• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Adam dan Hawa

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 54-63)

Dalam narasi teologi Semitik yang banyak diterima dalam agama dan kepercayaan di Indonesia ini, dipercaya bahwa Adam dan Hawa (Adam and Eve) merupakan manusia pertama yang menjadi leluhur manusia yang menghuni planet ini. Ceritanya, kedua insan berlainan kelamin tersebut turun dari surga Eden ke bumi sehingga menjadi manusia pertama yang menghuni bumi ini. Dalam lukisan terkenal oleh Michelangelo (1475-1564) di Kapel Sistine digambarkan Tuhan sebagai bentuk figur yang mengenakan jubah putih sedang terbang melayang dan mengulurkan tangan kepada figur telanjang Adam yang sedang duduk juga mengulurkan tangan, walaupun kedua tangan itu tidak bertemu. Tapi Adam

sudah bernyawa dan hidup. Dalam lukisan itu, penciptaan digambarkan seperti sentuhan, bertemunya tangan Tuhan dan tangan Adam. Tuhan juga tidak sendirian, tapi dikelilingi oleh beberapa figur seperti manusia; mungkin itu gambaran para Malaikat (Golowin 2007, 71). Yang jelas, Tuhan menciptakan manusia berdasarkan bentuk- nya sendiri, ‘imagi’ atau ‘citra’. Dalam banyak keyakinan, bahkan di luar tradisi Semitik,

(Sumber: http://www. italianrenaissance.org/michelangelo- creation-of-adam/ akses 25 Agustus,

Adam berderajat tinggi dan bahkan imagi Adam adalah imagi Tuhan itu sendiri. Maka gambaran Tuhan atau para dewa, semua mengambil bentuk manusia, walaupun dimodifikasi dengan barbagai perpaduan, baik itu binatang (gajah, singa, ular) atau tanaman (pohon atau daun).

Tentu saja referensi atau rujukan yang sangat baku adalah Kitab Kejadian dari Perjanjian Lama, yang menjadi rujukan baik itu Yahudi maupun Nasrani.

Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; di situlah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu” (Kitab Kejadian 2: 8).

Kitab Kejadian yang merupakan bagian pertama dari Perjan- jian Lama mengkisahkan tentang turunnya Adam dan Hawa ke bumi, setelah digoda oleh ular sebagai jelmaan Iblis untuk mema- kan buah terlarang.

Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas; tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati (2:16-17).

Sedangkan kejadian memakan buah terlarang setelah tergoda oleh ular termaktub sebagai berikut:

Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya (3:6).

Bahkan dalam kepercayaan yang dipahami di masyarakat, buah terlarang yang dimakan Adam itu tersedak hanya sampai tenggorokan dan berubah bentuk di kemudian hari berupa jakun laki-laki. Sedangkan buah terlarang yang dimakan Hawa berhenti sampai dada hingga berubah menjadi payudara. Maka dua jenis keturunan Adam dan Hama hingga kini, ditandai dengan buah terlarang.

Karya lukisan Tiziano Vecelli/Vacellio (1488-1576) menggambarkan tentang tra- gedi turunnya Adam dan Hawa ke bumi dengan peng- gambaran dua insan berlainan jenis yang telanjang, auratnya ditutup oleh daun. Hawa se- dang memetik buah, sedang- kan Adam seakan menolak buah tersebut. Sedangkan lukisan lain karya Peter Paul Rubens (1577-1640) meng- gambarkan dua insan itu hampir sama dengan Tiziano (Titian) tetapi ditambah de- ngan gambar anak kecil dan ular diatas Hawa. Ular digam- barkan mendesis-desis sebagai jelmaan iblis yang menggoda dan mempengaruhi Hawa untuk memakan buah tersebut. Adam, yang semula menolak memakan buah itu, pun akhirnya menuruti godaan itu. Buah terlarang pun termakan. Sebagai hukuman dari dosa yang dilakukan keduanya, Adam dan Hawa harus turun dari Eden atau jatuh ke bumi fana ini. Sejak kejatuhan moyang manusia hingga kini, kita semua sebagai manusia tidak lagi tinggal di taman Eden yang serba lengkap dan tersedia: air mengalir, buah berte- baran, madu mengalir bak sungai, burung-burung ramah beter- bangan, dan semua kemauan serta kehendak dituruti. Di bumi ini manusia harus berjuang dengan peluh untuk memperoleh yang diimpikan.

