• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan masa lalu

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 30-42)

Manusia sejak lama telah mencatat apa yang dialaminya dalam berbagai bahasa dan huruf, dan ini menjadi bukti terkuat dari

jejak sejarah manusia itu sendiri. Mengenai sejak kapan manusia sadar akan dirinya dan berusaha mencatat apa yang dialaminya, tentu saja sejak manusia mampu menemukan huruf-huruf yang mewakili bahasa mereka, menggunakan, serta melestarikannya sebagai budaya warisan masa itu.

Bahasa diibaratkan kotak penyimpanan bagi semua yang manusia upayakan sekaligus sarana untuk mengekspresikan isi pikiran manusia. Dengan bahasa, manusia menyampaikan berbagai macam ide. Bahasa manusia berkembang dan hal ini pula yang menandai bahwa kita, manusia, berbeda dengan makhluk lain yang cenderung statis dalam olah vokalnya, seperti burung, monyet, atau mamalia lainnya; hal ini terlepas dari perkembangan penelitian mutakhir, bahwa studi atas bebunyian pada mamalia seperti paus, lumba-lumba, bonobo, atau juga burung kakaktua, menyatakan bahwa di balik suara-suara yang mereka buat ada pola bahasa tertentu yang mereka gunakan. Faktanya, olah vokal hewan cenderung statis, berulang-ulang, dan telah bergenerasi-generasi dengan perkembangan yang tak cukup berarti. Hal ini berbeda dengan manusia yang terus berkembang dengan pesat dalam bahasa, simbol, kreasi, dan ekspresi.

Bahasa dan eskpresi manusia seringkali berkelindan erat. Catatan dan iman, bacaan dan agama, penulisan dan kesalehan, teologi dan sejarah, kesemuanya bertaut dan bercampur baur. Namun begitu, fakta ini menjadi faktor pendukung yang menjadi- kan catatan-catatan di masa lalu dapat bertahan, terbaca, dan terjaga hingga berabad-abad selanjutnya. Pada zaman Mesir Kuno, catatan dan pengetahuan didominasi oleh para pendeta. Begitu juga pada kebudayaan lain seperti Sumeria dan Babilonia. Kependetaan dan pendidikan sangat erat hubungannya. Istilah sistem aksara Mesir Kuno Hieorglyph berasal dari bahasa Yunani. Hieros berarti suci, sakral, dan tinggi. Sedangkan glyph berarti tulisan. Singkatnya,

Hieroglyph adalah tulisan suci yang mengandung unsur ketuhanan, langit, dan dihormati. Orang Mesir menyebut aksara Hieroglyph

sebagai kata-kata tuhan. Di Mesir Kuno, bahkan, ada tuhan khusus sang penguasa pengetahuan (termasuk di dalamnya tulisan) yang disebut hoth, sedangkan tuhan perempuannya (dewi) disebut Sesyat (Rose-Marie and Hagen 2002, 68).

Sekira 4000 atau 3000 tahun kemudian, “membaca” menjadi kunci utama wahyu dalam Islam. Perintah “membaca” pada surat

yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad dirangkai dengan nama Tuhan (Q. Al-’Alaq 96), “...iqra’ bi ismi rabbika al- ladhi khalaq...” (Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan). Selama ribuan tahun, membaca dan menulis, baik sejak era Mesir Kuno hingga Islam, tetap menempati posisi yang suci, tempat para tuhan; dan pada tradisi empat ribu tahun lebih muda tulisan dan bacaan adalah sebagai “rumah singgah” bagi wahyu Tuhan untuk disebarluaskan di muka bumi.

