• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional

B. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional I.Pengertian Sengketa Internasional I.Pengertian Sengketa Internasional

II. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional

Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori: 49

48

Dedi Supriyadi, Op.cit., hlm. 193. 49

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh- Buku kedua, Sinar

a. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu

apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian sengketa di dalam hukum internasional terbagi menjadi dua, penyelesaian sengketa yang dilakukan secara damai dan penyelesaian sengketa secara kekerasan.

1) Penyelesaian sengketa internasional secara damai

Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional secara damai, diatur dalam:

a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai.

b. Konvensi Den Haag mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai Tahun 1907

c. Piagam PBB

Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara diplomatik dan penyelesaian sengketa secara hukum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menyebutkan macam-macam cara penyelesaian sengketa internasional

secara damai yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa, yaitu:50

a. Perundingan (negotiation)

Negosiasi adalah cara penyelesaian yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan melalui cara ini tanpa adanya publisitas atau perhatian publik. Alasan utama cara ini dipergunakan adalah para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketa dan setiap penyelesaiannya didasarkan kesepakatan atau konsensus para pihak. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi. Cara ini dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa, baik sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu.

50

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,

b. Pencarian fakta (fact-finding)

Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu fakta. Suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun seringkali permasalahan bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Oleh sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Para pihak dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikan melalui metode pecarian fakta yang menimbulkan persengketaan. Pada intinya para pihak mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan perlu untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tapi meminta pihak ketiga yang sifatnya kurang formal. Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang tugasnya terbatas hanya untuk memberikan pernyataan menyangkut kebenaran fakta dan tidak berwenang memberikat suatu putusan.51

51

Cara ini ditempuh manakala cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Melalui cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Negara-negara juga telah membentuk badan-badan penyelidik baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga. c. Jasa-Jasa Baik (Good Offices)

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa ada dua macam, yaitu atas permintaan para pihak dan inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Syarat mutlak yang harus ada yaitu kesepakatan para pihak dalam kedua cara tersebut. Jasa-jasa baik sudah dikenal dalam praktik kenegaraan. jasa-jasa baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihak-pihak swasta.52

52

Peter Behrens, Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations, Fribourg U.P, 1992, hlm. 14, (lihat juga: Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,hlm. 19-22).

d. Mediasi (Mediation)

Mediasi adalah cara penyelesaian melalui pihak ketiga (disebut mediator), yang ikut aktif dalam proses mediasi. Mediator bisa negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau ilmuwan). Biasanya mediator dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya, yang penting adalah kesepakatan para pihak. Mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai pada berakhirnya tugas mediator.53

e. Konsiliasi (Consiliation)

Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara

53

penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau komisi yang dibentuk para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi usulan ini sifatnya tidaklah mengikat, karena diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.54

Penyelesaian sengketa secara damai juga bisa dilakukan melalui pengadilan. Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh: pengadilan permanen internasional adalah Mahkamah Internasional (the International Court of Justice).

54

Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus lebih populer dibandingkan dengan pengadilan permanen, terutama dalam kerangka suatu organisasi ekonomi internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian ekonomi internasional.

f. Arbitrase (Arbitration)

Arbritase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Lembaga arbritase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada lembaga arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan compromis, yaitu penyerahan kepada lembaga arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya muncul (clause compromissoire).55 Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter. Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral. Arbitrator tidak selalu harus ahli hukum, seorang

arbitrator bisa saja yang menguasai bidang-bidang lainnya seperti

55

seorang insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya

arbitrator menetapkan term of reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase. Muatan term of reference harus disepakati oleh para pihak.56

g. Peradilan Internasional

Peradilan internasional yang dimaksud ialah penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan hukum oleh badan peradilan internasional yang dibentuk secara teratur. Peradilan internasional dewasa ini dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional atau oleh badan peradilan lain, Mahkamah Internasional kini merupakan satu-satunya badan peradilan internasional tetap yang dapat digunakan dalam masyarakat internasional. Lembaga peradilan lain dapat melakukan peradilan internasional berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Piagam PBB. Piagam itu menetapkan kedudukan dan wewenang Mahkamah Internasional. Pelaksanaan fungsi Mahkamah Internasional itu selanjutnya diatur dalam Statuta Mahkamah

56 Ibid

Internasional yang merupakan bagian integral dari Piagam tersebut.57

Penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Internasional hanya dapat diminta oleh negara dalam persengketaannya dengan negara lain. Organisasi internasional dan individu tidak dapat berperkara dihadapan Mahkamah Internasional. Yuridiksi Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa hanya terbatas pada sengketa antar negara, namun yuridiksi Mahkamah Internasional dalam hal itu meliputi semua perkara.58

h. Badan-Badan Regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri. Ruang lingkup mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan oleh badan atau organisasi internasional regional ini sedikit banyak bergantung kepada instrumen hukum yang mendasarinya. Instrumen hukum itu sendiri sesungguhnya sangat bergantung kepada sifat atau karakteristik dari organisasi yang bersangkutan. Misal: letak geografis atau letak organisasi tersebut berada, badan-badan kelengkapannya, tugas, dan wewenang organisasi tersebut, termasuk wewenang dalam penyelesaian sengketa internasional. Misal: organisasi internasional

57

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010, hlm. 128.

