SKRIPSI
Analisis Perbandingan Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 50/55 Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia
OLEH Mahfisyah Putri Isa
110503263
PROGRAM STUDI AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : “Analisis Perbandingan
Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 50/55 Pada
Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia” adalah benar hasil karya
sendiri dan judul yang dimaksud belum pernah dipublikasikan dan diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penelitian Skripsi Program Strata I Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas dan benar apa adanya. Apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.
Medan, 10 Agustus 2015
ABSTRAK
ANALISIS PERBANDINGAN PROFITABILITAS, LIKUIDITAS DAN LEVERAGE SEBELUM DAN SETELAH PENERAPAN PSAK 50/55 PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI
BURSA EFEK INDONESIA
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum penerapan PSAK 50/55 dengan setelah penerapan PSAK 50/55. Sampel dari 31 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 dan 2010, penelitian ini menemukan bahwa terdapat perubahan yang signifikan antara profitabilitas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55. Komponen yang mempengaruhi profitabilitas adalah laba dan rata-rata total aset. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat perubahan yang signifikan antara likuiditas dan leverage
sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55.
ABSTRACT
COMPARATIVE ANALYSIS OF PROF ITABILITY, LIQUIDITY AND LEVERAGE
BEF ORE AND AF TER THE APPLICATION OF PSAK 50/55 ON BANKING
COMPANIES LISTED IN
INDONESIA STOCK EXCHANGE
This study aims to examine whether there is a difference between profitability,
liquidity and leverage before and after the application of PSAK 50/55. With a sample of 31
banking companies listed in Indonesia Stock Exchange during 2009-2010, this study found
that there is significant change between profitability before and after the application of PSAK
50/55. Components that affect the profitability is profit and average total assets. The study
also found that there is no significant change between liquidity and leverage before and after
the application of PSAK 50/55.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tiada henti
dirasakan penulis hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Perbandingan Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK
50/55 Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia“.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapyhkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec., Ak., CA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS., Ak., CPA selaku Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs.
Hotmal Ja’far, M.M., Ak., CA selaku Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Drs. Firman Syarief, M.Si., Ak. Selaku Ketua Program Studi S-1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing saya dan Ibu Dra. Mutia Ismail, M.Si., Ak. Selaku Sekretaris Program Studi S-1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan dosen penguji saya.
4. Bapak Drs. Rustam, M.Si., Ak. selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan saran dalam penulisan dan perbaikan skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Ir. H. Marilsyah dan Ibunda Mangasi Yusliani G. yang selalu memberikan semangat, kasih sayang, dan doa kepada penulis. Untuk adik-adik penulis, Eja, Amal dan Fahim yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian skripsi ini, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Medan, 10 Agustus 2015 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBENTUKAN HIPOTESIS 10 2.1 Tinjauan Teoritis ... 10
2.1.1 Pengertian Perbankan ... 10
2.1.2 Kegiatan Bank ... 10
2.1.3 Kredit ... . 12
2.1.4 PSAK 50/55... ... 17
2.1.5 Dampak Penerapan PSAK 50/55 Terhadap Perbankan ... ... 19
2.1.6 Instrumen Keuangan ... 20
2.1.7 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai ... 22
2.1.8 Profitabilitas ... 26
2.1.9 Likuiditas ... ... 28
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 30
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis ... 32
2.3.1 Kerangka Konseptual ... 32
2.3.2 Hipotesis ... 34
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 36
3.1 Jenis Penelitian ... 36
3.2 Defenisi Operasional Variabel ... 36
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 38
3.4 Jenis Data ... 40
3.5 Metode Pengumpulan Data... 40
3.6 Metode Analisis ... 41
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 43
4.2 Uji Asumsi Normalitas ... 48
4.3 Pengujian Hipotesis ... 50
4.4 Analisis dan Pembahasan Hasil Pengujian ... 53
4.5 Analisis Tambahan ... 55
BAB V : PENUTUP... 57
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31
3.1 Daftar Populasi dan Sampel Penelitian ... 39
4.1 Statistik Deskriptif dari ROA, CR dan DER... 43
4.2 Uji Normalitas... 49
4.3 Hasil Pengujian Statistik Rata-Rata Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 50/55... 50
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman 2.1 Kerangka Konseptual ... 33 4.1 Perhitungan Nilai Krits t dengan Microsoft Excel...
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Populasi dan Sampel Penelitian...………. 61
Lampiran 2 Data Penelitian...………. 63
Lampiran 3 Hasil Output SPSS...……….... 66
Lampiran 4 Common-size...………... 68
ABSTRAK
ANALISIS PERBANDINGAN PROFITABILITAS, LIKUIDITAS DAN LEVERAGE SEBELUM DAN SETELAH PENERAPAN PSAK 50/55 PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI
BURSA EFEK INDONESIA
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum penerapan PSAK 50/55 dengan setelah penerapan PSAK 50/55. Sampel dari 31 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 dan 2010, penelitian ini menemukan bahwa terdapat perubahan yang signifikan antara profitabilitas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55. Komponen yang mempengaruhi profitabilitas adalah laba dan rata-rata total aset. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat perubahan yang signifikan antara likuiditas dan leverage
sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55.
ABSTRACT
COMPARATIVE ANALYSIS OF PROF ITABILITY, LIQUIDITY AND LEVERAGE
BEF ORE AND AF TER THE APPLICATION OF PSAK 50/55 ON BANKING
COMPANIES LISTED IN
INDONESIA STOCK EXCHANGE
This study aims to examine whether there is a difference between profitability,
liquidity and leverage before and after the application of PSAK 50/55. With a sample of 31
banking companies listed in Indonesia Stock Exchange during 2009-2010, this study found
that there is significant change between profitability before and after the application of PSAK
50/55. Components that affect the profitability is profit and average total assets. The study
also found that there is no significant change between liquidity and leverage before and after
the application of PSAK 50/55.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi yang mengacu pada International
Accounting Standard (IAS) 39 mengenai Recognition and Measurement of Financial
Instruments dan IAS 32 mengenai Presentation and Disclosures of Financial Instruments.
PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) diharapkan dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan dan analisis laporan keuangan. Itu juga akan mendorong terciptanya market discipline.