Dari narasi Adam dan Hawa, yang mempengaruhi dan mempertahankan narasi tersebut, secara teologis (terutama agama- agama Semitik), kita tahu bahwa manusia berasal dari taman Eden yang diciptakan sendiri oleh Tuhan, kemudian manusia diturunkan ke bumi. Dalam doktrin Kristiani, ini yang disebut ‘dosa asal’, yaitu manusia pada dasarnya melanggar aturan Tuhan sejak awal mulanya. Yesus Kristus sebagai penebus dosa telah menanggung

(Sumber: https://www. museodelprado.es/en/the-collection/

online-gallery/on-line-gallery/ zoom/1/obra/adam-and-eve/oimg/0/

ini dengan menerima penyaliban. Manusia diharapkan beriman pada Yesus agar dosanya tertebus. Dalam teologi Kristiani, ada beberapa penafsiran yang berkembang yang tidak hanya melihat bahwa beralihnya Adam dan Hawa ke bumi sebagai dosa asal, tetapi juga sebagai perpindahan menjadi manusia. Maka sejak awal manusia memang sudah ditaqdirkan untuk turun ke bumi dan memakmurkan planet ini untuk beranak-pinak.

Sedangkan dalam Islam termaktub dalam surat urutan kedua (al-Baqarah) sebagai rujukan doktrin penciptaan. Di situ diterangkan sebagai momen di mana Tuhan memberi tugas kepada manusia sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi untuk mengatur bumi dan memakmurkannya. Iblis dan Malaikat pada awalnya tidak menyetujui rencana Tuhan untuk menurunkan manusia ke bumi dengan menanggung tugas ini, karena manusia terbukti banyak menumpahkan darah di bumi (saling membunuh antar sesama dan juga makhluk lain, tetapi kenapa justru diberi tugas berat dan penting ini). Tuhan menjawab bahwa Pencipata (khaliq) lebih tahu dari para ciptaan (makhluq).

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q. 2:30).

Keimanan ini menguat pada berbagai narasi dan disadur dalam berbagai jenis karya dan buku. Dalam Islam, ini juga dinarasikan kembali pada kitab-kitab klasik dari jenis tafsir (yaitu

yang memberi makna dan keterangan dari teks Al-Qur’an),

tarikh (semacam sejarah atau historiografi), dan qasas al-anbiya

(jenis sastra yang mengkhususkan pada kisah para Nabi). Dalam tradisi Islam, Adam dan Hawa menjadi tema yang banyak dikaji dan menjadi topik dalam diskusi yang bersifat teologis (kalam),

filsafat, dan sufisme (tasawuf). Dalam ajaran tasawuf, Iblis

sebagai jelmaan makhluk jahat tidak selamanya dipandang jahat, namun juga ada juga yang menafsiri kisah Iblis sebagai makhluk

yang konsisten dalam bertauhid (memegang monoteisme). Ia tidak bersedia bersujud kepada Adam karena statusnya sebagai sesama makhluq (yang diciptakan); dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa Tuhan memerintahkan agar Malaikat dan Iblis memberi penghormatan kepada Adam, yaitu bersujud. Bagi Iblis, sujud hanya diperuntukkan kepada Tuhan, sang Pencipta. Namun, dalam pemahaman mayoritas, tindakan Iblis ini dinggap sebagai pengingkaran terhadap perintah Tuhan.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (Q. 2:34).

