• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.7. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai yang untuk selanjutnya disebut CKPN, adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal.

Estimasi penurunan nilai secara kolektif terhadap kelompok aset keuangan dimaksud didasarkan pada kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut. Jika bank tidak atau kurang memiliki pengalaman kerugian yang spesifik, maka bank juga dapat menggunakan pengalaman peer group atas kelompok aset keuangan yang sebanding.

Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana itu disebut dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Dalam PPAP, menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/148/KEP/DIR tentang Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif, pembentukan cadangan atau penyisihan tersebut dinilai berdasarkan tingkat kolektibilitas dari kredit debitur dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Cadangan Umum PPAP : Kredit Kategori Lancar < 1% 2. Cadangan Khusus PPAP :

a. 5% x Kredit Kategori Dalam Perhatian Khusus

b. 15% x (Kredit Kategori Kurang Lancar – Nilai Agunan) c. 50% x (Kredit Kategori Diragukan – Nilai Agunan) d. 100% x (Kredit Kategori Macet – Nilai Agunan)

Setelah adanya revisi PSAK 50/55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun diganti menjadi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau yang sering disebut dengan istilah CKPN. Dalam CKPN, pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment (penurunan), maka bank itu harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut. Karena hasil evaluasi kredit debitur tersebut didasarkan kepada keputusan masing-masing bank, maka tiap-tiap bank memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dana untuk kreditnya. Walaupun begitu, kebijakan bank itupun tidak boleh melenceng dari beberapa kriteria yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah adanya revisi PSAK 50/55. Adapun ketentuan pengukuran cadangan menurut CKPN berdasarkan PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) Revisi 2008 dibagi menjadi:

1. Individual

Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN Individual dengan menggunakan metode seperti di bawah ini :

a. Discounted Cash Flow: Estimasi arus kas masa akan datang (pembayaran pokok + bunga) yang didiskonto dengan suku bunga

b. Fair Value of Collateral : Dengan memperhitungkan nilai arus kas atas jaminan atau agunan di masa yang akan datang

c. Observable Market Price : Ditentukan dari harga pasar dari kredit tersebut

2. Kolektif

Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN pada kelompok kolektif ini sebagai berikut :

a. Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa akan datang

b. Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya

Dari beberapa metode pengukuran CKPN diatas, maka akan diperoleh besarnya cadangan atau penyisihan dana atas kredit debitur tersebut. Untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP, maka kredit bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.

Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu kredit dari debitur mana saja yang mengalami impairment (penurunan nilai). Setelah itu, maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai).

Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat kita lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru akan membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami impairment.

Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah, karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini, maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya.

2.1.8. Profitabilitas

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan, dalam hal ini perusahaan perbankan, untuk menghasilkan laba. Profitabilitas biasanya diukur menggunakan rasio perbandingan. Rasio yang biasa digunakan untuk mengukur dan membandingkan kinerja

profitabilitas bank adalah ROE (Return On Equity) dan ROA (Return On Asset). Menurut Dendawijaya (2003), ROE merupakan perbandingan antara laba bersih 1 bank dengan modal sendiri. Rasio ini digunakan untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelolah modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. (Almilia, 2005). Sedangkan ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari pengelolaan aset yang dimiliki.

Perlu dicatat disini bahwa dalam penentuan tingkat kesehatan suatu bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Asset dan tidak memasukkan unsur Return On Equity. Hal ini dikarenakan karena bank Indonesia, sebagai Pembina dan pengawas perbankan, lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 2003).

Rasio Profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

ROA

Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang digunakan mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis. Semakin besar Return On Asset (ROA), semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik.

Return On Asset (ROA) dipilih sebagai indikator pengukur kinerja keuangan perbankan karena Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, ROA merupakan salah satu cara perusahaan mengukur profitabilitasnya, semakin meningkat ROA maka perusahaan memiliki laba yang tinggi. Bank Indonesia menyatakan bahwa bank harus memiliki rasio ROA minimal 1,5% jika bank memiliki ROA dibawah 1,5 maka bank dalam bermasalah.

Return On Asset (ROA) merupakan rasio antara laba sebelum pajak terhadap rata-rata total aset. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank (Almilia, 2005). Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang tercantum dalam Surat Edaran BI No. 9/24/DPbS, secara matematis, ROA dirumuskan sebagai berikut:

ROA =

2.1.10. Likuiditas

Likuiditas adalah kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan kepada nasabahnya setiap saat (Mudrajat, 2002: 279) dalam Hetna Darma (2007). Kewajiban yang timbul dari sisi aktiva misalnya penyediaan dana bagi penarikan pinjaman yang disetujui atau penarikan atas kelonggaran tarik pinjaman. Sedangkan

kewajiban yang timbul dari sisi pasiva atau liabilities, misalnya penyediaan dana bagi penarikan tabungan dan simpanan lainnya oleh nasabah. Bank dikatakan likuid bila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya (Mamduh dan Halim2003: 199) dalam Hetna (2008).

Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya pada saat dilakukan penagihan. Rasio likuiditas terdiri dari current ratio, Cash Ratio dan Quick Ratio. Rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Current Ratio

Menurut Husnan (2003), current ratio adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Alasan digunakannya Current Ratio secara luas sebagai ukuran likuiditas karena kemampuannya untuk menggambarkan (Wild, 2008):

1. Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban lancarnya (kewajiban jangka pendek).

2. Kemampuan perusahaan dalam menyangga kerugian.

3. Kemampuan perusahaan untuk menyediakan cadangan dana lancar. Current Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Current Ratio =

2.1.11. Leverage

Leverage atau Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan apabila perusahaan dilikuidasi baik kewajiban jangka panjang maupun kewajiban jangka pendek, suatu perusahaan dapat dikatakan solvable apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutangnya.

DER

DER (Debt to Equity Ratio) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang

dimiliki perusahaan. Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang. Dengan demikian debt to equity ratio dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu hutang. Semakin tinggi beban/ hutang (DER) maka resiko yang ditanggung juga besar. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan investor terhadap perusahaan dan selanjutnya akan mempengaruhi return saham investor tersebut.

DER dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: DER =

Dokumen terkait