• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penciptaan dunia

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 42-53)

Pertanyaan bagaimana dunia ini dimulai sangat penting bagi manusia. Tidak mengherankan jika pertanyaan tersebut sudah muncul sejak masa kuno, di Mesopotamia (Sumeria dan Babylonia), Mesir, dan tradisi Israel. Banyak Kitab Suci yang memuat pertanyaan tentang itu sekaligus jawaban atasnya, dalam bentuk narasi yang dikenal dengan “doktrin penciptaan” (creatio). Versi Biblikal (kitab Genesis atau Kejadian) dan Qur’ani (dalam berbagai surat dan ayat)

tentang doktrin penciptaan, disamping menyampaikan ajaran agama, juga sekaligus sebagai tempat penyimpanan warisan kuno yang mungkin tak lagi dikenali. Kini, mengingat banyak teks-teks kuno telah dipelajari dan diinterpretasi secara terus menerus, versi penciptaan Kitab Suci satu sama lain bisa saling dibandingkan. Versi Biblikal maupun Qur’ani ternyata dijumpai persamaannya dengan versi yang lebih kuno pada teks-teks lain.

Untuk memulai perbandingan dan mensejajarkan bacaan, lihat bagaimana Yunani menyimpan tradisi kuno Phoenicia (bahasa yang lebih kuno yang mungkin berhubungan dengan tradisi Semitik). Teks Sanchoniatho—yang terekam dalam bahasa Yunani dan diwariskan dalam tradisi Yunani pula, asalnya berbahasa

Phoenicia—ditransmisikan oleh Philo dari Byblios (64-141 M), seorang ahli tata bahasa Yunani yang hidup di Lebanon. Berikut adalah versinya:

Dia (Sanchoniatho) menceritakan bahwa awal dari segala sesuatu adalah kegelapan dengan udara berangin yang campur-baur, atau buratan udara gelap dan kekacauan (chaos) kotor dan tak dikenali seperti Erebus: dan semua

itu tak terbatas, dan sejak waktu yang lama tidak ada ikatan: tetapi ketika angin ini berkumpul dan teratur, lalu percampuran terjadi, dan menjadilah yang dinamakan ‘Kehendak (Desire)’: dan itu adalah awal dari penciptaan

segala sesuatu. Tetapi angin tidak tahu apa yang telah dihasilkan. Dan dari angin itu sendiri munculah Mot; kadang juga disebut Mut, lalu yang lain menjadi semacam percampuran air: dan dari situ muncul benih-benih penciptaan, dan selanjutnya kehidupan alam semesta ini (Cory 1828, Sanchoniatho p. 4).

Teks kuno tersebut mengingatkan kita pada narasi Kitab Kejadian 1:2 yang berbunyi, “bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang- layang diatas permukaan air.” Bagian pertama di atas, yaitu kata “chaos”, menjadi kunci dari pensejajaran kedua versi sumber ini. Dunia sebelum penciptaan dimulai dengan chaos (kekacauan). Kemudian kata kunci selanjutnya adalah air yang bercampur. Ini bisa dilihat pada Kejadian 1:9, ”Hendaklah segala air yang dibawah langit berkumpul, pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.” Selanjutnya yang menjadikan kunci dalam pensejajaran bacaan adalah kata “Kehendak” (Desire), yang dipertegas pada akhir ayat Kejadian 1:9 dan diulang lagi pada 1:11, “Dan jadilah demikian”.

Persamaan narasi tersebut tentu saja karena Semitik punya akar yang kuat di Mesopotamia, dimana bangsa Akkadia hidup disitu, bangsa yang dipercaya sebagai nenek moyang Semitik. Maka Semitik yang kemudian berkembang hingga masa kini menjadi tiga tradisi besar, Yahudi, Nasrani dan Islam, mempunyai keterikatan dengan ajaran-ajaran kuno, namun tentu saja telah mengalami kontekstualisasi di masing-masing tempat dan waktu.

Konsep dasar penciptaan tadi tidak hanya bertahan pada ajaran Semitik yang lebih tua tetapi juga pada Kitab Suci yang lebih

muda. Misalnya unsur air dalam konsep penciptaan al-Qur’an, sebagaimana dilihat pada ayat berikut ini, “...wa ja’‘alna min al-ma’i kulla syay’in hayyin...” (Dan Kami jadikan dari air segala kehidupan, Q. 21: 30). Dalam Q. 11:7 disebutkan bahwa Arasy Tuhan diatas air (kana arshuhu ala al-ma’i). Narasi Kitab Suci Semitik ternyata berkelindan dengan tradisi Mesopotamia.

