• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

TESIS

Oleh

BIMA PRANACHITRA

087009003/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BIMA PRANACHITRA

087009003/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : REPRESENTASI BYRONIC HERO DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY

Nama Mahasiswa : Bima Pranachitra Nomor Pokok : 087009003

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.) (Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M. Sc.)

(4)

Telah diujikan pada Tanggal 27 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

2. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

REPRESENTASI BYRONIC HERO

DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN

KARYA MARY SHELLEY

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil

karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai

dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini

bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya

bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 17 September 2010

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.

Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.

(7)

ABSTRACT

The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.

The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life.

(8)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley

Frankenstein Karya Mary Shelley; yang mana memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang tergambar dalam sebuah karya sastra.

Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan pemerolehan

gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi Analisis

Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu

kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat (novelty), terutama dalam

ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman

terhadap karya sastra, terutama Romansa Gotik, yakni sebagai cerminan

permasalahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat; yang mana pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai

sarana luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan

memotivasi pembacanya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna,

dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca; melainkan

merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan

pendalaman ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik

konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di

lain waktu.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas

segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad

S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh

bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Syaifuddin, M.A.,

Ph.D., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan, beliau terus memberikan motivasi, arahan, kritik, masukan, serta kesediaan waktu di

tengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, yang mana dirasakan sangat bermanfaat

dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran berharga dari

beliau, antara lain yakni kesabaran dan ketelatenan. Begitu banyak bimbingan yang

diberikan oleh beliau, sehingga menumbuhkan semangat dan optimisme penulis

untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Rasa terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Ibu Dr. Asmyta

Surbakti, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing II. Selama masa bimbingan, beliau selalu menyempatkan diri kapan pun dan di mana pun untuk mendidik penulis

dengan ilmu pengetahuan dan referensi yang sangat kekinian. Beliau menanamkan

rasa tanggung jawab, harapan, etika, ketekunan, dan ketelitian di dalam diri penulis,

yang tentunya telah memperluas pengetahuan dan penguasaan materi yang dimiliki

oleh penulis. Dikarenakan sikap beliau yang sangat keibuan dan mengemong, penulis

merasa sangat berhutang budi sekaligus merasa teramat senang dan bangga menjadi

mahasiswa bimbingannya.

Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua

pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham

(10)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc,(CTM), Sp.A(K). selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Bapak Drs. Umar Mono, M.Hum.

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Universitas Sumatera

Utara, yang mana telah memberikan segala kemudahan dalam penyelenggaraan

kegiatan akademik.

4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. dan Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein,

M.A. selaku penguji, yang telah banyak memberikan koreksi berguna.

5. Semua Dosen Program Studi Linguistik dan KWK USU.

6. Kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Linguistik dan Sekolah

Pascasarjana USU.

7. Kepada kedua orangtua saya. Liliek Pranachitra dan Rr. Nurhidayati, yang telah

membesarkan dan membina etika, moral, mental, dan spiritual saya sebagai bekal

menghadapi kehidupan yang didasari oleh tanggung jawab dan reputasi baik.

8. Kepada adik-adik saya tercinta, Ayu Supraba, S.S. dan Rama Yudhistira; juga

kepada seluruh sanak saudara.

9. Rekan-rekan mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2008/2009.

10. Kepada dr. Nuning Affira, Hanna Pratiwi, dan adik-adik angkat saya: Ita

Khairani, S.Pd., M.Hum., dan Dewina Sitanggang, S.S. yang mana telah banyak

mendukung, mengingatkan, dan membantu saya selama ini.

11. Kepada tokoh-tokoh yang mengilhami penulis: John Lennon, Lord Gordon

Byron, Mary Shelley, Jacques Derrida, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault.

Medan, September 2010

Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Bima Pranachitra

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 8 Maret 1985

Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Alamat : Jalan Stasiun PJKA No. 22

Kp. Baru, Medan, Sumatera Utara 20158

Pendidikan Formal :

1. TK Rahmat Harapan Medan (Tamat 07 Juni 1991)

2. SD Yapena 45 Medan (Tamat 14 Juni 1997)

3. SLTP Negeri 2 Medan (Tamat 20 Juni 2000)

4. SMA Angkasa Lanud Medan (Tamat 05 Juni 2003)

5. STBA Harapan Medan (Tamat 17 Desember 2007)

6. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak September 2008)

Pendidikan Nonformal :

1. Anggota Kehormatan YPPIA (2002)

2. Sekolah Musik Era Musika (2004)

3. Sekolah Musik Medan Musik (2006)

Pekerjaan : 1. Wiraswasta (1998 - Sekarang)

2. Wakil Ketua Liliek Pranachitra’s Digital Studio (2008-Sekarang)

(12)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9

(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP... 11

2.1 Kajian Pustaka... 11

2.2 Landasan Teoretis ... 14

2.2.1 Psikologi Sastra ... 14

2.2.2 Pendekatan Arketaipal... 15

2.2.3 Metode Hermeneutika ... 17

2.2.4 Teori Dekonstruksi... 18

2.3 Konsep ... 20

2.3.1 Representasi ... 20

2.3.2 Byronic Hero ... 22

2.3.3 Postrukturalisme... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian... 25

3.2 Lokasi Penelitian... 27

3.3 Data dan Sumber Data ... 27

3.3.1 Sumber Data Primer ... 27

3.3.2 Sumber Data Sekunder... 28

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 28

3.5 Teknik Analisis Data... 30

(14)

BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN K A R Y A M A R Y S H E L L E Y D A N K O N F L I K B A T I N

V I C T O R F R A N K E N S T E I N ... 37

4.1 Pendahuluan ... 37

4.2 Latar Belakang Penulisan Novel... 39

4.3 Daftar Penokohan... 42

4.4 Tema Novel... 47

4.4.1 Keluarga, Masyarakat, dan Pengasingan... 50

4.4.2 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi... 52

4.4.3 Ambisi dan Kegagalan ... 53

4.4.4 Prasangka, Ketidakadilan, dan Rasa Dendam ... 55

4.4.5 Politik, Kekuasaan, dan Perbudakan ... 57

4.5 Konflik Batin Victor Frankenstein... 59

4.5.1 Byronic Hero dalam Penokohan Victor Frankenstein... 60

BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN INGGRIS PERIODE ROMANTISME... 69

