• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1960-1992

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1960-1992"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR INFORMAN

(2)

7. Nama : Karni Manurung

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Tanah Jawa

8. Nama : Rojakat Sitompul

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Pahae

9. Nama : Andi Samosir

Umur : 55 Tahun

Pekerjaan : PNS

Alamat : Tanah Jawa

10.Nama : Marulak Sitinjak

Umur : 56 Tahun

(3)
(4)

(Sumber : Perpustakaan Tengku Lukhman Sinar)

(5)
(6)
(7)

(Padi yang berusia 1bulan sesudah ditanam dan pengairan untuk dialiri ke tiap petak sawah)

(8)

(Petani perempuan yang sedang menanam padi di salah satu pemilik petak sawah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa)

(9)
(10)

DAFTAR PUSTAKA

ANRI, Simeloengoen 1933.

BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka 1983.

BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 1985.

BPS Kabupaten Simalungun, Kecamatan Tanah Jawa Dalam Angka 1992.

Chatib, Nazief, dkk, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Medan : Proyek Penelitian

Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1976/1977, 31 Desember 1976.

Damanik, Jahutar, Raja SangNaualuh, Medan : Medio, 1981.

Edisaputra, Simalungun Jogjanya Sumatera, Medan : Up. Bina Satria 45, 1978.

Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980.

Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, jakarta : Djambatan,

1997.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,

1987.

Madya Alip Bin Rahim dan Beny Octofryana Yousca Marpaung, Kampung Etnik

Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya,

(11)

Moerdiono, (at all), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama, 1997.

Naim, Mochtar, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada, 2013.

Proyek pengembangan Permuseuman Sumatera Utara Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan, Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten

Simalungun, Medan, 1980/1981.

Purba, Elvis F dan O.H.S. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) : sebab,

motif dan akibat perpindahan penduduk dari dataran tinggi toba, Medan :

Monora, 1997.

Purba, M,D, Adat Perkawinan Simalungun, Medan : M.D. Purba, 1985.

Purba, M.D, Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun, Medan : M.D Purba, 1986.

Purba, Rudolf,(at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan

Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite

Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011.

Rahmanta, Ekonomi Pertanian, Medan : USU Press, 2014.

Reid, Anthony J.S, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,

1996.

Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige : Karl Sianipar Company, 1977.

Silitonga, Chrisman,(at all), Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994,

(12)

Simanjuntak, Bungaran Antonius, Pemikiran Tentang Batak : Setelah 150 Tahun

Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

2011.

Simanjuntak Bungaran Antonius, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta

: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Sinaga, Martin Lukito, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil,

Yogyakarta : PT Lkis Pelangi Aksara, 2004.

Sinaga, Martin Lukito dan Juandaha Raya P. Dasuha, TOLE! DEN TIMORLANDEN

DAS EVANGELLIUM : Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di

Simalungun 2 September 1903-2003, P. Siantar : Kolportase GKPS, 2003.

Skripsi Andri Ersada Tarigan, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: Peranannya

Dalam Pelestarian Budaya Simalungun Dan Penyebaran Agama Kristen

(1928-1942).

Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX ,

Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004.

Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk

Indonesia, Mei 2001.

Tideman, J, Simalungun, Pematangsiantar : Media Group, 2012.

Sumber Internet :

Girsangvision.blogspot.com “J Tideman, Simeloengoen : Het Land Der Timoer

(13)

BAB III

Latar Belakang Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa

Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara 1960-1992

3.1 Migrasi

Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam migrasi terdapat unsur-unsur pokok, yakni meninggalkan kampung halaman,

dengan kemauan sendiri, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau

mencari pengalaman, serta merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.44

Penduduk sebagai pelaku terhadap peristiwa migrasi dalam hal ini adalah Suku Batak

Toba. Perpindahan dilakukan dalam mencari lahan untuk padi-sawah yang dekat

dengan jalur irigasi yang telah dibangun pemerintah Belanda secara meluas di tanah

Simalungun (Tanah Jawa, Siantar dan Pane). Pada tahun 1903-1904 orang toba

masuk ke Simalungun lewat Tiga Ras.45 Antara tahun 1960-1966 hampir 250.000

orang toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya.

Suku Batak Toba disebut juga masyarakat agraris, dalam masyarakat agraris

tanah merupakan faktor produksi yang penting. Suku Batak Toba atau masyarakat

agraris sering pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, terkhusus ke daerah yang

44

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 3.

45

(14)

jarang penduduknya serta memiliki lahan kosong yang luas dan tidak sedikit juga ke

daerah yang ramai penduduknya yang tentu saja daerah yang dituju memiliki nilai

lebih. Perpindahan yang di lakukan oleh Suku Batak Toba tergolong sukses, hal ini

dapat di lihat dari perubahan yang terjadi di daerah Kecamatan Tanah Jawa. Misalnya

dalam bidang pertanian di daerah ini yang semakin jauh membaik dibandingkan

dengan sebelum kedatangan Suku Batak Toba.46 Proses perpindahan yang dilakukan

pada saat itu tidaklah semudah yang kita bayangkan seperti sekarang ini, serta adanya

beberapa faktor yang memaksakan itu harus terjadi, mendorong dan mempercepat

perpindahan mereka ke daerah lain baik faktor pendorong dan penarik baik dari

daerah asal maupun daerah yang dituju. Dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan perpindahan itu terjadi, yakni :

1. Faktor pendorong dari daerah asal

a. Faktor Geografis

Letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi kehidupan

masyarakatnya yang tinggal di daerah itu, sama halnya dengan masyarakat orang

Batak Toba yang secara geografis mempengaruhi kehidupan orang Batak Toba

dengan segala sistem kehidupannya. Dilihat secara geografis Kabupaten Tapanuli

Utara terletak pada 1˚-20¹- 2º4¹LU dan 98º 10¹ -99º 35¹ BT47 dengan luas daerah

46

Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa, pertanian padi masih jauh tertinggal dan yang di usahakan lebih dominan adalah jagung. Pertanian jagung juga kurang bagus dan hasilnya tidak memuaskan. Namun setelah kedatangan batak toba banyak yang beralih dari pertanian jagung ke pertanian padi. (wawancara dengan Bapak Edison Simanjuntak)

47

(15)

11.625,41 Km². Daerah asal (Tapanuli Utara) sebagian besar daerahnya berupa

dataran tinggi dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung

jajaran Bukit Barisan yang berada pada 300-1500 m diatas permukaan laut (dpl),

serta topografi48 bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol

sampai dengan di atas 40% yang permukaan tanah banyak bergunung dan

berlembah-lembah yang menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan

usaha pertanian dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana

pengairan.49 Unsur ketinggian dan kemiringan lahan turut menentukan budidaya

tanaman. Dengan posisi letak berada di punggung jajaran Bukit Barisan, Tapanuli

Utara kurang beruntung karena merupakan hulu sungai-sungai yang bermuara ke

Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera Utara serta Danau Toba. Secara lambat

laun terjadi pengikisan lapisan dan humus tanah sehingga daerah ini relatif kurang

subur, yang menyebabkan dampak negatif terhadap pertanian yang pada

gilirannya mendorong penduduk, terutama para petani pindah dan menyebar ke

berbagai daerah. Walaupun pada awalnya keterbatasan sektor pertanian dan

kesulitan ekonomi sebagai faktor pendorong, namun kesuksesan yang ingin

dicapai ditentukan oleh hal yang lebih kompleks yaitu nilai-nilai tradisional yang

dianut oleh orang Batak Toba. Perpindahan orang Batak Toba ke daerah lain

dikenal dengan nama “Marserak” (menyebar).

48

Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk didalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.

49

(16)

Selain topografi dan kesuburan lahan yang kurang mendukung pertanian,

pengaruh iklim50 juga turut menentukan berhasil tidaknya panen. Musim yang

tidak menentu, seperti di daerah Humbang dan Samosir mengakibatkan

penderitaan petani karena padi atau tanaman palawija lainnya menjadi layu dan

akhirnya mati. Kesulitan di bidang pertanian terus berlangsung. Hutan semakin

gundul dan sumber air pun semakin berkurang. Kesulitan air semakin terasa sejak

Belanda melakukan pembalakan hutan, sehingga sumber air untuk persawahan

sangat kurang. Akibatnya banyak persawahan yang berubah menjadi perladangan.