Sepertinya dalam kalimat kemahligaian penciptaan yang paling terkenal kun fayakun (Q. 2: 117; 3: 47; 6: 73; 16: 40; 19: 35; 36: 82; 40: 68) (jadi, maka jadilah) merupakan warisan lama. Salah satu persamaannya adalah redaksi kalimat dalam Sanchoniatho di atas “…dan menjadilah yang dinamakan.” Ini juga senada dengan bahasa ungkapan ketika Allah berfirman dan menjadi, “Dan jadilah demikian.” dalam Kitab Kejadian 1:9 dan 11.

Teks lebih kuno yang berasal dari Babilonia mungkin bisa dibandingkan dengan konsep penciptaan alam dalam tradisi Semitik tersebut. Perbedaannya adalah, jika di Babilonia konsep ketuhanan itu berbilang, sedangkan Semitik mengajarkan ketunggalan. Proses kontekstualisasi dan adaptasi tuhan yang semula polytheisme menjadi monoteisme jelas bukan proses yang sederhana. Dalam teks-teks Babilonia dan Sumeria, tuhan-tuhan dikenal dengan nama Anu, Enlil, Marduk, Enki, atau juga Ea (Wasilewska 2000, 146–152). Misalnya, dalam suatu teks Babilonia Kuno bernama

Enuma Elis, yang ditemukan dan dipublikasikan pada abad

sembilan belas Masehi, terdapat teks penciptaan yang mempunyai kemiripan dengan versi Biblikal dan Qur’ani tersebut diatas.

e-nu-ma e-liš la na-bu-ú šá-ma- mu

Ketika langit tinggi tak bernama,

šap-liš am-ma-tum šu-ma la zak- rat

Dan ketika bumi dibawahnya tidak pula bernama,

ZU.AB-ma reš-tu-ú za-ru-šu-un Dan ketika asal mula Apsu,

yang melahirkan keduanya,

mu-um-mu ti-amat mu-al-li-da- at gim-ri-šú-un

Dan Mummu Tiamat, ibu dari keduanya,

A.MEŠ-šú-nu iš-te-niš i-i-qu-ú- ma

Airnya bercampur bersama- sama,

gi-pa-ra la ki-is-su-ru su-sa-a la she-’u-ú

Tak ada tanah terbentuk, tak ada rawa terlihat;

e-nu-madingir dingir la šu-pu-u ma-na-ma

Tidak ada tuhan yang mengada.

Dalam kajian dan kecendikiawanan teks kuno, bacaan Babilonia yang ditemukan di perpustakaan Ashurbanipal di kota Ninive, Irak, tidak hanya mengandung narasi penciptaan dari kekacauan dan air, tetapi mengandung banyak elemen dan unsur narasi budaya lain yang mungkin sudah ada pada masa sebelumnya, terutama di Sumeria dan bahasa Phoenicia (sebagaimana teks Sanchoniato di atas). Mungkin konsep yang terkandung di Enuma Elis yang lebih lengkap ini bisa terangkum sebagai berikut: 1) bahwa

penciptaan itu dari kondisi kekacauan dan juga melibatkan unsur air; 2) adanya yang menciptakan; 3) adanya figur jahat berupa monster; 4) terjadinya pertentangan antara yang jahat dan yang buruk; 5) pembedaan beberapa elemen penting yaitu: bumi, langit, tanah laut, aturan dan kekacauan; dan 6) penciptaan manusia itu sendiri (Tamtik 2007, 66).

Lebih menarik lagi, proses penciptaan Qur’an (sebagai Kitab Suci paling muda) juga masih melestarikan isi Enuma Elis,

sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu pada dialog antara Tuhan, Malaikat, Iblis dan Adam, dalam Q. 2 (al-Baqarah) dimana Tuhan sebagai pencipta melakukan dialog dengan figur protagonis (Malaikat) sekaligus dengan figur antagonis (Iblis/Jin). Perintah Tuhan kepada figur antagonis untuk bersujud kepada Adam ditolaknya (Q. 7:11-12 da 2:34). Unsur-unsur ini tentu masih merefleksikan kesamaan dengan Enuma Elis sebagai fondasi dasar

dan tua untuk teks-teks selanjutnya.