5.1 Byronic Hero Sebagai Ciri Khas Lord Byron ... 69

5.2 Byronic Hero dalam Karya-Karya Mary Shelley... 73

5.3 Periode Romantisme dalam Sejarah Kesusastraan Inggris ... 76

5.4 Latar Belakang Sosial-Politik Periode Romantisme ... 78

(15)

BAB VI NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY

DAN PERADABAN MANUSIA DALAM SEJARAH EROPA ... 89

6.1 Peradaban Masyarakat Eropa Semenjak Era Pencerahan (Enlightment)... 90

6.1.1 Era Absolutisme (1500-1650) ... 91

6.1.2 Era Pencerahan (1650-1800)... 92

6.1.3 Era Revolusi Industri (1800-1850)... 93

6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme ... 95

6.3 Romansa Gotik Sebagai Reaksi Bagi Era Revolusi Industri ... 100

6.4 Byronic Hero dan Dekonstruksi Kehidupan Sosial, Politik, dan Budaya Masyarakat Barat Abad ke-19... 103

6.4.1 Byronic Hero Sebagai Representasi Kesenjangan Kelas Sosial Masyarakat... 104

6.4.2 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Ras Manusia ... 107

6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin ... 110

6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial... 112

6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror... 115

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 122

7.1 Simpulan ... 122

7.2 Saran... 125

(16)

DAFTAR TABEL

(17)

DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif... 33

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Foto dan Biografi Pengarang ... 130

2. Sinopsis Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 134

3. Kulit Sampul Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 140

(19)

DAFTAR ISTILAH

Absolutisme : bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa (raja, kaisar, diktator, dsb).

Algolagnia : perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka; rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.

Ambisius : berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan dan cita-cita); penuh ambisi.

Antagonis : tokoh karya sastra yang merupakan penentang dari tokoh utama; tokoh lawan.

Aristokrat : orang dari golongan bangsawan; ningrat.

Arketaipal : suatu pembahasan dalam ilmu psikologi yang diperkenalkan oleh C.G. Jung; membahas tentang adanya ketidaksadaran kolektif terhadap ide, pola pikir, pencitraan, dsb, yang bersifat universal dalam diri suatu individu

Augustan : periode kesusastraan setelah era klasik di Eropa (terjadi pada akhir abad ke-17 di Perancis, dan abad ke-18 di Inggris).

Byronic Hero : suatu ciri penokohan khas (tokoh setengah antagonis) dalam karya sastra Inggris, yang dipopulerkan oleh Lord Byron.

Dekonstruksi : suatu pendekatan (terutama dalam karya sastra) yang berfokus kepada pembongkaran dan penundaan makna; diperkenalkan oleh Jacques Derrida.

Demokrasi : gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

(20)

Diskursif : berkaitan dengan nalar; disimpulkan secara logis.

Diskursus : wacana sosial yang didistribusikan ke tengah masyakat; yang mana dapat berisi beragam ideologi; yang pada akhirnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran wacana tersebut.

Dominasi : penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dsb).

Ekspansi Kekuasaan : perluasan daerah kekuasaan suatu negara yang dilakukan dengan cara-cara penjajahan ke negara lainnya.

Eksperimen : percobaan yang bersistem dan berencana (untuk membuktikan kebenaran suatu teori, dsb).

Eksploitasi : pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (terhadap tenaga orang lain).

Ekspresif : pengungkapan maksud dan tujuan seseorang.

Ekstrinsik : berasal dari luar (sifat manusia, atau nilai suatu peristiwa); bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sesuatu; tidak termasuk intinya.

Emansipatoris : bersifat membebaskan dan menyamakan kedudukan terhadap sesuatu hal/permasalahan (emansipasi).

Epistemologi : cabang ilmu filsafat, terutama dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.

Fakta Sejarah : kejadian sejarah

Fakta : suatu hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.

Feminisme : gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

(21)

Fobia : ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya.

Gerakan : pergerakan, usaha, atau kegiatan dl lapangan sosial (politik dsb).

Gotik : gaya arsitektur (seni pahat dan seni lukis) pada abad ke-12- abad ke-16 di Eropa; jenis Kesusastraan Inggris yang menyertakan elemen misteri seperti hantu, monster, dsb.

Halusinasi : pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra yang bersangkutan, misalnya mendengar suara tanpa ada sumber suara tsb.

Hegemoni : pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan suatu negara atas negara (atau negara bagian) lainnya.

Heroisme : sifat kepahlawanan.

Horor : sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat.

Humanistis : bersifat kemanusiaan.

Idealisme : aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami.

Ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Idiom : konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya.

Ilmiah : bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.

(22)

Industrialisasi : usaha menggalakkan industri dalam suatu negara; pengindustrian.

Intelektual : cendikiawan.

Intrinsik : terkandung di dalamnya (tergambar jelas dalam cerita).

Introspeksi : peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dsb) diri sendiri; mawas diri.

Isu : masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi dsb).

Kapitalisme : sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.

Kasta : golongan (tingkat atau derajat) manusia (terutama dalam masyarakat beragama Hindu).

Kaum Kelas Bawah : masyarakat miskin; kaum buruh.

Kaum Penguasa : orang yang menguasai; orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb).

Kaum Urban : orang yang berpindah dari desa ke kota.

Keabstrakan : sesuatu yang tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala.

Kegilaan : sifat (keadaan, perihal) gila; sesuatu yang melampaui batas; ketidakberesan; kericuhan; kekacauan.

Kesenjangan Sosial : ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial.

Kolonialisme : paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.

Konflik : percekcokan; perselisihan; pertentangan.

(23)

Konsumerisme : paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb.

Kontradiksi : pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan.

Kontribusi : sumbangan.

Kontrol Sosial : suatu fungsi sosial politik yang mewajibkan anggota individu ataupun kelompok untuk memenuhi harapan dan mematuhi aturan atau suatu otoritas; termasuk menanamkan nilai-nilai sosial serta hukuman dari penyimpangan yang dilakukan.

Kritik : kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.

Kultural : hal yang berhubungan dengan kebudayaan.

