REPRESENTASI BYRONIC HERO
DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN
KARYA MARY SHELLEY
TESIS
Oleh
BIMA PRANACHITRA
087009003/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
REPRESENTASI BYRONIC HERO
DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN
KARYA MARY SHELLEY
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
BIMA PRANACHITRA
087009003/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : REPRESENTASI BYRONIC HERO DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY
Nama Mahasiswa : Bima Pranachitra Nomor Pokok : 087009003
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.) (Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M. Sc.)
Telah diujikan pada Tanggal 27 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
2. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.
PERNYATAAN
Judul Tesis
REPRESENTASI BYRONIC HERO
DALAM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN
KARYA MARY SHELLEY
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil
karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini
bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 17 September 2010
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.
Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.
ABSTRACT
The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.
The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.
The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life.
KATA PENGANTAR
Tesis ini berjudul Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley
Frankenstein Karya Mary Shelley; yang mana memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang tergambar dalam sebuah karya sastra.
Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan pemerolehan
gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi Analisis
Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu
kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat (novelty), terutama dalam
ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman
terhadap karya sastra, terutama Romansa Gotik, yakni sebagai cerminan
permasalahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat; yang mana pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai
sarana luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan
memotivasi pembacanya.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna,
dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca; melainkan
merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan
pendalaman ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik
konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di
lain waktu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad
S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh
bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Syaifuddin, M.A.,
Ph.D., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan, beliau terus memberikan motivasi, arahan, kritik, masukan, serta kesediaan waktu di
tengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, yang mana dirasakan sangat bermanfaat
dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran berharga dari
beliau, antara lain yakni kesabaran dan ketelatenan. Begitu banyak bimbingan yang
diberikan oleh beliau, sehingga menumbuhkan semangat dan optimisme penulis
untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Rasa terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Ibu Dr. Asmyta
Surbakti, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing II. Selama masa bimbingan, beliau selalu menyempatkan diri kapan pun dan di mana pun untuk mendidik penulis
dengan ilmu pengetahuan dan referensi yang sangat kekinian. Beliau menanamkan
rasa tanggung jawab, harapan, etika, ketekunan, dan ketelitian di dalam diri penulis,
yang tentunya telah memperluas pengetahuan dan penguasaan materi yang dimiliki
oleh penulis. Dikarenakan sikap beliau yang sangat keibuan dan mengemong, penulis
merasa sangat berhutang budi sekaligus merasa teramat senang dan bangga menjadi
mahasiswa bimbingannya.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc,(CTM), Sp.A(K). selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Bapak Drs. Umar Mono, M.Hum.
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Universitas Sumatera
Utara, yang mana telah memberikan segala kemudahan dalam penyelenggaraan
kegiatan akademik.
4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. dan Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein,
M.A. selaku penguji, yang telah banyak memberikan koreksi berguna.
5. Semua Dosen Program Studi Linguistik dan KWK USU.
6. Kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Linguistik dan Sekolah
Pascasarjana USU.
7. Kepada kedua orangtua saya. Liliek Pranachitra dan Rr. Nurhidayati, yang telah
membesarkan dan membina etika, moral, mental, dan spiritual saya sebagai bekal
menghadapi kehidupan yang didasari oleh tanggung jawab dan reputasi baik.
8. Kepada adik-adik saya tercinta, Ayu Supraba, S.S. dan Rama Yudhistira; juga
kepada seluruh sanak saudara.
9. Rekan-rekan mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2008/2009.
10. Kepada dr. Nuning Affira, Hanna Pratiwi, dan adik-adik angkat saya: Ita
Khairani, S.Pd., M.Hum., dan Dewina Sitanggang, S.S. yang mana telah banyak
mendukung, mengingatkan, dan membantu saya selama ini.
11. Kepada tokoh-tokoh yang mengilhami penulis: John Lennon, Lord Gordon
Byron, Mary Shelley, Jacques Derrida, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault.
Medan, September 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Bima Pranachitra
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 8 Maret 1985
Jenis Kelamin : Pria
Agama : Islam
Alamat : Jalan Stasiun PJKA No. 22
Kp. Baru, Medan, Sumatera Utara 20158
Pendidikan Formal :
1. TK Rahmat Harapan Medan (Tamat 07 Juni 1991)
2. SD Yapena 45 Medan (Tamat 14 Juni 1997)
3. SLTP Negeri 2 Medan (Tamat 20 Juni 2000)
4. SMA Angkasa Lanud Medan (Tamat 05 Juni 2003)
5. STBA Harapan Medan (Tamat 17 Desember 2007)
6. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak September 2008)
Pendidikan Nonformal :
1. Anggota Kehormatan YPPIA (2002)
2. Sekolah Musik Era Musika (2004)
3. Sekolah Musik Medan Musik (2006)
Pekerjaan : 1. Wiraswasta (1998 - Sekarang)
2. Wakil Ketua Liliek Pranachitra’s Digital Studio (2008-Sekarang)
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR ISTILAH ... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP... 11
2.1 Kajian Pustaka... 11
2.2 Landasan Teoretis ... 14
2.2.1 Psikologi Sastra ... 14
2.2.2 Pendekatan Arketaipal... 15
2.2.3 Metode Hermeneutika ... 17
2.2.4 Teori Dekonstruksi... 18
2.3 Konsep ... 20
2.3.1 Representasi ... 20
2.3.2 Byronic Hero ... 22
2.3.3 Postrukturalisme... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25
3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian... 25
3.2 Lokasi Penelitian... 27
3.3 Data dan Sumber Data ... 27
3.3.1 Sumber Data Primer ... 27
3.3.2 Sumber Data Sekunder... 28
3.4 Teknik Pengumpulan Data... 28
3.5 Teknik Analisis Data... 30
BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN K A R Y A M A R Y S H E L L E Y D A N K O N F L I K B A T I N
V I C T O R F R A N K E N S T E I N ... 37
4.1 Pendahuluan ... 37
4.2 Latar Belakang Penulisan Novel... 39
4.3 Daftar Penokohan... 42
4.4 Tema Novel... 47
4.4.1 Keluarga, Masyarakat, dan Pengasingan... 50
4.4.2 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi... 52
4.4.3 Ambisi dan Kegagalan ... 53
4.4.4 Prasangka, Ketidakadilan, dan Rasa Dendam ... 55
4.4.5 Politik, Kekuasaan, dan Perbudakan ... 57
4.5 Konflik Batin Victor Frankenstein... 59
4.5.1 Byronic Hero dalam Penokohan Victor Frankenstein... 60
BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN INGGRIS PERIODE ROMANTISME... 69
5.1 Byronic Hero Sebagai Ciri Khas Lord Byron ... 69
5.2 Byronic Hero dalam Karya-Karya Mary Shelley... 73
5.3 Periode Romantisme dalam Sejarah Kesusastraan Inggris ... 76
5.4 Latar Belakang Sosial-Politik Periode Romantisme ... 78
BAB VI NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY
DAN PERADABAN MANUSIA DALAM SEJARAH EROPA ... 89
6.1 Peradaban Masyarakat Eropa Semenjak Era Pencerahan (Enlightment)... 90
6.1.1 Era Absolutisme (1500-1650) ... 91
6.1.2 Era Pencerahan (1650-1800)... 92
6.1.3 Era Revolusi Industri (1800-1850)... 93
6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme ... 95
6.3 Romansa Gotik Sebagai Reaksi Bagi Era Revolusi Industri ... 100
6.4 Byronic Hero dan Dekonstruksi Kehidupan Sosial, Politik, dan Budaya Masyarakat Barat Abad ke-19... 103
6.4.1 Byronic Hero Sebagai Representasi Kesenjangan Kelas Sosial Masyarakat... 104
6.4.2 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Ras Manusia ... 107
6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin ... 110
6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial... 112
6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror... 115
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 122
7.1 Simpulan ... 122
7.2 Saran... 125
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
No. Judul Halaman 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif... 33
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Foto dan Biografi Pengarang ... 130
2. Sinopsis Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 134
3. Kulit Sampul Novel Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley... 140
DAFTAR ISTILAH
Absolutisme : bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar; bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa (raja, kaisar, diktator, dsb).