Konsep penciptaan dan penataan di dalam Enuma Elis juga

bisa dipararelkan dengan Mazmur 77: 17-21, yaitu tentang ba- gaimana akhirnya Marduk mengalahkan Tiamat dan akhirnya di- tasbihkan sebagai penguasa alam dewa dan dunia ini. Kemudian Tuhan Marduk mengatur masyarakat Babilonia, dimana manusia diciptakan untuk berbakti pada Tuhan; dari kekacauan menuju hukum yang teratur di masyarakat. Ini juga bisa dilihat dalam Mazmur 77: 17-20:

(17) Air telah melihat Engkau, ya Allah, air telah melihat Engkau, lalu menjadi gentar, bahkan samudera raya bergetar. (18) Awan-awan mencurahkan air, awan

gemawan bergemuruh, bahkan anak-anak panah-Mu beterbangan. (19) Deru gunturmu menggelinding, kilat- kilat menerangi dunia, bumi gemetar dan bergoncang. (20) Melalui laut jalan-Mu dan lorong-Mu, melalui muka air yang luas, tetapi jejakmu tidak kelihatan.

Kemudian peran Musa dan Harun sebagai pengatur masyarakat akan juga muncul, berangkat dari kekacauan juga, sama yang terkandung dalam versi Enuma Elis (Clifford 1985, 510). Dua

figur itu juga sebagai solusi dari kekacauan alam, sama juga dengan peran Marduk di tengah masyarakat Babilonia.

Lebih manarik lagi, bahwa narasi penciptaan dalam tradisi Semitik itu tidak hanya mengabadikan tradisi lama Sumeria, Babilonia, dan Pheonicia, tetapi juga bisa dibandingkan dengan konsep penciptaan di Mesir Kuno lewat beberapa tablet: teks piramida dari kerajaan tua (2613-2345 SM), teks mayat dari kerajaan tengah (1991-1786 SM), teks kematian dari kerajaan muda (1570-1220 SM), dan batu Sabakha (716-720 SM).

Berikut ini ringkasan dari narasi yang terdapat pada teks kuno Mesir tersebut: 1) awalnya adalah dari air kuno (disebut Nun); 2) kemudian muncul Atum, Tuhan yang menciptakan yang lain lewat dirinya sendiri; 3) kemudian muncul cahaya; 4) lalu Atum muncul di bukit setelah air surut; 5) Atum melahirkan Ennead, asal muasal materi; 6) muncul Re-/Re Amun, yang disimbolkan sebagi cahaya matahari pertama; 7) muncul dan tenggelamnya matahari sebagai simbol penciptaan hari; 8) penciptaan manusia dari kesedihan- kebahagiaan Tuhan; 9) setelah penciptaan hari, Tuhan merasa puas; dan 9) akhir proses penciptaan ini ditandai dengan penciptaan Fir’aun sebagai anak Re-Amun, di mana masih menghubungkan dunia ketuhanan (celestial) dan alam ini (terresterial) (Johnston

2008, 181–182).

Tentu saja unsur yang sangat diabadikan oleh tradisi teologis hingga kini, terutama Semitik, adalah unsur air (Nun). Dan yang juga menonjol adalah penciptaan Tuhan itu sendiri (Atum), yang merefleksikan diri dengan cahaya, dan alam merupakan refleksi dari ketuhanan itu sendiri (Ennead). Pemahaman ini masih bertahan baik di ajaran Sufisme bahwa manusia merupakan manifestasi atau cerminan Tuhan itu sendiri (Re-Amun). Pemikir Muslim Muhamamd Iqbal dengan panjang lebar menjelaskan bagaimana

manusia merupakan wakil Tuhan di bumi yang dalam bahasa Qur’ani-nya adalah khalifah (dalam konteks penciptaan di Mesir bisa dikembalikan pada konsep Re-Amun). Kata ini tidak merujuk pada sejenis penguasa yang duduk di singgasana kekhalifahan bentuk dinasti semacam Umayayah, Abbasiyah, Turki Usmani, sebagaimana yang difahami dalam ranah politik (Iqbal 1965). Tetapi, setiap manusia adalah khalifah, memimpin dunia dan isinya.