Kitab Suci yang diimani dan disakralkan oleh umat beragama hingga kini merupakan catatan manusia yang disalin dan diter- jemahkan secara terus-menerus; inilah peninggalan kebudayaan kuno, yaitu catat-mencatat, yang hingga kini masih menjadi kegiatan manusia. Dahulu kala itu merupakan sakral, ritualis, dan imani. Kitab-Kitab Suci paling banyak diimani penduduk dunia dan bertahan berabad-abad lamanya berasal dari dan berakar pada budaya Semitik, yaitu tradisi Israel Kuno yang berkembang di sekitar Jazirah Arab dan sekitarnya (mencakup tanah kuno Levant atau lebih dikenal dengan istilah Fertile Crescent, yaitu tanah subur bulan sabit). Fertile Crescent adalah tanah terkuno yang menjadi cikal bakal kota dan wilayah paling awal yang pernah dibangun manusia, yaitu Mesopotamia. Disebut Mesopotamia karena dialiri dua sungai Tigris dan Eufrat (terletak di Irak saat ini). Sekalipun Mesopotamia mulai dibangun sekira 3000 SM, namun kawasan subur ini telah dihuni manusia sejak 6000 SM dan mereka menggarap air yang ada di rawa-rawa. Mesopotamia memiliki kota- kota kuno, antara lain: Babilonia di selatan, Akkad di tengah, dan Assyria di utara. Kota-kota kuno lain di Mesopotamia di antaranya: Ur, Uruk, Assur, dan Ninive (Wiltshire 2005, 8).

Tentu saja narasi-narasi Kitab Suci budaya Semitik melibatkan budaya kuno lain semisal Mesir dan juga budaya yang lebih muda yang lahir di tanah Arab. Peninggalan dari tradisi kuno yang bertahan ini adalah catatan bergenerasi-generasi, kerajaan ke kerajaan, peradaban ke peradaban, berupa Perjanjian Lama, dan menjadi bagian penting dalam pengalaman serta perjalanan bangsa Israel Kuno yang kurang lebih berusia 3000 tahun lebih. Catatan tentang pengalaman perjalanan keagamaan, spiritual, dan kisah manusia yang disalin dalam berbagai bahasa dan tradisi masih banyak didaras, diberi makna, dan diteliti hingga kini.

Perjanjian Baru yang berisi perjalanan tentang iman Kristiani terutama terfokus pada Yesus (dalam bahasa Arab Isa) dan kurang lebih berusia 2000 tahun. Al-Qur’an sendiri, yang termuda dari tradisi Yahudi dan Kristiani, telah berusia 1500 tahun dan hingga kini masih mempertahankan dua tradisi tersebut dengan cara menyesuaikan (kontekstualisasi) narasi-narasi Israel dan Biblikal untuk dibawa dalam ranah Arab pada kondisi abad tujuh Masehi (abad satu Hijriyah), di mana bacaan itu pertama kali diwahyukan, didaras dan lalu disebarkan.

Dalam tradisi spiritualitas lain di India, yang masih bertahan hingga kini adalah Veda (pengetahuan suci/sakral) dan berusia kurang lebih 3000-3500 tahun lebih tua dari masa sekarang (berasal dari sekitar 1200-1500 SM dan 1700-2000 tahun lebih tua dari Islam). Hampir seusia dengan Veda adalah Perjanjian Lama; Veda berasal dari India sedangkan Perjanjian Lama dari bangsa Isarel. Keduanya sama-sama tuanya, tetapi berlainan tradisi, tidak saling memuat dan tidak bersinggungan. Isinya Kitab Suci tak terkait, dan tak bertemu di masa itu. Warisan kuno Veda memuat simbol, himne doa-doa, komentar, etika, mantra, seremoni, dan pengorbanan (terbagi dalam masing-masing judul

Rigveda, Yayurveda, Atharwaveda, dan Samaveda, biasa disebut

Samhita). Veda memuat pujian terhadap Tuhan-Tuhan, seperti: Indra (terkait perang), Varuna (pengatur kosmos), Agni (terhadap api), Soma (terkait tanaman dan jus), Ashvin (terkait kesuburan), Vayu (terkait angin), dan Rudra (terkait dengan kekuatan liar), dan Vishnu (dekat dengan peran Indra tentang kehancuran) (Knipe 1993, 738–742).