Marjinal : orang atau kelompok yang berada di luar masyarakat mayoritas.

Mekanisasi : penggantian dan penggunaan tenaga mesin dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan.

Merkantilisme : sistem ekonomi untuk menyatukan dan meningkatkan kekayaan keuangan suatu bangsa dengan pengaturan seluruh ekonomi nasional oleh pemerintah, dengan kebijaksanaan yang bertujuan mengumpulkan cadangan emas, memperoleh neraca perdagangan yang baik, mengembangkan pertanian dan industri, dan memegang monopoli atas perdagangan luar negeri

Metafiksi : sebuah karya sastra (novel atau cerita pendek lainnya) yang menceritakan tentang keadaan dan pengalaman pengarangnya sendiri; kemudian dimanipulasi sebagai tema dari suatu fiksi.

Minoritas : golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.

Misterius : penuh rahasia; sulit diketahui atau dijelaskan (karena tidak jelas tanda-tandanya dsb).

(24)

Monarkisme : bentuk pemerintahan suatu negara yang dikepalai oleh raja atau ratu.

Monster : makhluk yang berukuran luar biasa (sangat besar); makhluk yang menakutkan, sering diceritakan dalam dunia fiksi.

Moral : ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila.

Multikultural : keanekaragaman kebudayaan.

Neurosis : penyakit saraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian susunan saraf (seperti histeri, depresi, fobia); psikoneurosis.

Oposisi Biner : istilah yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure; mengacu pada dikotomi di mana masing-masing pasangan (kata, kalimat) yang beroposisi memperlihatkan struktur dominasi terhadap oposisinya.

Patriarki : suatu sistem sosial yang memposisikan kaum pria sebagai sosok yang mendominasi (terhadap kaum wanita).

Pencerahan : suatu gerakan intelektual setelah era Absolutisme; yang terjadi pada abad ke-17 di Eropa. Gerakan ini ditandai dengan mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dan banyaknya penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah (saintifik).

Peradaban : kemajuan (kecerdasan, kebudayaan); hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.

Politis : bersifat politik; bersangkutan dng politik.

Posmoderenisme : suatu pendekatan yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger, kemudian dilanjutkan oleh Thomas Samuel Kuhn dan Jacques Derrida; yakni budaya kontemporer yang ditandai dengan penolakan terhadap kebenaran obyektif dan narasi budaya global. Pendekatan ini ditekankan pada peran bahasa, hubungan kekuasaan, dan motivasi.

(25)

menganggap bahwa bahasa bukan lah media transparan yang menghubungkan seseorang langsung dengan kebenaran atau realitas, melainkan sebuah struktur atau kode, yang mana bagian makna berasal dari pertentangan antara satu kata dengan kata lainnya. Pendekatan ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Jacques Derrida, Roland Barthes, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Michel Foucault.

Praksis : praktik (bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia).

Primordial : termasuk dl bentuk atau tingkatan yang paling awal; paling dasar.

Proletariat : lapisan sosial yang paling rendah; golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga.

Protagonis : tokoh utama dalam cerita rekaan (karya sastra).

Radikal : secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); politik yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.

Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.

Rasisme : prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

Realitas Sosial : kenyataan sosial; semua kejadian dan fakta yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Rekonstruksi Sosial : membangun kembali tatanan kehidupan sosial masyarakat dengan keadaan yang lebih humanistis (manusiawi).

Representasi : perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang mewakili; perwakilan.

(26)

abad ke-18. Pada era ini terjadi kesenjangan sosial yang sangat besar sebagai dampak dari munculnya sistem kapitalisme.

Revolusi : perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan; perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.

Robot : alat berupa orang-orangan dsb yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin.

Romansa Gotik : suatu transisi aliran Romantisme dengan penyertaan unsur horor dan teror khas Kesusastraan Gotik sebagai diskursusnya, yang mana berisi berbagai satir tentang keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat. Aliran ini dipopulerkan oleh pengarang Romantik gelombang kedua seperti Lord Byron dan Mary Shelley pada abad ke-18 di Eropa.

Romantisme : suatu gerakan kritik sastra yang dimulai pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di Eropa; yang mana melibatkan emosi dan ekspresi sebagai sumber pengalaman estetik pengarangnya. Karya sastranya sering menceritakan tentang ‘keliaran’ alam, yakni seperti tentang laut, gunung, badai, dsb.

Satir : komponen karya sastra yang berisi sindiran terhadap kecerobohan, kebodohan, kekejaman manusia, dsb.

Sentimen : pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu (bertentangan dengan pertimbangan pikiran); emosi yang berlebihan; iri hati; tidak senang; dendam; reaksi yang tidak menguntungkan.

Simbolis : sebagai perlambang.

Simpatisan : orang yang bersimpati (kpd partai politik dsb).

Takhayul : sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka; kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.

(27)

Teologi : pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Tuhan, dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama, terutama berdasarkan kitab suci).

Teori Sosial Kritis : suatu teori yang menekankan pada upaya pembebasan masyarakat. Dalam pandangan teori ini, ilmuwan diharapkan menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dengan cara mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk berpemikiran kritis. Teori kritis bersifat emansipatoris dan berusaha membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. Ciri khas teori ini adalah bersifat interdispliner. Teori Sosial Kritis mulai mencapai kejayaannya di tangan cendikiawan seperti Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas (yang tergabung dalam Frankfurt School) pada tahun 1937.

Teror : usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.

Transisi : peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) kepada keadaan yang lain.

Vokal : berani mengemukakan pendapat; berani bersuara (mengkritik dsb.

(28)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.

Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.

(29)

ABSTRACT

The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.

The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life.

(30)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam penciptaan karya sastra, sering terdapat hubungan yang erat antara

kepribadian dan kehidupan pengarang dengan karya sastra yang dihasilkannya.

Karya sastra tak jarang diciptakan untuk mewakili suasana hati pengarang terkait

dengan pemikiran dan perasaan yang dirasakan pada saat karya tersebut

diciptakannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap biografi pengarang dan

pendekatan di luar teks sastra (ekstrinsik) menjadi hal yang penting dan memudahkan

pembaca untuk memahami maksud tertentu yang disembunyikan pengarang dalam

karya sastranya.

Karya Sastra dan Kesusastraan memiliki sifat dan batas jangkauan kajian yang

universal dan tidak terbatas. Hal tersebut senada dengan penjelasan Semi (dalam

Siswantoro, 2008), bahwa sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan

diri, tentang masalah kemanusiaan, dan semesta. Darma (dalam Siswantoro, 2008:

67) menjelaskan keterkaitan antara sastrawan dan karya sastranya, sbb:

…sastrawan dapat dianggap sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup; sedangkan sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani pembacanya.

Terkait pembahasan tentang komunikasi antara sastrawan dengan

(31)

sastra secara menyeluruh (the total situation of work of art) yang terdiri atas (1) karya

sastra (work), (2) sastrawan (artist), (3) semesta (universe), dan (4) pembaca

(audience). Demikian halnya dengan jenis pendekatan dalam kajian sastra, yakni (1)

pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4)

pendekatan pragmatik.

Dalam kajian Kesusastraaan Inggris, terdapat suatu periode kesusastraan yang

disebut sebagai Periode Romantik atau Romantisme (terjadi pada akhir abad ke-18-19

di Eropa). Kesusastraan Romantik ditandai dengan penyertaan unsur ekspresif

pengarangnya, yakni penggambaran alur cerita dan penokohan yang mengikuti

suasana hati dan sisi psikologis pengarangnya. Oleh karena itu, untuk meneliti

kesusastraan jenis ini, seyogyanya dilakukan pendekatan yang bersifat ekspresif.

Selden (Siswantoro, 2008: 1) menyebutkan bahwa karya sastra Inggris pada periode

Romantik dianggap sebagai anak kehidupan kreatif seorang penulis dan

mengungkapkan pribadi pengarang. Hal senada dijelaskan oleh Klarer (1999) bahwa

karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga dapat

dikatakan bahwa karya sastra dianggap sangat penting kedudukannya.

Siswantoro (2008: 143) menjelaskan bahwa penokohan dalam karya sastra

dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh statis

merupakan ciri penokohan yang sangat umum dalam karya sastra, yakni jenis

penokohan yang jarang mengalami perubahan perwatakan, dan hanya memainkan

satu peran yang monoton. Sementara tokoh dinamis, adalah tokoh yang memiliki

(32)

Memasuki akhir abad ke-18, dunia Kesusastraan Inggris digemparkan oleh

munculnya jenis perwatakan dinamis yang sangat berbeda penggambarannya. Jenis

perwatakan baru tersebut dikenal dengan sebutan Byronic Hero, yakni suatu ciri khas

penokohan dalam karya-karya Lord Byron (1788-1824). Byron adalah penyair

berkebangsaan Inggris yang menggambarkan Byronic Hero tersebut dengan ciri

perwatakannya yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati

(mood) dan cenderung kontroversial; sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah

tokoh tersebut termasuk dalam kategori tokoh protagonis atau tokoh antagonis.

Lord Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok Gotik,

melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberani, pemberontak, serta

dibayangi oleh masa lalu yang kelam; namun di lain sisi ia juga terpelajar, karismatik,

baik hati, dan bersahaja (Gross, 2001). Jenis penokohan tersebut dianggap sangat

berbeda, menarik, dan dianggap sebagai suatu nafas baru dalam Kesusastraan Inggris.

Sebagai akibatnya, Byronic Hero mulai diadaptasikan dan dikembangkan oleh

beberapa pengarang lainnya seperti Edgar Allen Poe, Robert Louise Stevenson, Percy

Bysshe Shelley, dan Mary Shelley.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, salah satu penggambaran

penokohan Byronic Hero yang paling sempurna sepanjang sejarah Kesusastraan

Inggris adalah Victor Frankenstein, yakni tokoh fiksional karangan Mary Shelley

(1797-1851) dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam cerita, Victor

(33)

manusia melalui serangkaian eksperimen sains yang bersifat tidak lazim; sebagai

suatu reaksi dari keputusasaan dalam menjalani kehidupannya.

Pengangkatan cerita dengan penyertaan perwatakan Byronic Hero menjadi

sangat populer di Inggris, terutama ketika era Romantik sedang berlangsung di Eropa.

Aliran Romantik tersebut ditandai dengan sering digunakannya unsur-unsur seperti

imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Menurut

Thorslev Jr. (1962: 16), aliran Romantik juga diketahui sering mengangkat tema-tema

seperti liberalisme, eksotisme, supernaturalisme, dan pandangan tentang alam.

Beberapa tema tertentu juga berkaitan dengan suasana hati. Gerakan sastrawan

Romantik tersebut kemudian dikenal secara luas di Eropa sebagai Romantisme (akhir

abad ke-18-19).

Kemunculan Romantisme itu sendiri merupakan suatu reaksi protes terhadap

Era Revolusi Industri (1800-1850), yang mengeksploitasi teknologi dan sains yang

dibawa oleh Era Pencerahan (Enlightment) pada pertengahan dan akhir abad ke-17

(1650-1800) di Eropa. Romantisme juga menentang norma politik dan norma sosial

yang diwariskan oleh kaum gerejawan dan kaum aristokrat semenjak Era

Absolutisme (1500-1650), yang mana masih dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat

Eropa ketika terjadinya Era Revolusi Industri. Dengan demikian, maka Era Revolusi

Industri dapat dikatakan sebagai era transisi yang dipengaruhi oleh kedua era

sebelumnya; yakni terjadinya kapitalisme, eksploitasi teknologi, mekanisasi,

kesenjangan sosial, sekaligus terjadinya pengungkungan pendapat oleh kaum

(34)

keindahan alam dan mulai menyuarakan protes terhadap kekuasaan, yang disuarakan

melalui Romansa Gotik (Gothic Romance), yakni Sastra Romantik yang dipadukan

dengan elemen horor dan teror khas Sastra Gotik.

Salah satu akibat dari gerakan Romantisme tersebut, terutama dalam ranah

Kesusastraan Inggris, adalah maraknya penggunaan penokohan Byronic Hero setelah

Lord Byron. Penokohan tersebut difungsikan Byron dalam karya-karyanya sebagai

perlambang penolakan terhadap kekuasaan kaum industrialis pada abad ke-18, yang

mana menceritakan tentang gambaran perilaku dan pemikiran manusia yang tidak

dapat ditebak secara matematis dan akurat dikarenakan dimilikinya perasaan dan

suasana hati; terlepas dari keharusan bersikap rasional. Setelah keberhasilan Lord

Byron mencapai puncaknya, penokohan Byronic Hero tersebut kemudian dilanjutkan

dan dipopulerkan oleh Mary Shelley dalam karya-karyanya. Shelley menggunakan

jenis perwatakan ini sebagai sindiran (satire) sekaligus perlambang terhadap perilaku

masyarakat abad ke-18, yang mana diperbudak oleh teknologi, dan berperilaku

layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962).

Untuk mengetahui dorongan yang menyebabkan Shelley mengangkat tema

tersebut, lebih lanjut dijelaskan Wellek dan Warren (dalam Siswanto, 2008: 13)

bahwa sebuah karya sastra merupakan kompensasi perasaan pengarangnya. Terkait

dengan penjelasan tersebut, maka Mary Shelley dapat dikatakan mengalami

gangguan emosi sebagai reaksi dari keadaan sosial, ekonomi, kebijakan politik, dan

(35)

Mary Shelley adalah seorang sastrawan berkebangsaan Inggris yang lahir

pada tanggal 30 Agustus 1797 di London. Ia cenderung menulis tentang bahasan

yang berkaitan dengan elemen otobiografi, simpati, gender, Romantisme, dan politik.

Selain itu, Shelley juga dikenal kritikus sastra inggris sebagai pengarang yang

menggambarkan penokohan Byronic Hero yang jauh lebih baik daripada penciptanya

sendiri. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Mary Shelley dan suaminya, Percy

Bysshe Shelley (1792-1822), adalah teman dekat Lord Byron. Untuk mengetahui

keterkaitan dan kesamaan ide Shelley dengan Byron, peneliti mengacu kepada

penjelasan Wellek dan Warren dalam Siswanto (2008: 2), yakni peneliti hendaknya

mengetahui dan mempelajari hubungan erat antara sastrawan dan karya sastranya;

persahabatan sastrawan dengan sastrawan lain; perjalanannya, serta daerah-daerah

yang pernah dikunjungi dan ditinggalkannya.

Perkenalan Mary Shelley dengan Lord Byron terjadi pada Mei 1816, yakni

ketika Shelley dan suaminya belibur musim panas bersama Byron dan beberapa

teman dekatnya di Genewa, Switzerland (Brewer, 1994). Dari pertemuan tersebut,

Mary Shelley kemudian akrab dengan Lord Byron, dan mulai berbagi ide dan

wawasan. Suatu ketika, Byron menantang Shelley untuk mengarang cerita horor

dengan versi masing-masing. Tantangan tersebut diterima oleh Shelley, dan

dituangkan ke dalam cerita Mary Shelley Frankenstein, yang konon merupakan

interpretasi Shelley tentang perpaduan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang

(36)

Semenjak penerbitan pertama novel pada tahun 1818 dengan judul asli Mary

Shelley: Frankenstein or The Modern Prometheus, karya sastra tersebut sudah

menjadi best seller dan terjual lebih dari ratusan juta cetakan di seluruh dunia hingga

saat ini. Seiring perkembangannya, tokoh Sang Monster dan gambaran cerita novel

juga banyak mengalami adaptasi dan dijadikan inspirasi oleh pengarang lainnya.

Namun sangat disayangkan bahwa sebagian penikmat karya sastra terbukti gagal

menangkap esensi yang berusaha disuarakan oleh Mary Shelley dalam novel tersebut.

Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar pembaca dan kritikus sastra hanya

membahas novel dari segi intrinsiknya; sementara inti pembahasan yang sebenarnya

terletak pada segi ekstrinsiknya.

Alasan peneliti mengangkat novel Mary Shelley Frankenstein sebagai tesis

adalah untuk memperkenalkan penokohan Byronic Hero sebagai representasi tema

perlawanan sosial dalam karya sastra. Selain hal tersebut, peneliti juga akan berusaha

untuk melakukan pembongkaran makna yang berkaitan dengan realitas sosial, yang

tersirat dalam dialog dan monolog penokohannya.

1.2 Perumusan Masalah

Tesis ini akan difokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan spesifik, sbb:

1. Bagaimanakah gambaran Byronic Hero dalam novel Mary Shelley

Frankenstein?

(37)

3. Bagaimanakah cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat

barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein?

4. Bagaimanakah pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat

barat?

5. Kontribusi apakah yang terkandung dalam novel Mary Shelley Frankenstein?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis adalah, sbb:

1. Mendeskripsikan Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

2. Menganalisis representasi realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam

novel Mary Shelley Frankenstein.

3. Mendeskripsikan cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial

masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein.

4. Menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat.

5. Menyingkap kontribusi yang terkandung dalam novel Mary Shelley

(38)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian

mengenai Kesusastraan Inggris, dan selanjutnya dapat membantu

penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Sastra Romantik,

Sastra Gotik, Sastra Posmoderen, dan novel-novel Mary Shelley.

2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, yakni yang

memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia, terutama dalam hal

pengadaptasian penokohan Byronic Hero kreasi Lord Byron dan Mary

Shelley.

3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang

Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas

(39)

10

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial,

ekonomi, budaya, dan politik yang digambarkan dalam sebuah novel dapat

bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.

2. Memperluas pengetahuan tentang ciri khas Kesusastraan Inggris, terutama

mengenai Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan Romansa Gotik.

(40)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP

Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari

peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau

pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini akan

dikemukakan sebagai berikut:

1. Tesis Chris Koelbleitner yang berjudul Frankenstein and Great Expectations:

The Romantic Child and The Victorian Adult (1997). Pada penelitian tersebut

dibahas interaksi antara diskursus Sastra Romantik dan Sastra Victorian

terhadap penokohan Pip dalam novel Great Expectations karya Charles

Dickens, sekaligus membandingkannya dengan penokohan Sang Monster

dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Pip diceritakan

mengalami diskriminasi sosial dan terpaksa harus mengorbankan kebahagiaan

masa kecilnya sebagai buruh pabrik. Ketika dewasa, Pip berhasil menyusun

(41)

Berbeda dengan hasil penelitian di atas, penulis membahas penokohan Victor

Frankenstein, Robert Walton, dan Sang Monster sebagai penyebab sekaligus

penanggung derita diskriminasi sosial yang diciptakannya sendiri.