Dalam sistem kepercayaan Mesir Kuno, Ptah (di Memphis) mungkin tuhan tertua yang dipercaya di Mesir, karena banyak ditemui di banyak data-data arkeologis dan situs. Tuhan Ptah dihormati dan dipuja oleh pengrajian, pekerja, dan juga seniman. Ptah ini mungkin juga konsep ketuhanan tertua, dipercaya sejak kurang lebih 3000 SM. Ptah juga dipercaya telah melahirkan banyak Tuhan yang lain. Dalam sistem kepercayaan kuno itu, relasi antara tuhan dan raja sangat erat, karena para raja (Fir’aun) itu menghubungkan dunia ini dengan dunia ketuhanan. Maka segala perselisihan dan segala kekacauan, juga perdamaian dan pembangunan, yang dilakukan oleh raja dihubungkan dengan kondisi ketuhanan.

Sebagai salah satu contoh, dalam drama perselisihan dan perebutan wilayah Mesir antara Tuhan Horus dan Tuhan Seb, akhirnya Tuhan Geb memberikan semua wilayah Mesir kepada Horus. Karena Horus akhirnya yang mendapatkan semua bagian; dalam hal ini terdapat ‘interplay’ (saling berkelindan dan berganti peran) antara Horus dan Ptah, yang pertama sebagai simbol yang kedua, penguasa segala Tuhan: wilayah Mesir di satukan dalam penyatuan Tuhan Ptah dan Horus. Horus sendiri adalah anak dari Tuhan Osiris dan Isis. Sepertinya, penyatuan wilayah Mesir, suksesi para Fir’aun, dari dalam dinasti atau antar dinasti itu juga dihubungkan dengan tuhan-tuhan mereka. Penyatuan wilayah, juga penyatuan tuhan, politik dan iman masih erat. Naiknya seorang penguasa adalah juga naiknya tuhan yang disembahnya. Ini bisa dibayangkan dengan banyaknya tuhan, yang disembah oleh banyak orang. Setiap masa, dan bahkan keluarga, atau professional, mempunyai dan memuliakan tuhan masing-masing.

Namun, dalam konsep penciptaan di Mesir Kuno, yang berperan tetaplah tuhan Atum (di Heliopolis). Dalam pujian

terhadap Atum (dalam buku kematian), yang mungkin masih tersisa cara memujinya dalam agama-agama Semitik, demikian: “Terpujilah Atum, yang menciptakan langit, yang menciptakan semua yang ada….tuhan bagi semua, yang melahirkan banyak tuhan” (Bodine 2009, 17).

Dalam warisan cerita Biblikal misalnya, menyebutkan bahwa Fir’aun itu telah menganiaya bangsa Israel, terutama Ramses. Namun kita tidak mendapatkan gambaran yang jelas Fir’aun yang mana. Padahal kenyataannya kebudayaan Mesir itu kebudayaan yang sangat lama, sekitar dua ribu tahun, dari berbagai dinasti. Maka kesan yang tertangkap hanya ada satu raja, satu Fir’aun, tanpa adanya keterangan dinasti yang mana dan kapan (hal itu terjadi). Itulah Kitab Suci yang sama sekali tidak bertujuan historis dan tidak pula berfungsi sebagai usaha penyelidikan ilmiah. Semua hendaknya dikembalikan pada zamannya dimana narasi itu diceritakan ulang dengan tujuan tertentu dan difahami dengan cara tertentu pula.

Dalam versi Qur’an (4000 tahun setelah masa Mesir Kuno), yang diulang-ulang dalam berbagai dialog lebih mudah dipahami, yaitu sepengal dua penggal perdebatan dan persaingan antara kenabian dan kekuasaan, monoteisme dan polytheisme, ketuhanan dan kemanusiaan: Musa dan Fir’aun (misalnya Q. 26: 10-52, bahkan sampai ayat 67). Ceritanya adalah Musa diutus oleh Tuhan untuk mendatangi sang penguasa, Harun menemaninya, dengan sebuah misi untuk meyakinkan Fir’aun dan orang-orangnya bahwa ia adalah utusan Tuhan. Lalu Fir’aun mengingatkan bahwa ia juga tumbuh berkembang bersama mereka, untuk apa menantangnya. Dalam perdebatan Musa mengatakan bahwa Tuhannya adalah Tuhan langit dan bumi. Fir’aun menuduh Musa orang gila (majnun). Dalam adu kesaktian dengan para penyihir, kemenangan ada di pihak Musa. Lalu, Fir’aun mengancam akan menghukum yang mempercayai Musa.

