• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tentang Intervensi

Menurut Oppenheim Lauterpacht intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.67 Intervensi dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain atau urusan dengan Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan (Humanitarian Intervention) diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas

67

Oppenheim-Lauterpacht, International Law: A Treaties vol 1: Peace, edisi ke-8,

Longmans, 1967, hlm. 305 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum

internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut.68

Sir William Harcout mengemukakan bahwa intervensi merupakan suatu masalah yang lebih dekat kaitannya dengan kebijakan dibandingkan dengan hukum. Intervensi berada jauh di atas dan di luar jangkauan hukum (bila dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dimaksudkan untuk mendapat pengaruh daripadanya) dan merupakan kebijakan tingkat tinggi yang berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan.69

Historicus mengemukakan bahwa intervensi merupakan prosedur yang tinggi dan ringkas yang kadang-kadang bisa menjadi pemicu adanya perbaikan tanpa tersentuh oleh hukum. Namun begitu, harus diakui bahwa dalam kasus intervensi, sebagaimana juga revolusi, intinya adalah ketidaksahan, dan justifikasinya adalah keberhasilan yang dicapainya. Intervensi tidak dibenarkan dan dianggap tidak politis jika mengalami kegagalan.70

Wirjono Prodjodikoro memberi pengertian intervensi yaitu dalam hukum internasional intervensi tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti

68

Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary, Seventh Edition, Book 1, West Group, ST.Paul, Minn, 1999, hlm. 826.

69

William Vernon Harcourt, Letters by Historicus on Some Questions of International Law: Reprinted from “tha times” with considerable addition, dalam Simon Chesterman, Just war or Peace?: Humanitarian Intervention and International Law (New York: Oxford University Press, 2001) hlm. 39, dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember 2013.

70

Simon Chesterman,Idem, hlm.42 , dalam www.uop.com, diakses tanggal 5 Desember

sempit, yaitu suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.71

Intervensi dan prinsip non-intervensi terdapat dalam berbagai dokumen atau instrumen hukum internasional sebagai berikut:72

1. Piagam PBB

Pasal 2 ayat (7) dan 2 ayat (4) Piagam PBB mensyaratkan bahwa organisasi PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik suatu negara kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII Piagam.

2. Rancangan ILC (International Law Commission) mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara 1949

Ketentuan mengenai larangan intervensi ini dapat pula ditemukan dalam Pasal 3 Rancangan Deklarasi mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara yang dibuat oleh komisi hukum internasional pada tahun 1949. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menahan diri mengintervensi ke dalam urusan dalam atau luar negeri negara lain.73

71

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Publik Internasional, PT. Pembimbing Masa,

Jakarta, 1967, hlm.149-150. 72

Huala Adolf, Op.cit., hlm. 37. 73

3. Hasil konferensi Asia Afrika 1955

Larangan intervensi dimuat dalam keputusan akhir konferensi Asia Afrika April 1955 di Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila Bandung.

4. Deklarasi Majelis Umum PBB 1965

Majelis Umum PBB pada tahun 1965 mengeluarkan suatu Deklarasi penting yang melarang intervensi suatu negara terhadap negara lain

yang berjudul ‘Declaration on the inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of Their Independence and Sovereignty.’ Paragraf 1 Deklarasi menyebutkan dengan tegas larangan intervensi baik secara langsung ataupun tidak langsung atau untuk alasan apapun juga, baik pula intervensi terhadap urusan dalam negeri atau pun urusan luar negeri suatu negara.74

5. Deklarasi Majelis Umum PBB 1970

Ketentuan mengenai larangan intervensi juga dapat pula ditemukan dalam Deklarasi Majelis Umum PBB yaitu friendly relations declaration [G.A Res. 2625 (XXV)], yang menyebutkan prinsip bahwa Negara-negara berkewajiban untuk tidak mengintervensi ke dalam masalah-masalah domestik Negara lain.

74

6. Piagam ASEAN 2007

Prinsip non-intervensi ditegaskan dan dijunjung tinggi di antara negara-negara anggota ASEAN. Prinsip ini termuat dalam Preambule, menyebutkan bahwa non-interference ini dipandang sebagai prinsip ASEAN di mana Negara-negara anggota harus menghormatinya. Prinsip larangan campur tangan terhadap urusan-urusan dalam negeri sesama negara anggota ASEAN dituangkan pula ke dalam muatan Pasal 2 Piagam ASEAN yang memuat prinsip-prinsip ASEAN.75

