BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.3.2 Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dan terlebih dahulu dikumpulkan oleh orang luar penyelidik, walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya data asli (Surachmad, 1990: 163). Dengan demikian, maka data sekunder yang digunakan peneliti dalam menganalisis data primer antara lain berupa analisis sumber dari internet dan buku-buku yang dapat dijadikan sebagai acuan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan format desain deskriptif-kualitatif yang didasari oleh Filsafat Fenomenologisme. Fenomenologi adalah tataran berpikir secara filosofis terhadap obyek yang diteliti dengan cara menekankan pada peran pemahaman terhadap makna. Hal tersebut dapat dimaklumi dikarenakan manusia adalah makhluk simbolik yang menggunakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi. Menurut Endraswara (2008), dalam penelitian sastra, Fenomenologi menghendaki kesadaran peneliti untuk masuk ke dalam teks, bukan mendorong keterlibatan subjektif murni. Otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki peranan penting, dan penafsiran teks disesuaikan dengan situasi kesejarahan penafsir. Sebuah karya sastra hadir bukan sebagai sebuah produk akhir dan bukan menyajikan makna yang sudah selesai.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan cara (1) membaca novel Mary Shelley Frankenstein secara cermat dan berulang-ulang; (2)
menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar, diterjemahkan, dan dibagi ke dalam unit-unit kecil sesuai klasifikasinya; (3) pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara mengabaikan data-data yang kurang relevan.
Menurut Bungin (2007a), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data.
Observasi sebagai metode penelitian kualitatif merupakan suatu pengamatan dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya. Oleh sebab itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuannya melalui hasil kerja panca indra mata, serta dibantu oleh panca indra lainnya.
Terhadap hal di atas, khususnya terkait teknik pengumpulan data dan teknik analisis data kualitatif Bungin (2007a: 78) menjelaskan, sbb:
Pada dasarnya, metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sekaligus juga adalah metode analisis data, dengan kata lain prosedur metodis sekaligus juga adalah strategi analisis data itu sendiri, sehingga proses pengumpulan data juga sekaligus adalah proses analisis data. Dengan demikian, proses pengumpulan data juga adalah proses analisis data, karena itu setelah data dikumpulkan maka sesungguhnya sekaligus peneliti sudah menganalisis datanya.
Sebagai sebuah karya Postrukturalisme, Mary Shelley Frankenstein menggunakan sistem tanda dalam kehidupan bermasyarakat, di mana tanda-tanda
Untuk memahami hal ini, yakni bahasa sebagai sebuah sistem tanda, digunakan tipologi dari tanda-tanda yang digunakan dalam masyarakat.
3.5 Teknik Analisis Data
Strategi analisis data penelitian ini menggunakan strategi analisis konten (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Menurut Endraswara (2008: 160):
“Pada dasarnya, analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup banyak, antara lain meliputi: (a) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (c) nilai filosofis, (d) nilai religius, (e) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Dengan kata lain, peneliti baru memanfaatkann analisis konten apabila hendak mengungkap kandungan nilai tertentu dalam karya sastra.”
Dalam penelitian kualitatif, analisis konten ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi. Pemahaman dasar terhadap kultur di mana komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat (Bungin, 2007a: 158).
Strategi analisis juga menggunakan metode hermeneutika, karena melalui hermeneutika, makna-makna yang tersembunyi dalam teks sastra dapat disingkap dan ditafsirkan. Hal yang lazim dilakukan oleh peneliti hermeneutika sastra adalah membaca teks ‘dari dalam’ tanpa masuk ke dalam teks. Dalam memahami teks,
kerangka kebudayaan dan sejarahnya bersifat diakronis, yang memiliki kesalinghubungan. Dalam pembahasan ekstrinsik, diperoleh makna sosial politik yang melatarbelakangi lahirnya sebuah karya sastra pada zaman tertentu.