Pemahaman tentang awal manusia seperti diatas bersifat universal dan diterima oleh banyak bangsa dan negara di dunia. Kenyataannya, informasi dari tradisi Semitik tentang kisah Adam dan Hawa hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita asal muasal manusia. Banyak masyarakat tradisional mempunyai kisah sendiri tentang asal usul dunia manusia, seperti masyarakat Aborigin, Indian, Dayak, atau suku-suku di Afrika lainnya. Masyarakat Mesir kuno, Babilonia, dan Sumeria, tentu juga mempunyai kisahnya tersendiri. Kisah Adam dan Hawa tidak bisa dilepaskan dari tradisi Semitik yang merupakan salah satu dari sekian tradisi yang pernah ada di dunia. Tentu saja, konsep penciptaan dan manusia pertama itu bisa ditempatkan dalam sejarah rasa ingin tahu manusia. Namun, karena sebaran tradisi Semitik mendunia, terutama Kristiani dan Islam, pemahaman tentang Adam dan Hawa juga mendunia dan universal. Tentunya pemahaman Kristiani yang mendominasi Roma pada awal hingga pertengahan milanium pertama Masehi; walaupun awalnya memusuhi ajaran ini, lalu beberapa abad kemudian menjadi agama resmi kerajaan

super power itu; tentu Romawi berperan dan berkontribusi dalam penyebaran dan universalisasi konsep manusia awal ini. Begitu juga Islam pada akhir milenium pertama dan awal milenium kedua, setelah mendunia dan mendominasi peradaban, terutama pada kedua kerajaan besar Umayyah dan Abbasiyah, berperan penting dalam mempengaruhi pandangan dunia dan universalisasi ajaran konsep manusia pertama. Maka konsep awal mula manusia yang banyak dipahami di dunia ini tak lepas dari pengaruh agama yang

dipeluk manusia secara global: Kristiani dan Islam. Indonesia yang merupakan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, dari sisi kuantitas, tak heran jika kisah Adam dan Hawa menjadi baku dan diimani.

Dalam tradisi Jawa, sebagaimana dalam Babad Tanah Jawa

(yang telah diterangkan di bab terdahulu), pemahaman teologis bahwa Adam sebagai manusia pertama di bumi menginspirasi pemahaman sejarah. Adam sebagai nenek moyang para raja Jawa, dan tentu saja trah dan nasab disusun dengan berbagai macam versi yang mengembalikan Adam sebagai manusia pertama yang menurunkan banyak trah dan akhirnya ke para raja di Nusantara. Dalam versi Babad:

“…Nabi Adam, berputra Sis, Esis berputra Nurcahya, Nurcahya berputra Nurasa. Nurasa berputra Sanghyang Wening. Sanghyang Wening perputra Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru. Batara Guru berputra lima bernama Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, Dewi Sri. Batara Wisnu menjadi raja di Pulau Jawa bergelar Prabu Set. Kerajaan Batara Guru ada di Sura Laya.”

Bagi kaum Muslim di Indonesia, tentu sejak pendidikan dasar telah mengenal bahwa keturunan manusia di muka bumi ini semua berasal dari bapak Adam dan ibu Hawa. Dalam sudut pandang kesetaraan manusia saat ini, sering disebutkan bahwa semua manusia berbagai macam kulit adalah keturunan dari satu pasang manusia: Adam dan Hawa. Tidak ada perbedaan dan tingkatan; semua sama.