Permasalahan-permasalaan yang bisa timbul akibat berlakunya PSAK No. 50 (revisi
2006) sebagai pengganti PSAK No. 50 (1998) dalam industri perbankan Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama adalah mengenai Penyisihan Kerugian Kredit (Loan-Loss Provisioning) atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Penyisihan kerugian kredit (Loan-Loss Provisioning) adalah penyisihan kerugian atas portfolio kredit dan pendanaannya yang
mengalami penurunan nilai ekonomi. Nilai ekonomi dari portfolio kredit dan pendanaannya dapat naik atau turun disebabkan karena adanya perubahan dengan kualitas kredit yaitu jika
terjadi masalah terhadap itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan debitur untuk melunasi kredit beserta pinjamannya (ability to pay). Penyisihan kerugian ini penting untuk
dilakukan sehingga laporan keuangan bank tersebut mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Selama ini kalau mengacu pada PSAK lama, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) sehingga bank bisa menumpuk cadangan
untuk memoles laporan keuangannya dan melakukan window dressing yaitu merekayasa
laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu.
Namun, dengan diterapkannya PSAK 50&55 (revisi 2006) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) tahun 2008 yang menyesuaikan PSAK tersebut, bank dituntut untuk menentukan CKPN berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi atau
incurred loss.
Adapun CKPN dihitung dari perkalian beberapa komponen, yakni potensi gagal bayar
(potential of default) dikalikan jumlah kredit yang bersangkutan. Komponen lainnya loss given default (LGD) yang merupakan porsi kerugian riil akibat gagal bayar yang benar-benar
tak tertagih, di luar tingkat kembalian tagihan (recovery rate). Potential of default dihitung
dari pengalaman kerugian yang sudah terjadi berdasarkan data historis setiap jenis kredit bank tersebut minimal selama 3 tahun terakhir.
Kesulitan yang dialami bank dalam penentuan CKPN ini adalah tuntutan kepada bank untuk mempunyai data historis mengenai pengalaman kerugian dari setiap jenis kredit bank,
minimal 3 tahun. Bank dituntut untuk mempunyai data mengenai jumlah tingkat kerugian suatu kredit dari setiap nasabah. Dan tentunya untuk mendapatkan data ini, cukup rumit
karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktu yang berbeda.
Kedua, dengan memakai standar baru ini dapat mengurangi sumber pendapatan bunga bank dalam hal:
- Pendapatan provisi dan komisi kredit kini menjadi pengurang dari nilai kredit yang diberikan guna menghitung pendapatan bunga efektif.
- Bunga surat berharga misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak boleh masuk
bank yang banyak menempatkan dananya di luar kredit dengan ciri rasio pinjaman
terhadap dana (LDR)-nya yang relatif kecil.
- Kredit sebagai asset bank digolongkan pada “Loan and Receivables” yang mana valuasinya adalah dengan cara amortizad cost, hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai kredit (dalam hal ini asset bank) akan dipengaruhi oleh proyeksi cashflow dari
asset tersebut, sehingga kredit yang dikenakan bunga dibawah bunga pasar akan terdiskon menjadi lebih kecil dari harga perolehannya (kredit yang dikucurkan).
Ketiga, penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama dan cukup mahal karena harus menggabungkan semua laporan keuangan dalam satu paket. Dari sisi investasi, paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dana sebesar
US$ 1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan berdasarkan PSAK No 50 & 55 (revisi 2006).
Keempat, selain masalah teknologi, Sumber Daya Manusia yang menguasai mengenai PSAK ini juga terbatas, jadi akan menambah masalah bagi perbankan untuk penerapan PSAK
ini. Bank harus menilai sumber daya manusia yang dimiliki dan melakukan training-training secara kontinu agar sumber daya manusia yang tersedia dapat dengan cepat mengadopsi PSAK 55 (revisi 2006). Misalkan untuk menghitung penyisihan kerugian kredit, kaitannya
dengan internal rating model, bank memiliki sumber daya manusia yang mampu menganalisis data-data statistik yang ada.
Beberapa hal di atas itulah yang merupakan alasan mengapa industri perbankan Indonesia mengalami kesulitan menerapkan PSAK No. 50 & 55 (revisi 2006) dan sekarang pun BI telah mengijinkan diperpanjang sampai dengan akhir tahun 2011. Sekalipun
Manfaat dan kelebihan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dengan adanya standar akuntansi Indonesia yang mengacu pada standar Internasional
ini, akan meningkatkan keandalan, keterbandingan dan representative faithfullness.
b. Transparansi terhadap pelaporan keuangan bank yang akan meningkat. Transparansi
ini sangat urgent, mengingat kasus atas jatuhnya raksasa finansial Lehman Brothers saat krisis menghantam tahun 2008 silam yang diindikasi karena adanya aspek akuntansi atas transaksi repo yang wajar karena kurangnya transparansi laporan
keuangan, maka kecurangan-kecurangan akan dapat diminimalisir.
Selain itu, aturan-aturan baru pada PSAK revisian mempersempit kemungkinan adanya
kecurangan. Seperti pada contoh yang dijelaskan di atas, yaitu masalah reklasifikasi dari dan
ke kategori “FVTPL” dari kategori manapun dilarang, untuk menghindari usaha untuk
menaikkan laba. Selain itu, adanya aturan yang tegas mengenai penentuan CKPN akan
mengurangi kesempatan manajemen bank untuk melakukan kecurangan seperti window dressing. Bila dulu bank dapat menumpuk pencadangan besar dengan alasan kehati-hatian,
meski kualitas kredit tidak mengkhawatirkan sehingga laba ikut turun. Tujuannya menghindari pajak atau mengatur ritme kinerja. Namun dengan diberlakukan PSAK revisian
ini, bank tidak bisa lagi melakukan hal itu.
Salah satu contoh pada kasus Bank Mandiri misalnya, dimana setelah di konversi menurut IAS 39, pada tahun 2005 sebelumnya mencatat laba bersih sebesar 603 milyar
rupiah, akhirnya malah menderita kerugian sebesar 1,4 trilyun rupiah. Jika dilihat lebih detil lagi, maka kerugian tersebut diakibatkan karena penyisihan untuk aktiva produktif yang lebih
Untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP, maka kredit bank tersebut tinggal dikalikan saja dengan
persentase dari kolektibilitas kredit tersebut yang sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh BI.
Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit
suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih dahulu kredit dari debitur mana saja yang mengalami impairment (penurunan nilai). Setelah itu,
maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai).
Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka dapat kita
lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya berdasarkan tingkat kolektibilitas
kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru akan membentuk cadangan dana setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut
mengalami impairment.
Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit
tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih terarah, karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit
debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini,
maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit yang akan dialaminya.
yang akan diperoleh akan semakin besar, karena bank-bank akan menghemat uang yang diperlukan untuk membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah. Dengan semakin kecil
CKPN yang di bentuk oleh bank-bank maka profitabilitas akan semakin besar sehingga kinerja bank secara keseluruhan akan menjadi baik.