Masa Veda ini kemudian diikuti dengan masa Epos, yaitu cerita yang sangat popular hingga kini di Indonesia, yang gubahannya banyak ditulis sejak zaman Mataram Kuno di Jawa Tengah hingga Majapahit di Jawa Timur. Yaitu Mahabarata dan

Ramayana yang dimulai sejak 400 SM (Knipe 1993, 754–759);

sekitar 1000 tahun sebelum al-Qur’an diwahyukan, kisah tragedi, kepahlawanan, perjalanan manusia Mahabarata, kisah cinta dan patriotisme Ramayana sudah disusun. Kedua Epos hingga kini masih terus diceritakan di pagelaran wayang dan TV-TV di Indonesia. Sumber-sumber Epos sangat tua dengan komposisi beragam dan berkat pengayaan yang telah bergenerasi-generasi,

dari sejak 400 SM hingga 400 M (kurang lebih dalam rentang 1 millenium lamanya).

Namun, cerita bertradisi India bukanlah tradisi Semitik, dan cerita-cerita di dalamnya tidak pula termaktub dalam Kitab Suci bertradisi Semitik. Sebaliknya, kisah India itu tidak pula memuat kisah nabi-nabi Biblikal dan Qur’ani. Namun, narasi keduanya (sebagaimana juga perjalanan para nabi Bibilikal, orang bijak Israel, raja-rajanya, yang masih diteruskan tradisi termuda Islam) juga mengajarkan tentang etika, filsafat, dan esoterisme (semacam sufisme, yaitu kesalehan dan asketisme). Cerita sekaligus ajaran suci spiritualitas makna dari kisah-kisah tadi. Dan hingga kini kisah tradisi India masih popular dalam pewayangan di Jawa dan Bali. Yang jelas, sebagaimana juga kisah-kisah Biblikal dan Qur’ani, kisah dalam epos India itu tidaklah bertujuan historis, kejadian apa adanya bukanlah tujuan utama dalam pengkisahan, tetapi moral dan pelajaran bagi umat beragama yang menjadi tujuan dalam mendaras Kitab Suci. Mungkin sebagian ajaran merupakan sindiran terhadap kejadian sebenarnya, yang mungkin pernah terjadi, tetapi hal itu bermakna sebagai pelajaran hidup, bukan untuk tujuan menceritakan apa yang terjadi, atau yang benar-benar terjadi. Yang jelas, kisah-kisah tragis, pilu, kekalahan dan kemenangan dalam

Mahabarata dan Ramayana telah mendefinisikan siapa sebenarnya manusia, apa itu semesta, dimana Tuhan, dan bagaimana relasi ketiganya. Kisah itu dinikmati untuk refleksi manusia hingga masa kini.

Masih dalam naungan tradisi India adalah tokoh Siddhartha Gautama (563-483 SM, 1000 tahun sebelum Islam) yang telah mencari dan mencapai pencerahan dan mengajarkan tentang penderitaan dan kebahagiaan kepada manusia setelahnya. Menurut ajaran Gautama, hidup manusia saat ini berhubungan dengan kehidupan sebelumnya (samsara). Kehidupan mempunyai jiwa keabadian (atman) yang mengikuti kelahiran kembali. Tradisi oral yang menjadi tradisi tulis Tripitaka (tiga keranjang terdiri dari

Sutra: wacana, Vinaya: disiplin, dan Abdhidharma: ajaran tinggi) telah diajarkan paling tidak 250 SM (850 tahun sebelum Islam). Raja India Asoka Maurya (304-232 SM), yang memeluk Buddha setelah menyaksikan banyaknya korban perang Kalinga, berperan penting dalam penyebaran Buddha: mendirikan kementrian dan

stupa, mendirikan dewan para pendeta, mendidik para pendeta (termasuk anak-anaknya sendiri, laki-laki dan perempuan), dan kemudian mengirim mereka ke dalam misi-misi ke berbagai daerah di Asia, salah satunya di Sri Langka (Lester 1993, 861,875– 878). Raja inilah yang menjadikan ajaran Buddha sebagai tonggak penyatu negara yang dipimpinnya (tepatnya terletak di kota Bihar saat ini).