Tahun 1961 misalnya Samosir mengalami goncangan hebat, hampir 1

tahun terjadi musim kemarau yang memaksa masyarakat mengalihkan tanaman

padi menjadi kacang dan bawang.51 Pada waktu itu bahaya kelaparan mulai

mengancam jiwa penduduk sehingga ke luar daerah secara spontan dan meminta

untuk dipindahkan. Situasi kehidupan sangat menyedihkan, akibatnya banyak

penduduk dari Samosir bekerja diluar daerahnya sebagai tenaga kerja musiman.

Banyak suami yang meninggalkan isteri dan anak-anaknya didesa untuk

berdagang keliling (marjajo), tetapi banyak juga yang pindah dengan tujuan

mencari lahan pertanian. Daerah migrasi yang dituju biasanya daerah persawahan

yang lebih baik dan subur seperti daerah Dairi dan Simalungun.

50

Pengertian iklim adalah suatu keadaan rata-rata cuaca di suatu wilayah dalam jangka waktu yang relatif cukup lama.

51

(17)

b. Faktor Sosial dan Demografi

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Batak Toba, memiliki prinsip

yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah lulu anak lulu tano yang berarti

suka akan anak suka akan tanah (semakin banyak anak/keturunan maka akan

dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka). Bagi

masyarakat Batak Toba, tanah sangat memegang peranan penting karena

norma-norma ditujukan kepada sistem pertanahan, seperti halnya dalam adat, dalihan

na tolu52 dan harajaon53.

Tujuan budaya Batak Toba adalah untuk mewujudkan 3H yakni

Hasangapon, Hagabeon dan Hamoraon. Setiap orang mendambakan banyak

anak, tanah untuk pertanian dan ternak. Akan tetapi, tanah yang tandus dan iklim

yang kurang baik menyebabkan penentuan dari jenis tanaman dan hasil panen

yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin

bertambah. Kemungkinan pembukaan areal pertanian terutama persawahan baru

di daerah sendiri semakin berkurang dan muncullah para petani-petani yang haus

akan lahan yang subur dan luas. Keterbatasan di daerah sendiri menyebabkan

52

Dalihan natolu berfungsi dalam mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

53

(18)

mereka keluar dari Tapanuli Utara. Sebagian dari petani pindah ke daerah lain

seperti ke daerah Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.54 Jarak dan kebiasaan di

daerah asal turut menentukan pilihan ke daerah mana akan pindah. Penduduk

yang pindah dari Toba Holbung, Silindung dan Samosir tidak sedikit memilih ke

daerah Tanah Jawa untuk meneruskan pola pertanian sawah dari kampung

halamannya dan sebagian besar memilih menetap dan tinggal di daerah pertanian.

Migrasi yang terjadi ternyata banyak kaum muda bukan hanya kaum tua saja,

khususnya bagi kaum tani, keterbatasan lahan pertanian akibat faktor fisik

Geografis, iklim, ekologi dan tanah-tanah adat tidak menutup kemungkinan

bahwa bagi anak sulung (siahaan) dan anak bungsu (Siampudan) untuk

meninggalkan kampung halamannya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa

tanah sangat memegang peranan penting dalam adat Batak Toba, sebagai sumber

mencari penghidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi

anggota keluarga dan keturunan yang akan datang serta untuk menggapai

ke-kepalaan, sebagaimana terkandung dalam ungkapan lulu anak lulu tano. Setiap

keluarga muda yang sudah mandiri (manjae) secara tidak langsung didorong

untuk membangun kampung-kampung baru. Pemberian sebidang tanah kepada

anak yang telah bekeluarga dalam bentuk tanah (panjaean), menyebabkan

semakin banyak rumah tangga petani yang memiliki dan menguasai lahan yang

sempit. Melihat sifat dasar orang Batak yang rindu berkawan (sihol mardongan),

54

(19)

memperbesar arus perpindahan dari satu kampung mengikuti teman sekampung

yang pindah terlebih dulu ke daerah lain. Teman atau saudara yang sudah pindah

akan memberi kabar kekampung halaman, hal ini menyebabkan penduduk yang

berada dikampung halaman ikut melakukan perpindahan karena lahan yang lebih

subur didaerah lain dan keinginan dapat lebih maju seperti temannya.55

c. Faktor Budaya

Faktor budaya juga dapat dianggap sebagai faktor dalam

bermigrasi/berpindah. Seperti dalam misi atau konsep budaya Suku Batak Toba

yaitu 3h “hasangapon (kedudukan sosial), hamoraon (keberhasilan dalam aspek

materi dan pengetahuan) dan hagabeon (kebahagiaan, kesejahteraan dan

memiliki banyak keturunan)”. Disamping dari konsep 3H ini yang paling utama

adalah kerendahan hati (haserepon) akan tetapi hal ini sangat jarang diutarakan

sebagai salah satu ukuran keberhasilan di masyarakat Batak Toba. Dalam konsep

hamoran seseorang dianggap kaya adalah jika mampu memberi kepada orang

lain, karena dengan kemampuannya untuk memberi maka dia adalah seorang

kaya berarti ada yang lebih dia berikan kepada orang lain. Ukuran kehormatan

(hasangapon) juga tidak selalu sejalan dengan posisi/jabatan seseorang di dalam

masyarakat. Kehormatan seseorang adalah hasil dari perjalanan panjang yang

dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sebagai dari

sistem nilai yang ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Kalau seseorang memiliki

55

(20)

haserepon, tentu kehormatan ini akan dicapai. Banyak contoh yang menunjukkan

orang-orang yang dihormati dalam lingkungannya walaupun jabatan/posisinya

tidak tinggi, sebaliknya banyak juga orang-orang yang sudah memiliki

kedudukan/posisi yang cukup terhormat, tetapi tidak dihormati didalam

lingkungannya. Demikian juga dengan ukuran hagabeon, banyaknya keturunan

adalah salah satu cara untuk mencapai 2 keberhasilan di atas yaitu hamoraon dan

hasangapon. Juga dengan adanya keturunan, diharapkan nama seseorang akan

diabadikan melalui keturunan-keturunannya. Akan tetapi melihat kondisi dan

keterbatasan lahan pertanian dan adat yang melingkupinya (hagabeon

banyaknya keturunan) menyebabkan pertambahan penduduk yang menjadi

tekanan terhadap lahan pertanian dan sekaligus terjadinya kemiskinan pada

masyarakat. Rumah penduduk masih sederhana, kesehatan tidak terjamin dan

tidak sedikit penduduk yang memakan ubi sebagai makanan utama. Seyogianya

setiap orang tidak ingin hidup dalam kemiskinan, mereka akan selalu berupaya

untuk meraih kekayaan materi dan ingin dihormati seperti misi dalam budaya

Batak Toba yakni hamoraon dan hasangapon. Akan tetapi, sektor pertanian

sebagai sumber utama mencari nafkah tidak dapat diharapkan untuk memenuhi

kebutuhan hidup yang semakin beraneka, dan dipersulit lagi dari pertambahan

penduduk sedangkan luas areal pertanian relatif tetap. Dapat dikatakan bahwa

ketidakcukupan lahan pertanian untuk menjamin kelangsungan hidup anggota

keluarga mendorong masyarakat mencari perluasan lahan pertanian ke daerah

(21)

yang tidak subur dan juga hujan turun dengan tidak teratur. Hujan yang tidak

turun hampir setahun di Samosir memaksa sekitar 50.000 penduduknya keluar

antara tahun 1961-1965.56 Sesudah pengakuan kedaulatan (1950), Tapanuli

memandang ke pusat dan mengharapkan adanya perhatian, sedikitnya hanya

sekedar dapat mengembalikan keadaan normal hasil perkebunan mereka.

