• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.7 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir

Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga, dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi. Ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan, dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Disamping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen 2002).

Barbier et al. (1997) in Adrianto (2006) menyediakan sebuah kerangka pendekatan valuasi ekonomi dimana terdapat 3 tahapan utama dalam melakukan valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut, yaitu:

1 Tahap pertama, adalah mendefinisikan problem dan memilih pendekatan yang tepat untuk melakukan economic assessment.

2 Tahap kedua, adalah mendefinisikan ruang lingkup (scope) dan batasan

(limits) dari analisis yang dilakukan serta informasi yang diperlukan untuk

3 Tahap ketiga, adalah mendefinisikan metode pengumpulan data dan teknik valuasi termasuk analisis dari distribusi dampak yang mungkin dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

Ketiga tahapan tersebut diatas dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pendugaan ekonomi (economic assessment) secara utuh yang menggambarkan

willingness to pay” yang benar dari masyarakat terhadap manfaat yang

dihasilkan dari ekosistem pesisir dan laut.

Dalam pandangan ecological-economics, tujuan valuasi tidak semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Costanza dan Folke 1997 in

Adrianto 2006).

Adrianto (2004) menyatakan perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi, dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi, adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah, dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi.

Oleh karena itu, pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh mainstream ecological economics yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan time-frame yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha

mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society),

dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004).

Selanjutnya dengan mengubah paradigma dan cara pandang pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan, yang tidak terlepas pada paradigma sustainability sciences.

2.7.1 Fungsi Lingkungan Mangrove

Mangrove merupakan bagian dari kekayaan ekosistem yang menyediakan berbagai barang dan jasa lingkungan, karena nilainya yang tinggi dan dampak akibat aktivitas manusia adalah faktor utama yang mendukung terjadinya kerugian dan degradasi ekosistem (Gilbert dan Janssen 1998).

Berdasarkan hubungan fungsi lingkungan alamiah menurut de Groot (1993)

in Gilbert dan Janssen (1998) maka pada lokasi penelitian dapat diidentifikasi fungsi lingkungan alamiah mangrove, menunjukan barang dan jasa disediakan secara langsung dan tidak langsung oleh mangrove yang berada di Kabupaten Tanah Bumbu (Tabel 4).

Produksi barang langsung termasuk kepiting, gastropoda, sumber obat tradisional dan bahan mentah seperti kayu (juga digunakan sebagai bahan bakar), nipah dan tannin (untuk bahan samak), pengumpulan anakan bakau untuk penghijauan dan program kehutanan. Sedangkan ikan lepas pantai dan kerang- kerangan yang memanfaatkan mangrove sebagai tempat asuhan merupakan produksi tidak langsung (Gilbert dan Janssen 1998). Fancy (2004) menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, masukan limbah eutrofik yang tinggi telah diberi label sebagai salah satu penyebab utama degradasi mangrove. Ekspansi global operasional budidaya udang telah mengakibatkan masuknya sejumlah besar limbah budidaya yang kaya nutrisi ke dalam kawasan mangrove. Meskipun beberapa peneliti memperkirakan bahwa beban efluen budidaya yang tinggi merugikan mangrove (misalnya seperti Feller 1995, Madeira et al. 1999), Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tambak udang dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup mangrove (Rajendran dan Kathiresan 1996 in Fancy 2004). Dalam Fancy (2004) secara sederhana siklus nitrogen di dalam ekosistem hutan mangrove dapat di lihat pada Gambar 2.

Fungsi lingkungan oleh de Groot (1993) in Gilbert dan Janssen (1998) digambarkan sebagai barang dan jasa lingkungan alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, fungsi lingkungan alam ini oleh de Groot (1993), digambarkan seperti pada Gambar 3 serta Lampiran 1 dan 2.

Plant Growth

Mangrove Stand

Leaf Litter Uptak e

NH4 + NO 2 - N2O Denitrification NO N2 (gas) Anthropogenic inputs NO2 - N2 fixation/ Oxidation NO3 - Nitrification

Gambar 2 Siklus Nitrogen dalam ekosistem mangrove secara sederhana dimodifikasi dari Schulze 2000 in Fancy (2004).

Gambar 3 Fungsi lingkungan alamiah (dikutip dari de Groot, 1993 in Gilbert dan Janssen (1998).

FUNGSI CARRIER

Habitat manusia (pribumi),

perkampungan

Pengolahan (misal hasil panen, ternak, ikan)

Konversi energi Turisme dan rekreasi Proteksi alam

FUNGSI PRODUKSI Oksigen

Air (minum, irigasi,dll) Makanan dan minuman bergizi

Sumberdaya genetik Sumberdaya obat-obatan Bahan baku untuk pabrik Bahan bakar dan energi

Bahan baku untuk

konstruksi Biokimia

Pakan ternak dan pupuk Sumberdaya ornamental

FUNGSI LINGKUNGAN

ALAMIAH

FUNGSI REGULASI

Perlindungan terhadap pengaruh-

pengaruh bahan alam

Kesetimbangan energy global dan lokal

Komposisi kimiawi atmosfer

Pencegahan run-off dan banjir

Daerah tangkapan air dan aliran bawah tanah

Pencegahan erosi lahan, pengendalian sedimen

Formasi tanah atas, pemeliharaan kesuburan

Fiksasi energi matahari, produksi biomas

Simpanan/daur bahan organik Daur nutrisi

Daur limbah dan surplus Mekanisme pengendalian biologi Habitat migrasi dan nursery Keanekaragaman Biologi dan genetik

FUNGSI INFORMASI Informasi estetika

Informasi spiritual dan

keagamaan

Informasi sejarah (nilai

pewarisan)

Informasi artistik dan budaya Informasi sains dan pendidikan

Ekosistem mangrove juga menyediakan jasa lingkungan, tegakan mangrove pada sedimen dan terendam air sering bersifat an oksik, tetapi dengan adanya suplai udara ke akar menyebabkan sistem akar muncul kepermukaan dan pada gilirannya menentukan struktur fisik dari ekosistem. Sistem perakaran menghambat aliran air. Keadaan ini membuat air menggenang, menciptakan suatu lingkungan yang tenang mendorong terjadinya sedimentasi dan menghalangi pengenceran. Stabilitas sedimen mangrove melindungi garis pantai dari aktivitas daratan. Ekosistem mangrove dapat berfungsi menenggelamkan bahan terlarut dan tersuspensi, melalui aliran air sedimentasi yang dapat diserap oleh organisme yang menempel di akar. Pemasukan aliran pupuk dan pestisida, limbah industri dan sampah mungkin diuraikan dan ekosistem mangrove dapat berubah menjadi jasa tempat pembuangan limbah. Tambak yang bersisian dengan daerah ini merupakan bagian yang tergantung dari pelayanan jasa ini (Gilbert dan Janssen 1998).

Tabel 4 Produksi barang dan jasa lingkungan yang disediakan oleh mangrove Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan Barang (Goods) Jasa (Services)

Air tambak Tempat pembuangan limbah

Penangkapan Pelindung garis pantai

Organisme biotik lain (kepiting dll) Mitigasi banjir

Anakan mangrove Keanekaragaman

Kayu (kayu bakar) Ilmu pengetahuan

Daun nipah -

Tambak udang -

Proses ekologi dari barang dan jasa dan fungsi lingkungan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Tanah Bumbu yang ditampilkan pada Tabel 4 di atas diidentifikasi di lokasi penelitian baik fungsi lingkungan dan permasalahannya mengacu pada tabel produksi barang dan jasa lingkungan Lampiran 1 dan 2.

Eksploitasi sumberdaya mangrove dalam kehidupan ekonomi tradisional umumnya tidak intensif. Tetapi akibat meningkatnya integrasi pasar dan modernisasi ekonomi tradisional pada dekade terakhir mendorong eksploitasi mangrove lebih intensif dan bahkan habis karena semua lahan dirubah menjadi tambak. Contohnya terjadi di Pilipina tutupan mangrove di wilayah ini telah

terjadi penurunan dari 288.035 ha pada tahun 1970 menjadi 123.400 ha tahun 1993, sebagian besar akibat pengembangan budidaya tambak (WRI dan IUCN, 1986; Zamora 1989 in Gilbert dan Janssen 1998).

2.7.2 Valuasi Barang dan Jasa Lingkungan Mangrove

Peranan valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan, termasuk dalam hal ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem – apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain- merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunaan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat (benefit) dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness) Adrianto (2006).

Nilai manfaat dari produk hutan diperoleh dari mangrove, dari yang mencari nafkah pada hutan mangrove merupakan kumpulan net cost, bila rumah tangga tidak mengambil sumberdaya hutan mangrove maka shadow prices yang berkaitan dengan hutan sama dengan biaya dari perolehan produk pilihan, dimana biaya sama dengan harga pasar dari produk alternatif ditambah biaya transport dari pasar ke titik pemanfaatan. Harga bayangan untuk kayu bakar dan barang lainnya tidak dijual di pasar dihubungkan dengan pengganti termurah. Untuk hutan komersial nilai bersih dihitung menggunakan harga pasar dari produk kayu dikurangi biaya pengangkutan, pengambilan dan biaya-biaya yang terkait dengan manajemen hutan. Nilai bersih dari budidaya tambak dihitung menggunakan data produksi, harga pasar dan biaya operasional dari tambak yang ada diwilayah studi. (Gilbert dan Janssen 1998).

Produk tambak udang, bukan merupakan barang lingkungan, tetapi merupakan barang ekonomi yang merupakan man-made capital; suatu kegiatan

budidaya adalah semacam “pabrik” ikan yang berada di atas ruang yang menutupi

ekosistem mangrove (Gilbert dan Janssen 1998).

Sebagai contoh, dalam kasus mempertahankan sebuah kawasan ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan akan mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga kawasan tersebut, ditambah dengan potensi hilangnya manfaat pembangunan apabila kawasan tersebut dikonversi. Total costs ini lah yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat didekati dengan metode valuasi ekonomi. Demikian juga sebaliknya (vice versa) dalam kasus konversi ekosistem menjadi pemanfaatan lain (tambak). Selain biaya langsung yang diperlukan untuk mengkonversi ekosistem, maka nilai-nilai ekosistem yang hilang akibat konversi tersebut harus pula dipertimbangkan. Masalahnya, nilai ekosistem tersebut tidak seluruhnya dapat didekati dengan menggunakan pendekatan pasar (market approach) sehingga seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan sektor swasta

(private) maupun sektor publik. Dengan demikian, estimasinya seringkali masuk

ke dalam kategori under-estimate yang pada akhirnya berdampak pada

Dzkesalahandz tingkat eksploitasi terhadap ekosistem tersebut (Adrianto 2006). Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic efficiency) dari berbagai pemanfaatan (competing uses) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di wilayah pesisir dan laut, termasuk dalam konteks ini wilayah pulau-pulau kecil. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net

gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi

dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyakarat bersih (net

gain to society) tidak dipertimbangkan dalam term Dzeconomic efficiencydz. Oleh

karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (fair) seperti yang dianut oleh kalangan ecological economist (Costanza 2000 in Adrianto 2006).