Fragmen itu hendaknya dianggap sebagai upaya kontekstualisasi, yaitu peristiwa dimana pewahyuan ajaran Islam pada abad tujuh, konteks Arab, menemui banyak rintangan di awal misinya. Pertentangan antara yang kuat dan yang lemah dalam fragmen itu juga merujuk pada ‘pertentangan’ antara yang hak dan batil pada konteks Hijaz, tidak pada masa historis Fir’aun empat

ribu tahun yang lalu. Jadi pertentangan dan dialog antara utusan Tuhan dan penguasa itu adalah refleksi misi dakwah Muhammad awal masa abad tujuh Masehi, bukan menghadirkan kembali dialog historis ribuan tahun lalu. Dialog itu adalah teologis; wilayah kontekstualisasi lahirnya doktrin baru dengan narasi lama yang ada di ajaran Semitik (yang dalam hal ini adalah narasi Yahudi dan Nasrani). Dalam dialog Fir’aun dan Musa tentu ada interplay

antara Makkah dan Mesir, Musa dan Muhammad, Fir’aun dan orang-orang Makkah. Misalnya kata kunci majnun itu juga bisa dilihat di sirah (biografi Nabi) bahwa sebutan tersebut dituduhkan orang-orang Makkah ke Muhammad, seperti juga yang disematkan kepada tokoh Musa, yang dituduhkan orang-orang Mesir. Jadi, ada kontekstualisasi dan tukar peran di situ.

Fragmen Qur’ani di atas merupakan cerminan dari versi yang lebih tua, Kitab Keluaran 3:11-12, tentang Tuhan mengutus Musa untuk menghadap Fir’aun untuk membawa Israel keluar dari Mesir. Keluaran 3:4 menerangkan tentang tongkat dan ular Musa. Sedangkan Keluaran 3:14 bercerita tentang Harun menyertai Musa. Keluaran 5:1-23 secara khusus menghadirkan dialog antara Musa, Harun dan Fir’aun, yang berlainan dengan versi Al-Qur’an, yaitu lebih tepatnya tentang pengeluaran bangsa Israel dari Mesir, dimana Fir’aun tetap bersikukuh untuk mempekerjakan mereka di negeri itu. Perbedaan utama versi Biblikal dan Qur’ani adalah pada tema namun tetap dengan menggunakan tokoh-tokoh yang sama: satu versi yang lebih tua bercerita tentang narasi itu sendiri yaitu situasi bangsa Israel di Mesir yang ditindas oleh Fir’aun, sedangkan versi yang lain tentang dakwah dan misi kebenaran dan kebatilan (sebuah tema yang telah terkandung kontekstualisasi dan universalisasi narasi partikular dari Mesir menuju Makkah- Madinah yang terjadi ribuan tahun kemudian).

Mungkin sebuah kebetulan, dan mungkin perlu analisis yang lebih mendalam, bahwa konsep Mesir yang menjadi obyek dan tema dalam dua Kitab Suci tersebut masih terus bertahan dalam bebunyian keduanya. Bahkan dalam tinjauan redaksional kata, dan ini yang mengejutkan, narasi Mesir Kuno masih tersimpan rapi di 3000-4000 tahun kemudian. Misalnya, dalam konsep penciptaan di Mesir Kuno, ada pujian seperti ini: “Terpujilah Atum, yang menciptakan langit, yang menciptakan semua yang ada….Tuhan

bagi semua, yang melahirkan banyak Tuhan.” Kata-kata puji Tuhan masih terus didengungkan oleh tradisi Biblikal (Mazmur 66: 20; 1 Samuel 25: 32) (lihat Westermann 1973, 66–67) dan Qur’ani. Al- Qur’an memulai dengan kalimat, “Segala puji bagi Tuhan semesta alam (Q. 1: 1).” Sepertinya itu masih sealur dengan kalimat kuno ribuan tahun tadi. Tidak hanya dalam konsep penciptaan, namun juga alur cerita yang tersisa ribuan tahun yang lalu. Khusus dalam kasus Fir’aun dan Musa, Q. 26: 23 Fir’aun menanyakan Musa, “…

