BAB 5. PEMBAHASAN
5.3 Pengaruh Budaya Ibu terhadap Kejadian BBLR
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, BBLR lebih banyak ditemukan pada
ibu dengan pola makan tidak baik (83,9%) dibandingkan dengan ibu yang pola
makan baik (16,1%). Secara statistik uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola makan yang tidak baik dengan BBLR
(p=0,000). Hasil analisis multivariat menunjukkan ada pengaruh antara pola makan yang tidak baik dengan BBLR.
M.S. Kramer menegaskan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya BBLR
adalah makanan yang dikonsumsi ibu selama masa kehamilan. Penyebab terjadinya
BBLR adalah faktor makanan.
Asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan selama hamil adalah penting
untuk mencapai gizi yang baik untuk ibu dan bayi yang dikandungnya. Pola makan
yang baik akan cukup menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan,
dan mengurangi risiko lahirnya bayi cacat. Pola makan yang salah pada ibu hamil
membawa dampak terhadap terjadinya gangguan gizi antara lain anemia,
pertambahan berat badan kurang pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan janin
Pola makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan
mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut, Pola makan yang baik akan cukup
menyediakan gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan kehamilan, dan mengurangi
resiko lahirnya bayi cacat. Selain itu makanan yang baik akan membantu sistem
pertahanan tubuh ibu hamil terhadap infeksi, makanan yang baik juga akan
melindungi ibu hamil dari akibat buruk zat – zat yang mungkin ditemui seperti obat –
obatan, toksin, polutan (Sediaoetama, 2009)
Berdasarkan uji regresi logistik, diketahui bahwa variabel yang paling
dominan pengaruhnya terhadap BBLR OR=28,076 artinya pola makan yang tidak
baik mempunyai peluang 28,076 kali melahirkan BBLR dibanding dengan ibu yang
pola makannya baik.
Pola makan dinilai dari frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi,
ibu hamil kurang memperdulikan zat gizi yang dimakan mereka prinsip yang ada
dimasyarakat yang penting makan mengenyangkan tanpa melihat kualitas dan
kuantitas makanan serta frekuensi makan yang kurang dari 3 kali sehari dan tanpa
menusesuai gizi seimbang berakibat ibu akan mengalami Anemia dan KEK sehingga
berakibat BBLR pada bayi yang dilahirkan, selain itu pula ibu-ibu lebih
mendahulukan makanan untuk anak dan keluarga yang lainnya dibandingkan dengan
dirinya sendiri.
Pola makan yang tidak baik akan meyebabkan asupan gizi ibu hamil tidak
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Nur jaya di RSUD
Ajjatpannge Watan Soppeng tahun 2010 menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara status gizi ibu dengan kejadian BBLR.
Ibu selama hamil membutuhkan lebih banyak asupan gizi yang berasal dari
makanan dibanding dengan wanita dikala tidak hamil. Pola makan tidak langsung
mempengaruhi terjadinya BBLR, tetapi dengan pola makan yang tidak baik ibu hamil
akan mengalami anemia defisiensi besi dan kurang energi kalori selama kehamilan
jika salah satu hal ini terjadi pada ibu hamil maka bayi yang akan dilahirkan BBLR
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh St. Fatimah dkk, di Kabupaten
Maros Sulawesi Selatan tahun 2011 menyatakan bahwa pola makan ibu hamil
memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar haemoglobin ibu hamil
Rendahnya tingkat konsumsi besi sesuai dengan hasil penelitian Subagio,
2004, pada ibu hamil di Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak yang menderita
defisiensi besi sebesar 59,3% begitu pula hasil penelitian Wahyuni di Kabupaten
Bantul Jogjakarta menyatakan bahwa rerata konsumsi besi pada ibu hamil 15,54
setara dengan 33,78% dari AKG yang dianjurkan
Status gizi ibu merupakan hal yang sangat berpengaruh selama masa
kehamilan kekurangan gizi tentu saja akan menyebabkan akibat yang buruk bagi ibu
dan bayinya salah satunya ibu dapat menderita anemia sehingga suplai darah yang
menghantarkan oksigen dan makanan pada janinnya akan terhambat sehingga akan
Pencegahan BBLR lebih ditekankan kepada upaya untuk memperbaiki pola
makan ibu selama hamil sesuai dengan kebutuhan selama kehamilan, sehingga
asupan gizi yang dibutuhkan mencukupi kebutuhan ibu baik untuk dirinya maupun
bayi yang akan dilahirkan.
5.3.2. Makanan Pantangan
Makanan pantangan adalah jenis-jenis makanan tertentu yang tidak boleh
dikonsumsi pada saat ibu hamil, dari hasil penelitian menunujukkan bahwa BBLR
ditemukan pada ibu yang memiliki makanan pantangan selama hamil. Dari hasil uji
regresi logistik tidak ada pengaruhnya antara makanan pantangan dengan BBLR hal
ini disebabkan karena dominan suku yang ada di wilayah pancur batu adalah karo,
pada adat istiadat karo jarang dijumpai adanya makanan pantangan, justru yang
biasanya paling banyak makanan pantangannya adalah suku jawa.
Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis
makanan tabu makanan adalah suatu kebudayaan yang menentukan kapan seseorang
boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (Suhardjo, 2003).
Pada dasarnya larangan atau tabu yang mengenai makanan dapat dibagi 2
kategori: (a) pantangan atau larangan mengkonsumsi suatu jenis makanan
berdasarkan agama atau kepercayaan, dan (b) pantangan atau larangan pangan yang
bukan berdasar agama, tetapi ditunkan dari nenek moyang sejak jaman dahulu, yang
tidak diketahui lagi kapan dimulainya. Ada makanan pantangan yang sesuai dengan
pendapat para ilmuwan tetapi ada juga yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi
Makanan pantangan sebenarnya tidak secara langsung berhubungan dengan
BBLR tetapi biasanya ibu hamil yang banyak memiliki makanan pantangan asupan
gizi sesuai dengan kebutuhan selama hamil tidak tercukupi maka akan menyebabkan
ibu anemia dalam kehamilan dan salah satu akibatnya bla ibu anemia bayi yang akan
dilahirkan BBLR.
Hal ini sesuai dengan Hasil penelitian yang dilakukan Harnany di kota
Pekalongan tahun 2006 dibuktikan responden yang memiliki pantangan makan
sebagian besar (85%) masuk kelompok anemia.
Mayoritas suku yang tinggal diwilayah kerja Puskesmas Pancur Batu
Kabupaten Deli Serdang adalah suku karo pada umumnya suku karo tidak
mengadopsi kepercayaan adanya makanan pantangan saat seorang wanita hamil tetapi
mereka cenderung mengikut pada kebiasaan-kebiasaan yang umum terjadi
dimasyarakat secara luas.
5.3.3. Pembagian Makanan dalam Keluarga
Hasil pada penelitian ini menujukkan bahwa BBLR paling banyak dijumpai
ditemukan pada ibu yang tidak ada pembagian makanan dalam keluarga. Dari hasil
uji regresi logistik tidak ada pengaruhnya antara pembagian makanan dalam keluarga
dengan BBLR.
Pembagian makanan dalam keluarga biasanya lebih memprioritaskan orang
tertentu misalnya bapak sebagai kepala keluarga sedangkan anak biasanya menempati
posisi ke dua kemudian ibu yang menempati posisi terkahir dalam pembagian
ibu hamil dan anak yang lebih membutuhkan makanan yang terbaik karena ibu untuk
kebutuhannya dan janin yang dikandung sedangkan anak karena masa petumbuhan.
Pembagian makanan berkenaan dengan pembagian pangan yang dikonsumsi
oleh perorangan, anggota suatu keluarga. Di sini pun sering pembagian pangan
tersebut tidak merata. Yang dimaksud merata disini bukanlah bahwa setiap anggota
keluarga tersebut mendapat jatah bagian makanan yang sama banyak, tetapi bahwa
setiap anggota keluarga itu mendapat jumlah makanan yang sesuai dengan tingkat
kebutuhannya, menurut umur dan keadaan fisik serta jenis kelaminnya (Sediaoetama,
2008).
5.4. Pemeriksaan Kehamilan
5.4.1. Jumlah Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, BBLR lebih banyak ditemukan pada
ibu dengan jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan tidak baik (83,9%)
dibandingkan dengan ibu yang pola makan baik (58,1%). Secara statistik uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan yang tidak baik dengan BBLR (p=0,002). Hasil analisis multivariat menunjukkan ada pengaruh antara jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan yang tidak baik dengan BBLR.
Hal ini sesuai dengan apa yang dipertegas oleh M.S. Kramer bahwa salah satu
penyebab terjadinya BBLR adalah pemeriksaan atau pemantau Ante Natal Care yang tidak teratur.
Pada saat seorang wanita hamil maka akan terjadi perubahan baik fisik
maupun psikologisnya secara umum proses kehamilan adalah merupakan hal yang
fisiologis terjaadi pada setiap kehamilan tetapi proses yang fisiologis ini dapat
berubah menjadi hal yang patologis bila tidak dilakukan Pemantauan atau
pemeriksaan kehamilan yang teratur minimal 4 kali selama kehamilan dapat
mendeteksi dini kelainan-kelainan pada ibu selama kehamilan dan janin yang
dikandung.
Berdasarkan uji regresi logistik, diketahui bahwa variabel kunjungan
pemeriksaan kehamilan berpengaruh terhadap BBLR OR=17,558 artinya bahwa ibu
hamil dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan yang tidak baik mempunyai peluang
17,558 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang kunjungan
pemeriksaan kehamilannya baik.
Didukung dengan penelitian yang dilakukan Marissa, dkk di kelurahan kramat
jati dan ragunan ternyata menunjukkan hasil bahwa 60,0% ibu hamil tidak
memeriksakan kehamilannya sesuai anjuran minimal 4 kali selama kehamilan dan
89,0% responden tidak mendapatkan pelayanan “7T”
Pemeriksaan kehamilan dianjurkan untuk dilakukan oleh ibu hamil minimal 4
kali selama kehamilan. Pemeriksaan pertama atau kunjungan pertama dilakukan
sebelum usia kehamilan mencapai 4 bulan atau antara 0-3 bulan (trimester I),
kunjungan keuda pada usia kehamilan natara 4-6 bulan (trimester II), sedangkan
(trimester III). Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan di Polindes, Posyandu,
Puskesmas, Rumah sakit, Praktek dokter atau bidan swasta. (Kusmiyati, 2008).
Sesuai dengan hasil penelitian Joeharno di kabupaten serang tahun 2007,
yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan ante natal care merupakan faktor
resiko terhadap kejadian BBLR dimana ibu yang tidak melaksanakan pemeriksaan
kehamilan secara lengkap beresiko 5 kali untuk melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah.
Situasi di Kecamatan Pancur Batu ibu melakukan kunjungan pemeriksaan
kehamilan 4 kali selama kehamilan dapat diperngaruhi oleh jarak tempuh yang jauh
antara tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan selain itu pula dengan pendapatan
bulanan yang tidak mencukupi ibu cenderung lebih mementingkan kebutuhan yang
prioritas misalnya sandang dan pengan dibanding untuk memeriksakan kehamilannya
kepetugas kesehatan bahkan terkadang ibu memandang bahwa proses kehamilan
merupakan suatu proses yang biasa-biasa saja sehingga tidak perlu memeriksakan
kehamilan kepetugas kesehatan.
5.4.2. Komponen Pemeriksaan Kehamilan 7T
Hasil penelitian menggambarkan bahwa BBLR paling banyak dijumpai pada
ibu yang tidak mendapatkan komponen pemeriksaan kehamilan 7T (64,5%)
dibanding dengan ibu yang komponen pemeriksaan 7T tidak baik (35,5%). Secara
statistik uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara komponen pemeriksaan kehamilan 7T yang tidak baik dengan BBLR (p=0,001).
Hasil analisis multivariat menunjukkan ada pengaruh antara komponen pemeriksaan
pemeriksaan kehamilan 7T yang tidak baik dengan BBLR.
Dalam standar asuhan pelayanan kebidanan kehamilan dinyatakan bahwa
seorang ibu memeriksakan kehamilan wajib mendapatkan pelayanan Ante Natal Care
Dalam penerapan operasionalnya dikenal dengan “7T” yang terdiri dari, Timbang
berat badan dan ukur tinggi badan, (ukur) Tekanan darah, (ukur) Tinggi fundus uteri
(pemeberian imunisasi) Tetanus Toksoid (TT), (pemberian) Tablet Besi, Tes
laboratorium, Temu wicara (konseling), dengan pemeriksaan lengkap 7T dalam setiap
kunjungan pemeriksaan kehamilan maka dengan mudah dideteksi BBLR.
Berdasarkan uji regresi logistik, diketahui bahwa variabel komponen
pemeriksaan kehamilan 7T berpengaruh terhadap BBLR OR=9,776 artinya bahwa
ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan komponen pemeriksaan kehamilan 7T
mempunyai peluang 9,776 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil
yang mendapatkan komponen pemeriksaan kehamilan 7T lengkap.
M.S Kramer menyatakan hal yang serupa bahwa kualitas pemeriksaan
kehamilan saat ibu hamil melakukan kunjungan ANC berhubungan dengan kejadian BBLR. Dengan pemeriksaan kehamilan 7T dapat dideteksi kelainan-kelainan pada
ibu maupun bayinya sehingga dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Roudbari di Zahedan Iran tahun
2007, yang manyatakan bahwa ternyata 59% yang mempengaruhi terjadinya BBLR
Senada dengan hasil Penelitian yang dilakukan Marissa, dkk di kelurahan
kramat jati dan ragunan ternyata menunjukkan hasil bahwa 60,0% ibu hamil tidak
memeriksakan kehamilannya sesuai anjuran minimal 4 kali selama kehamilan dan
89,0% responden tidak mendapatkan pelayanan “7T”
Begitu juga dengan Penelitian Joeharno (2006), yang menunjukkan bahwa
pemanfaatan pelayanan ante natal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian
BBLR dimana ibu yang tidak melaksanakan pemeriksaan kehamilan secara lengkap
beresiko 5 kali untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
Pelayanan “7T” merupakan palayanan yang harus diterima ibu setiap kali
melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan, pelayanan “7T” tidak didapatakan ibu
karena biasanya ibu tidak rutin melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai dengan
jadwal yang sudah ditentukan, kebanyakan ibu hamil di Kecamatan Pancur Batu
melakukan pemeriksaan kehamilan disaat-saat mendekati proses persalinan atau pada
saat trimester 3 kehamilan sehingga tidak dapat mewakili hasil pemeriksaan yang
sebelumnya.