VIII.C. PROPERTI DAN KAWASAN INDUSTRI
Sektor properti merupakan sektor yang bisa berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, peningkatan lapangan kerja dan konsumsi produk‐produk bahan bangunan produksi
nasional dalam jumlah sangat besar serta menciptakan pemenuhan (supply) atas kebutuhan
masyarakat (demand) akan tempat tinggal, tempat usaha, tempat perdagangan barang dan jasa
dan sarana hospitality
Secara keseluruhan perkembangan sektor properti sangat dipengaruhi perkembangan lingkungan
makro yang meliputi perkembangan ekonomi, trend environtment, kebijakan pemerintah, sosial
politik dan preferensi masyarakat. Kecenderungan ke depan untuk berperan serta mengurangi
dampak pemanasan global melalui cara‐cara yang akrab lingkungan menjadi tren ke depan yang
tidak bisa dihindari lagi di sektor properti.
Dari sudut pengembangan fisik, sektor properti terbagi atas dua kategori, yaitu:
1) Landed Houses untuk berbagai segmentasi berdasarkan tingkat harga dan keterjangkauan
(RSH, rumah menengah, atas)
2) Apartemen/rumah susun untuk berbagai segmentasi berdasarkan tingkat harga dan
keterjangkauan (Rusnawa, Rusunami, apartemen menengah atas)
Pengembangan paradigma perumahan mengacu pada UU 4/1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman. UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP 38/2007 tentang Pembagian urusan
Pemerintahan dimana tanggung jawab ada di tangan Pemerintah Daerah. Sehingga Program lebih
berasal dari bottom up dan peran inisisatif serta tanggung jawab perumahan ada pada
Pemerintah Daerah.
Kebutuhan rumah di Indonesia masih besar, dengan back log tahun 2007 sebesar 7,6 juta unit,
kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk 1,5 persen per tahun pada 2008 sebesar 811.700 unit
dan kebutuhan akibat rumah rusak dan renovasi sekitar 3 persen dari seluruh rumah. Gambaran
kebutuhan rumah di Indonesia akibat back log yang dibagi 22 tahun sampai 2030 (345.454 unit)
kebutuhan akibat pertambahan penduduk (811.700 unit) dan pertambahan renovasi (1.121.400
unit). Dengan demikian total kebutuhan rumah adalah sebesar 2.278.554 unit. Dengan asumsi
kebutuhan di perkotaan 52 persen secara nasional kebutuhan rumah perkotaan sebesar
1.184.848 unit. Sementara produksi rumah Nasional selama 2003 – 2007 setiap tahunnya hanya
mencapai 168.792 unit.
1. Permasalahan
Permasalahan umum pada bidang perumahan adalah pada struktur permintaan yang relatif lebih
sangat rendah daya belinya, 75 persen sangat tergantung pada KPR. Struktur biaya masih tinggi
termasuk tingkat suku bunga kredit konstruksi, entry barrier sangat rapuh dan masih banyak yang
kurang professional. Ditambah lagi belum ada sistem informasi pasar, kelemahan infrastruktur
pasar, peraturan yang tumpang tindih dan lain‐lain.
Segmentasi sektor perumahan rendah mengingat daya beli terbatas. Oleh karena itu dibutuhkan
serangkaian dukungan telah diberikan seperti subsidi KPR, bantuan uang muka, subsidi PPN.
program subsidi bunga yang berlaku tahunan padahal dibutuhkan pola multiyears. Permasalahan
lain yaitu kelangkaan listrik dan prosedur perijinan dan sertifikat yang belum mendukung.
Pada perumahan sektor menengah masalah bertumpu pada ketersediaan dana KPR dan tingkat
bunga yang memadai yang sulit turun meskipun tingkat BI Rate sudah rendah bahkan terendah
dalam 10 tahun.
Masalah lain datangnya dari tata ruang, banjir, transportasi dan sinkronisasi masih dialami pada
sektor perumahan pada umumnya. Keterbatasan penawaran pola pembiayaan berbasis sumber
dana jangka panjang yang mendukung pembiayaan pemilikan rumah yang berjangka panjang
serta paradigma yang menyatakan bahwa perumahan merupakan tanggung jawab pemerintah
dan dunia usaha harus diangkat menjadi pola dasar pembangunan perumahan di Indonesia
khususnya mayarakat pekerja menengah kebawah.
2. Dampak kegiatan Sektor Properti
Dampak multiplier dari sebelum kegiatan sektor properti dibangun.terdiri atas dua yaitu:
1) Tenaga kerja pencari proyek
2) Jasa‐jasa terkait pembangunan properti seperti konsultan, pengukuran, pembiayaan, notaris,
akunting, dan lain‐lain.
Dampak multiplier dari selama kegiatan properti dibangun terbagi atas tiga, yaitu:
1) Penyerapan tenaga lerja dalam jumlah sangat besar, baik itu untuk membangun rumah
maupun properti komersial seperti buruh, mandor, ahli spesialis, dan lain‐lain.
2) Konsumsi produk‐produk bahan bangunan produksi dalam negeri dalam jumlah sangat besar
dan mengakibatkan berkembangnya industri bahan bangunan tersebut secara simultan.
3) Jasa‐jasa terkait kegiatan pembangunan seperti UMKM (makanan, sembako, katering) dan
pembiayaan (perputaran dana sendiri, kredit konstruksi, kredit investasi, KPR, dll), konsultan
pembangunan, dan lain‐lain.