Algolagnia : perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka; rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.
Ambisius : berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan dan cita-cita); penuh ambisi.
Antagonis : tokoh karya sastra yang merupakan penentang dari tokoh utama; tokoh lawan.
Aristokrat : orang dari golongan bangsawan; ningrat.
Arketaipal : suatu pembahasan dalam ilmu psikologi yang diperkenalkan oleh C.G. Jung; membahas tentang adanya ketidaksadaran kolektif terhadap ide, pola pikir, pencitraan, dsb, yang bersifat universal dalam diri suatu individu
Augustan : periode kesusastraan setelah era klasik di Eropa (terjadi pada akhir abad ke-17 di Perancis, dan abad ke-18 di Inggris).
Byronic Hero : suatu ciri penokohan khas (tokoh setengah antagonis) dalam karya sastra Inggris, yang dipopulerkan oleh Lord Byron.
Dekonstruksi : suatu pendekatan (terutama dalam karya sastra) yang berfokus kepada pembongkaran dan penundaan makna; diperkenalkan oleh Jacques Derrida.
Demokrasi : gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Diskursif : berkaitan dengan nalar; disimpulkan secara logis.
Diskursus : wacana sosial yang didistribusikan ke tengah masyakat; yang mana dapat berisi beragam ideologi; yang pada akhirnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran wacana tersebut.
Dominasi : penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dsb).
Ekspansi Kekuasaan : perluasan daerah kekuasaan suatu negara yang dilakukan dengan cara-cara penjajahan ke negara lainnya.
Eksperimen : percobaan yang bersistem dan berencana (untuk membuktikan kebenaran suatu teori, dsb).
Eksploitasi : pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (terhadap tenaga orang lain).
Ekspresif : pengungkapan maksud dan tujuan seseorang.
Ekstrinsik : berasal dari luar (sifat manusia, atau nilai suatu peristiwa); bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sesuatu; tidak termasuk intinya.
Emansipatoris : bersifat membebaskan dan menyamakan kedudukan terhadap sesuatu hal/permasalahan (emansipasi).
Epistemologi : cabang ilmu filsafat, terutama dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.
Fakta Sejarah : kejadian sejarah
Fakta : suatu hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.
Feminisme : gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
Fobia : ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya.
Gerakan : pergerakan, usaha, atau kegiatan dl lapangan sosial (politik dsb).
Gotik : gaya arsitektur (seni pahat dan seni lukis) pada abad ke-12- abad ke-16 di Eropa; jenis Kesusastraan Inggris yang menyertakan elemen misteri seperti hantu, monster, dsb.
Halusinasi : pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra yang bersangkutan, misalnya mendengar suara tanpa ada sumber suara tsb.
Hegemoni : pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan suatu negara atas negara (atau negara bagian) lainnya.
Heroisme : sifat kepahlawanan.
Horor : sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat.
Humanistis : bersifat kemanusiaan.
Idealisme : aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami.
Ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
Idiom : konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya.
Ilmiah : bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.
Industrialisasi : usaha menggalakkan industri dalam suatu negara; pengindustrian.
Intelektual : cendikiawan.
Intrinsik : terkandung di dalamnya (tergambar jelas dalam cerita).
Introspeksi : peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dsb) diri sendiri; mawas diri.
Isu : masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi dsb).
Kapitalisme : sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas.
Kasta : golongan (tingkat atau derajat) manusia (terutama dalam masyarakat beragama Hindu).
Kaum Kelas Bawah : masyarakat miskin; kaum buruh.
Kaum Penguasa : orang yang menguasai; orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb).
Kaum Urban : orang yang berpindah dari desa ke kota.
Keabstrakan : sesuatu yang tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala.
Kegilaan : sifat (keadaan, perihal) gila; sesuatu yang melampaui batas; ketidakberesan; kericuhan; kekacauan.
Kesenjangan Sosial : ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial.
Kolonialisme : paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.
Konflik : percekcokan; perselisihan; pertentangan.
Konsumerisme : paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb.
Kontradiksi : pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan.
Kontribusi : sumbangan.
Kontrol Sosial : suatu fungsi sosial politik yang mewajibkan anggota individu ataupun kelompok untuk memenuhi harapan dan mematuhi aturan atau suatu otoritas; termasuk menanamkan nilai-nilai sosial serta hukuman dari penyimpangan yang dilakukan.
Kritik : kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.
Kultural : hal yang berhubungan dengan kebudayaan.
Marjinal : orang atau kelompok yang berada di luar masyarakat mayoritas.
Mekanisasi : penggantian dan penggunaan tenaga mesin dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan.