Dalam terminologi keuangan dan perbankan, likuiditas dapat diartikan sebagai
kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/simpanan oleh deposan/penitip. Dengan kata lain, suatu bank dikatakan likuid apabila memiliki sejumlah
likuiditas sama dengan jumlah kebutuhan likuiditasnya. Likuiditas dapat dipengaruhi oleh kredit bermasalah, karena dengan munculnya kredit bermasalah, kas yang semestinya masuk
dan menambah likuiditas bank tidak terjadi, sehingga mengakibatkan bank tersebut tidak mampu lagi membayar kewajiban jangka pendeknya sehingga bank tersebut berada dalam keadaan illikuid. Apabila bank dalam keadaan illikuid, maka akan mengurangi kesempatan
bank untuk mendapatkan laba (Dahlan Siamat, 2005: 339).
Rasio leverage adalah rasio yang mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Rasio ini
dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang rasio ini menunjukkan indikasi tingkat keamanan dari para pemberi pinjaman (Bank).
Untuk menjamin likuiditas, leverage dan profitabilitas memerlukan langkah-langkah yang harus ditempuh. Sebagai contoh perlunya pertimbangan untuk menentukan calon
debitur atau penentuan syarat pembayaran dan penilaian kredit, sehingga dapat dihindari keterlambatan pelunasan kredit atau macet.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
masalah perbandingan ROA sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada Perbankan di
Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 50/55 Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
- Apakah terdapat perbedaan profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Penulis
Hasil penelitian ini bermanfaat dengan menambah wawasan penulis tentang perbandingan profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum dan setelah penerapan
PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 2. Perusahaan (Bank)
Hasil diharapkan sebagai bahan informasi dan masukan bagi perusahaan tentang
3. Penelitian Selanjutnya
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan inspirasi bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Pengertian Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem
keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.1.2. Kegiatan Bank
Sebagai lembaga keuangan yang berorientasi bisnis, bank juga melakukan berbagai kegiatan, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Sebagai lembaga keuangan, kegiatan
Kemudian menjual uang yang berhasil dihimpun dengan cara menyalurkan kembali
kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.
Dari kegiatan jual beli uang inilah bank akan memperoleh keuntungan, yaitu dari selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman). Di samping itu, kegiatan bank lainnya dalam rangka mendukung kegiatan menghimpun dan menyalurkan
dana adalah memberikan jasa-jasa lainnya. Kegiatan ini ditujukan untuk memperlancar kegiatan menghimpun dan menyaklurkan dana.
Dalam praktiknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis bank tersebut. Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam melakukan kegiatannya, misalnya dilihat dari segi fungsi bank, yaitu antara kegiatan bank umum dengan Bank
Perkreditan Rakyat, jelas memiliki tugas atau kegiatan yang berbeda.
Kegiatan bank umum lebih luas dari Bank Perkreditan Rakyat. Artinya, produk
ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini disebabkan bank umum mempunyai kebebasan untuk menentukan produk dan jasanya. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat
mempunyai keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit.
2.1.3. Kredit
Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Contoh berbentuk tagihan (kredit barang),
misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian mobil. Kredit in berarti nasabah tidak memperoleh uang tetapi mobil, karena bank membayar langsung ke developer dan
nasabah hanya membayar cicilan mobil tersebut setiap bulan. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka telah sepakat sesuai perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit
tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula, dengan masalah sanksi apabila si debitu ingkar
janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Tujuan pemberian kredit juga tidak
akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan.
Dalam praktiknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut:
1. Mencari Keuntungan
Mencari keuntungan merupakan tujuan utama pemberian kredit. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya
administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
Membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana untu investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat
mengembangkan dan memperluaskan usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya kucuran dana dalam
rangka peningkatan pembangunan di berbagai sektor, terutama sektor riil.
Disamping memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit juga memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit yang secara luas tersebut antara lain:
1. Untuk meningkatkan daya guna uang
Maksudnya jika uang hanya disimpan saja dirumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk
menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemudian juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.
2. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayak ke wilayah yang lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh
kredit, maka daerah tersebut akan memperoleh uang tambahan dari daerah lainnya.
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengolah
barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.
4. Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke
wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar. Kredit untuk meningkatkan peredaran barang biasanya untuk kredit perdagangan atau
kredit ekspor.
5. Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan
oleh masyarakat.
6. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apa lagi
bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan. Dengan memperoleh kredit nasabah bergairah untuk dapat memperbesar atau memperluas usahanya.
7. Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan.
8. Untuk meningkatkan hubungan internasional
akan meningkatkan kerja sama di bidang lainnya, sehingga dapat pula tercipta
perdamaian dunia.
Bagi dunia perbankan kredit merupakan unsur utama untuk memperoleh keuntungan. Artinya besarnya laba suatu bank sangatlah dipengaruhi dari jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu periode. Makin banyak kredit yang disalurkan, maka makin
besar pula perolehan laba dari bidang ini.
Dalam praktiknya agar laba bank optimal, maka jumlah kredit yang disalurkan
haruslah sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Manajemen harus menetapkan berapa target kredit yang harus disalurkan setiap periode. Manajemen juga harus memeriksa kualitas kreditnya. Hal ini penting karena kualitas kredit berkaitan dengan
risiko kemacetan suatu kredit yang disalurkan. Artinya makin berkualitas kredit yang diberikan, maka akan memperkecil risiko terhadap kemungkinan kredit tersebut macet.
Untuk menghindari kredit yang disalurkan bermasalah, maka dalam melepas kreditnya pihak perbankan perlu memerhatikan ada dua unsur penting, yaitu:
1. Tingkat perolehan laba
Artinya jumlah laba yang akan diperoleh atas penyaluran kredit dalam suatu periode. Jumlah perolehan laba tersebut harus memenuhi ketentuan yang berlaku apabila ingin
dinilai baik kesehatannya. Perbankan harus menerapkan target yang akan dicapai.
Dalam rangka memenuhi tingkat perolehan laba, perbankan harus memerhatikan
faktor-faktor seperti:
a. Tingkat Return On Asset (ROA)
c. Timing of Return (waktu perolehan laba)
d. Future Prospect (prospek ke depan/ di masa yang akan datang)
Dengan memerhatikan faktor-faktor diatas, maka kesehatan bank dapat diukur sesuai ketentuan tersebut.