Perdagangan kemenyan terus merosot sekitar 6,5 juta pertahun, tetapi naiknya

harga kopra dan karet menyebabkan perhatian pemerintah lebih fokus pada

kedua komoditi tersebut dan kemenyan tidak dipandang lagi sebagai kepentingan

nasional. Kesulitan-kesulitan ekonomi terus berlangsung. 57 Karena tekanan

ekonomi semakin besar dan kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan

lebih besar di daerah lain petani-petani pun keluar dari kampungnya.

Situasi seperti ini mau tidak mau akan mendorong mereka untuk pindah

ke daerah lain agar dapat berdiri dikaki sendiri (manjae) untuk menghidupi

keluarganya dan ingin lebih sejahtera dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Biasanya sebagian besar Suku Batak Toba sekali meninggalkan kampung

halamannya biasanya mereka tidak kembali lagi ke kampung asalnya, jika

seandainya gagal di daerah yang baru ditempatinya maka akan memilih lebih

baik pindah ke daerah lain lagi daripada harus kekampung halaman yang asli.

Mereka akan pulang pada hari-hari besar seperti Hari Natal dan Tahun Baru

56Wawancara

dengan Bapak Jayas Siallagan, 20 November 2015.

57

(22)

ataupun pada saat ada yang terjadi dan memaksa mereka pulang dan hanya

beberapa hari saja dan setelah itu akan kembali ke tanah perantauannya. Selain

itu ada juga yang bekerja musiman, ada beberapa kasus untuk sebagian

masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk

bekerja di berbagai daerah yang hanya bersifat sementara. Kelompok ini disebut

dengan mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara

periodik mereka kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun

1980-an.58

Di daerah asal kegiatan petani dan industri rumah tangga adalah kegiatan

utama perekonomian. Pada umunya pekerjaan kaum lelaki tidak dapat dielakkan,

seperti membajak sawah, mengangkut padi pulang, mengerjakan pekerjaan

pengairan, pekerjaan bangun-membangun dan ketika sawah masih banyak belum

selesai kaum lelaki kebanyakan bekerja di sawah.59 Para petani

bergotong-royong dari satu tahap ke tahap berikutnya sampai akhirnya padi yang dipanen

itu sampai di rumah dan sistem upah jarang terjadi. Ketika tanah tidak

bertambah luas lagi dan perbandingan tanah akan pertumbuhan penduduk tidak

sanggup lagi untuk menjaga kelangsungan hidup, secara pasti banyak kaum

laki-laki memilih untuk bermigrasi dan wanita (istri) yang ditinggal lalu mengurus

pengolahan tanah yang di daerah asal. Banyaknya kaum lelaki bermigrasi tidak

58Wawancara

dengan Marulak Sitinjak, 23 November 2015. 59

(23)

cukup lagi untuk melakukan pekerjaan secara gotong-royong sehingga sistem

upah muncul. Namun, sistem non-upah dengan gotong-royong tidak hilang

begitu saja hingga sekarang sebahagian dari masyarakat (Desa Pahae Julu) masih

menerapkan sistem tersebut.60

Masyarakat yang pindah tidak hanya mencari lahan yang luas untuk

pertanian saja, ada juga yang mencari pekerjaan diluar sektor pertanian, serta

sesalu menerapkan budayanya. Yang menjadi alasan terjadinya migrasi ke daerah

lain dilihat dari segi faktor budaya dan bisa juga disebut sebagai faktor ekonomi

dalam Suku Batak Toba adalah adanya tekanan terhadap ekonomi keluarga,

kurangnya lahan sawah untuk dikelola, mencari pekerjaan yang lebih baik diluar

sektor pertanian, sering mengalami gagal panen dalam bertani, tidak ingin selalu

tergantung pada orangtua dan tentu saja untuk meningkatkan taraf hidup yang

lebih baik dari sebelumnya di daerah asal.61

d. Faktor adanya Pembukaan Jaringan Jalan

Suatu hal yang menguntungkan bagi Suku Batak Toba, bahwa sejak

zaman sebelum kemerdekaan jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai

daerah ke pelosok-pelosok yang menjadi prasarana menghubungkan dan

60Wawancara

dengan Rojakat Sitompul, 20 Agustus 2015.

61

(24)

memperkenalkan Suku Batak dengan dunia luar. 62 Jaringan jalan yang

menghubungkannya adalah jalan darat. Perpindahan penduduk dari Tapanuli

Utara ke daerah sekitarnya, seperti ke Simalungun dan Dairi ditempuh dalam

beberapa hari perjalanan dan menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam

migrasi dulu karena kondisi jalanan masih sederhana dan luasnya setapak.

Dimana transportasi masih sangat susah dijumpai. Pada zaman penjajahan,

pembangunan jalan-jalan Negara, Provinsi, Kabupaten dan Desa dibangun secara

gotong-royong, rodi atau kerja paksa. Tahap demi tahap jalan dikerikil hingga

seperti yang banyak dilihat dewasa ini.

Pada tahun selanjutnya jalan-jalan yang lebih besar dibangun untuk

menghubungkan ke daerah luar. Terlebih lagi semenjak masuknya pengaruh

kolonial Belanda di tanah batak pembangunan jalan dipercepat untuk tujuannya

memperluas wilayah jajahannya. Dimulai dari daerah jajahannya kemudian

daerah yang hendak ditujunya dalam memperluas kekuasaannya. Pada masa

kolonial Belanda jaringan jalan di daerah Sumatera Utara sudah agak memadai.

Pembukaan jalan-jalan dari daerah pedalaman diikuti oleh pembangunan jalan

besar, jalan berastagi dan kabanjahe di dataran tinggi karo dan jalan melalui

Simalungun ke Danau Toba yang terus ke selatan ke Tapanuli dan Sibolga yang

merupakan urat nadi utama jaringan jalan. Dengan adanya jaringan jalan ini

dapat mempercepat tersebarnya informasi dari satu daerah ke daerah lain.

62

(25)

Dengan terbetiknya berita dari para Missionaris tentang adanya

kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang

sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini mencoba mengadu nasib dan

mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka

melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar

Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur

Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba

yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari

Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga

Dolok.

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani

melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute

kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh

pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar

dari tanah Batak. Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri

sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan

raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada

(26)

Dolok menuju Pematang Siantar, Tanah Jawa.63 Dengan dibukanya jalan raya itu,

percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak.

Pembangunan jalan di sekitar Danau Toba (Pangururan-Tele) memberi

kemudahan bagi penduduk Batak Toba meninggalkan kampung halamannya

menuju daerah lain seperti Simalungun dan Dairi. Sedangkan perbatasan wilayah

Siantar dan Tanah Jawa terjadi perbaikan besar pertama dalam jaringan jalan

kotapraja dibuka pada tahun 1918 dengan membangun jembatan beton lengkap

di jalan marihat dan meninggikan jalan ini. Hal serupa juga dilakukan pada tahun

berikutnya dengan jalan menuju sekolah, disini juga dibangun sebuah jembatan

beton yang dibangun di atas Bah Bolon dan jalan setempat dinaikkan setinggi 3

meter. Pengerasan jalan raya dimulai secepatnya. Lahan pasar seluruhnya

diperkeras dengan pedas.

2. Faktor penarik dari daerah tujuan

Bagi Suku Batak Toba misi budayanya yakni hamoraon, hasangapon dan

hagabeon adalah tujuan utamanya. Untuk menggapai itu semua harus dilakukan

dengan usaha dan kerja keras. Melihat daerah asal yang topografinya

bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan

di atas 40% yang permukaan tanah yang banyak bergunung dan

berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian

63

(27)

dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan, akan sulit

untuk mencapai misi budaya tersebut. Sehingga banyak masyarakat memilih

untuk pindah ke daerah lain yang memiliki nilai lebih dibanding daerah asal yang

tentu saja sebagai faktor penarik dari daerah yang dituju.