Merkantilisme : sistem ekonomi untuk menyatukan dan meningkatkan kekayaan keuangan suatu bangsa dengan pengaturan seluruh ekonomi nasional oleh pemerintah, dengan kebijaksanaan yang bertujuan mengumpulkan cadangan emas, memperoleh neraca perdagangan yang baik, mengembangkan pertanian dan industri, dan memegang monopoli atas perdagangan luar negeri
Metafiksi : sebuah karya sastra (novel atau cerita pendek lainnya) yang menceritakan tentang keadaan dan pengalaman pengarangnya sendiri; kemudian dimanipulasi sebagai tema dari suatu fiksi.
Minoritas : golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.
Misterius : penuh rahasia; sulit diketahui atau dijelaskan (karena tidak jelas tanda-tandanya dsb).
Monarkisme : bentuk pemerintahan suatu negara yang dikepalai oleh raja atau ratu.
Monster : makhluk yang berukuran luar biasa (sangat besar); makhluk yang menakutkan, sering diceritakan dalam dunia fiksi.
Moral : ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila.
Multikultural : keanekaragaman kebudayaan.
Neurosis : penyakit saraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian susunan saraf (seperti histeri, depresi, fobia); psikoneurosis.
Oposisi Biner : istilah yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure; mengacu pada dikotomi di mana masing-masing pasangan (kata, kalimat) yang beroposisi memperlihatkan struktur dominasi terhadap oposisinya.
Patriarki : suatu sistem sosial yang memposisikan kaum pria sebagai sosok yang mendominasi (terhadap kaum wanita).
Pencerahan : suatu gerakan intelektual setelah era Absolutisme; yang terjadi pada abad ke-17 di Eropa. Gerakan ini ditandai dengan mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dan banyaknya penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah (saintifik).
Peradaban : kemajuan (kecerdasan, kebudayaan); hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.
Politis : bersifat politik; bersangkutan dng politik.
Posmoderenisme : suatu pendekatan yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger, kemudian dilanjutkan oleh Thomas Samuel Kuhn dan Jacques Derrida; yakni budaya kontemporer yang ditandai dengan penolakan terhadap kebenaran obyektif dan narasi budaya global. Pendekatan ini ditekankan pada peran bahasa, hubungan kekuasaan, dan motivasi.
menganggap bahwa bahasa bukan lah media transparan yang menghubungkan seseorang langsung dengan kebenaran atau realitas, melainkan sebuah struktur atau kode, yang mana bagian makna berasal dari pertentangan antara satu kata dengan kata lainnya. Pendekatan ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Jacques Derrida, Roland Barthes, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Michel Foucault.
Praksis : praktik (bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia).
Primordial : termasuk dl bentuk atau tingkatan yang paling awal; paling dasar.
Proletariat : lapisan sosial yang paling rendah; golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga.
Protagonis : tokoh utama dalam cerita rekaan (karya sastra).
Radikal : secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); politik yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.
Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.
Rasisme : prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Realitas Sosial : kenyataan sosial; semua kejadian dan fakta yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Rekonstruksi Sosial : membangun kembali tatanan kehidupan sosial masyarakat dengan keadaan yang lebih humanistis (manusiawi).
Representasi : perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang mewakili; perwakilan.
abad ke-18. Pada era ini terjadi kesenjangan sosial yang sangat besar sebagai dampak dari munculnya sistem kapitalisme.
Revolusi : perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan; perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.
Robot : alat berupa orang-orangan dsb yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) yang dikendalikan oleh mesin.
Romansa Gotik : suatu transisi aliran Romantisme dengan penyertaan unsur horor dan teror khas Kesusastraan Gotik sebagai diskursusnya, yang mana berisi berbagai satir tentang keadaan sosial, politik, dan budaya masyarakat. Aliran ini dipopulerkan oleh pengarang Romantik gelombang kedua seperti Lord Byron dan Mary Shelley pada abad ke-18 di Eropa.
Romantisme : suatu gerakan kritik sastra yang dimulai pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di Eropa; yang mana melibatkan emosi dan ekspresi sebagai sumber pengalaman estetik pengarangnya. Karya sastranya sering menceritakan tentang ‘keliaran’ alam, yakni seperti tentang laut, gunung, badai, dsb.
Satir : komponen karya sastra yang berisi sindiran terhadap kecerobohan, kebodohan, kekejaman manusia, dsb.
Sentimen : pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu (bertentangan dengan pertimbangan pikiran); emosi yang berlebihan; iri hati; tidak senang; dendam; reaksi yang tidak menguntungkan.
Simbolis : sebagai perlambang.
Simpatisan : orang yang bersimpati (kpd partai politik dsb).
Takhayul : sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka; kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.
Teologi : pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Tuhan, dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama, terutama berdasarkan kitab suci).
Teori Sosial Kritis : suatu teori yang menekankan pada upaya pembebasan masyarakat. Dalam pandangan teori ini, ilmuwan diharapkan menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dengan cara mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk berpemikiran kritis. Teori kritis bersifat emansipatoris dan berusaha membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. Ciri khas teori ini adalah bersifat interdispliner. Teori Sosial Kritis mulai mencapai kejayaannya di tangan cendikiawan seperti Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas (yang tergabung dalam Frankfurt School) pada tahun 1937.
Teror : usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Transisi : peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) kepada keadaan yang lain.
Vokal : berani mengemukakan pendapat; berani bersuara (mengkritik dsb.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penokohan Byronic Hero, menemukan representasi permasalahan dalam konteks sosial, politik, budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley Frankenstein, menjelaskan bagaimana fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diungkapkan Mary Shelley (1797-1851) dalam gambaran cerita novelnya, dan menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap perubahan peradaban manusia berdasarkan teori dan pendekatan Postrukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian adalah novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley dan sejumlah buku acuan. Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan teknik baca, simak dan catat yang didasari oleh Filsafat Fenomenologi. Teknik analisis data dilakukan dengan metode Analisis Konten menggunakan teori Dekonstruksi Derrida, Pendekatan Arketaipal, Pendekatan Postruktural, dan Metode Hermeneutika dalam tujuan untuk mengungkapkan makna tersembunyi di balik teks.
