BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Budaya Ibu
Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum adat dan kesanggupan serta kebiasaan yang
diperoleh oleh manusia sebagai anggota sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain
konsep dari suatu sistem serta peraturan dan makna, yang pernyataannya tergambar
melalui cara manusia menjalani kehidupan. Latar belakang budaya mempunyai
pengaruh yang penting terhadap bermacam aspek kehidupan manusia yaitu,
kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama bentuk keluarga, diet, pakaian, bahasa
tubuh. Konsep tentang kehidupan dan sikap terhadap kehidupan, sakit dan bentuk
kemalangan lain, yang mempunyai implikasi yang penting terhadap kesehatan dan
Banyak sekali pengaruh atau faktor – faktor yang menyebabkan berbagai
aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak
memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang
mempengaruhi kesehatan di Indonesia, anatara lain masih adanya pengaruh sosial
budaya yang turun temurun masih dianut sampai dengan saat ini. Selain itu
ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan prilaku budaya yang dinilai tidak sesuai
dengan prinsip – prinsip kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan
memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya
(Syafrudin & Mariam 2010). Adapun budaya yang berpengaruh terhadap kejadian
BBLR adalah :
2.2.1. Pola Makan
Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang dalam memilih
makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi
budaya dan sosial (Waryana, 2010). Pola makan yang baik akan cukup menyediakan
gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi risiko lahirnya
bayi cacat. Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap
terjadinya gangguan gizi antara lain anemia, pertambahan berat badan kurang pada
ibu hamil dan gangguan pertumbuhan janin (Samhadi, 2011)
Gambaran pola makan dapat diperoleh dengan metode riwayat makan
(Diettary History Methode) adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti
hari, minggu, bulan atau tahun. Dengan menggunakan metode riwayat makan angka
kecukupan gizi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan selama kehamilan.
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (Per Orang Perhari) Menurut Ukuran Rumah Tangga
Ibu Hamil Bahan Makanan Ukuran Rumah Tangga
Makanan pokok (Nasi, Jagung, Ubi) 4-5 piring
Lauk hewani (Ikan, Telur, Daging, dan sebagainya)
3-4 potong
Lauk nabati (Tempe, Tahu dan sebagainya) 2-3 potong
Sayur-sayuran 2-3 mangkuk
Buah-buahan 3 potong
Sumber : Penilaian status gizi
Pola makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan
mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut, Pola makan yang baik akan cukup
menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi
resiko lahirnya bayi cacat. Selain itu makanan yang baik akan membantu sistem
pertahanan tubuh ibu hamil terhadap infeksi, makanan yang baik juga akan
melindungi ibu hamil dari akibat buruk zat – zat yang mungkin ditemui seperti obat –
obatan, toksin, polutan (Sediaoetama, 2009)
Tambahan makanan untuk ibu hamil dapat diberikan dengan cara
meningkatkan kualitas maupun kuantitas makanan ibu sehari – hari, bisa juga dengan
memberikan tambahan formula khusus untuk ibu hamil. Pada kehamilan, adanya
kenaikan volume darah akan meningkatkan kebutuhan zat besi (terbanyak) dan asam
Pola makan telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko dari masalah gizi
pada ibu hamil hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh St. Fatimah dkk,
di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tahun 2011 menyatakan bahwa pola makan ibu
hamil memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar haemoglobin ibu
hamil (St. Fatimah dkk, 2011).
Rendahnya tingkat konsumsi besi sesuai dengan hasil penelitian Subagio,
2004, pada ibu hamil di Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak yang menderita
defisiensi besi sebesar 59,3% begitu pula hasil penelitian Wahyuni di Kabupaten
Bantul Jogjakarta menyatakan bahwa rerata konsumsi besi pada ibu hamil 15,54
setara dengan 33,78% dari AKG yang dianjurkan (Harnany, 2006)
Pola makan yang tidak baik akan meyebabkan asupan gizi ibu hamil tidak
tercukupi sehingga berkontribusi terhadap bayi yang dilahirkan yaitu BBLR hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Nur jaya di RSUD
Ajjatpannge Watan Soppeng tahun 2010 menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara status gizi ibu dengan kejadian BBLR.
2.2.2. Makanan Pantangan
Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada beberapa
kepercayaan, seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur
tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh
kelompok umur tersebut. Seperti ibu hamil yang tabu mengonsumsi ikan ( Hartriyanti
Tidak tercukupinya zat gizi sebagai penyebab anemia karena masalah pangan,
terkait ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh
kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu
makanan ( Harnany, 2006).
Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis
makanan tabu makanan adalah suatu kebudayaan yang menentukan kapan seseorang
boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (Suhardjo, 2003).