Memang benar adanya bahwa berdasarkan analisis DNA, manusia berspesies sama, yaitu Homo Sapiens (jenis Homo yang berfikir). Tetapi apakah Homo Sapiens pertama itu bernama Adam, itu persoalan lain. Penelitian tentang Homo Sapiens pun juga berkembang sesuai dengan fosil yang ditemukan dalam bidang arkeologi dan biologi, tetapi pada umumnya ada kesimpulan bahwa manusia itu berasal dari keturunan manusia purba Afrika yang kemudian bermigrasi ke kawasan lain: Timur Tengah, Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Ini semua dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam fosil yang terus ditemukan di Eropa, China, Jawa, dan Australia. Namun begitu, sangat sulit membuktikan secara

biologis bahwa manusia di bumi ini (Homo Sapiens) berasal dari keturunan satu pasang manusia bernama Adam dan Hawa, dari segi DNA atau lainnya, karena sampai sekarang sisa-sisa fosil dan situs ‘Adam’ tidak ditemukan. DNA Adam yang tidak bisa didapat tidak memungkinkan untuk dibandingkan dengan DNA manusia yang saat ini menghuni bumi.

Pemahaman atas narasi Biblikal dan Qur’ani harus dilakukan dengan cara lain. Ilmu tafsir (dalam hal ini hermeneutika) akan perperan penting, bahwa secara teologis kisah Adam dan Hawa tidak serta merta dipahami secara harfiah atau apa adanya (seperti membaca naskah biasa). Kisah Adam dan Hawa tidak bisa dibuktikan secara ilmiah: arkeologi, biologi, dan antropologi. Namun, pandangan teologi liberal Kristiani dan teologi Islam mengarah pada penafsiran yang tidak harfiah dan apa adanya, sebagaimana dalam teks Kitab Suci. Kisah Adam dan Hawa bisa dipahami secara maknawi atau metafora dan reflektif. Kisah Adam dan Hawa adalah kisah tentang tugas berat manusia di bumi, dosa manusia, pengetahuan dari Tuhan, dan tanggung jawab manusia terhadap alam raya. Jadi, sekalipun penafsiran teologis tidaklah historis karena tidak merujuk pada narasi dan fakta awal manusia (secara DNA tidak bisa dibuktikan), kisah tersebut secara moral dan etika bisa dijadikan pelajaran untuk manusia kini.

Terlepas dari semua itu, pengembangan makna legenda dan kisah sangat mungkin dilacak perjalanan ‘pemahaman’nya dalam sejarah; dalam ilmu post-modernisme disebut the history of idea

atau sejarah ide (Foucault 1989), dari mana pemahaman itu berasal dan sejak kapan ide tersebut mengalami evolusi (perubahan pelan- pelan) dari waktu ke waktu, dari satu budaya ke budaya lain, dari satu tradisi ke tradisi lain, dan dari satu bahasa diterjemahkan ke bahasa lain. Kisah Adam dan Hawa telah melewati berbagai macam penerjemahan dan kontekstualisasi, sehingga kisah itu tidak hanya berulang-ulang tetapi juga mengalami penyesuaian dari satu budaya ke budaya lain.

Ingat, dalam sejarah perkembangan teologi dan doktrin Islam saja, yang baru berusia kurang lebih 1500 tahun, kisah Adam dan Hawa sudah dimodifikasi dan dikembangkan oleh penafsir dan pemikir Muslim; mereka menceritakan kisah tersebut di ruang kelas, pengajian, perkumpulan, dan dalam forum-forum lain. Dalam

Kristiani, kisah Adam dan Hawa juga sudah diceritakan dan bahkan lebih tua lagi, yaitu 500 tahun lebih tua dari Islam. Dalam Yahudi, kisah itu lebih tua lagi, paling tidak 1000 tahun sebelum Islam. Maka kisah Adam dan Hawa telah mendominasi pemahaman kita paling tidak selama 2000 hingga 3000 tahun sejak kisah Genesis (Perjanjian Lama) diceritakan dan menjadi dogma dalam keyakinan tradisi agama Semitik. Jadi, bisa disimpulkan, Adam dan Hawa sebagai manusia tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tetapi tetap bisa dilihat dan dibuktikan keberadaannya dari segi penelusuran sejarah ide (bahwa kisah Adam dan Hawa yang berusia 3000 tahun telah mendominasi cara berpikir manusia). Lantas pertanyaannya adalah, “Apakah kisah Adam dan Hawa sudah ada sebelum 3000 tahun yang lalu?” Jika ditemukan bukti berupa tablet (batu bertulis) atau manuskrip, maka akan berubahlah temuan tersebut. Namun, jika tidak ditemukan bukti berupa tulisan atau prasasti tentang kisah Adam dan Hawa, langkah paling aman dan mungkin adalah asumsi bahwa kisah Adam dan Hawa berusia 3000 tahun.