Intervensi menimbulkan perdebatan karena berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum internasional, yaitu Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip non-intervensi.76 Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan berupa suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan diplomatik. Larangan tersebut umumnya adalah campur tangan yang berkaitan dengan kepentingan negara terkait seperti yang dikatakan Hyde serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam kasus Nicaragua v United States of America, campur tangan itu hampir selalu disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan. Menurut Mahkamah Internasional, suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) merupakan campur

75

Idem, hlm. 40. 76

tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistem politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri); dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan (misal: memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut). Segala sesuatu yang tidak termasuk dalam pengertian yang dikemukakan secara tegas ini bukanlah intervensi dalam arti yang dilarang oleh hukum internasional.77

Hukum internasional mengklasifikasikan intervensi dalam 3 (tiga) macam, yang didasarkan atas jangkauan (Scope) dari intervensi tersebut, yaitu:78

a. Intervensi Internal

Intervensi atau campur tangan yang melibatkan negara luar sebagai penyokong atau pendukung suatu pemberontakan, peperangan, atau konflik politik di Negara lain dengan cara yang diktator.

b. Intervensi Eksternal

Intervensi atau campur tangan Negara lain terhadap peperangan atau konflik yang sudah terjadi antara dua Negara atau lebih.

77

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 135-136.

78

c. Intervensi Repraisal

Intervensi atau campur tangan suatu Negara yang dilakukan atas dasar pembalasan (a repraisal) terhadap kerugian yang telah ditimbulkan oleh Negara lain, dengan melakukan perang kecil atau blokade damai. J.G Starke dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Internasional juga menjabarkan 3 (tiga) macam intervensi, yaitu :79

a. Intervensi Intern (Internal Intervention). Contoh Negara A yang mencampuri persengketaan antara pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pihak pemerintah yang sah ataupun pihak pemberontak.

b. Intervensi Ekstern (External Intervention). Contoh Negara A yang ikut campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti ketika Italia melibatkan diri dalam perang dunia kedua dengan memihak Jerman dan melawan Inggris.

c. Intervensi Penghukuman (Punitive Intervention). Bentuk intervensi ini merupakan suatu tindakan pembalasan (repraisal), yang bukan perang, atas kerugian yang diderita oleh Negara lain. Misal: suatu blokade damai yang dilakukan terhadap Negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan atas tindakannya yang merupakan pelanggaran berat traktat.

79

Istilah intervensi juga digunakan oleh beberapa penulis untuk menyatakan intervensi subversif, untuk menunjukkan aktivitas propaganda atau aktivitas lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan maksud untuk menyulut revolusi atau perang saudara di Negara lain, untuk tujuan Negara itu sendiri. Hukum internasional melarang intervensi subversif demikian.80

Salah satu doktrin yang terkenal sehubungan dengan prinsip non intervensi adalah Doktrin Monroe. Doktrin ini bermula dari pesan (message) Presiden Amerika Serikat Monroe kepada Kongres pada 2 Desember 1823. Presiden Monroe dalam pesannya itu menyinggung soal ancaman pendudukan Soviet terhadap Alaska dan ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci (Holy Alliance) Amerika yang berbunyi sebagai berikut :81

We owe it, therefore, to candor, and to the amicable relations existing between the United States and those Europeans, former colonial powers, to declare that we should consider any attempt on their part to extend their system to any portion of this hemisphere as dangerous to our peace and safety.

Doktrin ini mengandung dua arti penting sebagai berikut:82

a. Prinsip non-kolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan untuk menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi Negara Eropa.

80Idem, hlm. 137 81

Parry and grant, dkk., Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana

Publications inc., New York, 1986, hlm. 241. 82D.P. O’Connel, Op.cit., hlm. 306-307.

b. Prinsip Non Intervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap upaya Negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke Benua Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika.

Intervensi dalam keadaan tertentu tidaklah selalu merupakan pelanggaran kemerdekaan atau integritas wilayah Negara lain sebab hukum internasional pun memberikan pengecualian terhadap prinsip tersebut. Pengecualian prinsip intervensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:83

a. Suatu Negara pelindung (protector) telah diberikan hak-hak intervensi (intervention rights) yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh Negara yang meminta perlindungan. Contoh: Perjanjian persahabatan, hubungan bertetangga baik dan kerjasama (the Treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation) yang ditandatangani oleh Uni Soviet dan Afghanistan pada tanggal 5 Desember 1978. Pasal 4 the treaty of friendship, good neighbourliness and cooperation

menetapkan bahwa kedua belah pihak akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindung keamanan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah kedua Negara. Isi ketentuan perjanjian demikian dapat dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap tindakan Uni Soviet ketika menginvasi Afghanistan pada Desember 1979.