Berdasarkan hasil analisis penokohan Byronic Hero diperoleh hasil bahwa penokohan Victor Frankenstein, Robert Walton dan Sang Monster dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley menggambarkan penokohan yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Selain itu, Byronic Hero juga merupakan representasi berbagai permasalahan terutama dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat barat abad ke-19 (yang merupakan konstruksi sosial). Mary Shelley berusaha mengungkapkan negativitas konstruksi sosial tersebut melalui alur cerita berisi satir yang disamarkan dalam dialog dan monolog penokohan-penokohan novelnya. Dengan diketahuinya negativitas konstruksi sosial tersebut, maka dapat diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley berusaha mengajak pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Selain itu, dengan menggunakan gambaran teror dan horor sebagai diskursus Romansa Gotik, Shelley berusaha untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memberikan edukasi publik yang bersifat emansipatoris bagi kehidupan manusia.
ABSTRACT
The aims of this research are to describe the characterization of Byronic Hero, to find the representations concerning the problematics of social, political, and cultural contexts occured in certain communities described in Mary Shelley Frankenstein novel, to explain how Mary Shelley (1797-1851) revealed the occurance of these social facts in her novel, and to explain the Gothic Romance’s influences toward the changes of civilization, based on theories and approaches of Post-sructuralism. The research method used is Qualitative Descriptive.
The research data are Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley and a number of reference books. The Data Collection Technique was conducted by using document review (reading, observing, and taking notes) based on the Philosophy of Phenomenology. The Data Analysis Technique was conducted with the method of Content Analysis, using the theory of Derrida’s Deconstruction, Archetypal Approach, Post-structural Approach, and Hermeneutics Method to reveal the hidden meaning contained in the text.
The results based on the analysis of Byronic Hero characterization, show that the characters of Victor Frankenstein, Robert Walton and The Monster in Mary Shelley Frankenstein novel by Mary Shelley manifest mental instability and excessive inner conflicts. In addition, Byronic Hero is also regarded as the representation of various problematics concerning the social, political, dan cultural contexts for which have had occurred in the social life of 19th-century western societies (known as the social constructions). Mary Shelley was intended to disclose the negativities of these social constructions through plots which contains satirical dialogues and monologues done by the characters of her novel. By understanding these social constructions’ negativities, hence it is known that Mary Shelley Frankenstein by Mary Shelley is trying to inspire her readers in performing a social reconstruction. Moreover, by using a picture of terror and horror as the discourse of Gothic Romance, Shelley was trying to make people aware of their social situation, as well as providing public education, for which is emancipatory concerning the human life.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam penciptaan karya sastra, sering terdapat hubungan yang erat antara
kepribadian dan kehidupan pengarang dengan karya sastra yang dihasilkannya.
Karya sastra tak jarang diciptakan untuk mewakili suasana hati pengarang terkait
dengan pemikiran dan perasaan yang dirasakan pada saat karya tersebut
diciptakannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap biografi pengarang dan
pendekatan di luar teks sastra (ekstrinsik) menjadi hal yang penting dan memudahkan
pembaca untuk memahami maksud tertentu yang disembunyikan pengarang dalam
karya sastranya.
Karya Sastra dan Kesusastraan memiliki sifat dan batas jangkauan kajian yang
universal dan tidak terbatas. Hal tersebut senada dengan penjelasan Semi (dalam
Siswantoro, 2008), bahwa sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan
diri, tentang masalah kemanusiaan, dan semesta. Darma (dalam Siswantoro, 2008:
67) menjelaskan keterkaitan antara sastrawan dan karya sastranya, sbb:
…sastrawan dapat dianggap sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup; sedangkan sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani pembacanya.
Terkait pembahasan tentang komunikasi antara sastrawan dengan
sastra secara menyeluruh (the total situation of work of art) yang terdiri atas (1) karya
sastra (work), (2) sastrawan (artist), (3) semesta (universe), dan (4) pembaca
(audience). Demikian halnya dengan jenis pendekatan dalam kajian sastra, yakni (1)
pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4)
pendekatan pragmatik.
Dalam kajian Kesusastraaan Inggris, terdapat suatu periode kesusastraan yang
disebut sebagai Periode Romantik atau Romantisme (terjadi pada akhir abad ke-18-19
di Eropa). Kesusastraan Romantik ditandai dengan penyertaan unsur ekspresif
pengarangnya, yakni penggambaran alur cerita dan penokohan yang mengikuti
suasana hati dan sisi psikologis pengarangnya. Oleh karena itu, untuk meneliti
kesusastraan jenis ini, seyogyanya dilakukan pendekatan yang bersifat ekspresif.
Selden (Siswantoro, 2008: 1) menyebutkan bahwa karya sastra Inggris pada periode
Romantik dianggap sebagai anak kehidupan kreatif seorang penulis dan
mengungkapkan pribadi pengarang. Hal senada dijelaskan oleh Klarer (1999) bahwa
karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga dapat
dikatakan bahwa karya sastra dianggap sangat penting kedudukannya.
Siswantoro (2008: 143) menjelaskan bahwa penokohan dalam karya sastra
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh statis
merupakan ciri penokohan yang sangat umum dalam karya sastra, yakni jenis
penokohan yang jarang mengalami perubahan perwatakan, dan hanya memainkan
satu peran yang monoton. Sementara tokoh dinamis, adalah tokoh yang memiliki
Memasuki akhir abad ke-18, dunia Kesusastraan Inggris digemparkan oleh
munculnya jenis perwatakan dinamis yang sangat berbeda penggambarannya. Jenis
perwatakan baru tersebut dikenal dengan sebutan Byronic Hero, yakni suatu ciri khas
penokohan dalam karya-karya Lord Byron (1788-1824). Byron adalah penyair
berkebangsaan Inggris yang menggambarkan Byronic Hero tersebut dengan ciri
perwatakannya yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati
(mood) dan cenderung kontroversial; sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah
tokoh tersebut termasuk dalam kategori tokoh protagonis atau tokoh antagonis.
Lord Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok Gotik,
melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberani, pemberontak, serta
dibayangi oleh masa lalu yang kelam; namun di lain sisi ia juga terpelajar, karismatik,
baik hati, dan bersahaja (Gross, 2001). Jenis penokohan tersebut dianggap sangat
berbeda, menarik, dan dianggap sebagai suatu nafas baru dalam Kesusastraan Inggris.
Sebagai akibatnya, Byronic Hero mulai diadaptasikan dan dikembangkan oleh
beberapa pengarang lainnya seperti Edgar Allen Poe, Robert Louise Stevenson, Percy
Bysshe Shelley, dan Mary Shelley.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, salah satu penggambaran
penokohan Byronic Hero yang paling sempurna sepanjang sejarah Kesusastraan
Inggris adalah Victor Frankenstein, yakni tokoh fiksional karangan Mary Shelley
(1797-1851) dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam cerita, Victor
manusia melalui serangkaian eksperimen sains yang bersifat tidak lazim; sebagai
suatu reaksi dari keputusasaan dalam menjalani kehidupannya.