2. Tingkat risiko
Artinya tingkat risiko yang akan dihadapi terhadap kemungkinan melesetnya perolehan laba bank dari kredit yang disalurkan. Risiko kredit perlu diperhatikan
mengingat berbagai kondisi yang dapat memengaruhinya, baik ekonomi, hukum, politik atau lainnya penuh dengan ketidakpastian.
2.1.4. PSAK 50/55
PSAK 50 menghasilkan pengungkapan instrumen keuangan yang lebih luas termasuk beberapa pengungkapan kualitatif yang berkaitan dengan risiko keuangan dan
tujuan perusahaan. Perusahaan yang ada di Indonesia wajib untuk mengadopsi penuh dan menerapkannya dalam penyajian dan penyusunan laporan keuangan sehingga pelaporan
keuangan yang disajikan dalam bentuk kuantitatif, dimana informasi yang disajikan didalamnya merupakan sumber utama informasi keuangan yang disampaikan oleh manajemen kepada pihak-pihak di dalam maupun di luar perusahaan sehingga menjadi
titik perhatian.
Tujuan diterbitkan PSAK 50 adalah menentukan prinsip penyajian dan
pengungkapan instrumen keuangan, sebagai liabilitas atau ekuitas, saling hapus aset keuangan dan liabilitas keuangan. Pernyataan ini juga membantu perusahaan mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam aset keuangan, liabilitas keuangan,
kerugian dan keuntungan dan keadaan dimana aset keuangan dan liabilitas keuangan
saling hapus.
PSAK 55 memberikan panduan pada pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dan kontrak untuk membeli item non-keuangan. Antara lain, pada tanggal 1 Januari 2010, perusahaan harus melakukan klasifikasi atas aset dan kewajiban keuangan
yang dimilikinya dan perhitungan metode suku bunga efektif ketika aset atau kewajiban diukur pada biaya perolehan diamortisasi yang diperoleh sebelumnya dan masih bersaldo
pada saat penerapan awal PSAK ini ditentukan berdasarkan arus kas masa depan yang akan diperoleh sejak penerapan awal PSAK ini sampai dengan jatuh tempo instrumen
keuangan tersebut. Selain itu, PSAK ini juga mengubah cara perussahaan dalam mengukur penurunan nilai aset keuangan tergantung pada klasifikasi instrumen keuangan. Karena PSAK ini diterapkan secara prospektif, penerapan awal tidak memiliki
pengaruh atas jumlah yang dilaporkan di tahun 2009, apabila ada kerugian penurunan nilai aset keuangan maka dibebankan ke saldo laba sebagai penyesuaian sehubungan
dengan penerapan awal PSAK 55. Hal tersebut sesuai dengan Buletin Teknis No. 4, Ketentuan Transisi Penerapan Awal PSAK 50 dan PSAK 55. Tujuan diterbitkannya PSAK 55 adalah untuk mengatur prinsip-prinsip dasar pengakuan dan pengukuran aset
keuangan, kewajiban keuangan dan kontrak pembelian atau penjualan item non-keuangan.
2.1.5. Dampak Penerapan PSAK 50/55 Terhadap Perbankan
PSAK 50/55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan merupakan adopsi standar akuntansi keuangan internasional (IFRS).
loss provision. Sebelumnya penghitangan CKPN berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (No.7 /2/PBI/2005 dan perubahannya No.8/2/PBI/2006,
No.9/6/PBI/2007, dan No.11/2/PBI/2009). Didalam peraturan ini ditetapkan kriteria penentuan kualitas kredit (lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet) beserta
persentase pencadangan yang dibutuhkan untuk masing-masing klasifikasi kualitas kredit. Sedangkan berdasarkan pada PSAK 50/55 (revisi 2006) lebih memberikan penekanan pada bukti objektif yang menjadi dasar dari penurunan nilai tersebut dan juga
penekanan bahwa evaluasi akan 8 adanya penurunan tersebut dilakukan pada setiap tanggal neraca. Dimana perhitungan CKPN estimasi dilakukan secara individual dan
kolektif dan membutuhkan data-data probability of default dan kerugian historis minimal 3 tahun kebelakang dan untuk kolektif dibutuhkan data-data kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa
dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut.
Selain berdampak pada penentuan CKPN (loan loss provison), PSAK 50/55 (revisi
2006) juga berdampak terhadap perlakuan investasi efek tertentu terkait dengan masalah reklasifikasi antar instrumen keuangan yang lebih ketat dibandingkan PSAK 50 (1998). PSAK 50 (1998) memperbolehkan perusahaan untuk melakuan reklasifikasi instrumen
keuangannya, dengan mengakui keuntungan atau kerugian. Sedangkan berdasarkan PSAK 50/55 (revisi 2006) perlakuan reklasifikasi antar instrumen keuangan lebih ketat.
Di India seperti juga di Indonesia, Firoz et al. (2011) berdasarkan studi mengenai
dampak penerapan IAS 39 mengenai instrumen keuangan dan IFRS 9 mengenai klasifikasi dan pengukuran instrumen keuangan pada perbankan di India menemukan
bahwa penerapan kedua standar ini akan sangat mempengaruhi industri perbankan terutama dalam klasifikasi financial aset yang lebih ketat dan valuasi pencadangan
penurunan nilai pinjaman, IFRS mengajukan model yang berdasarkan kerugian yang
diekspektasi (expected loss) dan bukan kerugian yang terjadi (incurred loss).
2.1.6. Instrumen Keuangan
Instrumen keuangan ( financial instruments) adalah setiap kontrak yang menambah
nilai aset keuangan ( financial assets) entitas dan liabilitas keuangan ( financial liability) atau instrumen ekuitas (equity instruments) entitas lain. Maka dari itu Instrumen
keuangan dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Aset keuangan merupakan setiap aset yang berbentuk:
i. Kas
ii. Instrumen ekuitas yang diterbitkan oleh entitas lain
iii.Hak kontraktual untuk menerima kas atau aset dan mempertukarkan aset
keuangan.
iv.Kontrak yang mungkin diselesaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas
yangditerbitkan oleh entitas dan merupakan non-derivatif dan derivatif.
b. Kewajiban Keuangan adalah setiap kewajiban yang berupa:
i. Kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau aset keuangan lain dan
ii.Kontrak yang akan mungkin diselesaikan selain dengan mempertukarkansejumlah tertentu kas atau aset keuangan lain dengan
sejumlah tertentu instrumenekuitas yang diterbitkan entitas.
c. Instrumen Ekuitas adalah setiap kontrak yang memberikan hak residual atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan seluruh kewajibannya. Penerbit
instrumen keuangan pada saat pengakuan awal harus mengklasifikasikan instrumen tersebut atau komponen-komponennya sebagai kewajiban keuangan,
aset keuanganatau instrumen ekuitas sesuai substansi perjanjian kontraktual dan definisi kewajiban keuangan,aset keuangan dan instrumen ekuitas.