wa ma rabbu al-‘alamin (siapa Tuhan semua alam?).” Lalu Musa menjawab yang bebunyiannya mirip dengan bebunyian kuno, “…

rabb al-samawat wa al-ard wa ma bayna huma (Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya) (Q. 26: 24). Tuhan langit dan bumi yang tercantum dalam Kitab Suci yang masih dipegang dan diimani hingga kini, masih seirama dan sealur dengan teks Mesir Kuno. Istilah dan rangkaian puji Tuhan pun juga sudah dimulai dari Mesir Kuno. Maka hal ini hendaknya menyadarkan tentang pararel antara teologi dunia saat ini dan teologi dunia masa lalu, sekaligus juga terjadi kontekstualisasi masa lalu ke masa kini.

Yang menarik adalah pemahaman tentang posisi Fir’aun dan hubungannya dengan para Tuhan yag juga masih bertahan, walau- pun di dalamnya sudah terdapat kontekstualisasi. Fir’aun sering digambarkan dalam narasi Qur’ani sebagai anti-monoteisme, men- gaku Tuhan, mempersekutukan Tuhan, bahkan mengaku Tuhan. Ini berbeda dengan tradisi Biblikal yang tetap mempertahan-kank- an narasi awal, bahwa kezaliman Fir’aun terletak pada penindasan dan pemerasan terhadap bangsa Israel sehingga Musa datang untuk membebaskan mereka. Pembebasan bangsa Isarel menjadi tema Kitab Keluaran (Eksodus). Namun, dalam narasi Qur’ani, pem- bicaraan dikerucutkan pada tema dan konsep monoteisme, yaitu Fir’aun sebagai figur anti-monoteisme yang digambarkan sebagai pendaku tuhan, atau setidaknya penentang Tuhan. Pada kenyataan- nya, ada relasi antara kekuasaan dan kepercayaan ter-hadap Tuhan, dan, sebagaimana disinggung di atas, semua Fir’aun mendaku diri mereka sebagai keturunan tuhan (sebagaimana di-ceritakan oleh penulis Romawi, Plutarch, (100 M). Semua Fir’aun adalah ketu- runan tuhan Osiris dan Isis yang melahirkan penguasa Horus. Osiris dulunya telah dibunuh oleh lawannya, Seth. Namun, Isis

mencari mayatnya dan ditemukan, lalu berhubungan, hamil dan melahirkan Horus (Ratnagar 2009, 75).

Tentu saja yang dimaksud Quran bukanlah konsep ketuhanan dan kefir’aunan Mesir kuno kala itu, yang dimaksud adalah inti ajaran monoteisme lain yang dimulai dari abad tujuh Masehi di Jazirah Arab. Ini sekali lagi terjadi kontekstualisasi narasi, yaitu penekanan inti tema dari narasi awal untuk disesuaikan dengan tujuan cerita itu sendiri dikisahkan ulang. Fir’aun dalam Biblikal lebih menekankan cerita pembebasan Israel, Fir’aun Qur’ani me- nekankan monoteisme, dakwah pertama Islam, dan keperluannya dalam mengambil ‘hikmah’ kisah. Tokoh yang sama, narasi yang asalny sama, ditekankan dengan tujuan yang berbeda. Tradisi lama diwariskan pada tradisi baru, namun catatan kemudian dan kon- disi selanjutnya membuat cerita itu berubah secara tema. Wadah tetap lama, tetapi isi sudah berbeda. Fir’aun ada dalam tradisi Me- sir. Musa muncul dalam pengkisahan Israel (dalam berbagai teks dan peninggalan Mesir tidak tercantum nama Musa, maka tokoh ini adalah hasil kontekstualisasi). Kisah pembebasan telah mengil- hami dan menginspirasi tokoh dan perjalanan bangsa Israel. Se- dangkan menurut versi Qur’an dalam konteks lain di masa kemu- dian, bukan lagi tentang perjalanan sebuah bangsa, tetapi tentang universalisasi nilai-nilai ketuhanan.

Bab Dua

Dalam dokumen Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama (Halaman 42-53)

Dokumen terkait