Pada dasarnya larangan atau tabu yang mengenai makanan dapat dibagi 2
kategori: (a) pantangan atau larangan mengkonsumsi suatu jenis makanan
berdasarkan agama atau kepercayaan, dan (b) pantangan atau larangan pangan yang
bukan berdasar agama, tetapi ditunkan dari nenek moyang sejak jaman dahulu, yang
tidak diketahui lagi kapan dimulainya. Ada makanan pantangan yang sesuai dengan
pendapat para ilmuwan tetapi ada juga yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi
(Sediaoetama, 2009)
Biasanya pangan pantangan ini ditujukan untuk anak kecil, ibu hamil dan ibu
menyusui. Misal anak kecil dilarang makan ikan karena takut cacingan, sakit mata
atau sakit kulit. Seperti di Kalimantan Tengah terdapat 27 jenis ikan yang menjadi
pantangan ibu hamil karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan, mabuk,
merusak badan, sulit melahirkan, dan peranakan bisa keluar (Hartati, 2006).
Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan
atau tabu tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan atau tabu
melahirkan dan bayinya tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di negara- negara
Asia yang mempunyai kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein
hewani menyebabkan air susuibu beracun bagi anak bayinya (Suhardjo, 2003).
Di dalam wilayah Indonesia ada keyakinan bahwa wanita yang masih hamil
tidak boleh makan lele, ikan sembilan, udang, telur, dan nanas. Sayuran tertentu tak
boleh dikonsumsi, seperti daun lembayung, pare, dan makanan yang digoreng dengan
minyak. Setelah melahirkan atau operasi hanya boleh makan tahu dan tempe tanpa
garam/nganyep, dilarang banyak makan dan minum, makanan harus
disangan/dibakar, bahkan setelah maghrib samasekali ibu tidak diperbolehkan makan
(Dinkes Pemalang, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Harnany di kota
Pekalongan tahun 2006 dibuktikan responden yang memiliki pantangan makan
sebagian besar (85%) masuk kelompok anemia.
2.2.3. Pembagian Makanan dalam Keluarga
Pembagian makanan berkenaan dengan pembagian pangan yang dikonsumsi
oleh perorangan, anggota suatu keluarga. Di sini pun sering pembagian pangan
tersebut tidak merata. Yang dimaksud merata disini bukanlah bahwa setiap anggota
keluarga tersebut mendapat jatah bagian makanan yang sama banyak, tetapi bahwa
setiap anggota keluarga itu mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat
kebutuhannya, menurut umur dan keadaan fisik serta jenis kelaminnya (Sediaoetama,
2008).
Struktur kekuasaan di dalam keluarga dan berbagai makanan pantangan,
dianggap paling berkuasa dan paling penting di dalam keluarga, sehingga kepadanya
diberikan hak-hak khusus dalam banyak hal, termasuk hak khusus untuk mendapat
bagian makanan yang paling baik dan paling banyak. Bahkan ada beberapa suku
bangsa di Asia dan Afrika di mana ayah makan sendirian terdahu lu dan setelah ayah
selesai, barulah sisanya dibagikan di antara para anggota keluarga lainnya
(Sediaoetama, 2008)
Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis
makanan tertentu dalam keluarga. Jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka
setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita,
anak wanita dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria,
tetapi dibeberapa lingkunan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain bahkan
setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus wanita dan anak kecil hanya
memperoleh makanan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Untuk
bayi, anak – anak yang masih muda dan wanita selama tahun – tahun penyapihan,
pengaruh tambahan dari pembagian pangan yang tidak merata dalam unit keluarga,
dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo, 2003).
Wanita yang sedang hamil dan telah berkeluarga biasanya lebih
memperhatikan kecukupan gizi dari anggota keluarga yang lain. Padahal sebenarnya
dirinyalah yang memerlukan perhatian serius mengenai penambahan gizi. Ibu harus
teratur dalam mengkonsumsi makanan yang bergizi demi pertumbuhan dan
Banyak penemuan yang menyatakan bahwa budaya sangat berperan dalam
proses terjadinya masalah gizi diberbagai masyarakat dan negara. Dalam hal pangan,
ada budaya yang memprioritaskan keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan
keluarga yang telah disiapkan yaitu kepala keluarga. Anggota keluarga lain
menempati prioritas berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas
terakhir adalah ibu rumah tangga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu
budaya, maka dapat saja terjadi distribusi pangan yang tidak baik antara anggota
keluarga. Apabila hal demikian masih dianut oleh suatu budaya, maka dapat saja
terjadi distribusi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan
tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dapat berakibat timbul masalah gizi
kurang didalam keluarga yang bersangkutan (Suhardjo, 2003).
Distribusi makanan akan berpengaruh terhadap anemia pada ibu hamil, hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juraida Roito Harahap di Kabupaten
Kampar dengan hasil yang didapatkan bahwa anemia lebih banyak ditemukan pada
ibu hamil yang pembagian makanannnya kurang baik dik arenakan pembagian
makanan ini tidak sesuai dengan kebutuhan ibu selama hamil.
Tradisi pembagian makanan yang mengutamakan kaum pria dibanding
dengan wanita terjadi juga di papua yang dibuktikan dengan hasil penelitian Alwi
dkk, bahwa 81,37% ibu hamil anemia yang dikarenakan seorang wanita lebih
mengutamakan bagian terbaik dari makanan untuk kaum pria walaupun dia sendiri