Paling tidak manusia saat ini masih mempertahankan dua tradisi besar kuno: tradisi Israel dan India, yang terus berkembang dan dipeluk manusia sebagai iman. Sementara tradisi Israel, yaitu tradisi pewahyuan dan kenabian, bertahan dalam tiga tradisi: Yahudi, Kristiani, dan Islam; tradisi India bertahan dalam keimanan Hindu dan Buddha.

Dunia saat ini masih membaca catatan masa lalu yang disakralkan terutama tradisi Semitik, karena Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika masih mengimani tradisi Kristiani, di mana gereja- gereja masih dikunjungi. Agama yang lebih tua, Yahudi masih bertahan di negara yang bernama Israel, dan sebagian umatnya juga hidup di Amerika. Untuk Timur Tengah dan Asia Tenggara, tradisi Semitik bertahan dan tersimpan dengan rapi dalam ajaran termuda Islam. Khusus untuk Indonesia yang mayoritasnya Muslim masih membaca narasi Semitik yang sudah dikontekstualisasikan pada abad tujuh (1500 tahun yang lalu) dan diinterpretasi berkali-kali dari budaya ke budaya (salah satunya adalah tradisi Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan bahasa), di mana budaya dan politik keislaman tumbuh dan berkembang.

Indonesia, di masa lalu, mewarisi tradisi India melalui Hindu dan Buddha. Ini dibuktikan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara yang bercorak warisan Hindu-Buddha. Namun begitu, pengaruh tradisi India telah lama beralih ke (dan juga berbaur dengan) spiritualitas Semitik termuda: Islam. Candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah (Magelang dan Yogyakarta) dan Jawa Timur sudah tidak lagi difungsikan sebagai tempat ibadah rutin. Tempat-tempat suci itu berfungsi sebagai obyek turisme, walaupun bangunan-bangunan tua tersebut kadang masih digunakan sebagai tempat upacara tertentu.

Catatan dari masa lalu berupa Kitab Suci yang menceritakan pengalaman-pengalaman generasi yang mendahului masih terus

terjaga, karena sakralitas dan perannya dalam keimanan. Kitab suci lah yang merekam peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh komunitas dan generasi tertentu, kemudian diwariskan pada kemunitas selanjutnya, dihargai, dan diberi interpretasi. Kitab Suci merupakan peninggalan masa lalu yang masih bertahan, karena umat mengimaninya. Kitab Suci juga merupakan bentuk catatan pengalaman keagamaan manusia tentang dunia, manusia, dan relasi antara dunia dan manusia.

Di sisi lain, catatan-catatan di luar Kitab Suci yang masih ada dan berjumlah banyak (karena penemuan dan penelitian terus berjalan) cenderung dilupakan, karena tidak ada unsur teologis, magis, dan supranatural di dalamnya, serta tidak berlaku secara hukum di tengah masyarakat. Catatan-catatan syair selain Kitab Suci pada abad tujuh hingga sembilan Masehi di Jazirah Arab, misalnya, masih tersisa. Kuantitas mereka banyak namun tidak diperhatikan, cenderung diabaikan, dan bahkan dilupakan. Ada usaha-usaha tertentu untuk “menyingkirkan” catatan-catatan syair tersebut dengan cara melakukan sensor “teologis” karena keberadaan mereka dianggap mengancam sakralitas doktrin-doktrin teologis yang berkembang di Jazirah Arab ketika itu. Tentu saja, catatan- catatan itu dikalahkan oleh doktrin Islam yang berlaku ketika itu, padahal mereka memberi pandangan yang berbeda tentang spiritualitas dan tradisi keagamaan. Dalam kasus abad tujuh Masehi, ada syair-syair karangan Umayyah b. Abi Salt (berasal dari Taif tetangga kota Makkah) yang memuat doktrin-doktrin tentang ketuhanan, akherat, kosmogoni (awal dunia), moral, etika, dan ritual (Makin 2010; Makin 2014). Sayang sekali, syair-syair Abi Salt terabaikan dan tidak melahirkan banyak pembaca. Syair-syair tersebut tidak mendorong generasi selanjutnya untuk mengkaji apalagi menafsirkannya. Sebagai konsekuensinya, syair-syair Abi Salt terlupakan dan bahkan tidak mendapatkan tempat di mana seharusnya ditempatkan dan dihargai, yaitu dalam studi kronologi sastra dunia dan berkait dengan situasi awalnya Islam.