Dampak multiplier setelah properti terbangun/tahap operasi terbagi atas dua, yaitu:
1) Jasa jasa penunjang kehidupan seperti restoran, perbankan, business services, laundry,
bengkel, klinik, pendidikan dan lain‐lain yang menimbulkan dampak tenaga kerja yang
berjumlah besar.
2) Pengembangan properti yang menunjang kebutuhan selanjutnya seperti rumah sakit,
sekolah‐sekolah, supermarket, fasilitas olahraga dan lain‐lain yang menimbulkan dampak
tenaga kerja yang berjumlah besar.
4. Harapan Pemangku Kepentingan
Harapan pemangku kepentingan terhadap sektor properti adalah sebagai berikut:
1) Sektor properti menjadi salah satu leading sektor dalam pembengunan mengingat
potensinya yang sangat besar dalam penyediaan lapangan kerja dan serapan produk bahan
bangunan lokal selain memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat pula.
2) Pemerintah memberi dukungan yang kuat untuk mengatasi berbagai kendala, hambatan dan
permasalahan di sektor properti.
3) Masih terdapat image buruk yang melekat di sektor property‐‐seperti daya beli rendag
dapat dihilangkan dengan peningkatan profesionalisme dan pelaksanaan etika kerja yang
nyata serta dukungan permerintah serta masyarakat yang memadai.
5. Tujuan Pengembangan Sektor Properti
Tujuan yang ingin dicapai dari pengembangan sektor properti adalah:
1) Menyediakan kesempatan kerja dan konsumsi produk bahan bangunan produksi industri
bahan bangunan dalam negeri dengan memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas
pendukung kehidupan dan kegiatan perekonomian sehari‐hari. (Hunian, tempat tinggal,
tempat usaha, perdagangan, hospitality)
2) Ikut memberikan konstribusi dalam pertumbuhan perekonomian. Penyediaan lapangan kerja
dean pertumbuhan industri bahan bangunan loka.
3) Menyediakan lingkungan binaan yang memenuhi syarat dan standard sehingga pengguna
dapat menjalankan aktivitasnya dengan efisien, efektif dan akrab lingkungan.
4) Mengembangkan dan menciptakan kontrak sosial yang baru mengenai perumahan segmen
masyarakat berpenghasilan rendah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah
sepenuhnya yang selanjutnya dibantu para pemberi kerja yang akan mengupayakan rumah
bagi pekerjanya sendiri melalui iuran sebagai anggota Jamsostek.
6. Dukungan yang Dibutuhkan
1) Dukungan kebijakanpemerintah yang kondusif serta tidak kontraproduktif untuk
meningkatkan peran sektor properti dan kawasan industri yang berdasarkan kekuatan pasar
2) Dukungan paradigma baru perumahan rakyat (untuk semua segmen masyarakat) yang
mengacu pada peran program, inisiatif dan tanggungjawab pemerintah daerah.
3) Menciptakan image positif dalam rangka sektor properti menjalankan usahanya melalui
peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan.
4) Mengupayakan pola perencanaan program perumahan tidak dalam bentuk target tahunan.
Dengan demikian diperlukan program multi years dalam pola perencanaan program.
5) Mengupayakan kebijakan yang konsisten di semua level pemerintah dan dari daerah hingga
pusat.
6) Meengupayakan kepastian hokum bagi para pemegang hak atas tanah baik dalam
penggunaan secara fisik maupun untuk urusan penjaminan.
7) Segara diperbolehkan kepemilikan asing dan strata title di Indonesia dengan batas hak waktu
kepemilikan 70‐90 tahun dengan segala turunnya termasyk masalah imigrasi guna
memberikan daya tarik masuknya pembeli dan investasi asing.
8) Pembentukan lembaga seperti Central Provident Fund (CPF) Singapore dengan cara
mewajibkan pegawai dulu menjalankan kontribusi tabungan selanjutnya mewajibkan
pembeir kerja sebagai perluasan dari Taperum PNS melalui wadah Jamsostek atau wadah
khusus.
9) Meningkatkan peran Secondary Mortgage Fund (SMF) dalam mengupayakan sumber
pembiayaan jangka panjang.
10) Pembentukan bank khusus di bidang perumahan dan properti
11) Membuat pendanaan alternatif seperti Real Estate Investment Trust yang disesuaikan
dengan standar internasional.
13) Kebijakan pengenaan tariff pajak bumi dan bangunan (PBB) dengan dasar bahwa
pengembang melakukan persediaan rumah bukan untuk digunakan sebagai asset atau
rumah mewah. Persediaan tanah digunakan pengembang untuk menyediakan kebutuhan
rumah bagi masyarakat selain upaya penciptaan lapangan kerja yang seluas‐luasnya bagi
masyarakat.
14) Penerapan PPN 0 persen sampai bangunan dnegan luas 100 m2.
15) Penerbitan peraturan pajak bagi perumahan bersubsidi yang hendak keluar bersamaan
dengan keluarnya keputusan mengenai harga rumah bersubsidi.
16) Pembuatan regulasi yang memungkinkan swasta melakukan pembangkitan dan penyaluran
listrik seperti halnya pengaturan konsesi yang diberlakukan di investasi jalan tol.
17) Pembiayaan jaringan dan gardu agar dikembalikan kepada PLN yang selama ini oleh
pengembang.
18) Diperlukan adanya insentif bagi pengembangan yang menerapkan pembangunan hijau untuk
mengurangi global warming.
C.VIII.c.properti‐ki/14 september 2009