Lebih lanjut mengenai hal ini, dijelaskan Endraswara (2008: 90), sebagai berikut:
“Penelitian sastra seyogyanya juga menjurus ke masalah-masalah politik, karena, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks sastra. Bahkan kondisi politik juga sering mempengaruhi kehidupan sastra itu sendiri. Mungkin sekali yang terpantul dalam karya sastra bukan hubungan politik secara detail, melainkan berupa ideologi tertentu. Ideologi itu yang akan menjadi pijaran sebuah karya sastra mengandung kekuasaan tertentu atau tidak”.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sama halnya dengan metode analisis data. Dalam hal ini, peneliti melakukan langkah sebagai berikut:
1. Peneliti melakukan pengelompokan dua unit analisis struktur, yakni unit intrinsik dan unit ekstrinsik. Analisis unit intrinsik meliputi penokohan, alur, tema, dan latar novel Mary Shelley Frankenstein. Sedangkan pada unit ekstrinsik digunakan teori Psikosastra, metode Hermeneutika, pendekatan Arketaipal dan pendekatan Postruktural untuk keperluan menganalisa unsur-unsur psikologis, sosiologis, filosofis, dan politis yang terkandung dalam penokohan Byronic Hero.
2. Peneliti mengidentifikasi dan mengklarifikasi seluruh data secara interpretatif terhadap objek penelitian; yang mana dikaitan dengan konsep representasi Byronic Hero dan konsep Postrukturalisme. Pada tahap tersebut analisis dilakukan secara komprehensif integratif.
3. Peneliti melakukan strategi-strategi bentuk komunikasi nonverbal seperti yang dijelaskan Bungin (dalam Surbakti, 2008) yaitu (a) Proxemic: penggunaan ruang antarpribadi untuk mengkomunikasikan sikap-sikap, (b) Chronemics: penggunaan kecepatan pembicaraan dan lamanya sela dalam percakapan, (c) Kinesic: komunikasi yang meliputi isyarat-isyarat atau gerakan tubuh, (d) Komunikasi paralinguistic: meliputi semua variasi, nada, dan kualitas suara.
Peneliti pada dasarnya menganalisis data dengan langkah-langkah seperti yang dijelaskan oleh Endraswara (2003) yakni (a) Pengelompokan data secara sistematis, (b) menggunakan kriteria untuk klasifikasi setiap unsur data, (c) mengorganisasikan data yang telah diklasifikasikan, dan (d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setiap data ke dalam kerangka sistem yang telah dibuat.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka peneliti menyusun strategi analisis dengan klasifikasi data yang terdiri atas: penokohan, alur, tema, latar, Psikologi Sastra, Hermeneutika, Pendekatan. Arketaipal, dan Pendekatan Postruktural. Setelah diperoleh data, maka kesimpulan kategorisasi, kesimpulan ciri-ciri umum, dalil,
hukum, dan teori dianalisis dengan cara induktif (saling mengacu kembali). Keterangan tersebut digambarkan, sbb:
Kesimpulan Penokohan DATA Kategorisasi Alur
Tema
Kesimpulan Latar DATA Ciri-ciri umum Psikologi Sastra
Hermeneutika
Dalil Pnd, Arketaipal DATA Hukum Pnd. Postruktural
Teori Induktif Analisis DATA
Bagan 1 Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif ( D i m o di f i k a s i d a r i s u m b e r : B u n g i n , 2 0 0 7 a : 1 4 7 )
Keterangan:
: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan. : tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.
3.6 Model Penelitian
Intrinsik Pembaca Ekstrinsik
Penokohan Psikologi Sastra Alur Cerita Hermeneutika Tema Novel Pnd. Arketaipal Latar Pnd.Postruktural
Representasi Byronic Hero dalam Novel
Mary Shelley Frankenstein Karya Mary Shelley
Dekonstruksi
Kesenjangan Diskriminasi Diskriminasi Ketidakadilan Kelas Sosial Ras Manusia Jenis Kelamin Sosial Masyarakat
Karya Sastra
Sebagai Rekonstruksi Sosial Masyarakat
Praksis Emansipatoris Bagi Kehidupan Manusia
Keterangan:
: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan. : tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.
: tanda panah putus-putus satu arah menunjukkan keterbukaan.
Penjelasan Model:
Novel Mary Shelley Frankenstein dibahas menurut konsep pendekatan yang dipelopori oleh Wellek dan Warren (1977), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, alur cerita, tema, dan latar novel, sedangkan pada pendekatan ekstrinsik dikaji melalui Psikologi Sastra, metode Hermeneutika, Pendekatan Arketaipal, dan Pendekatan Postrukturalisme.