Dalam konteks Indonesia, penduduk negeri ini, karena kentalnya pemaknaan atas agama dan karena keimanan telah kokoh mengakar pada keseharian, terbiasa melihat segala sesuatu dengan merujuk ke Kitab Suci secara langsung, apakah itu tentang dunia, manusia, dan dunia yang berada di luar jangkauan kasat mata

manusia. Awal dari segala sesuatu, tentang muasal alam semesta, lahirnya manusia, dan relasi antara alam dan manusia, kesemuanya selalu dilihat dari kacamata dan semangat kesalehan. Kitab Suci dan keimanan adalah bahasa komunikasi mayoritas Muslim Indonesia; karenanya, semua berawal dari dan berakhir di Kitab Suci.

Sikap teologis seperti itu banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang awal segala sesuatu di alam semesta berikut isinya. Narasi awal manusia berupa Adam dan Hawa yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan pertama kali serta beranak pinak sampai masa kini, merupakan warisan tradisi imani Semitik (narasi tradisi lama Israel dan Arab, yang diwariskan ke tradisi keagamaan lain dan mengakar selama kurang lebih 2000 tahun terakhir di Eropa, Timur Tengah, Mediterania, Asia, dan Afrika). Menjadi wajar kiranya jika kesadaran dunia dan sejarah manusia juga akan dikembalikan pada tradisi Semitik semata, tanpa mempertimbangkan tradisi lain.

Jika asal muasal manusia dikembalikan pada narasi Adam dan Hawa, maka asal muasal narasi itu sendiri juga bisa diletakkan pada konteks kesejarahannya. Narasi Adam-Hawa terjaga dan terus diwariskan oleh tradisi Arab yang termasuk bagian dari tradisi yang lebih kuno, yaitu Ibrani; tradisi Ibrani menyangkut bahasa-bahasa seperti Syriak, Aramaik, Etiopia. Tradisi Ibrani sendiri adalah warisan masa lalu dari tradisi sebelumnya. Dalam tradisi Kitab Suci dan bahasa Ibrani terekam kebudayaan kuno masa lalu seperti Mesir, Babilonia, Phoenicia, Sumeria, dan Assyria.

Penjelasan soal tradisi kuno yang lebih tua dari tradisi Semitik sama sekali tidak sederhana. Selain karena tradisi-tradisi kuno tersebut banyak jumlahnya, cakupan periode waktunya tidak hanya satu atau dua generasi, namun bergenerasi-generasi; ini menjadi lebih rumit lagi karena tradisi ini merentang dari masa misalnya pendirian hingga keruntuhan suatu kerajaan, dari kemunculan suatu kebudayaan hingga masa lenyapnya, dan dari masa awal hingga akhir suatu peradaban. Kenyataan memang sering jauh lebih kompleks dari asumsi yang umum difahami dan tidak mudah disederhanakan begitu saja. Dalam proses penyimpanan seringkali terjadi simplifikasi terus menerus sehingga yang tersisa adalah asal muasal (atau lebih tepatnya proses penciptaan) dunia, alam dan manusia.