Perpindahan penduduk dari desa ke desa atau dari daerah pertanian ke

daerah pertanian pada umumnya dilakukan oleh para petani. Ketiadaan lahan

atau karena lahan yang dapat diusahai dikampung asal semakin sempit,

mendorong mereka mencari lahan yang lebih luas dan lebih subur di luar

Tapanuli dengan harapan dapat memberikan pendapatan yang lebih besar. Suku

Batak Toba banyak memilih pindah ke wilayah Simalungun dan lebih

dominannya berada di wilayah Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun

karena memiliki lahan yang luas dan subur yang cocok untuk pertanian ditambah

lagi setelah kerajaan tradisional Tanah Jawa dihapuskan. Suku Batak Toba

mempunyai keahlian tersendiri dalam hal bertani dan ini dijadikan bekal untuk

membangun persawahan. Sesuai dengan keahlian mereka dibidang persawahan,

di daerah baru mereka membuka lahan-lahan yang cocok untuk persawahan.

Salah satu cara yang ditempuh adalah mengubah hutan menjadi persawahan

dengan membuka tali air dari sungai yang terdekat. Kesuburan lahan jelas akan

mempengaruhi tingkat produktivitas sehingga hasil yang diperoleh akan lebih

besar dan dengan didorong iklim dan irigasi yang memungkinkan panen dua kali

(28)

Dari lahan yang lebih luas dan lebih subur diharapkan keadaan ekonomi

mereka akan lebih baik dibandingkan dengan daerah yang ditinggalkan dan

keadaan sosial ekonomi orangtuanya. Alasan pindah dari daerah asal ke daerah

yang dituju adalah adanya lahan pertanian yang luas, daerah yang lebih subur,

keadaan ekonomi lebih baik, dan daerah yang memungkinkan untuk memiliki

tanah sendiri.

Selain dari daerah yang subur, faktor yang menyebabkan kedatangan

Suku Batak Toba ke Kecamatan Tanah Jawa adalah adanya perkawinan antara

masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli utara dengan masyarakat Kecamatan

Tanah Jawa. Dalam adat Batak Toba, jika puteri/wanita (dari Tapanuli Utara)

menikah dengan laki-laki dari Tanah Jawa maka kemungkinan besar akan tinggal

di daerah si laki-laki, serta nanti jika ditanya asal daerah kepada anaknya maka

otomatis adalah daerah dari orangtua laki-laki (Tanah Jawa).

Kemudian juga dengan adanya penempatan Pegawai Negeri Sipil di

Kecamatan Tanah Jawa. Terlebih pada tahun 1960-an masyarakat yang mendapat

pendidikan banyak yang mengalihkan perhatiannya kepada intansi pemerintahan

yang dianggap dapat mengubah status sosial.64 Banyak Suku Batak Toba yang

pindah atau penempatannya di Kecamatan Tanah Jawa, karena banyaknya tenaga

64

(29)

pendidik yang dibutuhkan dan inilah yang menarik perhatian dari Suku Batak

Toba melakukan perpindahan ke Tanah Jawa.

3.2 Interaksi Batak Toba

Suku Batak Toba adalah suku pendatang di wilayah kecamatan Tanah

Jawa Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara. Banyaknya migrasi Suku

Batak Toba ke wilayah ini menjadikan mereka masyarakat yang dominan.

Kedatangan Suku Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa memberikan dampak yang

positif baik dalam bidang pertanian dan pemerintahan yang semakin memiliki

kemajuan. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat mereka tinggal, mereka

dapat berbaur dengan suku asli (Simalungun), suku jawa, suku karo, mandailing

serta sesama Suku Batak Toba yang datang dari berbagai daerah.

Awalnya kedatangan Batak Toba ke wilayah ini mengakibatkan

perpecahan antara Batak Toba dan Simalungun. Dimana Batak Toba termasuk

suku yang istimewa yang diperlakukan oleh kolonial Belanda, walaupun masih

terdapat sistem perbudakan di sebagian masyarakat Batak Toba. Mengingat

bahwa masyarakat Batak Toba adalah suku yang sengaja di datangkan oleh

Belanda dalam mengatasi persoalan pangan karena terbatasnya sumber-sumber

beras dan masyarakat yang sudah mendapat pendidikan di daerah asal dapat

(30)

masyarakat asli (Simalungun).65 Sehingga sebagian dari masyarakat Simalungun

berniat bisa masuk dan bekerja di pemerintahan agar masyarakatnya tidak

semakin tersisih. Akan tetapi tidak semua masyarakat berpandangan seperti itu,

sebagian masyarakat memilih mundur ke daerah yang sekarang disebut dengan

Simalungun Atas melihat gerak Batak Toba yang cepat dan agresif, suara yang

keras. Kecemburuan sosial tersebut tidak bertahan lama, suku pendatang (baik

Suku Batak Toba, Suku Mandailing dan Batak Karo) berusaha berbaur dengan

suku asli yang sudah lama di daerah tersebut. Bagaimanapun juga mereka adalah

pendatang yang ingin meningkatkan taraf hidupnya. 66 Terlebih lagi suku

pendatang dan suku asli mempunyai kemiripan budaya, arti bahasa, akan tetapi

logat bicara yang berbeda. Datangnya Suku Batak Toba menjadikan pertanian

semakin membaik dan Suku Simalungun semakin mengerti bagaimana sistem

bertani di sawah sehingga mereka tidak hanya mengusahakan sistem perladangan

saja.

Dikalangan Suku Batak ada beberapa pengertian yang menyatakan

kesatuan teritorial di dalam masyarakat desa ialah huta, kuta,. Huta (bahasa toba

dan simalungun) biasanya merupakan kesatuan yang dihuni oleh keluarga yang

asal satu klen. Kuta (bahasa karo) biasanya lebih besar dari Huta dan terdiri dari

65

Di hati orang Simalungun ada perasaan dikalahkan akibat pola penanaman padi sawah yang lebih efektif dari orang toba, ditambah mereka merasa dikuasai akibat penetrasi agresif dari kelompok pendatang yang nota bene lebih dulu mengenal huruf dan maju akibat pengkristenan yang mereka alami. (Martin Lukito Sinaga, op.cit, hlm 63)

66

(31)

penduduk yang asal dari beberapa klen yang berbeda-beda. Pada orang Karo,

Toba, Simalungun dan Mandailing, tiap-tiap desa mempunyai sebuah balai desa

sebagai tempat dilakukan sidang-sidang pengadilan dan sidang lain (balai

kerapatan).67

Dalam Suku Batak Karo dan Batak Simalungun ada perbedaan antara

golongan yang merupakan keturunan dari para pendiri huta, dengan golongan

yang merupakan keturunan dari penduduk kuta. Golongan para pendidri kuta

ialah para merga taneh yang memiliki tanah yang paling luas, sedangkan

golongan lainnya biasanya hanya memiliki tanah yang sekedar cukup untuk

hidup (terbatas). Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah

bermata pencaharian bercocok tanam. Dalam bercocok tanam baik diladang

maupun disawah, orang perempuan batak mengambil peranan yang bisa

dikatakan penting, sedangkan laki-laki mengerjakan tahap-tahap seperti

membersihkan, menyiapkan saluran-saluran air (irigasi), membajak.

Kebersamaan masyarakat batak di daerah ini sangat baik, mereka

sama-sama mengenal sistem gotong-royong dalam bercocok tanam. Dalam bahasa

Karo disebut raron, bahasa Toba disebut marsiurupan/marsiadap ari dan bahasa

Simalungun disebut dengan marsiurupan/marharoan/sapangambei manoktok

hitei. Mereka bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota

secara bergiliran. Disamping bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata

67

(32)

pencarian pada orang batak umumnya. Biasanya mereka memelihara kerbau,

sapi, babi68, kambing, ayam, dan bebek. Kerbau dalam masyarakat batak

keseluruhan banyak dibutuhkan sebagai binatang penghela dan untuk upacara

adat, sedangkan babi banyak dimakan, tetapi juga dalam adat (jika tidak mampu

membeli kerbau). Sedangkan sapi, kambing, ayam dan bebek dijual untuk

menambah pundi-pundi keluarga.