Dengan kata lain, dogma tentang asal muasal manusia berupa Adam dan Hawa itu telah mengakar dalam sejarah dan tradisi serta telah ditransfer dalam berbagai budaya, tetapi kita dengan sangat sederhana menyimpulkan bahwa kisah itu berasal dari tradisi Israel, yaitu suku Semitik kuno yang masih bertahan sampai sekarang. Bahkan doktrin dan narasi agama-agama yang serumpun (Yahudi, Kristen, dan Islam) itu juga bermula dari kisah Israel, suatu suku yang nomaden dan berpindah-pindah, dan cerita itu ditransfer dari satu kebudayaan dan peradaban ke kebudayaan dan peradaban yang lain dan dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya (Babilonia, Mesir, Romawi, Persia, Arab, Eropa dan Amerika). Dalam dunia ilmiah saat ini, perkembangan pemahaman, mitos, cerita, dan legenda bisa diterangkan dengan bukti-bukti yang ada berupa teks kuno yang masih bersama kita, yaitu Kitab Suci itu sendiri.

Kitab Suci itu mempunyai usia. Paling tidak secara historis Kitab Suci bisa dilacak kapan mulai pertama kali ditulis dan dibaca. Kitab Suci mengalami perkembangan, diungkapkan pertama kali oleh yang membawanya (wahyu kepada Nabi atau Rasul), ditulis oleh pengikutnya, dibukukan dan distandarisasi, ditafsiri, dan dimaknai oleh orang yang mengimaninya. Itu semua bisa dilacak dalam sejarahnya dan diletakkan dalam kurun perjalanan manusia.

Misalnya, Perjanjian Lama sudah ada sejak masa Mesir kuno dan Yunani; Perjanjian Baru ditransmisikan saat kekuasaan Romawi, yaitu abad pertama atau kedua Masehi; Al-Qur’an bisa juga diletakkan dalam sejarah manusia abad tujuh Masehi di Jazirah Arab, yang mana budaya Arab masa itu melekat dalam Kitab tersebut.

Tentu bukan pemahaman teologis yang dimaksud di sini, namun pemahaman sejarah, karena dalam doktrin teologis Kitab Suci itu abadi dan berasal dari Tuhan yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dalam doktrin Islam, Kitab Suci Al-Qur’an berasal dari

lauh al-mahfuz, yaitu alam ide di ‘sana’, di ‘langit abadi’ yang sudah ada lebih dahulu dari manusia itu sendiri; Kitab Suci Al-Qur’an adalah ‘kalam, sabda’ dan firman’ Tuhan yang sama abadinya dengan ketuhanan itu sendiri. Dalam hal ini, telah ada perdebatan yang sengit dalam teologi Islam abad delapan sampai tiga belas Masehi tentang status keabadaian kalam Tuhan; apakah ia termasuk atribut yang melekat pada Tuhan itu sendiri sehingga sama abadinya dengan Tuhan ataukah ia merupakan produk (ciptaan) Tuhan sehingga statusnya hanya sama dengan makhluk Tuhan lainnya. Antara aliran Mu’tazilah (yang dikenal dengan rasionalitasnya) dan Asy’ariyah (yang dikenal sebagai sintesa antara rasionalitas dan ortodoksi) berbeda pandangan dan saling menguasai politik Islam silih berganti di era Abbasiyah dan selanjutnya. Lain lagi dengan doktrin Kristiani tentang logos (yang kurang lebih sejajar dengan doktrin kalam dalam bahasa Arab) yang menjelma dalam diri Yesus; Yesus adalah jelmaan firman Tuhan). Ini berbeda dengan doktrin Islam, di mana dalam agama yang lebih muda ini firman Tuhan menjelma menjadi Kitab Suci. Dengan kata lain, bukti keberadaan dan mukjizat dalam Kristiani ada dalam diri Yesus dan kehadirannya di dunia, sedangkan dalam Islam menjelma menjadi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan panutan umat. Namun, pemahaman tentang logos dan lauh al-mahfuz itu sendiri juga bisa diletakkan di zamannya, tepatnya waktu dan ruang dimana paham itu berkembang dan dikembangkan oleh para cendekiawan pada masanya. Paham itu tentu dibudidayakan dan dikembangkan oleh manusia walaupun doktrin itu membahas tentang ketuhanan, yaitu sebuah pemahaman tentang ‘alam sana’ atau ‘alam langit’ yang sudah bercampur dengan alam pikiran dan filsafat Yunani, ketika

