• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN INGGRIS

6.1.3 Era Revolusi Industri (1800-1850)

Pembaharuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan logika ilmiah yang diperkenalkan oleh Era Pencerahan mengakibatkan terjadinya pengembangan

teknologi secara besar-besaran, yang berdampak terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (terutama budaya konsumerisme). Semenjak munculnya penemuan-penemuan baru seperti mesin uap oleh James Watt (1736-1819), dan mesin tenun oleh Richard Arkwright (1733-1792), Inggris dan negara-negara kaya di Eropa mulai mendirikan pabrik-pabrik besar (terutama yang bergerak dalam bidang industri tekstil) untuk keperluan produksi massal. Pabrik-pabrik tersebut mengakibatkan polusi dan sanitasi buruk yang cukup parah, yang mana mengakibatkan munculnya wabah-wabah penyakit seperti kolera, tifus, cacar, malaria, dsb.

Revolusi Industri juga menyebabkan perubahan sistem perekonomian masyarakat Eropa dari merkantilisme menjadi kapitalisme, karena pada saat itu badan-badan usaha sudah mulai dikuasai oleh individu (swasta). Kapitalisme menyebabkan kepemilikan atas benda, usaha, dan pendidikan ditentukan oleh kaum yang memiliki modal terbesar, yang mana mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial yang sangat jelas dalam kehidupan bermasyarakat era tersebut. Dengan kata lain, kesempatan usaha ditentukan dari seberapa banyak modal yang dimiliki individu atau kelompok tertetu.

Kemajuan dalam hal teknologi industri tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, yakni di mana manusia diperlakukan layaknya mesin. Para buruh pabrik, yang mayoritas merupakan kaum urban yang disita lahan dan ladangnya, memperoleh upah yang sangat kecil dan tidak dibekali oleh jaminan kesehatan serta keselamatan kerja, dan banyak di antaranya merupakan anak di

bawah umur. Selain itu, produksi massal mengakibatkan jam kerja yang sangat tidak manusiawi, yang mana memaksa para buruh bekerja siang dan malam tanpa hari libur. Sebagai dampaknya, banyak anak di bawah umur (dimulai dari usia enam tahun) sudah bekerja selama 14 jam sehari, dan banyak di antaranya meninggal akibat kecelakaan kerja.

Sebagai reaksi perlawanan terhadap Revolusi Industri, muncul suatu gerakan ideologi yang disebut dengan Luddity, yakni kelompok pemberontak yang terdiri dari gabungan buruh (serikat pekerja). Kelompok tersebut menganggap Revolusi Industri terbukti telah merugikan rakyat dengan adanya perampasan lahan, eksploitasi, dan kapitalisme. Sebagai bentuk protes, Luddity tersebut melakukan pengerusakan alat-alat pabrik dan melakukan pemogokan kerja.

6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme

Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, Mary Shelley berasal dari keluarga yang berpemikiran radikal. Ayahnya adalah seorang filsuf ilmu sosial dan ibunya adalah seorang tokoh feminis; selain itu Shelley juga bersuamikan seorang penulis Romantik terkenal. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti bahwa Shelley banyak dipengaruhi oleh berbagai permasalahan sosial (social issues) dalam penulisan novel Mary Shelley Frankenstein.

Shelley menyuarakan semacam satir Byronic Hero yang dimanifestasikan ke dalam tokoh Victor Frankenstein; yang mana menggambarkan perasaan masyarakat

yang ‘teraniaya jiwanya’ oleh dampak Revolusi Industri di Eropa. Sebagai hasilnya, Byronic Hero menjadi suatu representasi dari keadaan kaum yang tertindas. Persepsi sikap kepahlawanan (heroisme) yang direpresentasikan jenis penokohan tersebut bersifat mendekonstruksi (membongkar) prinsip hidup dan pemikiran yang berlaku di masyarakat abad Romantik pada saat itu, yang mana bersifat terlalu kaku dan mengungkung.

Representasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai perwakilan atau peniruan, yang mana merupakan salah satu kunci dalam teori-teori postrukturalisme. Postrukturalisme lahir sebagai akibat penolakan sekaligus penyempurnaan terhadap teori-teori strukturalisme Ferdinand de Saussure. Lahirnya teori-teori postrukturalis merupakan penolakan terhadap oposisi biner versi Strukturalisme, narasi-narasi besar, dan berbagai bentuk hegemoni kekuasaan. Tujuannya adalah untuk proyeksi multikultural, membangkitkan kebudayaan minoritas, dan kebudayaan lain yang terpinggirkan oleh kebudayaan dominan.

Postrukturalisme berfokus terhadap kerja diskursif pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas (Mumbly dan Putnam, 1992). Dengan demikian, postrukturalisme berkonsentrasi pada permasalahan metode dan epistemologi diskursus bahasa, makna dan simbol yang didekonstruksi. Menurut pandangan konsep postrukturalisme, teks tidak hanya difungsikan untuk menampilkan atau merepresentasikan suatu realitas, melainkan untuk memproduksi suatu realitas baru.

Lebih lanjut, peran penting representasi dikaitkan dengan postrukturalisme dijelaskan oleh Ratna (2008: 123) sebagai berikut.

Representasi merupakan salah satu masalah sangat penting dalam teori-teori postrukturalisme. Secara umum diartikan sebagai perwakilan. Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda, dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti objek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis.

Jika ditindau dari sejarah kemunculannya, postrukturalisme lahir melalui penolakan sekaligus penyempurnaan terhadap teori-teori strukturalisme. Untuk memahami teori postrukturalisme yang menggunakan hermeneutika sebagai metodenya, maka berikut ini dijelaskan berbagai prinsip yang sangat mendasar pada pemikiran Saussure mengenai teori semiotika (Piliang, 2003: 44-46).

Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh Roland Barthes – sebagai penerus Saussure- disebut penanda (signifier) dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified). Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangkan Saussure biasa disebut Semiotika Struktural dan kecenderungan ke arah pemikir ini disebut Strukturalisme. Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material (Suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Ketiga, prinsip konvensional. Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Keempat, prinsip sinkronik. Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah

stabil, dan tidak berubah. Kelima, prinsip representasi. Semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau referensinya. Keenam, prinsip kontinuitas. Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan penggunaanya secara sosial sebagai sebuah kontinum yang dalam konteks semiotika dapat disebut sebagai semiotik kontinum yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna.

Shelley menggambarkan penokohan Byronic Hero sebagai ungkapan realitas kondisi sosial, budaya, dan politik yang terjadi pada masyarakat abad ke-19. Penguasaan Shelley terhadap imajinasi tokoh Byronic Hero merupakan kemampuan Shelley dalam merepresentasikan permainan bahasa (language games). Peran penting bahasa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain, yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia (Ratna, 2008: 125).

Berangkat dari keterangan tersebut, peneliti berhasil menemukan representasi yang dikemukakan Shelley dalam novel Mary Shelley Frankenstein antara lain, sbb: a. Sosok Penguasa (Dominator)

Sosok penguasa atau sosok yang mendominasi digambarkan oleh Shelley dalam penokohan Victor Frankenstein, di mana ia diceritakan sebagai tokoh yang berkuasa atas jalan hidup orang lain. Victor diposisikan ibarat seorang dewa yang

menciptakan suatu bentuk kehidupan baru demi memenuhi idealisme yang diinginkannya, tanpa memikirkan nasib yang akan diderita oleh orang yang didominasinya. Ungkapan tersebut disampaikan, sbb:

”When I found so astonishing a power placed within my hands, I hesitated a long time concerning the manner in which I should employ it” (Shelley: 54).

”Ketika aku mengetahui adanya kekuatan yang begitu mencengangkan di kedua tanganku, aku meragukan bagaimana cara menindaklanjutinya (Shelley: 54).

b. Sosok Yang Terzalimi (Dominated)

Sosok yang terzalimi atau sosok yang terdominasi digambarkan oleh Shelley dalam penokohan Sang Monster, di mana ia diceritakan sebagai tokoh yang sering mengalami ketidakadilan atas kekuasaan orang lain. Ungkapan tersebut disampaikan, sbb:

“You, my creator, abhor me; what hope can I gather from your fellow-creatures, who owe me nothing? they spurn and hate me” (Shelley: 103).

“Kau, penciptaku, membenciku; harapan apa yang harus kudapatkan dari makhluk sejenismu, yang tidak berhutang apapun kepadaku? mereka menolak dan membenciku” (Shelley: 103).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dominasi di sini berarti kekuasaan yang bersifat politis, yang berakibat merugikan kaum yang didominasi. Kekuasaan tersebut diperlambangkan dengan

penolakan-kelas sosial, dengan sudut pandang analogi logis: kesempurnaan fisik Victor sebagai representasi kaum aristokrat, dan kecacatan fisik Sang Monster sebagai representasi kaum kelas bawah.

6.3 Romansa Gotik Sebagai Reaksi Bagi Era Revolusi Industri

Romansa Gotik merupakan salah satu jenis jenis karya sastra Inggris yang mulai terkenal di Eropa pada abad ke-19. Karya sastra jenis ini menggabungkan unsur Romantik dengan unsur Gotik, yang mana pada satu sisi menggambarkan suasana puitis khas Romantik, dan pada sisi lainnya menggambarkan teror khas Gotik. Botting (2008) dalam buku Gothic Romanced: Consumption, Gender and Technology in Contemporary Fictions menjelaskan bahwa Romansa Gotik adalah sebuah novel Romantik yang melibatkan unsur Gotik sebagai usaha untuk mengubah nuansa kejam dan tak terpuji (Gothic Energy) menjadi ungkapan pencarian cinta. Karya sastra jenis ini sering menggambarkan penokohannya yang diliputi oleh rasa takut dan perbuatan yang dipicu oleh ambisi bahkan dorongan-dorongan misterius.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa yang menjadi permasalahan di era Revolusi Industri tersebut adalah dampak negatif dari era Pencerahan di Eropa; yang identik dengan kekauan sains. Dikarenakan pada era tersebut demokrasi belum dijunjung tinggi, maka sebagai akibatnya kaum Romantik memikirkan suatu cara untuk memberontak dari keadaan tersebut melalui gambaran

cerita yang menyentuh, mengerikan, tragis, namun sekaligus menyindir (bermetafora). Dalam hal ini Botting (2008: 133) menyatakan:

“Strangeness, indeed, applies to the uncanny as much as science fictional metaphor invention, an experience of the disruption of boundaries between reality and fantasy caused by the return of repressed psychic forces or uncertainties surrounding technical and textual simulations of human beings”.

“Keanehan yang diterapkan dalam sebagian besar metafora penciptaan fiksi ilmiah, tentunya merupakan pengalaman dan suatu kekacauan dalam hal batasan antara kenyataan dan fantasi yang disebabkan oleh tekanan batin dan ketidakpastian yang meliputi simulasi teknis dan tekstual manusia”.

Sebagai salah satu penggerak sub genre ini, Mary Shelley juga mengangkat metafora monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein untuk menyindir kekakuan sains dan teknologi dapat mengakibatkan merosotnya moralitas manusia. Pernyataan tersebut diuraikan Forry dan Baldick (Botting, 2008: 134):

”Frankenstein and monster are repeatedly invoked as synonyms for acts of ungodly presumption or uncontrollable technological invention”.

”Frankenstein dan monster melambangkan prasangka yang luar biasa atau invensi teknologi yang tidak terkendali”.

Novel Mary Shelley Frankenstein yang diceritakan Shelley dalam tema Romansa Gotik berusaha mencari suatu cara agar dapat menyadarkan masyarakat akan tirani dan kekuasaan yang membelenggu. Shelley mengibaratkan monster sebagai robot, yang mana merupakan korban dari kesalahan teknologi industri, yang dikendalikan oleh penguasa. Dengan demikian maka peneliti menangkap bahwa

Shelley berusaha menyajikan suatu gambaran di mana masyarakat pada era Revolusi Industri merasa begitu terkungkung layaknya robot. Pernyataan tersebut dinyatakan Botting (2008: 183-184), sbb:

”The monsters of gothic and science fiction, whether idealised or degraded figures, participate in a process of defending or transgressing corporeal borders, marking out the limits of bodies that are individual, social, political. ...the process begins with Frankenstein, its monster the sire of ‘every robot, every android, every sentient computer’... Having a shared textual origin ...the emergence of both genres is made possible by modernity: science fiction ‘draws its beliefs, its material, its great organizing metaphors, its attitudes, from a culture that could not exist before the industrial revolution, before science became both an autonomous activity and a way of looking at the world’; Frankenstein, too, having supplanted the supernatural machinery of gothic fiction with natural and technological causes, inaugurates one of the ‘great myths of the industrial age’”.

”Para monster dalam Gotik dan fiksi ilmiah, baik yang ideal maupun yang cacat, ikut serta dalam proses mempertahankan atau melampaui batasan jasmani, yang menandai batasan tubuh individu, sosial, dan politik. ...proses tersebut dimulai oleh Frankenstein, monsternya ’raja dari semua robot, semua android, semua komputer yang tak berperasaan’... mempunyai asal tekstual yang sama ...kemunculan kedua genre tersebut mungkin dipicu oleh moderenitas: fiksi ilmiah ’ditarik kepercayaannya, materinya, susunan metaforanya yang luar biasa, perilakunya, dari kebudayaan yang tidak mungkin muncul sebelum revolusi industri, sebelum sains menjadi aktivitas otonom dan sebagai jendela dunia’; Frankenstein juga menggantikan mesin-mesin supernatural Gotik fiksi dengan perihal alamiah dan teknologi, menyingkap salah satu dari ’mitos-mitos dari abad industri’”.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, maka terbukti bahwa kemunculan Romansa Gotik merupakan suatu reaksi terhadap era Revolusi Industri. Kekauan sains dan teknologi telah banyak merugikan dan mengeksploitasi SDM

masyarakat pada era tersebut; terdapat suatu keadaan sistem yang kaku dapat menyebabkan manusia bertindak seperti robot, yakni mengikuti program baku yang tak dapat dibantah, yang mana pada akhirnya menanggalkan identitas manusia sebagai makhluk yang berpikir, berakal, dan berhati nurani.

6.4 Byronic Hero dan Dekonstruksi Kehidupan Sosial, Politik, dan Budaya Masyarakat Barat Abad ke-19

Dekonstruksi dalam studi sastra dapat diartikan sebagai keadaan di mana makna dan representasi berfungsi sebagai pemindahan (displacement), kontradiksi (contradiction), keberagaman (multiplicity), dan penundaan makna. Dalam kritik sastra, dekonstruksi digunakan melalui identifikasi biner (pertentangan), kemudian dilakukan pemindahan makna untuk memperoleh peninjauan yang bersifat kritis. Sebagai hasilnya, makna yang terkesan digambarkan secara jelas dalam teks dapat saja mengandung makna yang tersembunyi (penundaan makna) dan menunjukkan keabstrakan, di mana sering sekali melibatkan azas kepentingan di dalamnya (politis).

Jika dikaitkan hubungannya dengan perkembangan varian karya sastra, maka penokohan Byronic Hero dalam novel Frankenstein karya Mary Shelley dapat dianggap representatif dalam hal dekonstruksi, dikarenakan adanya pengangkatan tema fakta sosial yang terjadi di Eropa pada era novel diterbitkan. Selain itu, novel tersebut banyak dijadikan referensi dan inspirasi oleh penulis lain setelah Lord Byron dan Mary Shelley dalam hal pengungkapan fakta sosial yang terjadi di masyarakat barat.

Untuk mengetahui adanya suatu unsur dekonstruksi dalam karya sastra, selain menyertakan hermeneutika dan arketaipal, maka peneliti merasa perlu untuk mengaitkannya dengan representasi; karena kedua hal tersebut saling berkaitan untuk mengungkap makna tersembunyi di dalam teks. Representasi yang dimaksud dalam hal ini berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi kultural, tempat dikonstruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial (dalam karya sastra yang dimaksud). Berkaitan dengan fakta tersebut, maka peran peneliti adalah untuk menemukan tampilan studi kultural dalam berbagai fakta sosial masyarakat barat yang terjadi di dalam novel. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dijabarkan, sbb:

6.4.1 Byronic Hero Sebagai Representasi Kesenjangan Kelas Sosial

Dokumen terkait