Representasi Byronic Hero yang digambarkan Mary Shelley dalam novel Mary Shelley Frankenstein menyoroti sikap pemberontakan mental tokoh-tokohnya terhadap kekakuan sistem sosial masyarakat yang terjadi dalam cerita. Permasalahan tersebut kemudian didekonstruksi dengan konsep Derrida dan konsep Postrukturalisme untuk keperluan pembongkaran makna-makna yang disembunyikan oleh pengarang (hidden meanings) dalam karyanya.
Setelah dilakukan dekonstruksi, dapat diketahui bahwa Byronic Hero adalah representasi kesenjangan kelas sosial masyarakat sebagai akibat dari Revolusi Industri: yakni munculnya masyarakat kelas menengah sebagai kelas masyarakat baru
36
yang menderita dampak kapitalisme, eksploitasi, dan mekanisasi; Byronic Hero adalah representasi diskriminasi ras manusia (rasisme) sebagai dampak dari ekspansi kekuasaan negara barat terhadap negara timur; Byronic Hero menggambarkan diskriminasi jenis kelamin sebagai akibat dari dominasi kaum pria terhadap kaum wanita, yang mana merupakan salah satu gejala umum masyarakat patriarkis tahun 1800an di Eropa; Byronic Hero adalah representasi ketidakadilan sosial kaum yang mendominasi (kaum penguasa) terhadap kaum yang didominasi (kaum yang dikuasai). Dengan kata lain, keseluruhan dari representasi Byronic Hero di sini adalah konstruksi sosial masyarakat barat abad ke-19.
Selanjutnya, konstruksi sosial tersebut didasarkan kepada konsep dekonstruksi sosial Derrida dan Habermas: yakni dengan menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi. Dengan menyingkap negativitas konstruksi sosial masyarakat tersebut, Mary Shelley mengisyaratkan pembacanya untuk melakukan rekonstruksi sosial. Rekonstruksi sosial yang dimaksud adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial masyarakat dengan keadaan yang lebih bersifat humanistis (manusiawi). Dengan mengetahui adanya suatu isyarat untuk melakukan rekonstruksi sosial, maka dapat disimpulkan bahwa melalui karya sastranya, Mary Shelley berusaha untuk menciptakan suatu edukasi publik yang bersifat emansipatoris demi kesejahteraan hidup umat manusia.
BAB IV
GAMBARAN UMUM NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY DAN KONFLIK BATIN VICTOR FRANKENSTEIN
4.1 Pendahuluan
Novel Mary Shelley Frankenstein adalah salah satu bentuk karya sastra Inggris periode Romantik yang digambarkan dalam suasana Gotik (Gothic Romance). Novel tersebut menjadi sangat terkenal dan melegenda, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika, sebagai akibat dari isi ceritanya yang unik, menarik, dan berbeda dibandingkan novel-novel Romantik lainnya. Mary Shelley Frankenstein diketahui banyak menceritakan keadaan yang dirasakan penokohan-penokohannya secara arketaipal; yakni berupa ekspresi-ekspresi dan simbolisasi pencitraan penokohan (perwatakan) yang berkaitan erat dengan psikologi manusia dan pola perilaku manusia dalam berkebudayaan sesuai zamannya, yang mana mengakibatkan perilaku yang ditunjukkan satu penokohan mempengaruhi perilaku penokohan lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mary Shelley Frankenstein sebagai Romansa Gotik dengan penggunaan arketaipal dijelaskan Beville (2009 : 41), sebagai berikut:
Mary Shelley’s Frankenstein is an archetypal example of Gothic fiction and her uncanny monster-figure can be seen as an enacting the quandary of life in the terrifying context of profound non-identity. Steven Bruhm would argue that ‘the volatile status of otherness’, as manifest in Shelley’s novel, will forever haunt theGothic mode, but he also notes that this ‘otherness’ is often framed by a psychoanalitic model of the human psyche that includes a larger social vision full of phobias and prejudices about
Novel Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley merupakan contoh arketaipal dari sebuah fiksi Gotik, dan figur monster anehnya dapat dipandang sebagai peran kebingungan hidup dalam konteks ketakutan yang amat besar dari keadaan tanpa identitas. Steven Bruhm memperdebatkan bahwa ‘status mudah berubah pendirian terhadap orang lain’ sebagai manifestasi dalam novel Shelley, yang mana akan selamanya menghantui mode Gotik, sebaliknya ia berpendapat bahwa ‘kelainan’ tersebut sering dibentuk oleh model psikoanalitik dari kejiwaan manusia yang meliputi visi sosial yang penuh dengan fobia dan prasangka mengenai banyak jenis ‘orang lain’.