2.1.7. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai yang untuk selanjutnya disebut CKPN, adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai
kurang dari nilai tercatat awal.
Estimasi penurunan nilai secara kolektif terhadap kelompok aset keuangan
dimaksud didasarkan pada kerugian historis yang pernah dialami aset-aset keuangan yang memiliki karakteristik risiko kredit yang serupa dengan karakteristik risiko kredit kelompok aset keuangan tersebut. Jika bank tidak atau kurang memiliki pengalaman
kerugian yang spesifik, maka bank juga dapat menggunakan pengalaman peer group atas kelompok aset keuangan yang sebanding.
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, pembentukan atau penyisihan dana itu disebut dengan istilah PPAP atau Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Dalam PPAP, menurut Surat Keputusan
Penghapusan Aktiva Produktif, pembentukan cadangan atau penyisihan tersebut dinilai
berdasarkan tingkat kolektibilitas dari kredit debitur dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Cadangan Umum PPAP : Kredit Kategori Lancar < 1% 2. Cadangan Khusus PPAP :
a. 5% x Kredit Kategori Dalam Perhatian Khusus
b. 15% x (Kredit Kategori Kurang Lancar – Nilai Agunan) c. 50% x (Kredit Kategori Diragukan – Nilai Agunan) d. 100% x (Kredit Kategori Macet – Nilai Agunan)
Setelah adanya revisi PSAK 50/55 pada tahun 2006, maka istilah dari PPAP pun
diganti menjadi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atau yang sering disebut dengan istilah CKPN. Dalam CKPN, pembentukan atau penyisihan dana dinilai dari hasil evaluasi kredit debitur yang dilakukan oleh bank. Jika menurut suatu bank terdapat bukti
objektif bahwa kredit dari debitur itu mengalami impairment (penurunan), maka bank itu harus membentuk dana atau cadangan atas kredit tersebut. Karena hasil evaluasi kredit debitur tersebut didasarkan kepada keputusan masing-masing bank, maka tiap-tiap bank
memiliki kebijakan tersendiri dalam membentuk cadangan dana untuk kreditnya. Walaupun begitu, kebijakan bank itupun tidak boleh melenceng dari beberapa kriteria
yang terdapat dalam PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) setelah adanya revisi PSAK 50/55. Adapun ketentuan pengukuran cadangan menurut CKPN berdasarkan PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia) Revisi 2008 dibagi
1. Individual
Setiap bank dapat memilih perhitungan untuk mengukur nilai CKPN
Individual dengan menggunakan metode seperti di bawah ini :
a. Discounted Cash Flow: Estimasi arus kas masa akan datang
(pembayaran pokok + bunga) yang didiskonto dengan suku bunga
b. Fair Value of Collateral : Dengan memperhitungkan nilai arus
kas atas jaminan atau agunan di masa yang akan datang
c. Observable Market Price : Ditentukan dari harga pasar dari kredit tersebut
2. Kolektif
Setiap bank dapat memilih beberapa ketentuan dalam menentukan nilai CKPN
pada kelompok kolektif ini sebagai berikut :
a. Dilihat dari perhitungan arus kas kontraktual kreditur di masa akan datang
b. Dilihat dari perhitungan tingkat kerugian historis dari kredit
debitur setelah dikurangi tingkat pengembalian kreditnya
Dari beberapa metode pengukuran CKPN diatas, maka akan diperoleh besarnya
cadangan atau penyisihan dana atas kredit debitur tersebut. Untuk mengetahui besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana kredit suatu bank berdasarkan perhitungan PPAP,
Sedangkan untuk menentukan besarnya nilai penyisihan atau cadangan dana dari kredit suatu bank berdasarkan perhitungan CKPN, maka kita harus menentukan terlebih
dahulu kredit dari debitur mana saja yang mengalami impairment (penurunan nilai). Setelah itu, maka besarnya nilai cadangan dana kredit itu ditentukan dari selisih antara
nilai tunggakan kredit debitur tersebut sebelum dan sesudah terjadinya impairment (penurunan nilai).
Jika kita bandingkan cara pembentukan dana menurut PPAP dan CKPN, maka
dapat kita lihat bahwa perhitungan PPAP lebih sederhana dibandingkan dengan perhitungan CKPN, karena kita hanya memperhitungkan penyisihan dananya
berdasarkan tingkat kolektibilitas kredit dari debitur tersebut. Sedangkan untuk perhitungan CKPN, kita perlu mengecek satu per satu apakah kredit debitur tersebut mengalami impairment atau tidak. Setelah itu kita baru akan membentuk cadangan dana
setelah terdapat bukti bahwa kredit debitur tersebut mengalami impairment.
Walaupun perhitungan CKPN lebih rumit, tetapi dengan adanya pengecekan kredit tersebut secara satu per satu, maka pengontrolan kredit tersebut pun menjadi lebih
terarah, karena apabila terjadi impairment, maka bank akan segera mencari jalan keluar agar kredit debitur tersebut tidak sampai dapat merugikan bank tersebut. Oleh karena itu,
dengan adanya perhitungan pembentukan atau penyisihan dana kredit berdasarkan perhitungan CKPN ini, maka setidaknya bank dapat mengurangi terjadinya risiko kredit
yang akan dialaminya.
2.1.8. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan, dalam hal ini perusahaan
profitabilitas bank adalah ROE (Return On Equity) dan ROA (Return On Asset). Menurut Dendawijaya (2003), ROE merupakan perbandingan antara laba bersih 1 bank
dengan modal sendiri. Rasio ini digunakan untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelolah modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin
besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. (Almilia, 2005). Sedangkan ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan
pendapatan dari pengelolaan aset yang dimiliki.
Perlu dicatat disini bahwa dalam penentuan tingkat kesehatan suatu bank, Bank
Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Asset dan tidak memasukkan unsur Return On Equity. Hal ini dikarenakan karena bank Indonesia, sebagai Pembina dan pengawas perbankan, lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu
bank yang diukur dengan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 2003).