Pengangkatan cerita dengan penyertaan perwatakan Byronic Hero menjadi
sangat populer di Inggris, terutama ketika era Romantik sedang berlangsung di Eropa.
Aliran Romantik tersebut ditandai dengan sering digunakannya unsur-unsur seperti
imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Menurut
Thorslev Jr. (1962: 16), aliran Romantik juga diketahui sering mengangkat tema-tema
seperti liberalisme, eksotisme, supernaturalisme, dan pandangan tentang alam.
Beberapa tema tertentu juga berkaitan dengan suasana hati. Gerakan sastrawan
Romantik tersebut kemudian dikenal secara luas di Eropa sebagai Romantisme (akhir
abad ke-18-19).
Kemunculan Romantisme itu sendiri merupakan suatu reaksi protes terhadap
Era Revolusi Industri (1800-1850), yang mengeksploitasi teknologi dan sains yang
dibawa oleh Era Pencerahan (Enlightment) pada pertengahan dan akhir abad ke-17
(1650-1800) di Eropa. Romantisme juga menentang norma politik dan norma sosial
yang diwariskan oleh kaum gerejawan dan kaum aristokrat semenjak Era
Absolutisme (1500-1650), yang mana masih dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat
Eropa ketika terjadinya Era Revolusi Industri. Dengan demikian, maka Era Revolusi
Industri dapat dikatakan sebagai era transisi yang dipengaruhi oleh kedua era
sebelumnya; yakni terjadinya kapitalisme, eksploitasi teknologi, mekanisasi,
kesenjangan sosial, sekaligus terjadinya pengungkungan pendapat oleh kaum
keindahan alam dan mulai menyuarakan protes terhadap kekuasaan, yang disuarakan
melalui Romansa Gotik (Gothic Romance), yakni Sastra Romantik yang dipadukan
dengan elemen horor dan teror khas Sastra Gotik.
Salah satu akibat dari gerakan Romantisme tersebut, terutama dalam ranah
Kesusastraan Inggris, adalah maraknya penggunaan penokohan Byronic Hero setelah
Lord Byron. Penokohan tersebut difungsikan Byron dalam karya-karyanya sebagai
perlambang penolakan terhadap kekuasaan kaum industrialis pada abad ke-18, yang
mana menceritakan tentang gambaran perilaku dan pemikiran manusia yang tidak
dapat ditebak secara matematis dan akurat dikarenakan dimilikinya perasaan dan
suasana hati; terlepas dari keharusan bersikap rasional. Setelah keberhasilan Lord
Byron mencapai puncaknya, penokohan Byronic Hero tersebut kemudian dilanjutkan
dan dipopulerkan oleh Mary Shelley dalam karya-karyanya. Shelley menggunakan
jenis perwatakan ini sebagai sindiran (satire) sekaligus perlambang terhadap perilaku
masyarakat abad ke-18, yang mana diperbudak oleh teknologi, dan berperilaku
layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962).
Untuk mengetahui dorongan yang menyebabkan Shelley mengangkat tema
tersebut, lebih lanjut dijelaskan Wellek dan Warren (dalam Siswanto, 2008: 13)
bahwa sebuah karya sastra merupakan kompensasi perasaan pengarangnya. Terkait
dengan penjelasan tersebut, maka Mary Shelley dapat dikatakan mengalami
gangguan emosi sebagai reaksi dari keadaan sosial, ekonomi, kebijakan politik, dan
Mary Shelley adalah seorang sastrawan berkebangsaan Inggris yang lahir
pada tanggal 30 Agustus 1797 di London. Ia cenderung menulis tentang bahasan
yang berkaitan dengan elemen otobiografi, simpati, gender, Romantisme, dan politik.
Selain itu, Shelley juga dikenal kritikus sastra inggris sebagai pengarang yang
menggambarkan penokohan Byronic Hero yang jauh lebih baik daripada penciptanya
sendiri. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Mary Shelley dan suaminya, Percy
Bysshe Shelley (1792-1822), adalah teman dekat Lord Byron. Untuk mengetahui
keterkaitan dan kesamaan ide Shelley dengan Byron, peneliti mengacu kepada
penjelasan Wellek dan Warren dalam Siswanto (2008: 2), yakni peneliti hendaknya
mengetahui dan mempelajari hubungan erat antara sastrawan dan karya sastranya;
persahabatan sastrawan dengan sastrawan lain; perjalanannya, serta daerah-daerah
yang pernah dikunjungi dan ditinggalkannya.
Perkenalan Mary Shelley dengan Lord Byron terjadi pada Mei 1816, yakni
ketika Shelley dan suaminya belibur musim panas bersama Byron dan beberapa
teman dekatnya di Genewa, Switzerland (Brewer, 1994). Dari pertemuan tersebut,
Mary Shelley kemudian akrab dengan Lord Byron, dan mulai berbagi ide dan
wawasan. Suatu ketika, Byron menantang Shelley untuk mengarang cerita horor
dengan versi masing-masing. Tantangan tersebut diterima oleh Shelley, dan
dituangkan ke dalam cerita Mary Shelley Frankenstein, yang konon merupakan
interpretasi Shelley tentang perpaduan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang
Semenjak penerbitan pertama novel pada tahun 1818 dengan judul asli Mary
Shelley: Frankenstein or The Modern Prometheus, karya sastra tersebut sudah
menjadi best seller dan terjual lebih dari ratusan juta cetakan di seluruh dunia hingga
saat ini. Seiring perkembangannya, tokoh Sang Monster dan gambaran cerita novel
juga banyak mengalami adaptasi dan dijadikan inspirasi oleh pengarang lainnya.
Namun sangat disayangkan bahwa sebagian penikmat karya sastra terbukti gagal
menangkap esensi yang berusaha disuarakan oleh Mary Shelley dalam novel tersebut.
Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar pembaca dan kritikus sastra hanya
membahas novel dari segi intrinsiknya; sementara inti pembahasan yang sebenarnya
terletak pada segi ekstrinsiknya.
Alasan peneliti mengangkat novel Mary Shelley Frankenstein sebagai tesis
adalah untuk memperkenalkan penokohan Byronic Hero sebagai representasi tema
perlawanan sosial dalam karya sastra. Selain hal tersebut, peneliti juga akan berusaha
untuk melakukan pembongkaran makna yang berkaitan dengan realitas sosial, yang
tersirat dalam dialog dan monolog penokohannya.