Sebagai salah satu ciri pendekatan arketaipal, Victor Frankenstein diposisikan dalam sebuah peran ganda, yakni: sosok malaikat sekaligus iblis. Ia dapat dianggap mewakili sosok malaikat karena mempergunakan ilmu pengetahuan yang dikuasainya untuk tujuan kemanusiaan, sementara di lain sisi ia dianggap mewakili sosok iblis karena menyalahgunakan ilmu pengetahuan tersebut demi pemuasan ambisinya semata.
Terlepas dari penggambaran watak tokoh-tokohnya, tujuan Mary Shelley merancang tema cerita novel tersebut adalah sebagai suatu cara untuk menyadarkan penguasa (pemerintah) agar lebih memperhatikan keberadaan kaum-kaum yang kurang beruntung secara ekonomi dan tidak memperoleh pendidikan layak. Hal tersebut diketahui sebagai salah satu motivasi Shelley untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, William Godwin dalam upaya mengatasi kesenjangan sosial (Coghill, 2000: 2). Selain itu, sebagian besar karya-karya Shelley menyuarakan nafas revolusi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan kebebasan, persamaan kelas, dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tentunya dapat disimak secara jelas
setelah dilakukan dekonstruksi terhadap makna yang disembunyikan dalam karya-karyanya.
4.2 Latar Belakang Penulisan Novel
Untuk memahami makna yang disajikan dalam novel ini, sebelumnya peneliti diharuskan untuk menjabarkan hal-hal yang menjadi latar belakang permasalahan novel tersebut. Mary Shelley lahir pada tahun 1797, yakni ketika pasca Revolusi Perancis, dan terjadinya Revolusi Amerika. Pada saat itu kawasan Negara Eropa merupakan salah satu wilayah yang menolak revolusi, terutama dalam bidang politik, yang mana berlangsung selama kurun waktu 1770–1800. Mary Shelley sendiri berasal dari keluarga radikal, yang mana sangat terkenal di Inggris pada tahun 1800an. Ayahnya, William Godwin (1756-1836), adalah seorang tokoh filsuf ilmu sosial, dan ibunya, Mary Wollstonecraft (1759-1797), adalah seorang tokoh feminis.
Pada saat itu, masyarakat kelas atas Inggris mengkhawatirkan kejadian yang dipicu oleh Revolusi Perancis akan menular ke negaranya. Yang menjadi penyebab fobia tersebut adalah karena perbedaan kelas dalam kehidupan bermasyarakat dirasakan sangat jelas di Inggris dan beberapa dataran Eropa lainnya. Sebagai akibatnya, harapan masyarakat terkait kebebasan, persaudaraan, dan persamaan hak tidak memperoleh tempat yang semestinya. Hal tersebut menimbulkan pemberontakan simbolis dari beberapa pihak yang berpemikiran kontra, yang mana beranggapan bahwa perubahan sudah saatnya dimulai dalam kehidupan
bermasyarakat. Larrissy (2007: 30) menjelaskan bahwa kelompok tersebut membentuk suatu perkumpulan sosial dan akademis yang mengupayakan penghidupan layak bagi seluruh lapisan masyarakat di negaranya masing-masing
Semenjak terjadinya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika pada abad ke-19, kekuasaan monarki Inggris mengalami suatu kegoyahan politik berupa fobia revolusi. Sebagai akibatnya, lembaga sosial-politik dan pemerintah Inggris berusaha untuk mempertahankan kekuasaan monarki negaranya, yakni dengan cara meng-ekspansi kekuasaan yang berbekal alasan pencerahan (Enlightment) ke negara-negara Eropa lainnya. Untuk menguasai wilayah perdagangan laut, Inggris membentuk ekspansi kekuasaan dengan cara bersekutu dengan negara monarki lainnya seperti Prusia, Rusia, dan Austria.