2. Tesis Jonathan Darren yang berjudul Literary Studies: Analyzing the

Psychology of the Split Personality in Dr. Jekyll and Mr. Hyde by Robert

Louis Stevenson (2000). Penelitian ini menganalisis unsur-unsur kepribadian

ganda atau dikenal sebagai Disosiatif Identity Disorder (DID) terhadap

penokohan Dr Jekyll dan Mr Hyde. Dr Jekyll dan Mr, Hyde secara efektif

mewakili sisi baik dan jahat dari sifat manusia.

Berbeda dengan penelitian di atas, penulis menegaskan bahwa perilaku

Byronic Hero tidak lah sama dengan kegilaan mental penokohan yang disebutkan

sebelumnya. Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi

terhadap ketidakadilan sosial.

3. Penelitian essay Nova Dahlén yang berjudul Severus Snape and the Concept

of the Outsider: Aspects of Good and Evil in the Harry Potter Series (2009).

Pada penelitian tersebut dibahas karakter dinamis Severus Snape yang bersifat

kompleks, dan memfokuskan tokoh sebagai orang buangan.

Yang menjadi perbedaan antara penelitian di atas dengan penelitian yang

diangkat penulis adalah penokohan Severus Snape tidak diposisikan sebagai tokoh

utama penggerak jalan cerita seperti halnya Victor Frankenstein, sehingga peran

(42)

4. Penelitian essay Charlotta Wendick yang berjudul Happiness?: A

Psychoanalytic Reading of the character Bill Maplewood in Todd Solondz’s

film, Happiness (2008). Pada penelitian tersebut dibahas tentang suatu

psikoanalisis menyeluruh terhadap karakter Bill Maplewood, yang mana

berisi analisis konflik batin tokoh sebagai reaksi sadar dan tidak sadarnya.

Berbeda dengan penelitian di atas, peneliti membahas konflik batin yang

dirasakan Victor Frankenstein sebagai akibat dari ambisinya, bukan gejala kegilaan

yang terjadi secara alami.

Peneliti juga mengaplikasikan teori-teori yang relevan mengenai pembahasan

Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan hubungannya dengan konsep

monster dari buku-buku karya Fred Botting, antara lain: Gothic Romanced:

Consumption, Gender and Technology in Contemporary Fictions (2008), dan Making

Monstrous: Frankenstein, Criticism, Theory (1991); juga teori-teori tentang konsep

Byronic Hero dari buku karya Peter L. Thorslev Jr., yakni: The Byronic Hero: Types

and Prototypes (1962) sebagai suatu pijakan untuk menganalisis penokohan Victor

Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Selain itu,

perlu diketahui bahwa pembahasan tentang penelitian yang diangkat penulis masih

bersifat sangat baru dan sangat kekinian, terutama di Indonesia. Sebagai akibatnya,

(43)

2.2 Landasan Teoretis

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan

masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan

pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum

dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau

bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain

deskriptif-kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.

2.2.1 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas

kejiwaan yang terkait dengan pemikiran dan perasaan pengarang dalam menciptakan

karyanya. Selain terkait dengan narasi dalam substansi karakter tokoh, psikologi

sastra juga terkait erat dengan realitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu,

dalam pembahasannya digunakan sekaligus pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Hal

tersebut dijelaskan oleh Roekhan (dalam Endraswara, 2008: 97-98) bahwa

pendekatan psikologi sastra terdiri atas tiga pendekatan sekaligus, yakni: (1) tekstual,

yang mengkaji aspek psikologis karya sastra. (2) reseptif-pragmatik, yang mengkaji

aspek psikologis pembaca akibat pengaruh karya yang dibacanya. (3) ekspresif, yang

mengkaji aspek psikologis sang penulis, baik sebagai pribadi maupun wakil

(44)

Psikologi dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikosastra dapat

menjelaskan proses kreatif pengarang, yakni menganalisis secara psikologis

tokoh-tokoh dalam drama dan novel, karena secara disadari atau tidak, pengarang cenderung

ikut memasukan teori psikologi yang dianutnya, yang mana juga memiliki daya

psikologis terhadap pembacanya. Oleh sebab itu maka karya sastra dapat dianggap

sebagai cerminan psikologis pengarangnya.

Dikaitkan dengan objek penelitian, maka psikologi Mary Shelley sebagai

pengarang dalam hal pencitraan Byronic Hero merupakan sebuah potret perlawanan

manusia terhadap era Absolutisme, Pencerahan, dan Revolusi Industri.

2.2.2 Pendekatan Arketaipal

Menurut Scott (1963), pendekatan arketaipal adalah sebuah pendekatan yang

bertumpu pada analisis yang bersifat mengkaji tindak tanduk manusia, bukan untuk

mengkaji unsur estetik dan instrinsik sebuah karya sastra. Pendekatan ini erat

hubungannya dengan psikologi manusia karena setiap perilaku manusia dalam

berkebudayaan dan berkesenian tidak dapat dipisahkan dengan zaman di mana

manusia hidup.

Pendekatan ini menegaskan bahwa di dalam karya sastra terdapat suatu

kumpulan simbol, gambar, karakter, dan motif yang pada dasarnya akan

membangkitkan respon yang sama terhadap semua orang. Menurut psikolog Carl

(45)

manusia. Pendekatan Arketaipal mengidentifikasi pola-pola dasar yang dimaksud dan

menjelaskan bagaimana hal-hal tersebut difungsikan dalam karya sastra.

Dalam hal ini, psikoanalisis Jung membahas tentang proses ketidaksadaran

kolektif (yang disebut juga sebagai kritik tipikal). Ketidaksadaran kolektif adalah

simbolisasi persepsi yang dipicu oleh sejumlah pikiran bawaan, perasaan, naluri, dan

kenangan yang berada dalam ketidaksadaran semua manusia, yakni serangkaian

pengalaman yang datang dengan sendirinya seperti takdir.

Data elemen arketaipal, secara relatif, dimanfaatkan sebagai sarana untuk

memahami konsep pemikiran, watak, aspirasi, harapan masyarakat, serta nilai-nilai

yang diharapkan oleh pencipta karyanya. Data elemen arketaipal dalam penelitian ini

dikelompokkan menjadi: (1) tokoh, (2) situasi, dan (3) pencitraan arketaipal. Data

tokoh arketaipal merupakan tokoh legenda yang memiliki sifat tipikal, misalnya:

pahlawan, monster, robot, penguasa, budak, dsb. Situasi arketipal berkenaan dengan

peristiwa-peristiwa esensial dan tipikal dalam alur cerita, misalnya: pencarian,

pelarian, petualangan, pelayaran, pengasingan, diskriminasi, dsb. Pencitraan

arketaipal berupa imagi-imagi tipikal yang menimbulkan asosiasi pada makna

tertentu, antara lain: gejala alam, pergantian musim, nama tumbuhan, nama hewan,

warna, dsb.

Salah satu kegunaan pendekatan ini adalah sebagai pendekatan universal yang

menyoroti hal-hal apa saja yang menjadi penyebab sebuah karya sastra dapat bertahan

(46)

dalam karya sastra, dan lebih menyoroti hal-hal simbolis dalam cerita, yang mana

biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia.

2.2.3 Metode Hermeneutika

Hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa dan semua aspek kebahasaan

dalam kehidupan manusia. Istilah ‘hermeneutik’ berasal dari Bahasa Yunani

hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’; dan hermeneia, yang secara harafiah dapat

diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang penafsiran atau interpretasi tentang

isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks; dan menemukan instruksi-instruksi yang

terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Palmer, 2003).

Metode hermeneutika melakukan penafsiran terhadap bahasa melalui dua

cara; yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis (Bleicher, 2003).

Penafsiran gramatikal adalah cara bagaimana orang menggunakan bahasa

berdasarkan situasi (di mana dan bagaimana bahasa itu digunakan). Sedangkan

penafsiran psikologis adalah apa yang dapat ditangkap dari makna yang terkandung

dalam setiap pembahasan itu (Bungin, 2007a).

Dalam meneliti suatu karya sastra, hermeneutika digunakan untuk memahami

makna sastra yang terdapat di balik struktur. Sastra dipandang sebagai simbol dan

teks dimana pada teks terdapat konteks yang bersifat polisemi sehingga teks harus

(47)

Menurut Sumaryono (1993), Habermas membedakan antara penjelasan

dengan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami

sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi.

Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Fakta yang disampaikan

melalui formasi diskursif dan diwacanakan secara terus menerus, akhirnya akan

diterima sebagai sesuatu yang benar (Bleicher, 2003).

Dalam melakukan penafsiran, Endraswara (2008) mengemukakan empat

langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu

menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) memperjelas arti-arti

simbolik dalam teks. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti akan

mempergunakan teori ini untuk menafsirkan makna bahasa yang diungkapkan dalam

novel Mary Shelley Frankenstein.

2.2.4 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) pada

tahun 1967 dan mulai digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an (Muhadjir,

2001: 203). Dekonstruksi merupakan gebrakan posmoderenisme yang bersifat

fungsionalis, strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmoderen, karya

seni tidak dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan

antara seni yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka

(48)

Menurut teori dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik,

kajian realitas sosial telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian

dekonstruksi sosial. Kajian dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial

sebagai obyek yang didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin (2007a) menjelaskan

pandangan Karl Heinrich Marx (1818-1883) tentang realitas kehidupan sosial budaya

masyarakat ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas (sesuai dengan pandangan

teori konflik).

Dalam pengkajian teks (bahasa), terutama terhadap karya sastra, dekonstruksi

dilakukan dengan cara memfokuskan permasalahan di dalam teks, memahami makna

jelas di dalam teks, mencari pernyataan yang saling berlawanan (oposisi biner), dan

membiarkan teks tersebut membentuk makna-makna yang disembunyikan oleh

penulisnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pembentukan pernyataan-pernyataan

yang sebelumnya saling bertentangan; yang mana pada dasarnya mengandung

penundaan makna.

Jika dibandingkan dengan sudut pandang Strukturalisme yang diperkenalkan

oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), maka makna (petanda) selalu dihasilkan

berdasarkan adanya penanda; di mana makna merupakan hasil artikulasi dari

lambang-lambang. Eagleton (1984) menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki

dan perempuan dalam masyarakat patriarkis berfungsi untuk memberikan kedudukan

yang lebih utama terhadap kaum laki-laki; yang mana dengan sendirinya memberikan

(49)

demikian, maka laki-laki di sini merupakan prinsip utama, sedangkan perempuan

merupakan prinsip kedua (subordinat).

Konsep oposisi biner versi Strukturalisme menunjukkan keterkaitan hubungan

antara signifiant (penanda atau bunyi) dan signifie (petanda atau konsep); langue

(bahasa atau sistem yang dimiliki bersama) dan parole (ucapan, realisasi individual).

Salah satu kekurangan dalam pendekatan Strukturalisme adalah adanya

konsep-konsep dikotomis yang mengandung ketidakstabilan makna dan bersifat kabur. Lebih

lanjut, Lechte (2001) menjelaskan bahwa teori Saussurean dan teori linguistik

Strukturalis kemudian disempurnakan oleh kelompok postrukturalis dengan

penyertaan konsep Differance atau penundaan makna, yang diperkenalkan oleh

Derrida pada tahun 1968.

2.3 Konsep

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam

penelitian, antara lain: (1) Representasi, (2) Byronic Hero, dan (3) Postrukturalisme.

2.3.1 Representasi

Representasi secara harafiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi

kultural tempat dikonstruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial. Representasi

berfungsi mengubah obyek kebudayaan menjadi obyek kultural. Istilah tertua dari

representasi adalah mimesis, yakni suatu konsep hasil debat antara Plato dan

(50)

pikiran, tingkah laku, dan berbagai perwujudan aktivitas kultural. Maka dapat

disimpulkan bahwa dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya..

Representasi merupakan salah satu fokus permasalahan yang sangat penting

dalam teori-teori postruktural. Representasi memberi makna khusus pada tanda

terhadap proses dan hasilnya. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak

diberi bentuk konkritnya (Sardar, van Loon, 2001). Lebih lanjut, Perbedaan antara

representasi dengan teks dijabarkan, sebagai berikut:

Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti obyek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (2004: 4), semua bentuk representasi, baik literal, visual, dan aural, maupun kultural pada umumnya, baik budaya tinggi maupun budaya masaa, didasarkan atas pesan ideologi tertentu sehingga tidak mungkin lepas dari masalah sosial politis (Ratna, 2008: 123).

Berdasarkan keterangan di atas, maka novel Mary Shelley Frankenstein

diketahui sebagai produk kreatif pengarangnya, yang dapat dikonstruksi secara sosial

dengan penggunaan bahasa sebagai medianya. Sehingga dapat dikatakan bahwa teks

dalam novel berkaitan erat dengan makna dan representasi. Ratna (2008: 125)

menjelaskan bahwa di dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui

narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer yang lain; yang secara

(51)

2.3.2 Byronic Hero

Istilah Byronic Hero pertama kali dipopulerkan oleh Lord Byron (1788-1824)

dalam karya-karyanya pada era Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya

(romantic movement). Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Byronic

Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks dan banyak mengalami

perubahan suasana hati (mood), juga cenderung kontroversial. Dalam realisasinya,

tokoh Byronic banyak digambarkan pengarang sebagai tokoh yang semula dianggap

antagonis, antara lain: setan, vampir, monster, ataupun tokoh kontroversial lainnya;

namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan

perilaku seorang pahlawan.

Ciri tokoh Byronic sangat khas. Menurut Thorslev Jr. (1962: 7), Tokoh ini

sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya

dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga sebagai

‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa

cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menggunakan konsep Byronic

Hero untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang digambarkan oleh penokohan Victor

Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Penelitian akan menjelaskan

tentang hal apa saja kah yang melatarbelakangi perilaku tersebut, hal apa sajakah

yang menjadi motivasi perilaku tersebut, dan bagaimana kah perilaku tersebut

(52)

2.3.3 Postrukturalisme

Kemunculan aliran Postrukruralisme merupakan reaksi penyempurnaan

sekaligus penentangan terhadap aliran Strukturalisme. Aliran tersebut dipopulerkan

Jacques Derrida pada awal abad ke-20 (1980an) di Perancis dan Amerika.

Postrukturalisme merupakan sebuah aliran yang sangat berkembang dan mutakhir,

terutama dalam kajian sastra dan kritik sastra. Menurut pandangan Derrida,

kekurangan pendekatan Strukturalisme (linguistik) terletak pada pengandalan

anggapan-anggapan (pre-supposition) yang tidak pernah dipertanyakan lagi, dan

menggunakan konteks sains terlalu sempit. Derrida menentang hal tersebut dengan

konsepsinya mengenai desain sebagai suatu penyingkapan (design as a closure), yang

dilakukan dengan dekonstruksi (deconstruction).

Lebih lanjut, kelemahan Strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut:

(a) model analisis Strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap

terlalu kaku sebab semata-mata berdasarkan kepada struktur dan sistem tertentu; (b)

strukturalisme terlalu memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas

otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan pengarang dan pembaca

sebagai subyek manusianya; (c) hasil analisis Strukturalisme seolah-oleh difungsikan

untuk karya sastra itu sendiri (intrinsik), bukan untuk kepentingan masyarakat secara

luas (ekstrinsik).

(53)

24

kemudian direvisi oleh Postrukturalisme, yang mana mengakibatkan pergeseran

estetika produksi ke arah estetika konsumsi: yakni menyamakan letak penerima

(pembaca) sebagai pencipta (pengarang). Postrukturalisme menganggap bahwa

makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan melalui partisipasi

aktif. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna tekstual berkaitan

erat dengan konteks.

Postrukturalisme beranggapan bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat

untuk memahami realitas obyektif belaka, melainkan terpisah sifatnya dari subyek

sebagai penyampai pernyataan. Subyek di sini diartikan sebagai faktor sentral dalam

kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu,

Postrukturalisme meletakkan dekonstruksi sebagai elemen yang sangat penting dalam

(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian

Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis

konten (isi). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak

ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada dalam komunikasi itu terbaca

dalam interaksi sosial; dan bagaimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh

peneliti. Oleh karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan

mampu untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang

terbaca oleh orang pada umumnya (Bungin, 2007a: 158). Penelitian sosial yang

menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan antara lain: untuk

menggambarkan berbagai kondisi dan situasi serta realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menggambarkan realitas

tersebut sebagai gambaran tentang kondisi, situasi, atau realitas tertentu.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam

sastra antara lain:

Gambar

Tabel 1 Unit-Unit Yang Diteliti dalam Format Deskriptif-Kualitatif  ( D i m o d i f i k a s i  d a r i  S u m b e r :  B u n g i n ,  2 0 0 7 a :  6 9 )

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun novel Lampuki karya Arafat Nur, (2) mendeskripsikan konflik politik dalam novel Lampuki

Oleh karena itu, penulis memberi judul penelitian ini “Representasi Budaya Populer dalam Novel B-Jell Cheers Karya Thalia Salsabilla (Tinjauan Sosiologi Sastra) ”

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran, watak dan teknik penokohan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara. Sumber data penelitian ini adalah

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur novel yang meliputi tokoh penokohan, alur, dan latar, sekaligus juga mendeskripsikan kekerasan terhadap anak dalam novel

1.Tesis yang berjudul REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL SABTU BERSAMA BAPAK KARYA ADHITYA MULYA DAN NOVEL AYAH KARYA ANDREA HIRATA adalah karya penelitian

Dari data yang dianalisis dapat disimpulkan Representasi kekerasan pada anak dalam novel “Sheila” karya Torey Hayden apakah sama dengan representasi kekerasan terhadap anak

Sesuai dengan data penelitian ini, yaitu representasi nilai budaya Jawa dalam novel Ranggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam peneiitian ini

Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa representasi budaya yang terdapat pada novel Siri’ karya Asmayani Kusrini berupa Siri’