Narasi proses lahirnya dunia yang ditandai dengan penciptaan manusia pertama turun ke dunia dan penciptaan yang secara langsung dilakukan oleh Tuhan, merupakan warisan narasi tradisi lama. Proses sakralisasi berbagai narasi juga melibatkan proses simplifikasi. Tradisi Biblikal, yang kemudian menjadi versi Qur’ani, bisa dikembalikan lagi pada tradisi yang muncul lebih dahulu: Sumeria, Babilonia, Mesir, dan Yunani. Ada banyak versi narasi proses adanya dunia ini dan bagaimana munculnya kehidupan, sebagaimana juga ada banyak versi dalam banyak tradisi dan bahasa yang kemudian ditangkap dan diabadikan dalam agama-agama yang bertahan hingga kini. Agama-agama tua, dalam peradaban kuno, banyak sekali jumlahnya; sebagian besarnya menghilang. Namun, beberapa dari ajaran dan cerita tentang mereka bertahan pada agama-agama selanjutnya.

Jadi, Kitab Suci merupakan rekaman masa lalu. Agama-agama yang punah masih menitipkan narasi mereka pada Kitab-Kitab Suci selanjutnya. Namun karena terjadi percampuran dari berbagai tradisi, kita sulit, atau tidak mampu lagi, memilah mana yang tradisi lama dan mana yang tradisi lanjutan yang mengubah tradisi masa lalu, memperbarui semangatnya, dan menyesuaikannya dengan konteks dan semangat zamannya. Kita mengenalnya sebagai “kontekstualisasi” atas ajaran kuno oleh tradisi yang muncul kemudian.

Tradisi Qur’ani masih menyimpan tradisi Semitik, demikian juga tradisi Semitik mewarisi tradisi Babilonia, Sumeria, Yunani, Mesir, dan lain-lain. Pun tradisi sebelumnya juga menyimpan tradisi di masa sebelumnya lagi. Ini seperti tak terhindarkan. Dalam ilmu sejarah dan antropologi, hal-hal tersebut bisa dilacak. Misalnya asal-usul ide atau konsep, kita bisa menggunakan konsep genealogi, yang dalam wacana postmodernisme pernah dicontohkan oleh Michel Foucault.

Darimana tradisi narasi penciptaan alam itu bermula? Apakah tradisi itu muncul dengan sendirinya? Apakah Makkah dan Madinah merupakan awal dari narasi tersebut? Ataukah Damaskus dan Baghdad yang mengawalinya?

Faktanya, tidak ada tradisi yang tiba-tiba muncul dan besar dengan sendirinya; tentu saja tradisi Damaskus (Umayyah) dan Baghdad (Abbasiyah) mewarisi tradisi sebelumnya. Perlu diingat,

tradisi Arab merupakan pewaris tradisi Semitik di sekitar wilayah yang saat ini dikenal sebagai Timur Tengah dan Mediterrania. Dengan kata lain, tradisi Arab yang dikembangkan dalam bingkai tradisi keislaman merupakan warisan tradisi peradaban Persia dan Bizantium. Umayyah di Damaskus, secara geografis, budayanya mendekati Bizantium Romawi. Sementara Abbasiyah di Iraq lebih dekat dengan Persia secara budaya dan sosial.

Kembali pada kesadaran manusia tentang keberadaannya dan bagaimana mereka mencatatnya, Mesir Kuno yang berada di pinggir sungai Nil (3000 SM) menyimpan banyak catatan di Piramida, tempat mumi para raja-raja. Mesir Kuno jelas mendahului tradisi Semitik. Ini dapat dipahami dari narasi Biblikal di mana konteks kisah Musa (atau Moses) adalah Mesir. Musa, menurut Biblikal, dikisahkan sebagai pembebas bangsa Isarel dari cengkeraman Fir’aun Mesir (Ramses); penguasa Mesir ini digambarkan sebagai raja zalim yang memperbudak umat Israel. Salah satunya kerja paksa dalam pembangunan Piramida-Piramida. Pembebasan bangsa Israel oleh Musa dalam menemukan tanah baru yang merdeka dipahami sebagai pemberontakan terhadap penguasa yang zalim. Tuhan, melalui Musa, hadir dan membinasakan yang zalim. Ini versi Biblikal.

