• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah menyusun sebuah model pengembangan kawasan pesisir yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, melalui pengembangan usaha budidaya perikanan di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan tujuan khusus adalah:

1 Mengembangkan metode estimasi daya dukung pemanfaatan ekosistem pesisir untuk pengembangan budidaya perikanan berwawasan lingkungan.

2 Mengkaji optimalisasi secara ekologis-ekonomis pemanfaatan kegiatan budidaya perikanan dan ekosistem mangrove berwawasan lingkungan. 3 Menentukan model pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran masalah. Mulai

AnalisisSistem

Hipotesis

Peningkatan pengelolaan lingkungan pesisir turut meningkatkan daya dukung budidaya tambak dan kelestarian ekosistem perairan pesisir.

Permasalahan - Degradasi lingkungan perairan dan tambak

-Belum optimalnya ekologi- ekonomi tambak - Subsistem Bio-Fisik, Ekologi, dan Ekonomi

Lahan Budidaya Pesisir

Ekonomi Budidaya

Sosial Budidaya

Optimasi ekologi-ekonomi perikanan budidaya pesisir

Optimasi pengembangan kawasan pesisir untuk perikanan budidaya

Desain model pengembangan kawasan pesisir melalui

pengembangan usaha Budidaya Selesai Aqua input Tambak Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Kelembagaan Kesesuaian Lahan Budidaya Pesisir Keterkaitan mangrove -tambak Kapasitas Asimilasi perairan Daya Dukung Blok Ekologi Blok Ekonomi Coastal policy decision variables - Luas optimal budidaya

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain adalah:

1 Sebagai salah satu acuan bagi pengambil kebijakan, dalam perumusan dan pengimplementasian pengembangan tambak berwawasan lingkungan.

2 Sebagai salah satu contoh pengembangan model integrasi tambak -mangrove berwawasan lingkungan.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Di Indonesia, khususnya di Institut Pertanian Bogor sendiri, sudah banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui daya dukung pesisir terhadap limbah tambak diantaranya: Sitorus (2005) dan Asbar (2007) telah melakukan penilaian daya dukung lingkungan dengan pendekatan Widigdo dan Pariwono (2003) yang telah dimodifikasi, Sitorus (2005) menggunakan metode daya dukung lingkungan ini dalam rangka pengembangan areal tambak berdasarkan laju biodegradasi limbah tambak diperairan pesisir Kabupaten Serang, sedangkan Asbar (2007) mengembangkan metode ini dengan menentukan daya dukung kawasan pesisir kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, dengan asumsi adanya sungai pada lokasi tersebut maka volume air laut yang memasuki pantai ditambah dengan debit air tawar yang masuk ke perairan pantai melalui aliran sungai.

Kebaruan dari penelitian ini adalah (1) pengembangan metode estimasi daya dukung mass balance dengan menggabungkan formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998) belum pernah dilakukan sebelumnya, (2) optimalisasi ekologi ekonomi pemanfaatan kegiatan budidaya perikanan dan ekosistem mangrove berwawasan lingkungan berdasarkan daya dukung mass

balance serta (3) model pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya

perikanan berwawasan lingkungan berdasarkan input data daya dukung dari hasil perhitungan optimasi ekologi ekonomi dalam penelitian ini.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pesisir

Coastal system tempat dimana masyarakat tinggal dan penuh dengan

aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap pelayanan ekosistem habitat laut, sistem perikanan laut adalah tempat manusia yang berhubungan dan menimbulkan dampak melalui aktivitas kegiatan perikanan. Wilayah paparan benua (continental shelf) atau ekosistem pesisir yang besar terdiri dari sistem pesisir dan lautan, yang menyediakan sejumlah pelayanan ekosistem kunci; paling sedikit terdapat 25% produktivitas primer, 90-95% hasil tangkapan laut dunia, 80% produksi karbonat, 50 % denitrifikasi dunia dan 90% mineralisasi sedimen dunia (Alder 2004).

Pada wilayah paparan benua ini terdapat tipe sistem pesisir yang beragam, termasuk air tawar dan air payau lahan basah, hutan mangrove, estuaria, rawa, danau dan tambak garam, bebatuan dan wilayah intertidal berlumpur, pantai dan gumuk pasir, sistem terumbu karang, padang lamun, hutan, pulau kecil, teluk, dan perairan dekat pantai dipaparan benua. Sebagian dari sistem pesisir ini sangat produktif (Alder 2004). Sedangkan menurut IUCN (2007) ekosistem pesisir terdiri dari hutan bakau, estuaria, terumbu karang, bukit pasir, pantai dan padang lamun, bersifat kompleks dan saling tergantung, dan bersama-sama diyakini menghasilkan barang-barang ekosistem, yang digunakan bagi pemenuhan kebutuhan makanan, konstruksi, bahan bakar, pendapatan dan pemanfaatan lainnya. Lebih penting lagi, ekosistem pesisir melayani kesejahteraan hidup manusia. Secara umum wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al. 2002 in BAPPENAS 2004), sedangkan dalam Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengertian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sector, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 1, ayat 1). Pengertian wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara

ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut (Pasal 1, ayat 2).

Wilayah Pesisir memiliki keunikan, nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Hal ini menurut Adrianto (2004) merupakan konsekuensi akibat intensitas kegiatan ekonomi di wilayah pesisir meningkat secara tajam. Ini berarti kita harus mengelola wilayah pesisir sedemikian rupa sehingga intensitas kegiatan tersebut masih berada dibawah kapasitas keberlanjutan ekosistem alamiah.

2.2 Ekologi Mangrove

Mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dan produktif serta ditemukan di sepanjang pesisir dan garis pantai (Hong dan San 1993). Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari deburan ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal, mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur sebagai substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji 2005). Hal ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua. Penyebaran ekosistem mangrove juga dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin. Bengen (2004) menyebutkan, hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizophora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia yang berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya.

Di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove meliputi: 89 jenis pohon, 5 jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku (Noor et al. 1999). Menurut Soemodihardjo dan

Soerianegara (1989), bahwa jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit. Sementara itu Bengen (2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,

Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas,

Snaeda, dan Conocarpus, yang termasuk ke dalam 8 famili. Melana et al. (2000)

mengatakan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan dapat tumbuh di habitat lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran rendah.

Menurut Liyanage (2004) nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong dan San (1993), menambahkan pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Melana et al. (2000) mengatakan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

1 Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang, kepiting dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

2 Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. 3 Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir

4 Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

5 Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

6 Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Budidaya perikanan dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain.

Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah 1988). Sedangkan bagi kawasan pertambakan, keberadaan mangrove difungsikan sebagai sabuk hijau yang dikenal sebagai

mangrove green belt (MGB). Boers (2001) menyatakan bahwa MGB dapat

difungsikan sebagai penyaring (filter) air yang masuk tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.

Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri et al. (2004) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya.

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pengasuhan berbagai biota laut, tempat

bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali 2001). Menurut Macnae (1968) in

Kusmana (1995) secara umum fauna hutan mangrove terdiri atas fauna teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang, biawak, berbagai jenis burung dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan

Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda

sedangkan golongan Crustaceae di dominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.