Ekspansi kekuasaan yang dilakukan Inggris dan negara-negara sekutunya tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai reaksi kritis dari dalam negeri. Reaksi-reaksi tersebut tak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga formal, namun juga oleh kaum sastrawan Inggris. Beberapa sastrawan Inggris yang sangat vokal mengkritisi keadaan tersebut adalah Lord Byron dan Percy Bysshe Shelley. Kedua orang ini beranggapan bahwa langkah yang diambil pemerintah Inggris untuk mensejahterakan rakyatnya adalah suatu cara yang keliru dan licik (Larrissy, 2007: 57).
Pencerahan yang dilakukan oleh Inggris dan sekutunya pada akhirnya melahirkan era Revolusi Industri, yakni sebuah eksploitasi teknologi dalam suatu negara. Revolusi Industri tersebut telah mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang signifikan di berbagai negara Eropa. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan era
tersebut adalah didirikannya pabrik-pabrik yang berproduksi massal, dan munculnya suatu kelas masyarakat baru, yakni masyarakat kelas menengah. Keberadaan kelas masyarakat baru tersebut menyebabkan terciptanya lapangan pekerjaan baru, yakni home industry; yang mana sangat meresahkan pemerintah Inggris. Untuk mencegah perkembangan bentuk usaha baru tersebut, pemerintah Inggris menciptakan sistem dagang kapitalisme, yakni melakukan sistem upeti dari hasil keuntungan usaha-usaha tersebut; terutama terhadap pemilik pabrik dan para pemilik tanah. Sebagai akibatnya, terjadi kesenjangan sosial yang sangat nyata terhadap golongan si kaya dan si miskin. Sistem kapitalisme yang didirikan pemerintah Inggris pada hakikatnya difungsikan untuk meredam laten revolusi masyarakatnya. Usaha pencegahan tersebut dilakukan dengan cara penindasan terhadap masyarakat kecil, dan penangkapan terhadap pihak-pihak yang dicurigai berpemikiran liberal. Terkait dengan fobia pemerintah Inggris terhadap pihak yang dicurigai berpemikiran liberal, Botting (2008: 52) menjelaskan bahwa pada dasarnya, mereka yang berpemikiran liberal akan berusaha untuk menciptakan keadaan yang adil bagi masyarakat menengah ke bawah.
Karena diilhami oleh kejadian-kejadian tersebut, Mary Shelley sebagai salah satu sastrawan Romantik Inggris gelombang kedua (The Later Romanticist), berusaha untuk mengungkapkan keprihatinan dan kegerahannya dalam karya-karya sastranya. Shelley banyak menggambarkan keadaan sosial yang dirasakan dan diperhatikannya melalui sindiran-sindiran (satir). Terilhami oleh Lord Byron, Shelley mulai
Mary Shelley Frankenstein adalah salah satu karya Mary Shelley yang paling banyak menggambarkan realitas sosial. Salah satu contoh penggambaran tersebut disuarakan dalam pengalaman penokohan Justine Moritz sebagai pembantu rumah tangga keluarga Frankenstein; yakni tentang penyetaraan hak dan kasih sayang antara pembantu. Tujuan Shelley adalah agar kaum buruh disetarakan haknya sebagai manusia. Contoh lainnya adalah pengasingan, penyitaan, dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh keluarga De Lacey oleh pemerintah Perancis sebagai akibat dari membantu kegiatan dagang keluarga berkebangsaan Turki. Berkaitan dengan hal tersebut, Coghill (2000: 8) menerangkan bahwa Mary Shelley berusaha menyindir kekuasaan pemerintah Inggris abad ke-19 yang bertindak semena-mena.
4.3 Daftar Penokohan
Berikut akan dijabarkan gambaran perwatakn tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
1. Victor Frankenstein
Victor adalah pencipta Sang Monster. Ia digambarkan sebagai dokter muda cerdas, yang terobsesi dalam menciptakan sesosok manusia sempurna melalui serangkaian eksperimen tak lazim. Namun setelah ia berhasil menciptakan makhluk yang merupakan manifestasi dari idenya tersebut, Victor mengalami depresi berat dan diselimuti rasa ketakutan yang teramat sangat. Penyebab utamanya adalah karena makhluk hasil ciptaannya tersebut bukan lah seperti yang
ia harapkan. Semenjak kejadian tersebut, Victor mengalami berbagai macam tragedi sebagai konsekuensi dendam Sang Monster terhadapnya.
2. Sang Monster
Sang Monster merupakan hasil ciptaan Victor Frankenstein ketika ia masih berkuliah di Universitas Ingolstadt. Makhluk ini adalah hasil eksperimen Victor yang terdiri atas potongan-potongan mayat yang dihidupkan kembali. Ia tercipta tanpa nama, dan bersosok buruk rupa. Sebagai akibatnya, ia sering mengalami ketidakdilan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Di lain sisi, Sang Monster digambarkan sebagai individu yang sangat cerdas dan mudah mempelajari sesuatu dengan cepat. Namun dikarenakan ketidakadilan yang selalu dirasakannya, ia memutuskan untuk membalaskan dendam kepada penciptanya.
3. Henry Clerval
Clerval adalah sahabat setia Victor. Ia adalah mahasiswa jurusan bahasa di Universitas Ingolstadt. Henry digambarkan sebagai tokoh periang dan bersahabat. Ia sangat akrab dengan Victor, dan selalu mendampinginya di setiap kegiatan perkuliahan. Karena merasa kurang puas bekerja dengan ayahnya, akhirnya Clerval memutuskan untuk menjadi ilmuwan seperti Victor. Dalam cerita, Clerval terbunuh oleh Sang Monster, sebagai akibat Victor mengingkari janji untuk menciptakan pasangan wanita untuknya.
4. Prof. M. Krempe
Krempe adalah salah satu pengajar ilmu sains dan kedokteran di Universitas Ingolstadt. Ia digambarkan sebagai orang yang bersifat absolut dan positivistik. Krempe selalu menentang teori-teori yang dikuasai oleh Victor, dan menganggap tidak ada ilmu pengetahuan yang sebaik ilmu sains. Atas dasar argumen tersebut lah Victor tertantang untuk menciptakan Sang Monster.
5. Prof. M. Waldman
Waldman adalah salah satu pengajar ilmu kimia di Universitas Ingolstadt. Ia digambarkan sebagai tokoh yang kontroversial dan misterius di kalangan universitas, karena pernah terlibat dalam eksperimen ilegal. Waldman cenderung menggabungkan ilmu filsafat dengan ilmu sains, dan merupakan satu-satunya pengajar yang mendukung ide-ide dan teori-teori Victor dalam menciptakan suatu bentuk kehidupan baru. Dalam cerita, Waldman akhirnya terbunuh oleh gelandangan yang ketakutan saat akan diberikan vaksin cacar.
6. Elizabeth Lavenza
Elizabeth adalah seorang yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Frankenstein ketika masih kecil. Ia dibesarkan keluarga tersebut dengan penuh kasih sayang, dan ditempatkan layaknya sebagai adik dari Victor. Elizabeth digambarkan sebagai wanita periang dan penuh semangat. Berdasarkan wasiat mendiang ibu Victor, akhirnya Elizabeth pun diperistri oleh Victor. Dalam cerita, Elizabeth akhirnya terbunuh oleh Sang Monster tepat pada saat malam pengantinnya.
7. Alphonse Frankenstein
Alphonse adalah ayah Victor. Ia digambarkan sebagai dokter senior yang sangat bersimpati kepada putranya. Alphonse adalah sosok ayah yang teladan. Ia selalu membimbing Victor dan mengajarkannya tentang makna sebuah keluarga. Dalam cerita, Alphonse jatuh sakit sepeninggalan William, adik bungsu Victor. Ia diketahui meninggal mendadak akibat dikejutkan oleh sosok Sang Monster.
8. Caroline Beaufort Frankenstein
Caroline adalah ibu Victor. Sebelumnya ia adalah anak dari teman sejawat Alphonse. Ketika ayahnya meninggal, Caroline dirawat oleh Alphonse, kemudian diperistrinya. Ia digambarkan sebagai tokoh yang sangat keibuan, dan aktif mengikuti kegiatan amal. Dalam cerita, ia diketahui meninggal akibat penyakit demam berdarah ketika Victor masih berusia tujuh belas tahun. Sebelum meninggal, ia sempat berwasiat agar suatu hari nanti Victor memperistri Elizabeth.
9. William Frankenstein