58

regional yang dibentuk untuk masalah-masalah perdagangan atau ekonomi akan mengatur dan membatasi dirinya antara lain untuk memberi saran penyelesaian sengketa khusus di bidang perdagangan atau ekonomi.

Hadirnya lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional, pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yaitu memberi cara bagaimana seyogyanya sengketa internasional diselesaikan secara damai. Cara-cara tersebut yang diberi landasan hukum, berupa piagam, perjanjian atau konvensi, mengikat negara-negara yang mengikatkan diri terhadapnya. Pengaturan cara-cara damai yang dituangkan dalam instrumen atau perjanjian internasional adalah untuk mencegah atau menghindari negara-negara menggunakan cara-cara kekerasan, militer atau perang sebagai cara penyelesaian sengketa mereka.

2) Penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan

Penyelesaian sengketa internasional secara kekerasan (perang), telah diatur oleh hukum internasional terutama dalam hukum humaniter internasional. Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan diatur dalam:59

59

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, International

a. Konvensi Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;

b. Konvensi Den Haag 1899 mengenai adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Hukum Perang di Laut;

c. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;

d. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Perang;

e. Konvensi Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;

f. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang;

g. Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil di Waktu Perang.

Penggunaan cara-cara kekerasan atau paksaan dalam menyelesaikan suatu sengketa dilarang oleh ketentuan hukum internasional walaupun dimungkinkan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalan kekerasan atau paksaan apabila penyelesaian sengketa secara damai tidak tercapai kesepakatan. Penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan dapat dilakukan melalui:60

60

a. Perang

Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Jadi, dengan berakhirnya perang berarti sengketa telah diselesaikan. Perang dalam kasus Driefontein Consolidated Gold mines v Janson memberikan pernyataan bahwa apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik dimana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan sampai salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh musuhnya.61

Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of force) oleh negara diatur dalam Just War Doctrine

yang dikembangkan antara lain oleh ST Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu just cause. Kekerasan atau perang diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak

61

ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana yang disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri.62

Perkembangan setelah dibentuknya PBB tahun 1945 menunjukkan bahwa pengaturan hak negara menggunakan kekerasan (use of force) merupakan penggabungan dari hukum kebiasaan internasional dan perjanjian internasional karena dalam hukum kebiasaan internasional tidak ada larangan penggunaan kekerasan, sedangkan dalam perjanjian internasional seperti Kellog Briand Pact melarang penggunaan perang. Piagam PBB tidak menggunakan istilah perang (war) tetapi menggunakan istilah penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam pandangan hukum internasional yang seringkali digunakan sebagai istilah dalam praktik negara-negara seperti insiden di perbatasan baik insiden kecil, short war, sampai operasi militer besar-besaran yang dilakukan oleh para pihak bertikai.63

b. Retorsi (Retortion)

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut

62

Idem, hlm. 354. 63

dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilege diplomatik atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea. Demikian banyaknya praktik-praktik mengenai retorsi sehingga tidak mungkin untuk menentukan secara tepat syarat-syarat bahwa tindakan-tindakan itu dibenarkan.

c. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)

Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Bentuk-bentuk dari pembalasan diantaranya: pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, embargo, demonstrasi angkatan laut atau pemboman.64

64

d. Blokade secara Damai (Pacific Blockade)

Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade menaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade. Manfaat nyata penggunaan blokade secara damai adalah tindakan ini merupakan cara tindakan yang jauh dari kekerasan dibandingkan perang dan blokade juga sifatnya fleksibel.65

e. Intervensi (Intervention)

Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah kondisi nyata di negara tersebut. Lauterpacht selengkapnya menyatakan sebagai berikut:66 ...dictatorial interference by a State in the affairs of another State for the purpose of either maintaining or altering the actual condition of things.

65 Ibid 66

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. Menurut Hyde, yang termasuk dalam larangan itu umumnya yang bertentangan dengan kepentingan negara lain, campur tangan itu hampir selalu disertai dengan bentuk atau implikasi tindakan untuk menggangu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan.

Dokumen terkait