Rasio Profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
ROA
Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang digunakan
mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis. Semakin besar Return On Asset (ROA), semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan
Return On Asset (ROA) dipilih sebagai indikator pengukur kinerja keuangan
perbankan karena Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang
dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, ROA merupakan salah satu cara perusahaan
mengukur profitabilitasnya, semakin meningkat ROA maka perusahaan memiliki laba yang tinggi. Bank Indonesia menyatakan bahwa bank harus memiliki rasio
ROA minimal 1,5% jika bank memiliki ROA dibawah 1,5 maka bank dalam bermasalah.
Return On Asset (ROA) merupakan rasio antara laba sebelum pajak terhadap
rata-rata total aset. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank (Almilia, 2005). Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang
tercantum dalam Surat Edaran BI No. 9/24/DPbS, secara matematis, ROA dirumuskan sebagai berikut:
ROA =
2.1.10. Likuiditas
Likuiditas adalah kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang
cukup untuk memenuhi semua kewajibannya maupun komitmen yang telah dikeluarkan kepada nasabahnya setiap saat (Mudrajat, 2002: 279) dalam Hetna Darma (2007).
kewajiban yang timbul dari sisi pasiva atau liabilities, misalnya penyediaan dana bagi penarikan tabungan dan simpanan lainnya oleh nasabah. Bank dikatakan likuid bila
mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya (Mamduh dan Halim2003: 199) dalam Hetna (2008).
Rasio likuiditas adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya pada saat dilakukan penagihan. Rasio likuiditas terdiri dari current ratio, Cash Ratio dan Quick Ratio. Rasio likuiditas
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Current Ratio
Menurut Husnan (2003), current ratio adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya.
Alasan digunakannya Current Ratio secara luas sebagai ukuran likuiditas karena kemampuannya untuk menggambarkan (Wild, 2008):
1. Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban lancarnya (kewajiban jangka pendek).
2. Kemampuan perusahaan dalam menyangga kerugian.
3. Kemampuan perusahaan untuk menyediakan cadangan dana lancar. Current Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Current Ratio =
2.1.11. Leverage
Leverage atau Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangan apabila perusahaan dilikuidasi baik kewajiban jangka panjang maupun kewajiban jangka pendek, suatu perusahaan dapat dikatakan solvable apabila
perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutangnya.
DER
DER (Debt to Equity Ratio) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan. Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang. Dengan demikian debt to equity ratio dapat
memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga dapat dilihat risiko tidak tertagihnya suatu hutang. Semakin tinggi beban/ hutang (DER) maka resiko yang ditanggung juga besar. Hal ini akan
mempengaruhi tingkat kepercayaan investor terhadap perusahaan dan selanjutnya akan mempengaruhi return saham investor tersebut.
DER dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
DER =
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berikut disajikan tinjauan hasil penelitian terdahulu untuk mendukung kerangka konseptual penelitian:
Pratama (2014) melakukan penelitian tentang Perbedaan Kualitas Laba Sebelum dan Sesudah Adopsi International Accounting Standards (IAS). Menemukan hasil yaitu tidak terdapat peningkatan kualitas laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di
Anggraita (2012) melakukan penelitian tentang Dampak penerapan PSAK 50/55 (revisi 2006) terhadap manajemen laba diperbankan: Peranan Mekanisme Corporate
Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Menemukan hasil yaitu terjadi penurunan praktik manajemen laba diperbankan setelah penerapan PSAK 50/55 (revisi
2006). Menemukan hasil terjadi penurunan praktik manajemen laba setelah penerapan PSAK 50/55.
Arieftiara (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh PSAK no. 55 (Revisi
2006): Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan, terhadap Earnings Informativeness dan Kemampuan Laba Mendatang. Menemukan hasil bahwa, pertama,
koefisien laba meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu
meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang.
Tabel 2.1.
Audit
Kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan tentang hubungan antarvariabel, yakni variabel bebas dan variabel
terkait yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan (Sugiono, 2007: 47).
Perbandingan antara profitabilitas, likuiditas dan leverage sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 digambarkan sebagai berikut:
PSAK 50/55 PSAK 50/55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian
dan Pengungkapan merupakan adopsi standar akuntansi keuangan internasional (IFRS). Penerapan PSAK revisi ini berdampak signifkan terhadap industri perbankan terutama terkait dengan penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit (CKPN) atau loan
loss provision. Selain berdampak pada penentuan CKPN (loan loss provison), PSAK 50/55 (revisi 2006) juga berdampak terhadap perlakuan investasi efek tertentu terkait
dengan masalah reklasifikasi antar instrumen keuangan yang lebih ketat dibandingkan PSAK 50 (1998). PSAK 50 (1998) memperbolehkan perusahaan untuk melakuan reklasifikasi instrumen keuangannya, dengan mengakui keuntungan atau kerugian.
Sedangkan berdasarkan PSAK 50/55 (revisi 2006) perlakuan reklasifikasi antar instrumen keuangan lebih ketat.
Return On Asset (ROA) dipilih karena Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (2004), kriteria yang
dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) memiliki rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%.
Current Ratio (CR) adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Menurut Munawir (2005:72) Ratio yang paling umum digunakan untuk menganalisis posisi modal kerja suatu
perusahaan adalah current ratio yaitu perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan
Gambar 2.1.
hutang lancar. Ratio ini menunjukkan bahwa nilai kekayaan lancar yang segera dapat
dijadikan uang ada sekian kalinya hutang jangka pendek.
Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki
perusahaan. Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang.
2.3.2. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan apa saja yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahamainya. Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang harus diuji. Hipotesis yang dapat diambil berdasarkan latar belakang,
tinjauan teoritis dan kerangka konseptual adalah:
H1: Terdapat perbedaan yang signifikan antara profitabilitas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.
H2:Terdapat perbedaan yang signifikan antara likuiditas sebelum dan setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Menurut Nazir (2005: 58) dalam Lestari (2013), penelitian komparatif adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawaban
secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu. Penelitian komparatif merupakan penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Pada penelitian ini variabelnya masih mandiri
tetapi untuk sampel yang lebih dari satu atau dalam waktu yang berbeda. Jadi, penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk membandingkan antara dua
kelompok atau lebih dari suatu variabel tertentu.
3.2. Definisi Operasional Variabel
Menurut Tia Mutiara variabel adalah sesuatu yang menjadi fokus perhatian atau pusat
yang memberikan pengaruh dan mempunyai nilai. Hal ini membuat variabel dapat berubah. Variabel dapat disebut juga sebagai peubah. Objek penelitian yang dapat menentukan hasil
penelitian juga merupakan variabel. Operasional variabel adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel yang ditetapkan dalam suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang diteliti secara jelas dapat ditetapkan
indikatornya. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah:
Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva
yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang digunakan mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis. Cara menghitung Return On Assets adalah sebagai berikut:
Current Ratio (CR)
Current Ratio (CR) adalah rasio yang mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Menurut Munawir (2005:72) Ratio
yang paling umum digunakan untuk menganalisis posisi modal kerja suatu perusahaan adalah current ratio yaitu perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan hutang lancar. Ratio ini menunjukkan bahwa nilai kekayaan lancar yang segera dapat dijadikan
uang ada sekian kalinya hutang jangka pendek.
Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage
(penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan. Debt
to Equity Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran
hutang.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Menurut Indrianto dan Soepomo (1997), populasi adalah sekelompok orang, kejadian
atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu. Penelitian ini mengambil objek pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jumlah bank umum di
Metode penentuan sampel dilakukan dengan teknik Purposive Sampling yaitu penentuan sampel berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria yang ditentukan adalah sebagai
berikut:
1. Perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2010.
2. Perusahaan perbankan yang menjalankan usaha Bank Umum Konvensional. Tidak termasuk didalamnya perbankan yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah.
3. Perusahaan perbankan yang melaporkan secara lengkap “Laporan Keuangan” dan
“Annual Report” dari tahun 2009 sampai 2010.
14 Bank Mutiara Tbk √ √ √ Sampel 11
Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang
berfungsi untuk mengetahui jumlah atau besaran dari sebuah objek yang akan diteliti. Data ini bersifat nyata atau dapat diterima oleh panca indera sehingga peneliti harus benar-benar
jeli dan teliti untuk mendapatkan keakuratan data dari objek yang akan diteliti.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain. Penulis menggunakan riset
kepustakaan dengan cara mengumpulkan dan mengolah berbagai buku, literatur, jurnal dan data di internet.
3.6. Metode Analisis
3.6.1. Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi, dari variabel Return on Assets (ROA), Current Ratio (CR), dan Debt to Equity
Ratio (DER).
3.6.2. Uji Normalitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah distribusi sebuah data mengikuti atau
mendekati distribusi normal. Uji normalitas ditujukan untuk mendapatakan kepastian terpenuhinya syarat normalitas yang akan menjamin dapat dipertanggungjawabkannya
langkah-langkah analisis statistik sehingga kesimpulan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan apakah Return On Assets meningkat setelah penerapan PSAK 50/55 pada perusahaan perbankan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Paired-Sample T Test
Uji perbedaan rata-rata dua sampel berpasangan atau uji paired sample t test digunakan untuk menguji ada tidaknya perbedaan mean untuk dua sampel bebas
(independen) yang berpasangan. Adapun yang dimaksud berpasangan adalah data pada sampel kedua merupakan perubahan atau perbedaan dari data sampel pertama atau
dengan kata lain sebuah sampel dengan subjek sama mengalami dua perlakuan.
Analisis didasarkan pada pembandingan antara nilai signifikansi 0,05 di mana
syarat syaratnya adalah sebagai berikut :
a. Jika signifikansi T < 0,05 maka Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan Return On Assets yang signifikan antara sebelum dan sesudah penerapan PSAK
50/55 di Perbankan Indonesia.
b. Jika signifikansi T > 0,05, maka Ho diterima yang berarti tidak terdapat perbedaan Return On Assets yang signifikan antara sebelum dan sesudah
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui deskripsi suatu data yang dilihat
dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi, dari variabel Return on Assets (ROA), Current Ratio (CR), dan Debt to Equity Ratio (DER).
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan. Sampel data studi ini
diperoleh dari perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 - 2010. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat 31 sampel perusahaan perbankan yang
mempublikasikan informasi tentang laporan keuangan tahun 2009 – 2010. Berdasarkan analisis statistik deskriptif diperoleh gambaran sampel sebagai berikut.
Tabel 4.1
4.1.1. Profitabilitas
Profitabilitas dapat diukur dengan Return On Assets (ROA). ROA merupakan rasio
profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada dan setelah biaya-biaya modal (biaya yang
digunakan mendanai aktiva) dikeluarkan dari analisis.
Berdasarkan Tabel 4.1. diketahui nilai ROA terendah sebelum penerapan PSAK 50/55 adalah -9,46 artinya untuk setiap Rp 1 aset yang digunakan, bank mengalami
kerugian sebesar Rp. 0,0946. Bisa juga dikatakan, bank mengalami kerugian 9.46% dari total aset yang digunakan. Nilai tersebut terjadi pada Bank Pundi Indonesia Tbk,
sedangkan nilai ROA terbesar sebelum penerapan PSAK 50/55 adalah 3,37 artinya sertiap Rp. 1 aset yang digunakan, bank mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 0,037. Nilai tersebut terjadi pada Bank Rakyat Indonesia Tbk. Diketahui nilai ROA
terendah setelah penerapan PSAK 50/55 adalah -5,68 artinya setiap Rp. 1 aset yang digunakan, bank mengalami kerugian sebesar Rp. 0,0568. Nilai tersebut terjadi pada
Bank Pundi Indonesia, sedangkan nilai ROA terbesar setelah penerapan PSAK 50/55 adalah 4,64 artinya setiap Rp. 1 aset yang digunakan, bank mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 0.046. Nilai tersebut terjadi pada Bank Rakyat Indonesia Tbk.
Diketahui nilai rata-rata ROA sebelum penerapan PSAK 50/55 bernilai 1,0448, sedangkan nilai rata-rata ROA setelah penerapan PSAK 50/55 bernilai 1,37. Perhatikan,
bahwa terdapat kenaikan nilai ROA setelah penerapan PSAK 50/55. ROA adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi nilai ROA, maka semakin baik perusahaan tersebut,
karena penghasilan laba meningkat. Penerapan PSAK 50/55 secara rata-rata meningkatkan nilai ROA perbankan dibandingkan sebelum penerapan PSAK 50/55. Jika
adalah 1,5, maka perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia masih berada pada kondisi ideal karena memiliki nilai ROA diatas ketentuan BI.
4.1.2. Likuiditas
Likuiditas dapat diukur dengan Current Ratio (CR). CR merupakan rasio yang
mengukur sejauh mana kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Ratio ini menunjukkan bahwa nilai kekayaan lancar yang segera
dapat dijadikan uang ada sekian kalinya hutang jangka pendek.
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui nilai CR terendah sebelum penerapan PSAK 50/55 adalah 0,87 artinya terdapat Rp. 0,87 aset lancar yang tersedia untuk memenuhi
tiap Rp. 1 kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Nilai tersebut terjadi pada Bank Internasional Indonesia Tbk, sedangkan nilai CR terbesar sebelum penerapan PSAK 50/55 adalah 1,24 artinya terdapat Rp. 1,24 aset lancar yang tersedia untuk memenuhi
tiap Rp.1 kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Nilai tersebut terjadi pada Bank Danamon Indonesia Tbk. Diketahui nilai CR terendah setelah penerapan PSAK 50/55 adalah 0,72
artinya terdapat Rp. 0,72 aset lancar yang tersedia untuk memenuhi tiap Rp. 1 kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Nilai tersebut terjadi pada Bank Pundi Indonesia, sedangkan nilai CR terbesar setelah penerapan PSAK 50/55 adalah 1,64 artinya terdapat Rp. 1,64
aset lancar yang tersedia untuk memenuhi tiap Rp 1 kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Nilai tersebut terjadi pada Bank Central Asia Tbk.
Diketahui nilai rata-rata CR sebelum penerapan PSAK 50/55 bernilai 1,0481, sedangkan nilai rata-rata CR setelah penerapan PSAK 50/55 bernilai 1,0832. Perhatikan bahwa terdapat kenaikkan nilai CR, setelah penerapan PSAK 50/55. Penerapan PSAK
sebesar 2.5, maka current ratio perbankan belum dapat dikatakan memuaskan atau dapat dikatakan bahwa bank masih kurang likuid.
4.1.3. Leverage
Leverage dapat diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER). DER merupakan rasio
yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total
shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan.
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui nilai DER terendah sebelum penerapan PSAK
50/55 bernilai -31,53 ini mengindikasikan bahwa setiap Rp.1 pendanaan ekuitas, terdapat Rp. -31,53 pendanaan dari kreditor. Nilai tersebut terjadi pada Bank Pundi Indonesia
Tbk, sedangkan nilai DER terbesar sebelum penerapan PSAK 50/55 bernilai 15,02 nilai ini mengindikasikan bahwa setiap Rp. 1 pendaan ekuitas, terdapat Rp. 15,02 pendanaan dari kreditor. Nilai tersebut terjadi pada Bank Artha Graha Internasional Tbk. Diketahui
nilai DER terendah setelah penerapan PSAK 50/55 bernilai 3,93 nilai ini mengindikasikan bahwa setiap Rp. 2 pendanaan ekuitas, terdapat Rp. 3,93 pendanaan
dari kreditor. Nilai tersebut terjadi pada Bank of India Indonesia, sedangkan nilai DER terbesar setelah penerapan PSAK 50/55 bernilai 15,45 nilai ini mengindikasikan bahwa setiap Rp. 1 pendanaan ekuitas, terdapat Rp. 15,45 pendanaan dari kreditor. Nilai
tersebut terjadi pada Bank Bukopin Tbk.
Diketahui nilai rata-rata DER sebelum penerapan PSAK 50/55 bernilai 8,2410,
sedangkan nilai rata-rata DER setelah penerapan PSAK 50/55 bernilai 9,1729. Perhatikan bahwa terdapat kenaikkan nilai DER, setelah penerapan PSAK 50/55. DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang
ditunjukkan oleh modal sendiri yang digunakan sebagai pembayaran hutang. Penerapan PSAK 50/55 secara rata-rata meningkatkan nilai DER, dibandingkan sebelum penerapan
4.2. Uji Asumsi Normalitas
Dalam uji kesamaan rata-rata dari dua populasi untuk data berpasangan dan saling
berhubungan dengan uji , data dari selisih pasangan pengamatan diasumsikan
berdistribusi normal, dengan rata-rata . Field (2009:326) menyatakan sebagai berikut:
“The sampling distribution is normally distributed. In the dependent t-test this means
that the sampling distribution of the differences between scores should be normal, not the
scores themselves (see section 9.4.3)”.
Sejalan dengan Field, Mann dan Christopher (2011:465) menyatakan sebagai berikut:
“If the sample size is small, then the population of paired differences is normally
distributed”.
Namun ketika ukuran sampel cukup besar, yakni 30, maka populasi tidak harus
berdistribusi normal (Mann dan Christopher, 2011:465). Hal ini karena berdasarkan sifat
teorema limit sentral (central limit theorem). Untuk menguji asumsi normalitas dapat digunakan pendekatan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menguji asumsi normalitas. Dalam
pendekatan uji Kolmogorov-Smirnov, data dari selisih pasangan pengamatan diuji normalitasnya. Hipotesis nol menyatakan data dari selisih pasangan pengamatan
berdistribusi normal, sedangkan hipotesis alternatif menyatakan data dari selisih
pasangan pengamatan tidak berdistribusi normal. Untuk pengambilan keputusan terhadap
hipotesis, dapat dibandingkan antara nilai probabilitas dari uji Kolmogorov-Smirnov dan
tingkat signifikansi yang digunakan . Berikut aturan pengambilan keputusan terhadap
Tabel 4.2.
Normal Parametersa,,b Mean .3252 .0352 .9319
Std. Deviation .80626 .14551 6.78893 Most Extreme
Differences
Absolute .215 .185 .382
Positive .215 .185 .382
Negative -.205 -.150 -.262
Kolmogorov-Smirnov Z 1.195 1.032 2.128
Asymp. Sig. (2-tailed) .115 .237 .000
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Berdasarkan hasil pengujian normalitas pada Tabel 4.2. diketahui nilai Asymp. Sig.
(2-tailed) pada kolom ROA Setelah–Sebelum adalah 0,115 dan pada kolom CR Setelah– Sebelum adalah 0,237. Karena nilai tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi, yakni 0,05 maka disimpulkan bahwa asumsi normalitas dipenuhi. Namun nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada kolom DER Setelah–Sebelum adalah 0,000 yang mana lebih kecil dari tingkat
signifikansi, yakni 0,05. Namun ketika ukuran sampel cukup besar yakni 30, maka
populasi tidak harus berdistribusi normal (Mann dan Christopher, 2011:466). Hal ini karena berdasarkan sifat teorema limit sentral (central limit theorem).
Namun alternatif dari uji lain, ketika asumsi normalitas tidak dipenuhi adalah dengan
menggunakan uji non-parametrik. Suharyadi dan Purwanto (2009:283) menyatakan sebagai berikut:
“Statistika nonparametrik adalah statistik yang tidak memerlukan pembuatan asumsi