1.2 Perumusan Masalah
Tesis ini akan difokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan spesifik, sbb:
1. Bagaimanakah gambaran Byronic Hero dalam novel Mary Shelley
Frankenstein?
3. Bagaimanakah cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat
barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
4. Bagaimanakah pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat
barat?
5. Kontribusi apakah yang terkandung dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tesis adalah, sbb:
1. Mendeskripsikan Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
2. Menganalisis representasi realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam
novel Mary Shelley Frankenstein.
3. Mendeskripsikan cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial
masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
4. Menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat.
5. Menyingkap kontribusi yang terkandung dalam novel Mary Shelley
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian
mengenai Kesusastraan Inggris, dan selanjutnya dapat membantu
penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Sastra Romantik,
Sastra Gotik, Sastra Posmoderen, dan novel-novel Mary Shelley.
2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, yakni yang
memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia, terutama dalam hal
pengadaptasian penokohan Byronic Hero kreasi Lord Byron dan Mary
Shelley.
3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang
Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas
10
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:
1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial,
ekonomi, budaya, dan politik yang digambarkan dalam sebuah novel dapat
bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.
2. Memperluas pengetahuan tentang ciri khas Kesusastraan Inggris, terutama
mengenai Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan Romansa Gotik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP
Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari
peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau
pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini akan
dikemukakan sebagai berikut:
1. Tesis Chris Koelbleitner yang berjudul Frankenstein and Great Expectations:
The Romantic Child and The Victorian Adult (1997). Pada penelitian tersebut
dibahas interaksi antara diskursus Sastra Romantik dan Sastra Victorian
terhadap penokohan Pip dalam novel Great Expectations karya Charles
Dickens, sekaligus membandingkannya dengan penokohan Sang Monster
dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Pip diceritakan
mengalami diskriminasi sosial dan terpaksa harus mengorbankan kebahagiaan
masa kecilnya sebagai buruh pabrik. Ketika dewasa, Pip berhasil menyusun
Berbeda dengan hasil penelitian di atas, penulis membahas penokohan Victor
Frankenstein, Robert Walton, dan Sang Monster sebagai penyebab sekaligus
penanggung derita diskriminasi sosial yang diciptakannya sendiri.
2. Tesis Jonathan Darren yang berjudul Literary Studies: Analyzing the
Psychology of the Split Personality in Dr. Jekyll and Mr. Hyde by Robert
Louis Stevenson (2000). Penelitian ini menganalisis unsur-unsur kepribadian
ganda atau dikenal sebagai Disosiatif Identity Disorder (DID) terhadap
penokohan Dr Jekyll dan Mr Hyde. Dr Jekyll dan Mr, Hyde secara efektif
mewakili sisi baik dan jahat dari sifat manusia.
Berbeda dengan penelitian di atas, penulis menegaskan bahwa perilaku
Byronic Hero tidak lah sama dengan kegilaan mental penokohan yang disebutkan
sebelumnya. Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi
terhadap ketidakadilan sosial.
3. Penelitian essay Nova Dahlén yang berjudul Severus Snape and the Concept
of the Outsider: Aspects of Good and Evil in the Harry Potter Series (2009).
Pada penelitian tersebut dibahas karakter dinamis Severus Snape yang bersifat
kompleks, dan memfokuskan tokoh sebagai orang buangan.
Yang menjadi perbedaan antara penelitian di atas dengan penelitian yang
diangkat penulis adalah penokohan Severus Snape tidak diposisikan sebagai tokoh
utama penggerak jalan cerita seperti halnya Victor Frankenstein, sehingga peran
4. Penelitian essay Charlotta Wendick yang berjudul Happiness?: A
Psychoanalytic Reading of the character Bill Maplewood in Todd Solondz’s
film, Happiness (2008). Pada penelitian tersebut dibahas tentang suatu
psikoanalisis menyeluruh terhadap karakter Bill Maplewood, yang mana
berisi analisis konflik batin tokoh sebagai reaksi sadar dan tidak sadarnya.
Berbeda dengan penelitian di atas, peneliti membahas konflik batin yang
dirasakan Victor Frankenstein sebagai akibat dari ambisinya, bukan gejala kegilaan
yang terjadi secara alami.
Peneliti juga mengaplikasikan teori-teori yang relevan mengenai pembahasan
Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan hubungannya dengan konsep
monster dari buku-buku karya Fred Botting, antara lain: Gothic Romanced:
Consumption, Gender and Technology in Contemporary Fictions (2008), dan Making
Monstrous: Frankenstein, Criticism, Theory (1991); juga teori-teori tentang konsep
Byronic Hero dari buku karya Peter L. Thorslev Jr., yakni: The Byronic Hero: Types
and Prototypes (1962) sebagai suatu pijakan untuk menganalisis penokohan Victor
Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley. Selain itu,
perlu diketahui bahwa pembahasan tentang penelitian yang diangkat penulis masih
bersifat sangat baru dan sangat kekinian, terutama di Indonesia. Sebagai akibatnya,
2.2 Landasan Teoretis
Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan
masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan
pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum
dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau
bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.
Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain
deskriptif-kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.
2.2.1 Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan yang terkait dengan pemikiran dan perasaan pengarang dalam menciptakan
karyanya. Selain terkait dengan narasi dalam substansi karakter tokoh, psikologi
sastra juga terkait erat dengan realitas kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu,
dalam pembahasannya digunakan sekaligus pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Hal
tersebut dijelaskan oleh Roekhan (dalam Endraswara, 2008: 97-98) bahwa
pendekatan psikologi sastra terdiri atas tiga pendekatan sekaligus, yakni: (1) tekstual,
yang mengkaji aspek psikologis karya sastra. (2) reseptif-pragmatik, yang mengkaji
aspek psikologis pembaca akibat pengaruh karya yang dibacanya. (3) ekspresif, yang
mengkaji aspek psikologis sang penulis, baik sebagai pribadi maupun wakil
Psikologi dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikosastra dapat
menjelaskan proses kreatif pengarang, yakni menganalisis secara psikologis
tokoh-tokoh dalam drama dan novel, karena secara disadari atau tidak, pengarang cenderung
ikut memasukan teori psikologi yang dianutnya, yang mana juga memiliki daya
psikologis terhadap pembacanya. Oleh sebab itu maka karya sastra dapat dianggap
sebagai cerminan psikologis pengarangnya.
