• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Perikanan dan Integrated Coastal Management

1 PENDAHULUAN

2.4 Budidaya Perikanan dan Integrated Coastal Management

Perencanaan strategis secara tradisional menunjukan beberapa kelemahan, pendekatan ini cenderung lebih tepat diterapkan pada wilayah yang terbatas. Pada pendekatan secara tradisional, penekanan terhadap masalah sumber daya alami hanya dilakukan oleh lembaga secara sektoral seperti Departemen Perikanan, Pertanian dan Kehutanan. Sehingga perlu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir menyeluruh diusulkan sebagai kerangka kerja, bagi permasalahan- permasalahan yang lebih luas dalam pemanfaatan sumber daya pesisir yang berkelanjutan, meminimalkan konflik, dan mengoptimalkan alokasi sumber daya, termasuk lahan tertentu dan perairan. Ruang lingkup dari sektor ini berhubungan dengan inisiatif perencanaan lingkungan dan pengelolaan (yang disebut sebelumnya sebagai ESM), kepada yang lebih ambisius yaitu program pengelolaan pesisir terpadu (ICM) (GESAMP 2001). Olsen et al. (1997) in

GESAMP (2001) mengemukakan beberapa tipe pengelolaan pesisir pada Tabel 1. Tabel 1 Perbedaan antara pengelolaan ESM, CZM dan ICM

Enhance Sectoral Management (ESM)

Coastal Zone Management

(CZM)

Integrated Coastal

Management (ICM)

Berfokus pada suatu sektor tunggal atau topik tetapi

dengan tegas memper-

hitungkan dampak dan saling ketergantungan de-ngan sektor lainnya, fungsi ekosistem, dan kapasitas kelembagaan.

Perencanaan multi-sectoral dan peraturan terfokus pada karakteristik dan kebutuhan kebutuhan yang sempit, deliniasi geografis, panjang garis pantai.

Memperluas persilangan sektor seperti yang di- gambarkan dalam CZM dengan mempertimbangkan saling hubungan proses ekosistem di dalam daerah aliran sungai pesisir dan lautan.

Dalam prakteknya ada berbagai inisiatif pengelolaan pesisir yang relevan terhadap budidaya perikanan, dengan banyak atau sedikit keterpaduan dalam lingkup geografis, horisontal (secara sektor) dan keterpaduan secara vertikal (kebijakan). Dalam prakteknya CZM dan ICM merupakan inisiatif yang saling tumpang-tindih dalam pelaksanaannya, maka untuk tujuan praktis mereka kemudian dikelompokan bersama-sama (GESAMP 2001) seperti berikut ini. (1) Enhance Sectoral Management (ESM)

Kesadaran yang semakin meningkat terhadap pentingnya masalah keberlanjutan pada umumnya dan perikanan budidaya pada khususnya, menyebabkan muncul inisiatif meningkatkan pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan sektoral di negara- negara maju. Peningkatan pengelolaan budidaya perikanan ini cenderung masih bersifat konservasi terhadap alam, inisiatif meningkatkan pengelolaan sektoral ini biasanya muncul di dalam instansi terkait berdasarkan tanggung jawab dan wewenang yang diterima. (GESAMP 2001).

Inisiatif yang dilaksanakan dalam meningkatkan pengelolaan sektoral ini beragam, antara lain dengan melakukan penilaian dampak lingkungan (AMDAL) pada tingkat sektor atau budidaya, pemanfaatan suatu paket tools yang mendorong pada kedudukan yang lebih baik atau praktek yang lebih berkelanjutan. Penilaian terhadap daya dukung lingkungan dan hubungannya dengan lahan, dan kuantitas produksi budidaya perikanan telah dilakukan, juga identifikasi terhadap lahan atau wilayah yang sesuai untuk pengembangan budidaya perikanan melalui pemakaian GIS (Geographycal Information System) atau penginderaan jauh. Contoh di Tasmania pendekatan ini telah diwajibkan sebagai pendekatan terpadu, bagi pengembangan budidaya laut lokal dalam perencanaan pengembangannya untuk meningkatkan pengelolaan sektoral (GESAMP 2001).

(2) Coastal Zone dan Integrated Coastal Management (CZM dan ICM)

Coastal zone management, Coastal Area Management dan Integrated

coastal management telah secara luas digunakan sebagai pendekatan yang lebih

mengatasi kesulitan dan keterbatasan pelaksanaan pendekatan sektoral dan peningkatan pendekatan sektoral. Terutama dalam hubungan dengan kegiatan budidaya perikanan. Pengelolaan kawasan pesisir memerlukan pengaturan dan perencanaan multi-sektor, sehingga beberapa bentuk badan koordinasi atau wewenang untuk menilai dan keseimbangan ICM juga harus menyiratkan mekanisme pengelolaan isu-isu lintas batas (trans-boundary issues), sebagai contoh antara daratan, pesisir dan lautan (GESAMP 2001).

Inisiatif dalam CZM dan ICM memiliki cara pendekatan yang beragam tergantung tujuan spesifik, pendekatan menyeluruh, lingkup geografis dan sektor, dari mana harus memulai, instansi pelaksana, serta pengaruh pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir. Inisiatif pengelolaan yang akan dilakukan dapat muncul dari para akademisi, politikus, pendanaan proyek, atau tanggapan langsung terhadap permasalahan lingkungan atau pengembangan pengeloaan yang diperlukan (GESAMP 2001). Tujuannya biasanya termasuk rujukan terhadap satu atau lebih hal dibawah ini:

1 Ketersediaan sumberdaya optimal terhadap persaingan dan fungsi dari aktivitas.

2 Pemecahan dan minimisasi konflik.

3 Minimisasi dampak lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam.

Dalam sejumlah kasus ICM juga lebih diarahkan pada tujuan sosial dan politik, seperti kualitas hidup, distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata, kebijakan sosial dan antar generasi serta pengentasan kemiskinan. Cicin-Sains et al. 1995 membandingkan beberapa panduan pengelolaan pesisir yang dikembangkan oleh lima kesatuan Internasional yang berbeda (IPCC 1994; OECD 1991; Pernetta and Elder 1993; UNEP 1995; World Bank 1993) berdasarkan

perbandingan tersebut, maka dikembangkan suatu “kesepakatan yang disesuaikan

dengan panduan ICM” (Tabel 2).

Di dalam banyak kegiatan budidaya perikanan merupakan suatu contoh klasik tentang mengapa ICM diperlukan, hal ini disebabkan beberapa hal:

1 Budidaya perikanan pesisir biasanya berada pada batas antara daratan dan laut.

2 Alokasi kepemilikan atau hak-hak sumber daya (lahan, air dan produknya) dan hubungan administrasi, biasanya kompleks atau rancu terutama pada lokasi budidaya perikanan.

3 Budidaya perikanan dapat secara serius dipengaruhi oleh kualitas air dan degradasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas lain.

4 Budidaya perikanan sendiri mungkin mempengaruhi kualitas lingkungan dan pemanfaatan lain melalui konversi habitat alami, melalui pencemaran perairan penerima dengan nutrien, zat organik dan bahan-kimia berpotensi beracun (penuh resiko) dan melalui penyebaran penyakit.

5 Budidaya perikanan dengan perencanaan dan kesesuaian wilayah yang kurang tepat mungkin mengakibatkan umpan balik negatif dan mencemari lokasi budidaya itu sendiri.

Sangat sedikit contoh keberhasilan pengintegrasian budidaya perikanan ke dalam ICM secara menyeluruh, dan sangat sedikit inisiatif ICM yang benar dalam pelaksanaannya, aktifitas budidaya perikanan wilayah pesisir dan potensinya sudah diberikan penilaian, dengan menggunakan kriteria penilaian yang masuk akal dan konsisten, yang disetujui secara silang oleh instansi yang berkepentingan. Penilaian menyeluruh ini dalam pelaksanaannya memerlukan banyak waktu dan merupakan suatu dilema pada sebagian besar negara sedang berkembang, karena perkembangan budidaya perikanan telah dilakukan dengan sangat cepat. Contoh suatu kasus perikanan budidaya di Equador, akibat tekanan penduduk, pengembangan budidaya udang mempunyai dampak negatif penting pada sumberdaya estuarine, sepanjang periode ketika suatu proyek ICM jangka panjang sedang berlangsung, hal yang sama juga terjadi di Srilangka dimana budidaya udang pada waktu terakhir ini telah dikembangkan secara tidak terkendali. Konsekuensinya lingkungan penerima menjadi kurang baik dan self-

pollution, meskipun kesadaran akan pentingnya ICM meningkat, dan bermacam

Tabel 2 Suatu kesepakatan yang disesuaikan dengan panduan ICM (Cicin-Sain et al. 1995)

Tujuan ICM : Tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah memandu arah pembangunan wilayah pesisir dalam suatu model berkelanjutan secara ekologis.

Prinsip-prinsip ICM adalah dipandu oleh prinsif yang termuat dalam Deklarasi The Rio dengan penekanan khusus terhadap prinsif keadilan antar generasi. Prinsip pencegahan dan membayar bagi yang membuat pencemaran. ICM adalah bersifat menyeluruh (holistik) dan antar disiplin ilmu khususnya berkaitan dengan sains dan kebijakan.

Fungsi Pengelolaan pesisir terpadu memperkuat dan mengharmonisasi pengelolaan sektoral di wilayah pesisir. Preservasi dan melindungi produktivitas dan keanekaragaman biologi dari ekologi pesisir dan memelihara nilai kenyamanan (amenity values). ICM mendorong pengembangan ekonomi secara rasional dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan berkelanjutan dan memfasilitasi pemecahan konflik di wilayah pesisir.

Integrasi wilayah (Spatial

integration)

Program pengelolaan pesisir terpadu mencakup semua wilayah pesisir dan lahan daratan bagian atas, pemanfaatannya dapat berdampak terhadap perairan pesisir dan sumberdaya yang ada di dalamnya, dan sampai kearah laut yang termasuk bagian dari pesisir lautan yang berdampak terhadap lahan di wilayah pesisir. Program ICM juga termasuk seluruh wilayah lautan yang berada dibawah yurisdiksi nasional (Zona Ekonomi Eksklusif), yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, diluar pemerintahan nasional merupakan tanggung jawab yang berada dibawah konvensi hukum laut dan UNCED.

Keterpaduan horisontal dan vertikal:

Mengatasi perpecahan antar pemerintah dan antar sektor yang terjadi sekarang ini dalam usaha pengelolaan pesisir merupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme kelembagaan untuk koordinasi yang efektif antar berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir dan antara berbagai tingkat pemerintahan yang bergerak di wilayah pesisir adalah dasar kekuatan dan hal yang rasional dari proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai pilihan yang tersedia, koordinasi dan mekanisme harmonisasi harus dilakukan untuk menyesuaikan aspek keunikan dari pemerintahan nasional yang ada.

Penggunaan ilmu pengetahuan

Karena kompleksitas dan ketidak pastian selalu ada di wilayah pesisir. ICM hendaknya dibangun atas dasar ketersediaan ilmu pengetahuan (sosial dan alam). Teknik-teknik seperti analisis resiko, valuasi ekonomi, perhitungan sumberdaya. Analisis benefit-cost dan monitoring berbasis outcome, semuanya harus dibangun dalam proses ICM sebagai penyesuaian.

Kekuatan-kekuatan ICM dalam pelaksanaannya diuraikan sebagai berikut. 1 Nilai-nilai dan perhatian-perhatian dari keseluruhan stakeholders secara

2 Instansi terkait didorong untuk saling berkomunikasi, berkoordinasi dan bekerjasama.

3 Suatu informasi dasar dan pendapat yang lebih luas telah tersedia bagi pembuat keputusan.

4 Lebih sedikit panduan teknis dibandingkan dengan pendekatan sektoral.

5 Lebih „bottom up’daripada “top down” (jika implementasi benar).

6 Aktivitas pengembangan potensi dinilai secara obyektif, menggunakan berbagai kriteria dalam jangkauan yang luas, kegiatan pengembangan potensi dinilai obyektif, menggunakan berbagai kriteria, juga dapat digunakan terhadap pengembangan potensi sumber daya lain, tidak hanya untuk sektor yang sama.

7 Penyelesaian konflik dan menyeimbangkan kepentingan sebagai tujuan spesifik.

8 Harus menghasilkan kebijakan dan perundang-undangan yang konsisten antara tingkat yang berbeda dan sektor pemerintahan.

Selain kekuatan dari ICM juga terdapat beberapa kelemahan yang telah dievalusi sebagai berikut.

1 Kemungkinan penggunaan kemampuan dan keahlian kelembagaan yang ada tidak memadai, instansi yang baru dibentuk perlu banyak belajar, kemungkinan dapat terjadi pengulangan kekeliruan masa lampau atau melakukan pemecahan masalah dengan cara lama.

2 Karena perubahan kelembagaan, mungkin akan menimbulkan risiko dalam kelembagaan (kebingungan karena wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar, dan kurangnya kemampuan kelembagaan).

3 Memakan banyak waktu, usaha dan biaya.

4 Kemungkinan menghasilkan suatu kelebihan penilaian dan sedikitnya kesepahaman terhadap data riset, bagaimana seharusnya digunakan (seperti untuk meningkatkan pendekatan sektor).

5 Kemungkinan (sedikitnya pada tahap awal) meningkatnya konflik karena tujuan dan perbedaan cara menilai dan pandangan terhadap pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir.

2.4.2 Ekologi Tambak

Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu, untuk mendapatkan hasil dengan cara memanennya (Ditjen Perikanan Budidaya 2002).

Budidaya udang adalah komoditas yang sangat menjanjikan keuntungan, tetapi juga banyak mengeluarkan bahan pencemar (Naylor et al. 2000; Treece 2002 in Frankie et al. 2003). Dampak lingkungan yang kurang baik dihasilkan dari perluasan tambak yang tidak terkendali pada sebagian wilayah pesisir di wilayah tropis dan subtropis, kondisi ini menimbulkan kritik yang luas, dan secara global sebenarnya telah mendapatkan arahan dalam mengembangkan teknik budidaya yang lebih berkelanjutan (Naylor et al. 1998; Preston et al. 2001

in Burford et al. (2003).

Pada pertengahan tahun 1980 sampai awal tahun 1990 merupakan periode pertumbuhan produksi budidaya udang yang cepat. Umumnya di Asia Tenggara dan Amerika Tengah, pembangunan kegiataan budidaya udang yang cepat ini menimbulkan krisis yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu kegiatan yang tidak berkelanjutan (Naylor et al. 1998; 2000 in Burford et al. 2004). Seperti buangan limbah cair dari tambak ke perairan pesisir yang mengandung nutrien dan fitoplankton, sebagai penyebab potensial terhadap eutrofikasi perairan pesisir, merusak mangrove dan habitat rawa pantai, serta menyebabkan penurunan stok ikan dunia, karena berkurangnya daerah ikan mencari makanan (Burford et al. 2004). Pembangunan tambak juga merupakan faktor utama penyebab kehilangan mangrove. Laporan dari berbagai negara di Asia menyebutkan bahwa tambak memberikan tekanan terhadap mangrove selama lebih dari 20 tahun. Kerusakan mangrove mendekati 50-80% seperti di Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Pilipina. (Wolanski et al. 2000).

Dampak dari aliran limbah tambak yang masuk ke perairan pesisir merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian. Karena aliran yang secara periodik dikeluarkan oleh tambak mengandung padatan tersuspensi dan nutrien (suspended solids dan nutrients) terutama partikel nitrogen (N) dengan konsentrasi yang tinggi, akibat tingginya tingkat buangan limbah (Jackson et al. 2003 in Burford et al. 2004). Menurut Tovar et al. (2000)

ammonium dan padatan tersuspensi yang dikeluarkan tambak merupakan limbah yang sangat berpengaruh terhadap perairan pesisir. Pembuangan sejumlah besar

nutrien dengan konsentrasi tinggi dan padatan tersuspensi secara potensial mempunyai dampak kurang baik terhadap air penerima, termasuk merangsang

blooming algae dan meningkatnya kondisi anoxic (Naylor et al. 1998; Smith et al.

1999 in Burford et al. 2004).

Dalam memelihara populasi udang dengan kepadatan tinggi di tambak, agar mencapai produksi yang lebih efisien diberikan sejumlah pakan buatan, pestisida, bahan kimia aditif dan antibiotik yang harus dilakukan secara terus- menerus ditambahkan pada sistem budidaya perikanan serta dengan cepat membuang bekas pensucihamaan ke lingkungan perairan dan daratan sekitarnya. Limbah yang dibuang tersebut meliputi bahan padat (dasar kolam yang terkikis), bahan organik (pakan tidak termakan, pembusukan pakan, feses, udang mati, plankton mati) dan metabolit terlarut (amoniak, urea dan karbon dioksida) (Dona 2004). Metode budidaya udang intensif yang ada saat ini mengakibatkan mengalirnya nutrien ke perairan terdekat, dengan kandungan nutrien yang tinggi ini umumnya berasal dari pakan komersil (Briggs dan Funge-Smith 1994 in

Jackson et al. 2003).

Primavera (1994) in Widigdo (2001) menyebutkan limbah utama dari kegiatan budidaya udang (tambak) adalah bahan organik yang berasal terutama dari sisa-sisa pakan, kotoran dan bahan-bahan terlarut. Hasil monitoring yang dilakukannya terhadap tambak udang intensif menyebutkan bahwa 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari jumlah pakan yang diberikan dikonversikan menjadi daging udang, sementara 48% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolisme dan kelebihan nutrien), ecdysis (moulting) dan pemeliharaan. Dua puluh persen pakan dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa feces.

Nitrogen merupakan pemegang peran kunci dalam dinamika sistem budidaya perairan, ada dua fungsi penting yaitu sebagai nutrien dan bahan toksik. (Burford et al. 2004). Kebanyakan N (90%) yang masuk ke tambak

diformulasikan dalam bentuk pakan udang. Di dalam tambak 22% masukan N dikonversi menjadi hasil panen udang, 14% mengendap dalam sedimen dan sebagian besar sisanya (57%) dialirkan ke lingkungan, hanya 3% masukan N tidak terjelaskan dan diasumsikan hilang melalui denitrifikasi atau volatilisasi amoniak (Jackson et al. 2003). N dapat masuk ke dalam kolom air sebagai TAN (total amoniak) dari ekskresi udang atau remineralisasi dari limbah pakan dan N organik terlarut (DON) (Burford et al. 2004).

Rachmansyah (2001) dalam penelitiannya dengan menggunakan pakan 3,014 ton/ha/MT, mendapatkan produksi limbah budidaya dari tambak berupa bahan organik sebesar 1,929 kg/ha/MT; 0,2547 kg N/ha/MT dan 0,0663 kg P/ha/MT. Kandungan total fosfat dan total nitrogen sebagai produk samping (limbah) budidaya udang yang dibuang ke lingkungan, dipengaruhi oleh faktor jumlah pakan yang dikonsumsi (efisiensi pakan), jumlah pakan yang tidak dikonsumsi, jumlah feses, produksi biomassa udang, retensi fosfat dan nitrogen dalam udang windu, kandungan fosfat dan nitrogen dalam pakan, volume air tambak dan persentase pergantian air harian dan laju pembasuhan.

Boyd (1999) juga mengatakan bahwa apabila pakan yang diberikan bermutu baik, yaitu kadar protein 35 % (kandungan N dan P dalam pakan masing masing 84 g dan 18 g) maka akan dapat menghasilkan food convention ratio (FCR) sebesar 1,5 artinya bahwa untuk menghasilkan 1 kg udang diperlukan 1,5 kg pakan. Dalam kondisi ini, hanya sekitar 27,5 g N dan 3 g P yang akan dikonversi menjadi daging udang dan sekitar 56,6 g N dan 15 g P akan terbuang ke lingkungan perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa beban limbah yang terbuang keperairan dalam bentuk N dan P sangat ditentukan oleh kapasitas produksi tambak, dimana semakin tinggi produksi tambak per satuan luas (kg/ha), maka akan semakin besar limbah N dan P yang terbuang ke lingkungan perairan.

2.4.3 Keterkaitan Mangrove dan Tambak

Kondisi dan potensi sumberdaya lahan perikanan pesisir untuk penerapan budidaya tambak di masa lalu berbeda dengan saat ini. Sumberdaya lahan pesisir banyak mengalami perubahan fungsi lahan karena proses alam dan kegiatan manusia yang semakin bertambah banyak jumlahnya dan bersifat konsumtif.

Perubahan fungsi lahan ini antara lain kawasan mangrove berubah menjadi tempat pemukiman dan pertambakan, persawahan dan perkebunan menjadi pertambakan, jalur hijau disepanjang pantai yang tebal menjadi tipis, bahkan tidak terdapat sama sekali karena adanya penebangan yang dilakukan masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Utojo et al. 2005).

Pembangunan tambak udang di wilayah pesisir merupakan penyebab utama pengurangan lahan mangrove (Alonso-Perez et al. 2003). Eksploitasi sumberdaya mangrove dalam kehidupan ekonomi tradisional umumnya tidak intensif. Meningkatnya intergrasi pasar dan modernisasi ekonomi tradisional pada dekade terakhir mendorong eksploitasi mangrove lebih intensif, bahkan menyebabkan mangrove habis. di Pilipina berdasarkan hasil pengamatan telah terjadi penurunan penutupan mangrove dari 288.035 ha pada tahun 1970 menjadi 123.400 ha pada tahun 1993, sebagian besar akibat pengembangan budidaya perikanan (WRI dan IUCN 1986; Zamora 1989 in Gilbert dan Janssen 1998).

Pengembangan budidaya udang intensif dan penurunan ekosistem mangrove di Thailand, merupakan contoh lain adanya eksploitasi sumberdaya tersebut. Berawal akibat peralihan mata pencaharian dari usaha lain ke usaha budidaya tambak. Ruyab-horn dan Phantumvanit 1988 in Huitric et al. 2002, menyebutkan dengan ditetapkannya zona ekonomi eksklusif tahun 1970, Thailand kehilangan kira-kira 768.000 km2 daerah fishing ground tradisional, dampaknya sangat dramatik terhadap industri penangkapan. Oleh Flaherty dan Karnjanakesorn (1995) in Huitric et al. (2002) juga menyebutkan bahwa meningkatnya harga minyak OPEC memperburuk kondisi nelayan dengan kenaikan harga bahan bakar. Harga yang mantap dan besarnya permintaan terhadap udang dari Jepang, USA dan Eropa Barat membuat Department of Fisheries Thailand

mempromosikan budidaya udang semi intensif pada awal tahun 1973 dan pembangunan hatchery untuk membantu industri penangkapan. Termasuk menangkap larva udang dari perairan pasang surut untuk mendukung pasokan stok tambak (Huitric et al. 2002).

Hal yang hampir sama juga terjadi di Honduras yaitu terjadi degradasi mangrove menurut Stonich (1993) in Dewalt et al. (1996) akibat dari konsentrasi lahan pertanian sebagai mata pencaharian utama sebagian besar penduduknya

berada di tangan pemilik lahan, terjadi konversi lahan pertanian dan hutan menjadi peternakan, sehingga tidak ada alternatif peluang ekonomi bagi rakyat miskin yang tidak memiliki sumberdaya lahan, akibatnya para keluarga ini mencari peluang kerja ditempat lain. (Stonich 1993 in Dewalt et al. 1996). Karena kemiskinan ini para buruh penggarap pindah ke daerah pantai mangrove, pantai berlumpur, pesisir payau dan danau musiman disekitar teluk Fonseca (Dewalt et al. 1996).

Kegiatan budidaya perikanan dan pemancingan dilakukan oleh masyarakat yang datang dan menggantungkan hidupnya pada ikan, udang, shellfish, binatang dan kayu yang dikumpulkan dari sekitar danau di pinggir laut, mangrove, perairan payau, dan Teluk Fonseca. Sampai awal tahun 1980, kegiatan ekonomi dari budidaya tambak ini terjadi pada suatu wilayah sumber daya umum yang besar, dan tidak tunduk kepada kepemilikan pribadi. Satu-satunya yang kompetisi utama terhadap sumber daya pesisir di teluk Fonseca ini, adalah usaha pembuatan garam komersil (Dewalt et al. 1996). Pada pertengahan tahun 1980 investor besar di Honduras Selatan mulai menanamkan modalnya untuk peluang ekspor baru yaitu udang (Dewalt et al. 1996). Industri budidaya udang tambak berkembang di Honduras Selatan, dibangun dipinggir estuaria (Dewalt et al. 1996).

Selama periode tahun 1987 sampai tahun 1991 di Thailand, telah tersebar tambak udang intensif dan pada tahun 1994 telah diusahakan secara intensif mencapai 80% (Dierberg dan Kiattisimkul 1996 in Huitric et al. 2002). Antara tahun 1961 dan 1993, mangrove di Thailand berkurang dari 362 000 menjadi 168 700 ha (Huitric et al. 2002). Selama periode tahun 1975-1993 wilayah ini kehilangan mangrove 85%. Akibat pertumbuhan industri tambak udang yang yang terus meningkat. Banyaknya pembangunan tambak ini menimbulkan penyakit dan permasalahan dihubungkan dengan penyebaran pencemaran air yang sangat cepat, menyebabkan industri tambak di daerah ini tidak dapat berproduksi lagi pada tahun 1980-an (Huitric et al. 2002).

Terjadinya peningkatan permintaan pasar internasional, dan meningkatnya teknologi, telah memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan intensifikasi industri tambak. Petani padi dengan mengubah sawah menjadi tambak bisa

meningkatkan pendapatan sampai 60 kali lipat dibandingkan dengan usaha sawah (Dewalt et al. 1996).

Kerusakan mangrove melalui pengembangan tambak udang intensif merupakan konsekuensi penerapan biaya lingkungan dan sosial yang tidak dibayarkan oleh industri tambak (Huitric et al. 2002). Konstruksi tambak secara langsung telah mendorong ke arah hilangnya barang dan jasa lingkungan di lokasi yang dipermasalahkan. Tambak udang juga secara tidak langsung berdampak terhadap lingkungan diluar wilayah tambak. Termasuk rendahnya water table

akibat pemanfaatan air tawar oleh tambak. Salinisasi lingkungan akibat perembesan air laut dan transportasi effluen buangan ke lingkungan pesisir. Telah dilakukan beberapa studi untuk menilai ekosistem mangrove misalnya dilakukan oleh Barbier 1994, Ruitenbeek 1994, Naylor dan Drew 1998; Sathirathai 1998, dampak negatif industri tambak ini menjadi biaya internal dari tambak udang (Huitric et al. 2002).

Dampak tidak langsung dari tambak udang terhadap mangrove seperti kasus di wilayah Teluk California menurut Osuna et al. (2003) adalah (a) terjadinya perubahan pola hidrologi. Tanggul tambak merubah pola runoff dan memotong aliran air musiman dan aliran pasang surut, berdampak pada mangrove akibat lebih banyak air tawar yang menggenang, sehingga spesies mangrove berada dibawah tekanan lingkungan. Pembangunan jalan menuju tambak dan daerah pemancingan sama resikonya terhadap mangrove karena menghalangi sirkulasi air. Operasional pompa air untuk pengisian tambak menyebabkan perubahan pola hidrodinamik yang signifikan pada genangan air di pantai, menyebabkan intrusi air laut. (b) Hypersalin. Penguapan air tambak diperkirakan meningkat 50% dibandingkan dengan lahan basah alamiah. Dengan tingginya laju evaporasi, aliran air hypersalin ke sistem perairan pesisir yang bersisian menjadi penting, yang mengakibatkan meningkatnya salinitas yang membuat mangrove menjadi kritis dan akhirnya mati. (c) Eutrofikasi, dampaknya kecil terhadap mangrove,