83

Gerhard von Glahn, Law Among Nation, Macmillan Publishing Co.,Inc., edisi ke-4,

1981, hlm. 161-162, (lihat dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional,

b. Jika suatu Negara berdasarkan suatu perjanjian dilarang untuk mengintervensi namun ternyata melanggar larangan ini, maka Negara lainnya yang juga adalah pihak/peserta dalam perjanjian tersebut berhak untuk melakukan intervensi.

c. Jika suatu Negara melanggar dengan serius ketentuan-ketentuan dalam hukum kebiasaan yang telah diterima umum, Negara lainnya mempunyai hak untuk mengintervensi Negara tersebut. Jadi, jika pemberontak terus-menerus melanggar hak-hak suatu Negara netral selama terjadinya konflik, maka Negara netral tersebut memiliki hak untuk mengintervensi terhadap Negara pemberontak tersebut.

d. jika warga negaranya diperlakukan semena-mena di luar negeri maka Negara tersebut memiliki hak untuk mengintervensi atas nama warga-warga tersebut, setelah semua cara damai diambil untuk menangani masalah tersebut.

e. Suatu intervensi dapat pula dianggap sah dalam hal tindakan bersama oleh suatu organisasi internasional yang dilakukan atas kesepakatan bersama Negara-negara anggotanya.

f. Suatu intervensi dapat juga sah manakala tindakan tersebut dilakukan atas permintaan yang sungguh-sungguh dan tegas-tegas (genuine and explicit) dari pemerintah yang sah dari suatu Negara (invitational intervention). Intervensi ini cukup banyak dilakukan oleh

Negara-negara besar dewasa ini. Pengiriman tentara Inggris ke Yordania pada tahun yang sama setelah Republik Persatuan Arab melakukan intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Yordania. Tahun 1964, kembali tentara inggris didaratkan di Tanganyika Uganda, dan Kenya atas permintaan masing-masing Negara tersebut untuk meredakan pemberontakan di negeri-negeri tersebut, dan lain-lain. Berikut ini juga yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus terdapat kekecualian pokok dimana menurut hukum internasional suatu Negara berhak melakukan intervensi sah sebagai berikut:84

a. Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

b. Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga-warga Negara di luar yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di pulau Grenada bulan oktober 1983;

c. Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata yang nyata;

d. Dalam urusan-urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya;

84 Ibid

e. Apabila Negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut Negara yang melakukan intervensi, sebagai contoh, apabila Negara pelaku intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.

Hak-hak kekecualian intervensi dilaksanakan dengan syarat Negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga kecuali charter sendiri memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik Negara-negara manapun (lihat Pasal 2 ayat 4).85

Intervensi dapat dikatakan akan selalu bersinggungan dengan kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sebatas sugesti diplomatik, hal ini bukanlah suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada tingkat kedaulatan suatu Negara dalam pelaksanaannya diambil alih oleh Negara lain. Intervensi demikian merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional. Hukum internasional juga membolehkan tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk

85

timbulnya perang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ali Sastroamijojo bahwa intervensi itu dapat dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar Negara yang lazimnya dijalankan pada saat akan meletus peperangan. Jadi intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.86

Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain yang walaupun tidak berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, sebagai berikut :87

That intervention, as a rule, forbidden by international law, which protect the international personality of the state, there is no doubt, on the other hand, there is just a little doubt, that this rule has exception, for there are intervention which take place by right, and there are other which, although they do not take place by right, are nevertheless permited by international law.

Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, di samping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik, juga harus mendapat ijin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Suatu intervensi harus mendapat ijin dari PBB melalui Dewan Keamanan. Ijin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan

86

Ali Sastroamidjoyo, Op.cit., hlm. 191. 87

Oppenheim Lauterpacht, International Law and Treaties, Longmans, London, 1952, hlm. 137.

tindakan intervensi dan intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut. Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi yang mana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi sehingga dapat disimpulkan bahwa di bawah naungan PBB, suatu intervensi dikategorikan sebagai tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian dan merupakan suatu agresi.88

Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk memaksa Negara lain menepati kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat dengan Negara yang menjalankan intervensi. Blokade dalam waktu damai sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah dilakukan tetapi menemui jalan buntu. Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau kekerasan. Sifat inilah yang membedakan intervensi dengan tindakan campur tangan lainnya. Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga mencakup tindakan-tindakan militer. Larangan seperti ini juga ditemukan

88

dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini dengan sejauh mungkin menghindari friksi atau pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.89

Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam Pasal 39. Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam Pasal 2 (4) tidak absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu Negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. 90

89

Eka Putra, Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, dalam

www.hukumit.blogspot.com, diakses tanggal 10 November 2013. 90

Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.

BAB III

Dokumen terkait