68

Babi adalah ternak yang dijadikan makanan utama dalam adat Batak Toba disamping ternak kerbau serta upacara keagamaan (sering ditemui dalam acara pembaptisan atau disebut dengan

(33)

BAB IV

Pengaruh Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten

Simalungun 1960-1992

4.1 Pertanian

Migrasi sebagai suatu proses perpindahan penduduk mengalami peningkatan

yang cukup berarti pada beberapa dasawarsa belakangan ini, terutama di

negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Peningkatan arus migrasi ini

terutama terjadi dari desa menuju kota atau dari desa ke desa. Dilihat dari sebab

terjadinya, pada dasarnya migrasi timbul karena adanya perbedaan kondisi alam dan

kondisi sosial ekonomi antara daerah yang satu dengan yang lain serta dari berbagai

pihak lain seperti agama (Mission) dan politik. Terbatasnya sumber daya alam dan

lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi menjadi faktor

dominan bagi penduduk untuk meninggalkan daerah asal.69

Namun dalam masyarakat Batak Toba yang bermigrasi dan tinggal di

kecamatan Tanah Jawa sebagian besar bekerja di sektor pertanian70. Sejalan dengan

perubahan dan perkembangan yang terjadi, masyarakat atau para petani tidak tinggal

berdiam diri di daerah pertanian yang sempit dengan berbagai kendala, tetapi mereka

69

Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX , Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004, hlm. 34.

70

(34)

banyak yang pindah untuk melanjutkan pola pertanian dengan teknologi pertanian

yang dibawa dari kampung halamannya ke daerah yang dituju.71 Seperti yang telah

disebutkan di atas salah satu suku yang melakukan ini adalah suku batak toba,

sehingga bisa dikatakan sangat banyak ditemukan orang-orang Batak Toba tinggal di

daerah persawahan.

Datangnya Suku Batak Toba ke wilayah ini tidak begitu saja mendapat lahan

yang langsung bisa dikerjakan, mereka harus membuka lahannya sendiri untuk

dikerjai.72 Tanah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa ini adalah dulunya disebut

tanah Kerajaan Tanah Jawa, namun masyarakat lebih mengenal tanah itu milik Tuan

Kaliamsyah (salah satu anggota Kerajaan di kerajaan Tanah Jawa). Tuan Kaliamsyah

memberikan atau membiarkan lahan itu untuk dikerjai dan menjadi milik masyarakat

itu sendiri. 73 Sama seperti halnya yang tertera di dalam Zelfbestuursbesluit

Simalungun. Dalam ZELFBESTUURSBESLUIT ddo. 8 Juni 1933 No. 12

goedgekeurd door den Gouverneur der Ooskust van Sumatra ddo. 26 Juni 1933

tentang Peratoeran Sawah Simeloengen 1933 bahwa Peratoeran memakai tanah dan

mengenakan hasil air (Oepah Radja ni Bondar) dari semoea sawah2 jang digenangi

air dalam bahagian Irrigatie jang ada di Simeloengen, dalam Fatsal 1 disebutkan

“Peratoeran oemoem” : Baik kepada pendoedoek negeri disini ataupoen pendoedoek

71

Chrisman Silitonga, dkk, Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Jakarta : Perhepi, 1995. Hlm 34.

72

J Tideman, op.cit, hlm 222.

73

(35)

negeri lain jang datang ke Simeloengoen boleh diberi tanah2 boeat dipakai

toeroen-toemoeroen, dan Fatsal 2 disebutkan “Lebar tanah jang akan diberikan” : Boeat

seseorang (seroemah) tanah itoe diberikan boeat didjadikan sawah tidak boleh lebih

dari 1 H A. Lebarnja dibagian Irrigatie jang baroe diboeka.74

Namun setelah Simalungun masuk dalam NKRI, pernyataan diatas tidak

diberlakukan lagi. Semenjak berlakunya U.U.P.A No.5 Tahun 1960 ditentukan bahwa

tanah-tanah swapraja yang tadinya hanya terdapat hak mengusahakan, dengan

sendirinya di konversi menjadi milik pribadi.75 Sedangkan Suku Batak Toba yang

datang kemudian untuk mendapatkan lahan pertanian harus membeli tanah untuk

diusahakan, yang mana harga tanah dihitung berdasarkan harga perkaleng Padi.

Tahun 1970 Jika ingin membeli tanah dengan luas 0,5 Ha maka harus membayar

1.500 kaleng padi dengan harga Rp. 1000,00 /kaleng padi dan harga perkaleng padi

ini bervariasi tergantung yang menjual tanah tersebut.76 Namun ada juga masyarakat

yang datang tidak memiliki tanah yang kesehariannya sebagai petani dapat mengelola

tanah yang dipercayakan padanya atau sering disebut dengan menyewa kepada

74

ANRI, Simeloengoen 1933, hlm. 34.

75

Rudolf Purba, (at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011, hlm. 346.

76

(36)

pemilik tanah yang kaya dengan sistem bagi hasil (artinya orang mengelola tanah

yang bukan miliknya, harus membagi setengah dari hasil panennya).77

Dapat dilihat secara umum, Suku Batak Toba yang berpindah dan bekerja

dalam kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas

mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani

yang mengusahai lahan sempit. 78 Sebaliknya petani-petani berlahan sempit

mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anaknya hanya

tamat SLTP.

Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman

monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka

lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu karena di daerah yang baru

dapat panen dua kali atau lebih, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan

kesehariannya, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan

produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi

petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke

pekerjaan lain yang lebih produktif. Di berbagai desa, terdapat petani-petani Batak

Toba mengusahai sampai 0,5 Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka

kurang tanggap terhadap perubahan dan hanya berpegang pada apa yang tampak

77

Beny Octofryana Yousca Marpaung dan Madya Alip Bin Rahim, Kampung Etnik Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya, Medan : Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hlm 24.

78

(37)

dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka

kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang

dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang

berkembang dengan lebih cepat. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang telah

menjual tanah yang dibelinya atau tanah yang dibukanya dahulu (kepentingan

mereka) bahkan ada pula yang menjadi petani penyewa dan pada akhirnya ada yang

pindah ke daerah lain seperti Riau. Salah satu sub suku yang banyak melakukan

migrasi ke berbagai daerah adalah Suku Batak Toba. Suku Batak Toba bisa di jumpai

di berbagai daerah di Indonesia. Karena tidak ingin tinggal di desa dan ingin

berkembang, ada yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan

di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua.

Para perantau batak toba ini tidak hanya bekerja sebagai petani dan biasanya

mempunyai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk

mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada

pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat prioritas.

Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor

pertanian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas tenaga kerja

dari sektor pertanian ke non-pertanian antara lain adalah konversi lahan pertanian ke

lahan industri, perubahan teknologi dan hubungan kerja di sektor pertanian, dan

(38)

sektor lain.79 Sedangkan di beberapa daerah yang dekat dengan jalan raya

petani-petani yang memiliki lahan yang luas, biasanya memiliki hidup dalam tingkat sosial

ekonomi yang lebih baik.

Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah,

Suku Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan

nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai

pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam

kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian

yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan

terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani,

penangkap ikan, pedagang atau pegawai. Oleh karena minimnya pendapatan

masyarakat di Tapanuli, Suku Batak Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar

Tapanuli (salah satunya adalah Kabupaten Simalungun).

Dari data sensus tahun 1983 yang telah dilakukan bahwa jumlah rumah tangga

Suku Batak Toba yang bekerja dalam pertanian (padi) sangat banyak di Kecamatan

Tanah Jawa mencapai luas panen 12.583 ha, jumlah produksi 66.855 ton dan rata-rata

per Ha nya adalah 5,31 ton/ha.80 Hal ini menunjukkan potensi pertanian sangat besar,

dan perlu perhatian yang lebih dari semua kalangan, karena tenaga atau sumber daya

manusia yang tersedia cukup banyak. Selain sumber daya manusia yang memadai di

Kecamatan Tanah Jawa, sumber daya alam juga merupakan faktor yang mendukung

79

Chrisman Silitonga, dkk, op,cit. Hlm 34.

80

(39)

peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sumber daya alam yang dimiliki

daerah Kecamatan Tanah Jawa antara lain: air (sebagai sarana irigasi/pengairan),

tumbuhan (hutan, pertanian, perkebunan) dan tanah (lahan

pertanian/perkebunan/perikanan). Sehingga Simalungun menjadi lumbung padi dan

beras terbanyak di Sumatera Utara dan daerah paling banyak adalah kecamatan

Tanah Jawa dan Kecamatan Bandar. Akan tetapi dari sensus pertanian yang

dilakukan oleh departemen pertanian, yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1985

– 1992 telah terjadi penyusutan lahan pertanian di Simalungun. Penyusutan lahan

tersebut disebabkan oleh proses konversi lahan pertanian ke penggunaan

non-pertanian, sehingga total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta ha. Konversi

lahan juga terjadi dari lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian komoditi atau

tanaman keras. Hal ini pun terjadi di Kecamatan Tanah Jawa khususnya dan daerah

Kabupaten Simalungun pada umumnya. Jumlah luas tanah pertanian di wilayah

(40)

Tabel 4.1 : Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Padi Sawah Pada Tahun 1992.

No Desa/Kelurahan Luas Panen

(41)

4.2 Agama

Jauh sebelum datangnya pengaruh dari agama Islam dan Kristen, masyarakat

Simalungun sudah memiliki kepercayaan sendiri yang sering disebut dengan agama

suku. Agama suku adalah suatu kepercayaan akan makhluk-makhluk gaib yang

biasanya berdiam di tempat-tempat keramat seperti yang dipercayai berada di pohon

keramat (terutama di wilayah Bandar). Disamping itu juga masyarakat Simalungun

percaya dengan namanya Naibata yakni menguasai dunia atas, dunia tengah dan

dunia bawah. Masyarakat Simalungun sangat percaya dan mengilhami filosofi yang

telah diajarkan turun-temurun dan sampai sekarang masih dijalankan, yakni

Habonaran do Bona (kebenaran adalah pangkal segala sesuatu.81

Pada tahun 1891 Kerajaan Tanah Jawa takluk kepada pemerintah kolonial

Belanda. Melihat penyebaran agama Islam mengalami kemajuan di wilayah

Simalungun serta raja simalungun (raja siantar dan kaum aristokrat Tanah Jawa)

menganut agama Islam yang menyebabkan rakyatnya ikut untuk memeluk agama

tersebut. Sehigga pemerintah kolonial belanda meminta untuk melakukan

pengkristenan di daerah Simalungun.82 Di dalam penyebaran Injil ini tidak hanya

dilakukan oleh lembaga RMG (Rheinische Mission Gesellchaft) namun juga oleh

Suku Batak Toba 83 yang datang ke wilayah ini. Jika zending di Tapanuli bisa

(42)

diterima masyarakat dan menjadikan agama mayoritas dalam Suku Batak Toba,

namun berbeda halnya dalam penyebaran injil di wilayah Simalungun. Dimana

masyarakatnya masih tertutup dan susah untuk berbaur dengan suku pendatang serta

bahasa yang digunakan dalam Mission ini adalah bahasa batak toba84, sehingga sulit

diterima oleh suku asli Simalungun dan tidak sedikit menghadapi tantangan. Namun

lambat laun, atas upaya usaha dan kekuatan zending dalam pengkristenan masyarakat

dapat berkembang diseluruh Simalungun. Tahun-tahun berikutnya, jumlah Suku

Batak Toba yang sudah beragama kristen makin membanjiri Simalungun Bawah,

khususnya di perkebunan daerah.85 Para Mission juga melakukan usaha yakni dengan

membangun sekolah untuk mendidik para pemuda. Zending memusatkan kegiatannya

di bidang pendidikan dan perawatan kesehatan penduduk.86 Pendirian sekolah

ternyata cukup mendapat respon yang positif dari masyarakat setempat. Tujuan

dengan dibangunnya sekolah ini adalah untuk mendidik anak-anak agar bisa

membaca dan mengalami kemajuan, tetapi tetap dalam misi awalnya dengan

mengajarkan agama yang benar dan ini dianggap sebagai sarana yang dipandang

sangat efektif untuk mengabarkan Injil. Awalnya dalam pengabaran Injil yang

dilakukan oleh para Mission dibangun Gereja yang disebut dengan nama HKBP

(Huria Kristen Batak Protestan). Sampai pada akhir tahun 1952 masyarakat Kristen

84

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah penyebaran injil di simalungun dengan menggunakan bahasa batak toba yang tidak dimengerti oleh masyarakat simalungun.

85

Juandaha Raya P. Purba, op.cit, hlm 154.

86

(43)

Toba dan Kristen Simalungun bergabung lebih kurang sampai setengah abad lamanya

dalam nama organisasi gereja HKBP dan terhitung mulai tanggal 22 Januari 1953

Kristen Simalungun terlepas dari HKBP dan menjadi dalam Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS) tanpa nama Batak lagi yang dibawah pimpinan Ephorus pertama

Jaulung Wismark Saragih (JWS).87 Suku Batak Toba yang bermigrasi harus bisa

menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru tanpa kehilangan identitasnya sendiri.

Mereka membangun perkampungannya di daerah perantauan atas dasar hubungan

keluarga atau tempat asal yang sama. Mereka membangun Gereja di wilayah

perkampungannya sebab mereka Kristen. Mereka memegang adatnya dan mereka

selalu menggunakan bahasa Toba di antara mereka. Tetapi dari pihak lain orang Toba

harus menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Mereka tinggal di antara orang

Islam dan suku lain. Maka mereka harus juga memperhatikan kelompok yang lain. Di

Kecamatan Tanah Jawa kehidupan beragama bisa dikatakan dengan damai, saling

menghargai dan hingga saat ini tidak terdengar konflik yang disebabkan oleh

agama.88 Banyaknya masyarakat yang mempercayai agama dapat dilihat dalam BAB

II.

87

Sebelum menjadi Ephorus pertama dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Jaulung Wismark Saragih (JWS) adalah tadinya dalam HKBP sebagai wakil Ephorus buat gereja-gereja simalungun. ( Batara Sangti, op.cit, hlm 188.)

88

(44)

4.3 Pendidikan

Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Kecamatan Tanah Jawa,

pendidikan di daerah ini belum begitu dipentingkan. Karena masyarakat hanya tahu

bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh kerajaan yang memerintah pada masa itu.

Akan tetapi setelah masuknya pengaruh pemerintah kolonial Belanda, Zending dan

banyaknya suku pendatang dari suku batak toba, Pendidikan mulai dikembangkan.

Suku Batak Toba telah lebih dahulu mendapat pendidikan barat dibandingkan dengan

suku Simalungun. Bagaimana Suku Batak Toba bisa mendapat pendidikan barat?

Sebelum Belanda menjajah tanah Batak sebagai suatu daerah yang dikuasai secara

administratif dan sebelum para penginjil asing datang untuk menginjil orang Batak,

pendidikan masih bersifat asli pribumi89.

Unsur pendukung kurikulum asli pribumi yaitu pengetahuan praktis yang

menyangkut keamanan dan pertahanan, yang dipercaya dalam hal ini adalah guru90.

Orang yang sekaligus menjadi sumber kekuatan tersebut dinamakan guru atau datu

(untuk kelahiran dinamakan sibaso, untuk arsitektur dinamakan pande jabu, irigasi

dinamakan pande-aek). Pendidikan asli pribumi tersebut memiliki mata pelajaran

yang erat kaitannya dengan keyakinan kepercayaan, yaitu cara pemujaan arwah nenek

moyang. Namun setelah Belanda berkuasa di tanah Batak, terjadilah perkembangan

89

Pendidikan asli pribumi adalah mengutamakan pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan dan lingkungannya, misalnya bercocok tanam, berkebun, menangkap dan memelihara ikan serta ternak lainnya, mengenal musim dan kerumahtanggaan.

90

(45)

pendidikan secara pesat.91 Sistem pendidikan asli pribumi tadi mulai terdesak oleh

sistem pendidikan baru yang diperkenalkan oleh para Missionaris Jerman. Dengan

dikecapnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh orang eropa, Suku Batak Toba

mulai memberanikan diri untuk keluar dari daerahnya ditambah lagi dengan kondisi

lahan yang akan diusahakan semakin semakin sempit. Suku Batak Toba sebagian

besar memilih untuk keluar atau bermigrasi ke wilayah Simalungun setelah

mendengar akan wilayah simalungun serta dengan penduduknya yang masih bisa

dikatakan tergolong sedikit.

Perpindahan Suku Batak Toba ke Simalungun memiliki tujuan salah satunya

adalah Zending. Dalam melaksanakan tujuan dari Zending (penyebaran Injil) ini

untuk menarik perhatian masyarakat Simalungun yang masih tergolong sangat

tradisional maka didirikan sekolah (pendidikan). Dalam menjalankan tugas ini bukan

berarti tidak ada masalah atau tantangan, bahkan dalam menjalankan tujuannya para

missionaris harus mendekati penguasa yang terdapat di daerah itu kemudian

mendekati para masyarakat tersebut. Peranan RMG cukup besar dalam pendidikan.

Hal ini dilakukan agar masyarakat yang awalnya buta huruf bisa membaca dan

mengerti maksud dari tujuan mereka, serta untuk membendung penyebaran Islam

yang sangat cepat. Sehingga dikenal sekarang bahwa bidang pendidikan di

Simalungun dilakukan oleh zending baik orang eropa maupun orang pribumi yang

91

(46)

secara tepat bisa diminta bantuannya untuk mengarahkan perkembangan generasi

mendatang ke jalan yang lebih baik.

Pendidikan di wilayah ini semakin berkembang dan dengan masuknya

Simalungun dalam NKRI pada tahun 1950 pendidikan semakin membaik dengan

program pemerintah yang memaksimalkan agar masyarakat tidak buta huruf lagi.

Perpindahan orang-orang yang berpendidikan lebih menonjol setelah tahun

1950-an.92 Banyaknya Suku Batak Toba yang bermigrasi kewilayah kecamatan Tanah Jawa

baik yang telah mendapatkan pendidikan maupun yang tidak mendapatkan

pendidikan, sangat berpengaruh. Dimana disatu sisi masyarakat batak toba yang telah

mendapatkan pendidikan mengalihkan perhatiannya mencari pekerjaan yang lebih

baik karena dengan pendidikannya itu mereka berhak keluar dari lingkaran

kemiskinan. Setiap orang yang berpendidikan berlomba-lomba menjadi pekerja di

instansi pemerintahan, bank dan bekerja sebagai guru sekaligus untuk memenuhi

kebutuhan tenaga kerja terdidik di bidang-bidang lainnya yang menyebabkan lebih

banyak diisi oleh orang-orang Batak Toba dibandingkan dengan penduduk setempat.

Mereka memandang bahwa pendidikan menjadi suatu jalur mobilitas sosial

untuk mendapatkan pangkat (mewujudkan misi budaya Batak Toba yakni

Hasangapon). Sedangkan Suku Batak Toba yang datang dan bekerja sebagai petani

bisa mengajarkan bagaimana sistem pertanian yang harus dilakukan. Melihat

banyaknya suku pendatang (Suku Batak Toba) banyak yang duduk dibangku

92

(47)

pemerintahan dengan pendidikan yang mereka dapat, membuat masyarakat

Simalungun ingin lebih berkembang dan mendapatkan pendidikan93. Masyarakat

Simalungun semakin banyak yang mendapat pendidikan dengan didirikannya

sekolah-sekolah baik sekolah Negri/Inpres maupun sekolah swasta. Oleh karena

pendidikan adalah sarana untuk mencapai kedudukan yang lebih baik, maka belajar di

sekolah adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui walaupun tidak gampang.

Disetiap sekolah yang didirikan harus terdapat Guru yang mengajar. Guru pada tahun

1983 di Kecamatan Tanah Jawa sekolah Negeri/Inpres sudah terdapat Kepala Sekolah

136 orang, Guru Kelas 712 orang, Guru Agama 186 orang, Guru Orkes 24 orang,

sekolah yang bersubsidi terdapat 38 orang, sekolah swasta terdapat 13 orang dan

jumlah murid seluruhnya adalah 27.397 orang. Sedangkan pada tahun 1985 Guru SD

Negri/Inpres sudah terdapat 1.072 orang, Guru SD swasta terdapat 55 orang dan

jumlah murid seluruhnya adalah 28.026 orang.94 Pada tahun 1992 jumlah murid SD

dan banyaknya SD, SMP, SMTA dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.

93

Pentingnya arti pendidikan disebabkan oleh kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada tidak ditujukan untuk mampu berdiri di atsa kaki sendiri, tapi lebih ditujukan untuk mempersiapkan diri untuk menjadi pegawai negeri. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam birokrasi pemerintahan semakin tinggi pulalah statusnya dalam masyarakat.

94

(48)

Tabel 4.2 : Banyaknya SD, SLTP SMA di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten

(49)
(50)

Dengan meningkatnya pendidikan memudahkan mendapatkan informasi dan

komunikasi di berbagai daerah baik regional da nasional, serta adanya kesadaran akan

harkat dan martabat sebagai suatu bangsa dan semakin terbinanya rasa kemampuan

untuk mengatur, mengawasi dan mengendalikan diri sendiri juga dalam perkumpulan

(organisasi). Semangat menuntut ilmu ini diteruskan sampai sekarang karena karena

kesempatan luas yang diberikan dalam bidang pendidikan kepada setiap orang

semenjak zaman kemerdekaan sudah menarik orang dari kabupaten atau

nagari-nagari lain (desa/kelurahan) untuk menjadi pegawai.97

4.4 Politik

Masuknya kolonial Belanda dan kekristenan ke Tapanuli membawa berbagai

perubahan di kalangan Suku Batak Toba. Walaupun mereka mempunyai tujuan yang

berbeda tetapi kerjasama antara mereka juga ada. Salah satu diantaranya pemberian

subsidi kepada sekolah-sekolah zending dan kemudahan-kemudahan serta dorongan

bagi orang batak toba meninggalkan kampung halamannya sesuai dengan misi

mereka.98 Suku Batak Toba sudah dapat ditemui di wilayah Simalungun semenjak

masih berdirinya kerajaan-kerajaan di simalungun terutama di Kerajaan Tanah Jawa.

Batak Toba datang ke Tanah Jawa sejak dibukanya perkebunan oleh kolonial Belanda

serta adanya penyebaran Injil yang dilakukan para Mission. Suku batak toba yang

terdapat di Tanah Jawa berasal dari tanah batak yakni dari Tapanuli Utara.

97

Mochtar Naim, op.cit, hlm 274.

98

(51)

Tujuan utama Suku Batak Toba melakukan perpindahan ke Kecamatan Tanah

Jawa adalah mencari nafkah untuk menambah penghasilan rumah tangga mereka.

Perpindahan penduduk dari pusat negeri toba (Tapanuli Utara) terjadi secara

besar-besaran, baik diwaktu penjajahan Belanda maupun setelah Indonesia Merdeka yang

merupakan suatu kemauan yang tak dapat dielakkan dan ditantang oleh siapapun

juga. Kedatangan Suku Batak Toba ke Simalungun bisa dikatakan tidak sia-sia,

karena Simalungun di awal abad ke-20 sudah merupakan penghasil beras.

Sesudah kemerdekaan hingga dewasa ini telah terjadi banyak perubahan di

kalangan Suku Batak Toba (termasuk subetnik Batak yang lain). Hal ini berhubungan

dengan tingkat kemajuan pendidikan, jangkauan mobilitas dan migrasi, jenis

pekerjaan atau profesi. Jabatan-jabatan modern yang ditawarkan sering dapat diraih

oleh orang Batak Toba. Jabatan-jabatan tersebut memberikan kesempatan kepada

mereka untuk memimpin dan menjadi pemimpin. Bagi orang-orang Batak yang

tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk

komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang

dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat

yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Suku Batak Toba yang berada

di Tanah Jawa, menempati hampir semua daerah yang ada di wilayah ini dan banyak

menempati posisi strategis sebagai pejabat, pegawai pemerintah, pedagang, politikus

(52)

penduduk dari Tapanuli Utara ke Tanah Jawa adalah dalam bidang politik. Politik

adalah kekuasaan.99

Dalam Suku Batak Toba, orang mencari kekuasaan bukan karena

pertimbangan ekonomi, tetapi karena pertimbangan kehormatan. Seperti yang kita

ketahui bahwa sebagian besar orang batak itu tidak mau disuruh melainkan harus

menyuruh. Weber menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan

seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, walaupun orang lain

melakukan penolakan.100 Bagi Suku Batak Toba, kekuasaan sangatlah penting.

Melihat bahwa tidak seimbangnya jumlah suku pendatang dengan suku asli

Simalungun yang ada di Tanah Jawa mengakibatkan adanya perubahan sosial, seperti

dalam hal Jabatan yang telah disebutkan diatas. Perubahan adalah proses transmisi

dari suatu kebudayaan pada kebudayaan lain melalui asimilasi101 dan akulturasi102.

Di Tanah Jawa masyarakat yang lebih dominan mendapatkan pendidikan

adalah Suku Batak Toba, karena pendidikan dianggap jalur yang tepat untuk

mencapai status yang lebih tinggi. Akan tetapi, sikap dan tingkah laku seseorang

99

Kekuasaan adalah gejala sosial, gejala yang terdapat dalam pergaulan hidup (gejala antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok). Dimana teori politiknya adalah suatu daerah dalam keadaannya yang bergerak sebagai lembaga yang hidup di tengah tenaga-tenaga sosial masyarakat. ( F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980, hlm 27.)

100

Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm 227.

101

Asimilasi adalah transfer kebudayaan dari kebudayaan rendah dan belum maju sehingga terjadi perubahan.

102

(53)

dapat dilatarbelakangi oleh kepribadian atau karakter yang dibentuk oleh

kebudayaan, pendidikan dan fenomena sosial lainnya. Dalam keadaan yang demikian

bisa muncul pandangan pada tiap-tiap etnis bahwa kebudayaannya lebih superior atau

lebih baik daripada kebudayaan etnis lain. Sehingga antusiasme itu menimbulkan

kebanggaan yang berlebihan terhadap kebudayaan sendiri dan etnosentrisme103.

Sebab-sebab dari etnosentrisme ini adalah kepentingan yang masih

mementingkan suku, etnis, agama sendiri. Misalnya saja sikap masyarakat batak toba

pada awal abad-20 yang tidak mau bekerja kasar walaupun hasilnya bisa lebih baik

daripada menjadi petani 104, serta menganggap suku asli Simalungun sebagai

masyarakat yang malas dan pendendam, yang akhirnya banyak suku asli

(Simalungun) pindah ke Simalungun Atas melihat perkembangan dari suku

pendatang dan kerja keras serta ke agresifannya untuk mewujudkan tujuannya.

Cita-cita sekaligus tujuan hidup orang batak toba ialah memperoleh kekayaan

(Hamoraon), banyak keturunan (Hagabeon) dan kehormatan (Hasangapon). Ketiga

tujuan hidup ini saling berkaitan satu sama lain. Unsur yang satu menunjang

keberadaan unsur yang lain. Unsur hamoraon menunjang kekuasaan, demikian juga

unsur hagabeon yang menciptakan kerabat besar yang amat menunjang kekuasaan

bagi orang batak toba. Orang batak toba berusaha menjadi kaya agar tidak

103

Etnosentrisme adalah menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.

104

(54)

diremehkan oleh orang lain. Di tanah jawa sendiri sebagian besar yang memerintah

dan menjadi pemimpin (camat) di kantor kecamatan ini adalah orang batak toba.

4.5 Bahasa

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang

dapat menunjukkan jati diri seseorang. Bahasa adalah alat dalam berinteraksi, oleh

sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat mempunyai bahasa dalam satu daerah.

Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan

kesusteraan yang besar walaupun suatu bahasa pada dasarnya cukup hanya berfungsi

sebagai alat komunikasi di antara sesama penuturnya. Di Kecamatan Tanah Jawa,

suku asli daerah ini adalah Suku Simalungun dan seharusnya bahasa yang digunakan

di wilayah ini adalah bahasa Simalungun. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik

dengan kenyataan yang dijumpai di wilayah ini. Di pusat kecamatan Tanah Jawa

bahasa yang sering digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Batak Toba.

Bahasa batak toba sangat mendominasi bahasa di wilayah ini serta logat bahasanya.

Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang terjadi sebelumnya, misalnya pada masa

kejayaan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Simalungun.

Awalnya pemerintah kolonial sengaja mendatangkan Suku Batak Toba ke

wilayah ini dalam mengatasi persoalan pangan yang sangat terbatas di wilayah ini,

karena Suku Batak Toba dikenal dengan kegigihannya, kerja keras dan keahliannya

dalam melakukan pertanian terutama padi sawah. Setelah kesuburan lahan di daerah

(55)

yang melakukan migrasi ke wilayah ini. Suku Batak Toba adalah termasuk suku yang

mendominasi daerah ini di samping suku jawa. Karena banyaknya pendatang batak

toba yang melebihi dari suku asli simalungun dan derasnya pengaruhnya sehingga

bahasa yang sering didengar dan digunakan masyarakat sekitar adalah bahasa batak

toba.

Penggunaan Bahasa Batak (bahasa batak toba) juga sebagian besar disebabkan

penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG (Rheinische

Mission Gesellchat) yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Simalungun. Pada

masa jaya kerajaan tradisonal yang terdapat di wilayah Simalungun, dialek bahasa

simalungun sangat kental. Lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun ini mulai

memudar. Dimana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa

Toba, yang datang dari Tapanuli Utara, pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa

Simalungun di daerah ini banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).

Sehingga penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur

bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga

bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang

tidak tahu marsahap (berbicara) Simalungun. Pemakaian bahasa batak toba juga

terjadi karena begitu lamanya beredar buku dan adat Batak Toba di sekolah maupun

Gambar

Tabel 4.1 : Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Padi Sawah
Tabel 4.2 : Banyaknya SD, SLTP SMA di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten
Tabel 2.1 : Jumlah Penduduk Warga di Kecamatan Tanah Jawa,
Tabel 2.2 : Jumlah Penduduk, Luas, dan Kepadatan Penduduk di
+3

Referensi

Dokumen terkait

PENGAMANAN DAN PENGALIHAN BARANG MILIK/KEKAYAAN NEGARA DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH DALAM RANGKAb. PELAKSANAAN

Bimtek Bagi Jurnalis dan Guru Geografi Untuk Meningkatkan Pemahaman Mengenai Fenomena Cuaca dan Iklim Indonesia, serta Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat. Di Kantor

[r]

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk membangun suatu sistem informasi pengelolaan haji dan umroh pada PT.Arwaniyah Tour dan Travel Kudus

Pelayanan yang diterapkan PT Serasi Transportasi Nusantara (Orenztaxi) yaitu dengan memberikan standard grooming senyum, salam, sapa (3S) kepada setiap pelanggan

juga akan menghasilkan anak yang baik karena sering. orang tua memberikan perhatian berlebihan,

nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit (tidak nyaman terhadap luka dekubitus). Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama

Ketiga , individual stressor , terkait dengan karakteristik yang dimiliki masing-masing individu dalam memandang lingkungannya.penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh