabat besar yang amat menunjang kekuasaan
bagi orang batak toba. Orang batak toba berusaha menjadi kaya agar tidak
103
Etnosentrisme adalah menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
104
diremehkan oleh orang lain. Di tanah jawa sendiri sebagian besar yang memerintah
dan menjadi pemimpin (camat) di kantor kecamatan ini adalah orang batak toba.
4.5 Bahasa
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang
dapat menunjukkan jati diri seseorang. Bahasa adalah alat dalam berinteraksi, oleh
sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat mempunyai bahasa dalam satu daerah.
Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan
kesusteraan yang besar walaupun suatu bahasa pada dasarnya cukup hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi di antara sesama penuturnya. Di Kecamatan Tanah Jawa,
suku asli daerah ini adalah Suku Simalungun dan seharusnya bahasa yang digunakan
di wilayah ini adalah bahasa Simalungun. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik
dengan kenyataan yang dijumpai di wilayah ini. Di pusat kecamatan Tanah Jawa
bahasa yang sering digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Batak Toba.
Bahasa batak toba sangat mendominasi bahasa di wilayah ini serta logat bahasanya.
Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang terjadi sebelumnya, misalnya pada masa
kejayaan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Simalungun.
Awalnya pemerintah kolonial sengaja mendatangkan Suku Batak Toba ke
wilayah ini dalam mengatasi persoalan pangan yang sangat terbatas di wilayah ini,
karena Suku Batak Toba dikenal dengan kegigihannya, kerja keras dan keahliannya
dalam melakukan pertanian terutama padi sawah. Setelah kesuburan lahan di daerah
yang melakukan migrasi ke wilayah ini. Suku Batak Toba adalah termasuk suku yang
mendominasi daerah ini di samping suku jawa. Karena banyaknya pendatang batak
toba yang melebihi dari suku asli simalungun dan derasnya pengaruhnya sehingga
bahasa yang sering didengar dan digunakan masyarakat sekitar adalah bahasa batak
toba.
Penggunaan Bahasa Batak (bahasa batak toba) juga sebagian besar disebabkan
penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG (Rheinische
Mission Gesellchat) yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Simalungun. Pada
masa jaya kerajaan tradisonal yang terdapat di wilayah Simalungun, dialek bahasa
simalungun sangat kental. Lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun ini mulai
memudar. Dimana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa
Toba, yang datang dari Tapanuli Utara, pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa
Simalungun di daerah ini banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Sehingga penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur
bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga
bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang
tidak tahu marsahap (berbicara) Simalungun. Pemakaian bahasa batak toba juga
terjadi karena begitu lamanya beredar buku dan adat Batak Toba di sekolah maupun