Dikaitkan dengan objek penelitian, maka psikologi Mary Shelley sebagai
pengarang dalam hal pencitraan Byronic Hero merupakan sebuah potret perlawanan
manusia terhadap era Absolutisme, Pencerahan, dan Revolusi Industri.
2.2.2 Pendekatan Arketaipal
Menurut Scott (1963), pendekatan arketaipal adalah sebuah pendekatan yang
bertumpu pada analisis yang bersifat mengkaji tindak tanduk manusia, bukan untuk
mengkaji unsur estetik dan instrinsik sebuah karya sastra. Pendekatan ini erat
hubungannya dengan psikologi manusia karena setiap perilaku manusia dalam
berkebudayaan dan berkesenian tidak dapat dipisahkan dengan zaman di mana
manusia hidup.
Pendekatan ini menegaskan bahwa di dalam karya sastra terdapat suatu
kumpulan simbol, gambar, karakter, dan motif yang pada dasarnya akan
membangkitkan respon yang sama terhadap semua orang. Menurut psikolog Carl
manusia. Pendekatan Arketaipal mengidentifikasi pola-pola dasar yang dimaksud dan
menjelaskan bagaimana hal-hal tersebut difungsikan dalam karya sastra.
Dalam hal ini, psikoanalisis Jung membahas tentang proses ketidaksadaran
kolektif (yang disebut juga sebagai kritik tipikal). Ketidaksadaran kolektif adalah
simbolisasi persepsi yang dipicu oleh sejumlah pikiran bawaan, perasaan, naluri, dan
kenangan yang berada dalam ketidaksadaran semua manusia, yakni serangkaian
pengalaman yang datang dengan sendirinya seperti takdir.
Data elemen arketaipal, secara relatif, dimanfaatkan sebagai sarana untuk
memahami konsep pemikiran, watak, aspirasi, harapan masyarakat, serta nilai-nilai
yang diharapkan oleh pencipta karyanya. Data elemen arketaipal dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi: (1) tokoh, (2) situasi, dan (3) pencitraan arketaipal. Data
tokoh arketaipal merupakan tokoh legenda yang memiliki sifat tipikal, misalnya:
pahlawan, monster, robot, penguasa, budak, dsb. Situasi arketipal berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa esensial dan tipikal dalam alur cerita, misalnya: pencarian,
pelarian, petualangan, pelayaran, pengasingan, diskriminasi, dsb. Pencitraan
arketaipal berupa imagi-imagi tipikal yang menimbulkan asosiasi pada makna
tertentu, antara lain: gejala alam, pergantian musim, nama tumbuhan, nama hewan,
warna, dsb.
Salah satu kegunaan pendekatan ini adalah sebagai pendekatan universal yang
menyoroti hal-hal apa saja yang menjadi penyebab sebuah karya sastra dapat bertahan
dalam karya sastra, dan lebih menyoroti hal-hal simbolis dalam cerita, yang mana
biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia.
2.2.3 Metode Hermeneutika
Hermeneutika berkaitan erat dengan bahasa dan semua aspek kebahasaan
dalam kehidupan manusia. Istilah ‘hermeneutik’ berasal dari Bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’; dan hermeneia, yang secara harafiah dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang penafsiran atau interpretasi tentang
isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks; dan menemukan instruksi-instruksi yang
terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Palmer, 2003).
Metode hermeneutika melakukan penafsiran terhadap bahasa melalui dua
cara; yakni penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis (Bleicher, 2003).
Penafsiran gramatikal adalah cara bagaimana orang menggunakan bahasa
berdasarkan situasi (di mana dan bagaimana bahasa itu digunakan). Sedangkan
penafsiran psikologis adalah apa yang dapat ditangkap dari makna yang terkandung
dalam setiap pembahasan itu (Bungin, 2007a).
Dalam meneliti suatu karya sastra, hermeneutika digunakan untuk memahami
makna sastra yang terdapat di balik struktur. Sastra dipandang sebagai simbol dan
teks dimana pada teks terdapat konteks yang bersifat polisemi sehingga teks harus
Menurut Sumaryono (1993), Habermas membedakan antara penjelasan
dengan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami
sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi.
Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Fakta yang disampaikan
melalui formasi diskursif dan diwacanakan secara terus menerus, akhirnya akan
diterima sebagai sesuatu yang benar (Bleicher, 2003).
Dalam melakukan penafsiran, Endraswara (2008) mengemukakan empat
langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu
menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) memperjelas arti-arti
simbolik dalam teks. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti akan
mempergunakan teori ini untuk menafsirkan makna bahasa yang diungkapkan dalam
novel Mary Shelley Frankenstein.
2.2.4 Teori Dekonstruksi
Teori Dekonstruksi diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004) pada
tahun 1967 dan mulai digunakan dalam seni dan sastra pada tahun 1970an (Muhadjir,
2001: 203). Dekonstruksi merupakan gebrakan posmoderenisme yang bersifat
fungsionalis, strukturalis, dan pragmatis. Dalam sudut pandang posmoderen, karya
seni tidak dapat dilepaskan dari isu sosial dan politik serta menentang pemilahan
antara seni yang memiliki legitimasi dengan budaya populer. Dalam hal ini, maka
Menurut teori dekonstruksi yang didasarkan pada pandangan teori konflik,
kajian realitas sosial telah dijabarkan oleh Derrida dan Habermas dalam kajian
dekonstruksi sosial. Kajian dekonstruksi sosial menempatkan konstruksi sosial
sebagai obyek yang didekonstruksi. Lebih lanjut, Bungin (2007a) menjelaskan
pandangan Karl Heinrich Marx (1818-1883) tentang realitas kehidupan sosial budaya
masyarakat ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas (sesuai dengan pandangan
teori konflik).
Dalam pengkajian teks (bahasa), terutama terhadap karya sastra, dekonstruksi
dilakukan dengan cara memfokuskan permasalahan di dalam teks, memahami makna
jelas di dalam teks, mencari pernyataan yang saling berlawanan (oposisi biner), dan
membiarkan teks tersebut membentuk makna-makna yang disembunyikan oleh
penulisnya. Hal tersebut merupakan akibat dari pembentukan pernyataan-pernyataan
yang sebelumnya saling bertentangan; yang mana pada dasarnya mengandung
penundaan makna.
Jika dibandingkan dengan sudut pandang Strukturalisme yang diperkenalkan
oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), maka makna (petanda) selalu dihasilkan
berdasarkan adanya penanda; di mana makna merupakan hasil artikulasi dari
lambang-lambang. Eagleton (1984) menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat patriarkis berfungsi untuk memberikan kedudukan
yang lebih utama terhadap kaum laki-laki; yang mana dengan sendirinya memberikan
demikian, maka laki-laki di sini merupakan prinsip utama, sedangkan perempuan
merupakan prinsip kedua (subordinat).
Konsep oposisi biner versi Strukturalisme menunjukkan keterkaitan hubungan
antara signifiant (penanda atau bunyi) dan signifie (petanda atau konsep); langue
(bahasa atau sistem yang dimiliki bersama) dan parole (ucapan, realisasi individual).
Salah satu kekurangan dalam pendekatan Strukturalisme adalah adanya
konsep-konsep dikotomis yang mengandung ketidakstabilan makna dan bersifat kabur. Lebih
lanjut, Lechte (2001) menjelaskan bahwa teori Saussurean dan teori linguistik
Strukturalis kemudian disempurnakan oleh kelompok postrukturalis dengan
penyertaan konsep Differance atau penundaan makna, yang diperkenalkan oleh
Derrida pada tahun 1968.
2.3 Konsep
Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam
penelitian, antara lain: (1) Representasi, (2) Byronic Hero, dan (3) Postrukturalisme.
2.3.1 Representasi
Representasi secara harafiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi
kultural tempat dikonstruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial. Representasi
berfungsi mengubah obyek kebudayaan menjadi obyek kultural. Istilah tertua dari
representasi adalah mimesis, yakni suatu konsep hasil debat antara Plato dan
pikiran, tingkah laku, dan berbagai perwujudan aktivitas kultural. Maka dapat
disimpulkan bahwa dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya..
Representasi merupakan salah satu fokus permasalahan yang sangat penting
dalam teori-teori postruktural. Representasi memberi makna khusus pada tanda
terhadap proses dan hasilnya. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak
diberi bentuk konkritnya (Sardar, van Loon, 2001). Lebih lanjut, Perbedaan antara
representasi dengan teks dijabarkan, sebagai berikut:
Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda dan lambang, yang secara definitif berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti obyek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis. Menurut Hutcheon (2004: 4), semua bentuk representasi, baik literal, visual, dan aural, maupun kultural pada umumnya, baik budaya tinggi maupun budaya masaa, didasarkan atas pesan ideologi tertentu sehingga tidak mungkin lepas dari masalah sosial politis (Ratna, 2008: 123).
Berdasarkan keterangan di atas, maka novel Mary Shelley Frankenstein
diketahui sebagai produk kreatif pengarangnya, yang dapat dikonstruksi secara sosial
dengan penggunaan bahasa sebagai medianya. Sehingga dapat dikatakan bahwa teks
dalam novel berkaitan erat dengan makna dan representasi. Ratna (2008: 125)
menjelaskan bahwa di dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui
narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer yang lain; yang secara
2.3.2 Byronic Hero
Istilah Byronic Hero pertama kali dipopulerkan oleh Lord Byron (1788-1824)
dalam karya-karyanya pada era Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya
(romantic movement). Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Byronic
Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks dan banyak mengalami
perubahan suasana hati (mood), juga cenderung kontroversial. Dalam realisasinya,
tokoh Byronic banyak digambarkan pengarang sebagai tokoh yang semula dianggap
antagonis, antara lain: setan, vampir, monster, ataupun tokoh kontroversial lainnya;
namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan
perilaku seorang pahlawan.
Ciri tokoh Byronic sangat khas. Menurut Thorslev Jr. (1962: 7), Tokoh ini
sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya
dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga sebagai
‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa
cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menggunakan konsep Byronic
Hero untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang digambarkan oleh penokohan Victor
Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Penelitian akan menjelaskan
tentang hal apa saja kah yang melatarbelakangi perilaku tersebut, hal apa sajakah
yang menjadi motivasi perilaku tersebut, dan bagaimana kah perilaku tersebut
2.3.3 Postrukturalisme
Kemunculan aliran Postrukruralisme merupakan reaksi penyempurnaan
sekaligus penentangan terhadap aliran Strukturalisme. Aliran tersebut dipopulerkan
Jacques Derrida pada awal abad ke-20 (1980an) di Perancis dan Amerika.
Postrukturalisme merupakan sebuah aliran yang sangat berkembang dan mutakhir,
terutama dalam kajian sastra dan kritik sastra. Menurut pandangan Derrida,
kekurangan pendekatan Strukturalisme (linguistik) terletak pada pengandalan
anggapan-anggapan (pre-supposition) yang tidak pernah dipertanyakan lagi, dan
menggunakan konteks sains terlalu sempit. Derrida menentang hal tersebut dengan
konsepsinya mengenai desain sebagai suatu penyingkapan (design as a closure), yang
dilakukan dengan dekonstruksi (deconstruction).
Lebih lanjut, kelemahan Strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut:
(a) model analisis Strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap
terlalu kaku sebab semata-mata berdasarkan kepada struktur dan sistem tertentu; (b)
strukturalisme terlalu memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas
otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan pengarang dan pembaca
sebagai subyek manusianya; (c) hasil analisis Strukturalisme seolah-oleh difungsikan
untuk karya sastra itu sendiri (intrinsik), bukan untuk kepentingan masyarakat secara
luas (ekstrinsik).
24
kemudian direvisi oleh Postrukturalisme, yang mana mengakibatkan pergeseran
estetika produksi ke arah estetika konsumsi: yakni menyamakan letak penerima
(pembaca) sebagai pencipta (pengarang). Postrukturalisme menganggap bahwa
makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan melalui partisipasi
aktif. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna tekstual berkaitan
erat dengan konteks.
Postrukturalisme beranggapan bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas obyektif belaka, melainkan terpisah sifatnya dari subyek
sebagai penyampai pernyataan. Subyek di sini diartikan sebagai faktor sentral dalam
kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu,
Postrukturalisme meletakkan dekonstruksi sebagai elemen yang sangat penting dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian
Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis
konten (isi). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak
ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada dalam komunikasi itu terbaca
dalam interaksi sosial; dan bagaimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh
peneliti. Oleh karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan
mampu untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang
terbaca oleh orang pada umumnya (Bungin, 2007a: 158). Penelitian sosial yang
menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan antara lain: untuk
menggambarkan berbagai kondisi dan situasi serta realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menggambarkan realitas
tersebut sebagai gambaran tentang kondisi, situasi, atau realitas tertentu.
Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam
sastra antara lain: