• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN INGGRIS

6.4.1 Byronic Hero Sebagai Representas

Revolusi Industri dianggap telah menyebabkan banyak perubahan di berbagai negara Eropa. Perubahan yang paling signifikan adalah munculnya suatu kelas masyarakat baru, yakni masyarakat kelas menengah. Keberadaan kelas baru tersebut direalisasikan dengan terbukanya lapangan pekerjaan baru, yakni home industry. Namun di lain sisi, pemerintah Inggris sangat khawatir terhadap keberadaan bentuk usaha baru tersebut. Sebagai akibatnya, pemerintah Inggris melakukan sistem upeti dari hasil keuntungan usaha-usaha tersebut, terutama ke pabrik-pabrik dan para pemilik tanah. Hal tersebut mengakibatkan kesenjangan sosial yang sangat nyata terhadap golongan si kaya dan si miskin. Selain itu, pada era tersebut perbudakan sudah dihapuskan, namun di Inggris dan Perancis, jenis pekerjaan seperti pembantu

rumah tangga sering dijadikan suatu cara untuk menghidupkan kembali sistem perbudakan (sistem perbudakan baru).

Dalam novel, Shelley menguraikannya dalam sudut pandang Victor Frankenstein, sebagai berikut:

“…there is less distinction between the several classes of its inhabitants; and the lower orders being neither so poor nor so despised, their manners are more refined and moral. A servant in Geneva does not mean the same thing as a servant in France and England” (Shelley: 66).

“Justine, thus received in our family, learned the duties of a servant, a condition which, in our fortunate country, does not include the idea of ignorance and a sacrifice of the dignity of a human being” (Shelley: 66).

“…hanya sedikit perbedaan di antara beberapa kelas sosial di sini; kelas bawah tidak lah terlalu miskin dan hina, perilaku mereka lebih sopan dan bermoral. Seorang pembantu rumah tangga di Genewa tidak lah sama dengan pembantu di Perancis dan Inggris” (Shelley: 66).

“Oleh karena itu, Justine, di terima di keluarga kami sebagai pembantu rumah tangga, yang mana di negara kaya tempat kami berasal, tidak terdapat gagasan tentang kebodohan dan pengorbanan harga diri manusia” (Shelley: 66).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa Shelley berusaha menyindir sistem pemanfaatan SDM pembantu rumah tangga di Perancis dan Inggris yang sarat dengan eksploitasi dan berkasta. Shelley membandingkan keadaan pembantu rumah tangga lainnya di negara-negara yang dimaksud dengan keadaan Justine yang diperlakukan secara layak di keluarga Frankenstein di Genewa.

Tema tentang kemiskinan juga diangkat oleh Shelley dalam monolog Sang Monster ketika memperhatikan keluarga De Lacey, sbb:

"… I discovered one of the causes of the uneasiness of this amiable family; it was poverty; and they suffered that evil in a very distressing degree. Their nourishment consisted entirely of the vegetables of their garden, and the milk of one cow, who gave very little during the winter, when its masters could scarcely procure food to support it” (Shelley: 114).

"…aku menyadari penyebab kekhawatiran keluarga yang ramah ini; kemiskinan; dan mereka menderita kejahatan ini dalam tahap yang sangat kacau. Harta benda yang mereka miliki hanyalah sayur- mayur di kebunnya, dan susu dari satu sapi, yang hanya menghasilkannya sedikit sekali selama musim dingin, di mana majikannya sangat membutuhkan makanan untuk hidup” (Shelley: 114).

Shelley juga memasukkan satir tentang kemiskinan sebagai akibat dari perampasan lahan yang terjadi pada era pencerahan. Ungkapan tersebut disampaikan oleh Victor, sbb:

“Alas! what freedom? such as the peasant enjoys when his family have been massacred before his eyes, his cottage burnt, his lands laid waste, and he is turned adrift, homeless, pennyless, and alone, but free” (Shelley: 193).