Versi Islami, Fir’aun tidak hanya zalim dalam arti menindas manusia (Islam telah me-universalkan, tidak hanya bangsa Israel saja yang ditindas melainkan juga umat manusia secara keseluruhan), bahkan lebih jauh, dalam versi Islam Fir’aun telah menyamakan dirinya dengan (dan mengaku sebagai) Tuhan. Paham “monoteisme baru” versi Islam muncul di sini, dengan semangat baru juga; konsep ini terfahami dibalik narasi kezaliman Fir’aun. Konsep keesaan Tuhan menurut Islam tersebut tidak terdapat pada narasi Moses dan Ramses dalam konteks Bibilikal. Maka dalam hal ini, Musa “versi Arab”, senyatanya, adalah hasil kontekstualisasi dari teks yang lebih dahulu. Tentu saja, ini dilakukan dalam bingkai “konsep keimanan” yang barupula.

Pada intinya, dalam konteks ini, tradisi Semitik tentang kenabi- an juga berkaitan dengan tradisi Mesir. Dan Mesir meninggalkan banyak catatan tentang kehidupannya: upacara keagamaan, konsep ketuhanan, akhir hayat, penguburan, makanan, sistem kerajaan, juga arsitektur. Namun, dalam banyak peninggalan Heiragliphic

Mesir kuno, peristiwa Eksodus itu sendiri, yang melibatkan Moses dan Ramses (dalam tradisi Islami menjadi Musa dan Firaun), tidak ditemukan. Maka apakah peristiwa itu terangkai setelah Mesir itu sendiri (pasca-Mesir), atau sekedar peristiwa yang sudah terjadi kemudian terjadi mitologisasi. Artinya peristiwa migrasinya bangsa Israel dari Mesir bisa jadi terjadi, tetapi proses menarasikan ulang sehingga menjadi Musa dan Firaun itu terjadi jauh hari setelah peristiwa itu, sehingga terjadi perkembangan cerita dan sakralisasi kejadian karena unsur imani.

Mesir merupakan bagian dari perjalanan manusia yang penting. Tidak hanya karena Mesir tercantum dalam Perjanjian Lama dan juga selanjutnya Al-Qur’an, namun juga karena catatan- catatan Mesir itu sampai kepada kita dan semua informasinya dapat dibaca hingga kini. Manusia abad ini beruntung, karena getaran suara Mesir Kuno masih tersimpan di Kitab Suci, yang masih didaras hingga kini.

Namun, menarasikan ulang apa itu Mesir dan apa yang terjadi di sana, saat ini tidak lagi bersandar hanya kepada Kitab Suci. Narasi Mesir direkonstruksi kembali berdasarkan bukti-bukti berupa catatan-catatan huruf paku, peninggalan-peninggalan benda- benda kuno, dan bukti-bukti fisik dalam bentuk lain yang masih terawat. Cerita tentang Mesir sebagai konsekuensinya berkembang dari waktu ke waktu, karena bukti yang ditemukan juga semakin beragam dan berkembang. Narasi, tentu saja, berubah berdasarkan pengetahuan. Ini jelas terbalik dengan pemahaman Kitab Suci yang pengetahuannya disusun berdasarkan narasi yang sudah ada.

Dalam konteks Mesir Kuno yang usianya 2000 hingga 3000 tahun sebelum Yesus dilahirkan, dan tentu juga ditambah 500 tahun sebelum Islam, kesadaran manusia tentang dirinya dan alam sekitar telah ada dan itu semua terekam dalam catatan

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 30-42)

Dokumen terkait