tradisi keagamaan dan intelektual Kristiani dan juga Islam sudah bersentuhan dengan tradisi Hellenisme. Dalam hal ini, konsep

lauh al-mahfuz nampaknya mempunyai pararel dengan konsep

Plato atau Neo-Plantonisme tentang ‘alam ide’ yang mendahului alam nyata.

Dalam tradisi filsafat Yunani ada perdebatan yang sengit, sama sengitnya dalam kalam Islam dan teologi Kristiani, tentang hubungan antara ide dan materi; mana yang mendahului dan mana yang mengikuti. Tentu Plato/ Π άτω (428/427 atau 424/423 – 348/347 SM) memegang keyakinan bahwa alam ide lebih dulu ada dari alam materi, sementara filosof lain seperti Demokritus/

Δη ό το (460-370 SM) memegang pendapat bahwa semua

yang ada hanyalah materi belaka, tidak ada lagi di luar materi. Bagi Demokritus, segala sesuatu terdiri dari atom, yaitu partikel kecil yang membentuk benda-benda di dunia ini. Pandangan ini tentu masih tersimpan dan diteruskan sampai saat ini, dari ilmu teologi klasik, fisika, dan astronomi. Perdebatan antara peran alam ide dan alam materi, ketuhanan dan kemanusiaan, kenabian dan keumatan, mukjizat dan benda biasa, terus berlanjut hingga masa sesudah Yunani, termasuk dalam teologi Kristiani dan Islam. Tentu peranan logika Yunani masuk dalam metode dan teori berpikir para pemikir dan teolog. Maka teologi Islam (ilmu kalam) yang berkembang pada masa Baghdad berjaya, di masa bani Abbasiyah, ditandai dengan diadopsinya metode dan teori filsafat Yunani dalam tradisi Islam. Penterjemahan banyak karya, dari logika, filsafat, kedokteran, dan astronomi dilakukan dan sekaligus ilmu- ilmu tersebut dikembangkan. Maka, konsep-konsep teologi dalam agama bisa dilacak dari mana pengaruh dan bermulanya perdebatan itu. Sejarah-lah yang bisa menempatkan itu, dengan menaruh ide dan perkembangannya dalam perjalanan kemanusiaan. Teologi Islam, dengan begitu, bisa dengan mudah diposisikan pada masa Umayyah abad delapan dan Abbasiyah abad sembilan, dan seterusnya.

Kembali ke ranah sejarah untuk melacak seberapa tua usia kisah Adam dan Hawa dituturkan dan dipegangi umat manusia. Penelitian tentang figur Adam menunjukkan bahwa narasi tentang penciptaan yang termaktub dalam Perjanjian Lama, berasal paling tidak dari dua sumber utama, yaitu tradisi Jahwist Elohist (J atau JE,

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 54-63)

Dokumen terkait