“Aduh! Kebebasan seperti apa? bagaikan petani yang seakan senang ketika keluarganya dibantai di depan matanya, pondoknya dibakar, lahannya disia-siakan, kemudian ia terkatung-katung; tunawisma, tak punya uang, dan kesepian, namun bebas” (Shelley: 193).

Pada tahun 1818, di Inggris terjadi perampasan yang dilakukan oleh kaum industrialis terhadap lahan-lahan milik masyarakat kelas buruh. Sebagai akibatnya,

para petani tersebut terpaksa harus memilih antara menjadi buruh pabrik (di pabrik- pabrik milik kaum industrialis) atau kehilangan harta benda sama sekali.

6.4.2 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Ras Manusia

Rasisme merupakan salah satu tema yang diangkat dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam novel ini Shelley berusaha menggambarkan budaya masyarakat moderen yang sering menilai penampilan luar sebagai tolok ukur pribadi, potensi, bahkan kekayaan materi seseorang (judging the book by its cover). Salah satu contoh jelas yang diangkat Shelley dalam novel ini adalah ketika Sang Monster dihujat dan dizalimi hanya karena penampilan fisiknya yang cacat dan ‘berbeda’. Namun jika ditelusuri, Sang Monster sebenarnya sangat berjiwa manusiawi, yang mana mampu mencintai, menyayangi, menghargai, dan berterima kasih. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pesan yang berusaha disampaikan pengarang adalah konsep berpikir (mindset) manusia moderen terhadap penilaian seseorang berdasarkan penampilan fisiknya (warna dan rupanya). Berkaitan dengan hal tersebut, politik juga berperan besar di sini. Oleh karenanya, fakta sejarah juga perlu disertakan sebagai pendukung penelitian.

“Beautiful! -- Great God! His yellow skin scarcely covered the work of muscles and arteries beneath; his hair was of a lustrous black, and flowing; his teeth of a pearly whiteness; but these luxuriances only formed a more horrid contrast with his watery eyes, that seemed almost of the same colour as the dun white sockets in which they were set, his shrivelled complexion, and

“Indah! – Ya Tuhan! Kulit kuningnya yang jarang menutupi sambungan otot dan arteri di bawahnya; rambutnya hitam berkilau, dan terjuntai; giginya seputih mutiara; namun semua ini hanya membentuk suatu kengerian dibandingkan matanya yang berair, yang hampir sama dengan kelopak matanya ketika dipasang, keriput, dan bibir hitam yang lurus” (Shelley: 58).

Uraian tersebut menyinggung tentang warna kulit yang kuning, rambut hitam berkilau, gigi seputih mutiara. Sebutan tersebut biasanya digunakan bangsa barat untuk menyebut bangsa Cina, dan mutiara adalah sebutan untuk Hongkong (mutiara dari timur). Menurut sejarawan Inggris, Paul Johnson dalam artikelnya A Contrarian View of Colonialism (1997), pada abad ke-19, Cina sangat terkenal dalam usaha perdagangan teh dan kain, yang mana teh merupakan salah satu kebutuhan pangan pokok bangsa Inggris. Bangsa Inggris kemudian mulai menyiasati bagaimana caranya menguasai usaha perdagangan tersebut dengan penjualan candu ke Cina. Beberapa puluh tahun kemudian terjadi perang candu (1839-1842) sebagai pemicu kolonialisme Hongkong. Dalam hal ini, Shelley berusaha menyampaikan bagaimana bangsa barat menyuarakan rasa takut dan doktrin sentimen akan bangsa Cina.

Ungkapan yang berunsur rasisme juga disampaikan oleh Robert Walton dalam suratnya ke pada adiknya, Margaret Saville. Walton menceritakan tentang seseorang yang dikenalnya ketika sedang berlayar menemukan Kutub Utara, sbb:

“…he is wholly uneducated: he is as silent as a Turk, and a kind of ignorant carelessness attends him” (Shelley: 21).

“…ia benar-benar tak terdidik: ia sebisu orang Turki, dan kebodohan sering menggambar sosoknya” (Shelley: 21).

Uraian tersebut dapat dikaitkan dengan pandangan sinis masyarakat Inggris terhadap kesultanan Ottoman pada abad ke-19 di Turki. Bangsa Inggris sering berasumsi bahwa bangsa Turki identik dengan korupsi. Oleh karena itu, “Silent as a Turk” adalah idiom bangsa Inggris untuk menyatakan seseorang yang diam karena terlibat korupsi.

Mari kita simak dialog antara Pria Tua Buta dengan Sang Monster berikut:

"'By your language, stranger, I suppose you are my countryman; -- are you French”?

"'No; but I was educated by a French family, and understand that language only. I am now going to claim the protection of some friends, whom I sincerely love, and of whose favour I have some hopes”.

"'Are these Germans”? (Shelley: 135-136).

“Dari bahasamu, orang asing, ku rasa kau berasal dari negaraku; -- apakah kau orang Perancis”?

"'Tidak; tapi aku dididik oleh keluarga berkebangsaan Perancis, dan hanya mengerti bahasa tersebut. Aku ingin memperoleh perlindungan dari beberapa teman, yang dengan tulus kucintai, dan yang dapat memberiku harapan-harapan”.

"'Apakah mereka orang Jerman?' (Shelley: 135-136).

Dari ungkapan tersebut dapat disimak bahwa Pria Tua Buta berasumsi bangsa Jerman adalah bangsa yang kejam. Hal tersebut diketahui berdasarkan ungkapan hati yang disampaikan Sang Monster kepadanya. Sang Monster menceritakan tentang keinginannya akan perlindungan beberapa teman, namun segera disanggah oleh Pria Tua Buta dengan asumsi bahwa hanya bangsa Jerman lah yang mampu membuat

Sang Monster merasa teraniaya. Asumsi tersebut dikaitkan pada peristiwa Perang Napoleon pada tahun (1799-1815), di mana Perancis dan Jerman terlibar adu sentimen.

6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin

Novel Mary Shelley Frankenstein juga mengangkat tema diskriminasi jenis kelamin, yang mana menggambarkan wanita sebagai sosok yang tak berdaya, menjadi suatu posesi (layaknya benda yang dimiliki), dan teraniaya. Shelley menggambarkan bagaimana wanita diperlakukan pada tahun 1800an. Wanita di sini seakan-akan diposisikan sebagai warga kelas dua, yang mana terbebani oleh dominasi kaum pria. Hal tersebut dapat disimak melalui berbagai kejadian yang mendiskriminasikan kaum wanita dalam alur cerita, di mana kedua tokoh wanita, Justine dan Elizabeth, rentan terhadap penyakit, mengalami kematian tragis, dan menjadi obyek eksperimen. Selain itu, novel digambarkan dalam suasana masyarakat patriarki, di mana pria digambarkan sebagai sosok yang mendominasi, dan wanita diharuskan menuruti semua keinginan kaum pria. Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh wanita memiliki peran yang sangat kecil dan kurang penting nilainya di dalam novel.

Mari kita simak kutipan berikut:

“Elizabeth had caught the scarlet fever; her illness was severe, and she was in the greatest danger” (Shelley: 44).

“Elizabeth terjangkit demam berdarah; sakitnya sangat parah, dan dia dalam bahaya besar” (Shelley: 44).

Berdasarkan ungkapan Victor tersebut, dapat diketahui bahwa ia beranggapan Elizabeth tidak akan selamat dari sakit yang dideritanya. Secara psikologis, ia menganggap bahwa kaum wanita tidak akan bisa selamat dari penyakit demam berdarah. Selain itu, di dalam novel, yang dijangkiti penyakit tersebut hanya kedua tokoh wanita Elizabeth dan Caroline pada saat yang bersamaan, sementara tidak ada satupun tokoh pria yang digambarkan menderita penyakit serupa di dalam novel.

“…early marriage would at all interfere with any future plans of honour and utility…” (Shelley: 156).

“…pernikahan dini akan menyimpulkan rencana masa depan akan kehormatan dan kebutuhanmu…” (Shelley: 156).

Berdasarkan ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa wanita disini hanya dijadikan obyek seksualitas (alat pemuas). Hal tersebut dapat dipahami, karena pada abad ke-19 wanita hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga dan pemuas kebutuhan seksual pasangan semata.

“All praises bestowed on her, I received as made to a possession of my own” (Shelley: 37).

“Segala pujian dihibahkan kepadanya, aku menerimanya bagaikan ia milikku” (Shelley: 37).

Ungkapan di atas memposisikan wanita sebagai obyek, bukan sebagai individu. Wanita di sini diibaratkan sebagai benda yang harus dimiliki, tanpa mempertimbangkan unsur perasaan, melainkan disebabkan oleh ketertarikan semata.

“…not I, but she, shall suffer; the murder I have committed because I am forever robbed of all that she could give me, she shall atone” (Shelley: 145).

“…bukan aku, tapi dia; yang akan menderita; atas pembunuhan yang kulakukan karena aku akan selamanya merasa terampas dari semua yang mungkin dapat diberikannya kepada ku, dia akan menebusnya” (Shelley: 145).

Berdasarkan ungkapan di atas, dapat diketahui bahwa Sang Monster mendiskriminasikan sekaligus memanfaatkan sosok tak bersalah yang dimiliki Justine sebagai penebus perbuatan kejinya. Sang Monster beranggapan jika ia tak mampu memiliki Justine, maka ia harus mati. Oleh karena itu, maka sosok wanita untuk kesekian kalinya digambarkan di sini sebagai obyek, dan penanggung derita atas dominasi pria.

6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial

Setelah dilakukan pengamatan, novel Mary Shelley Frankenstein ternyata juga menyuarakan satir yang berbau ketidakadilan sosial. Realisasi dari ketidakadilan tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kelas sosial dan kekuasaan politik antara kaum yang mendominasi dan kaum yang didominasi. Dalam novel, Shelley sebagian besar (namun tidak selalu) menyuarakan hal tersebut di dalam penokohan Victor sebagai penguasa yang mendominasi; dan ketidakadilan tersebut banyak direpresentasikan oleh Sang Monster sebagai kaum yang didominasi. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti akan menguraikan hal-hal yang berusaha diungkapkan oleh Shelley dalam novel ini.

Keterangan tersebut diungkapkan Sang Monster, sbb:

“Was man, indeed, at once so powerful, so virtuous, and magnificent, yet so vicious and base? He appeared at one time a mere scion of the evil principle, and at another as all that can be conceived of noble and godlike…” (Shelley: 122).

“apakah manusia, yang begitu berkuasa, begitu berbudi luhur, dan menakjubkan, dapat begitu kejam dan hina? Pada satu sisi ia adalah melambangkan setan, dan pada sisi lainnya ia dapat dipandang sebagai orang mulia dan seperti dewa… (Shelley: 122).

Ungkapan di atas merupakan suatu kekecewaan terhadap sosok penguasa. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi pada era pencerahan di Eropa, terjadi ekspansi kekuasaan monarki ke negara-negara miskin, sebagai bentuk kolonialisme. Dan sosok penguasa tersebut bermanifestasikan kepada kaum aristokrat, yang mana identik dengan kaum yang terpelajar.

Mari kita simak ungkapan berikut:

“I learned that the possessions most esteemed by your fellow- creatures were, high and unsullied descent united with riches. A man might be respected with only one of these acquisitions; but without either he was considered, except in very rare instances, as a vagabond and a slave, doomed to waste his powers for the profit of the chosen few” (Shelley: 122-123).

“Aku belajar bahwa kepemilikan adalah kebanggaan bagi makhluk- makhluk ini, tinggi tanpa cacat dilengkapi dengan kekayaan. Seseorang mungkin akan dihormati dengan kepemilikan tersebut; namun tanpa semua ini, akan menjadi gelandangan dan budak, terpaksa harus menghabiskan kekuatannya demi keuntungan beberapa orang yang terpilih” (Shelley: 122-123).

seberapa banyak kekayaan yang dimilikinya. Sebagai akibatnya, kaum yang kurang beruntung sering dianggap sebagai sampah masyarakat, dan beberapa dari mereka dieksploitasi kaum yang mendominasi demi meraup keuntungan dan memperkaya diri sendiri.

Ungkapan mengenai ketidakadilan juga disampaikan oleh Victor kepada Elizabeth sebagai bentuk penyesalan karena Justine terbunuh akibat makhluk ciptaannya, sbb:

“I know, I feel she was innocent; you are of the same opinion, and that confirms me. Alas! Victor, when falsehood can look so like the truth, who can assure themselves of certain happiness? I feel if I were walking on the edge of a precipice, towards which thousands are crowding, and endeavouring to plunge me into the abyss.” (Shelley: 96).

“Aku tahu, aku merasakan bahwa dia tak bersalah; kau juga berpendapat demikian, dan meyakinkanku. Aduh! Victor, ketika kesalahan terlihat sebagai kebenaran, siapa yang dapat memastikan seseorang tentang kebahagiaan tertentu? Aku merasa aku sedang berjalan di ujung sebuah prinsip, menuju ribuan kerumunan, yang menyuruhku masuk ke dalam jurang” (Shelley: 96).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Victor menyesal karena telah mendiamkan kesalahan yang diketahuinya, yang berakibat kematian bagi Justine yang tidak bersalah. Yang menjadi ketidakadilan di sini adalah kelalaian dalam mempertahankan sesuatu yang benar, dan membiarkan hal yang salah, sehingga merugikan orang lain. Dalam uraian tersebut Shelley berusaha menggambarkan kekacauan sistem hukum abad ke-19, di mana sering terjadi praduga

tak bersalah dan eksekusi mati tanpa terlebih dahulu menelusuri fakta secara seksama, yang mana bertentangan dengan hati nurani dan moral manusia.

6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror

Dekonstruksi menurut Oxford Companion to English Literature: Sixth Edition (2000) adalah model yang diperkenalkan Jacques Derrida, yakni sebuah pendekatan terhadap suatu teks; yang lazim dilakukan terhadap teks-teks sastra maupun teks-teks filsafat; dengan cara membongkar makna tersembunyi dalam teks untuk memperoleh berbagai kemungkinan makna yang bersifat definitif. Dekonstruksi pada umumnya lazim dimengerti sebagai ‘pembongkaran’. Sebagai varian Teori Sosial Kritis dengan latar belakang pemikiran Marxisme, postrukturalisme membongkar oposisi biner tersebut sesuai dengan pandangan teori konflik dalam mehahami konstruksi sosial masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Bungin (2007b: 90): dalam melakukan dekonstruksi, teks dianalisis berdasarkan ungkapan-ungkapan yang saling bertentangan (oposisi konseptual), yang mana pada akhirnya menunjukkan adanya suatu makna politis yang disembunyikan.

Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dimulai dari teori dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida dan Habermas; dan dapat juga dilihat dari teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi; sementara konstruksi sosial Berger dan Luckmann menggunakan dekonstruksi sebagai bagian

analisisnya, yakni tentang bagaimana individu melakukan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, kedua gagasan tersebut membentuk dua kutub dalam satu garis linear ataupun satu garis vertikal (saling berkaitan).

Semenjak kemunculan kesusastraan Gotik pada abad ke-19, unsur teror dan horor dijadikan fokus utama yang digunakan untuk menyuarakan rasa takut, ambisi, dan kecemasan yang melanda masyarakat sebagai akibat dari kapitalisme (Beville, 2009: 23). Unsur-unsur tersebut merupakan suatu kenyataan simbolis terhadap pemaknaan terhadap sejarah terjadinya hegemoni dalam kehidupan bermasyarakat. Menjelang akhir abad ke-18, pencitraan Gotik tersebut digambarkan dalam suatu cara baru; yakni Romansa Gotik. Genre tersebut tidak lagi berbicara tentang hantu dan makhluk gaib, namun merepresentasikan teror dan horor melalui tindak kekerasan, pembunuhan, dan hilangnya makna juga keyakinan.

Penyertaan unsur Gotik dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mengungkapkan paradigma postrukturalisme; yakni sebuah karya sastra yang bersifat eksperimental, radikal, dan sering berbau metafiksi, yang mana berfokus terhadap hubungan antara kenyataan dengan fiksi, dan pembaca dengan teks (Beville: 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, unsur Gotik adalah suatu perwakilan keadaan yang melambangkan berbagai bentuk teror dan horor, yang difungsikan sebagai sarana penyampaian makna dalam karya sastra. Dengan demikian, peran dekonstruksi pada tahap ini adalah untuk mengungkapkan makna yang disembunyikan oleh pengarang terhadap pembacanya.

Beville (2009: 49) menjelaskan teror yang erat kaitannya dengan kematian dan ketakutan dalam hubungannya dengan dekontruksi seperti di bawah ini:

“Derrida’s deconstructive view of genre and his theories on hauntology are extremely relevant, as the forthcoming analyses by and large take a poststructuralist approach to literature and genre definition. The philosophy of Baurdillard is also pertinent to this examination of Gothic-postmodernism as a self-conscious response to the terrors that haunt our culture of fear and our obsession with ‘the end’. The psychoanalytic analyses of Žižek, similarly, can offer insights into the functions of many Gothic-postmodernist techniques and the execution of its thematic explorations, most notably through the idea of symbolic death, and ‘the Thing”.

“Pendapat dekonstruktif Derrida terhadap aliran dan teorinya tentang hauntology adalah sangat relevan sebagai analisis selanjutnya, yang mana dilakukan oleh kaum postrukturalis terhadap karya sastra dan definisi genre. Filosofi Baurdillard juga berkaitan dengan pengungkapan Gotik-posmodernisme sebagai respons setengah sadar terhadap teror-teror yang menghantui budaya kita mengenai rasa takut dan obsesi akan ‘masa penghabisan’. Senada dengan hal tersebut, psikoanalisis Žižek dapat menjelaskan pengertian fungsi-fungsi dari berbagai teknik Gotik- posmodernis dan eksekusi terhadap penjelajahan tema, terutama melalui ide akan kematian simbolis, dan ‘Sang Makhluk’”.

Menurut Beville (2009) Romansa Gotik seperti Mary Shelley Frankenstein adalah bersifat diskursif dengan representasi subyek yang terfragmentasi (terpecah- pecah), maka dalam hal ini pendekatan ekstrinsik memegang peranan penting. Dalam genre ini, diskursus tersebut diwarnai dengan penyertaan unsur perasaan mengasihani diri sendiri (self-irony) yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya, yang difungsikan sebagai representasi perlawanan terhadap masyarakat tendensi (mainstream) yang cenderung mendominasi masyarakat minoritas (Beville, 2009: 16). Representasi yang

dimaksud merupakan bayangan dari sesuatu yang nyata dan ada dengan teror sebagai diskursus politiknya. Untuk memperkuat pernyataan peneliti tentang genre tersebut, Stam (Beville, 2009: 19) menjelaskan bahwa menurut sudut pandang kaum postrukturalis, penjelasan peneliti tentang suatu genre tentunya merupakan suatu hasil konstruksi yang dibangun oleh penelitinya sendiri.

Karya sastra diciptakan pengarang bukan untuk sekedar dibaca; melainkan untuk ditafsirkan nilai-nilainya (terutama berkaitan dengan nilai moral dan nilai sosial). Melalui Romansa Gotik, Mary Shelley melakukan penyingkapan negativitas konstruksi sosial masyarakat barat abad ke-19 dengan unsur teror dan horor sebagai diskursusnya. Lebih lanjut, Beville (2009: 16) menjelaskan:

“Its fascination with terror, the negative and the irrational, and its hostility toward accepted codes of reality, place it firmly in the realm of revolution. What is often terrifying is that this revolution is against humanity itself… Through the terror of Gothic- postmodernist texts, we can question our own unconscious fears, beliefs, and prejudices, not only in terms of the desire that instigates them, but also in terms of the repercussions for society in general”. “Pesonanya yang berkaitan dengan teror, yang terkesan negatif dan

Dokumen terkait