• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman dan Perbedaan Budaya dan Agama"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

yang kaya dibahas mendalam dan cermat. Buku yang memberikan gambaran ringkas dan penting dalam mengarungi sejarah umat manusia yang sering melakukan pertumpahan darah karena perbedaan. Wajib dibaca oleh mereka

yang ingin mengetahui khazanah kemanusiaan dan persaudaraan di atas landasan titik temu ajaran agama-agama

Profesor Dr. Ahmad Syai’i Maarif,

(Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Buku Al Makin Ph.D ini adalah karya penting tentang sejarah keragaman dan perbedaan pemahaman dan praksis agama-agama dalam perjalanan sejarah umat manusia. Dengan cakupannya yang luas dan mendalam, buku

ini pastilah memperkaya perspektif dan wawasan pembaca untk menyikapi perbedaan dan keragaman agama dan budaya secara arif dan bijak.

Profesor Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pluralitas atau ta’ddudiyyah adalah hard fact sejarah yang tidak dapat ditolak dan dihindari oleh siapapun. Meskipun begitu selalu saja ada argument yagn pro dan kontra. Buku ini membantu menjelaskan fakta keras sejarah tersebut. Sangat membantu pembaca yang hendak mengkaji isu plrualitas budaya, sosial,

dan agama secara akademis.

Professor Amin Abdullah (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Karya seperti ini sejauh saya tahu baru pertama kali muncul dalam khazanah tulisan religius atau teologis Indonesia. Dengan sangat terampil, data sejarah

masa lalu yang rumit mengenai Kitab Suci dari kedua agama disajikan secara “reader-friendly”. Tetapi bukan hanya konteks masa lampau saja yang diperhatikan melainkan juga konteks Indonesia masa kini, sehingga buku ini

tidak hanya bersifat lintas agama tetapi juga lintas konteks, atau kalau mau menggunakan istilah kerennya, “interkultural”. Saya belajar dari Al Makin, bahwa seorang agamawan atau teolog dalam konteks Indonesia sekarang ini seyogyanya menjadi orang yang memiliki kemampuan lintas ilmu dan lintas

agama yang memadai”.

(2)

informasi dan analisis yang amat kaya tentang fenomena keragaman dan perbedaan yang kita lihat dalam sejarah dari berbagai budaya. Buku ini menjadi salah satu cara bagaimana kita mau tidak mau rendah hati di depan

sejarah dan belajar lebih arif merespon keniscayaan akan keragaman dan perbedaan di jaman sekarang. Buku ini unik karena buku ini memberi contoh

pada kita bagaimana membuka kotak sejarah dan bukannya melipat sejarah yang sering kita lakukan entah atas nama apa saja.

Dr. St. Sunardi (Dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Karya brilian dari seorang peneliti dan filosof muda prolifk yang menjelaskan keniscayaan keragaman dan kepelbagiaan dalam agama dan budaya. Dengan melihat bukti-bukti sejarah dan menggunakan cara unik dan terkadang pro-vokatif , karya ini menunjukkan walapun bersifat transcendental, agama dalam

praktiknya sesuautu yang manusiawi. Ia merupakan bagian dari sistem budaya yang sangat dinasmis dan kontekstual. Karya yang layak dibaca oleh siapapun

yang menginnkan duna damai tanpa kekerasan apalagi berlatar agama.

Profesor Noorhaidi Hasan (Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Karya Dr. Al Makin ini sungguh spektakuler! Bukan saja karena belum ada buku sejenis yang pernah diterbitkan di Indonesia, tetapi juga buku ini memberi perspektif yang tidak terbayangkan oleh para ilmuwan sosial lainnya

di Indonesia. Dengan konteks historis dan geografis yang disajikan utuh oleh penulis, realitas sosial dan keagamaan di Indonesia dipotret dan dianalisis secara tajam dan menyeluruh. Intinya, realitas keagamaan di Indonesia adalah

cerminan realitas dunia. Begitupun sebaliknya, realitas agama-agama dunia adalah juga realitas yang terjadi di Indonesia dengan segala keragaman dan perbedaannya. Dengan hadirnya buku ini bersama karya-karya tulisan yang

sudah terbit sebelumnya, Dr. Al Makin sekali lagi membuktikan dirinya sebagai seorang sarjana berkaliber dunia yang produktif dalam menghasilkan

buah pemikiran yang bermutu tinggi.

(3)

dan sentuhan inspirasi, peminjaman, pengaruh, pergaulan dan bahkan pergumulan dengan peradaban lain secara sehat dan kritis; dan tak ada pula

peradaban maju yang meratapi perbedaan dan keragaman dalam dirinya, tapi justru menjaga dan merayakannya secara bertanggunggungjawab dan produktif. Buku Al Makin ini menyadarkan kita tentang dua hal penting ini.

Dr. Moch Nur Ichwan (Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Membaca buku ini bukan saja tiba-tiba saya merasa tak sendirian berjalan di muka bumi ini karena apa yang saya yakini dan jalani ternyata kepingan dari sejarah panjang keragaman keberagamaan manusia, dan seolah-olah kalau kita

padatkan semuanya itu dalam 24 jam, maka hidup kita saat ini sebenarnya baru masuk jam 3 sore -- waktunya untuk ngopi agar hidup jangan terlalu

tegang apalagi sampai berkonflik.

Profesor Nadirsyah Hosen (Senior lecturer di Monash University Australia dan Rais Syuriah, PCI Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan New Zealand)

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia adalah negara yang perkembangan demokrasinya mengagumkan, tetapi minus toleransi. Toleransi di Indonesia betul-betul dalam keadaan yang menyedihan, karena selalu sajaada kasus intoleransi yang muncul hampir setiap saat. Dalam situasi seperti itu buku Al Makin ini sangat membantu kita mengerti duduk perkara perkembangan sosial politik antargama di Indonesia. Buku yang harus dibaca

oleh para pengamat hubungan antaragama di Indonesia. (Budhy Munawar-Rachman, Dosen STF Driyakarya)

“Buku ini mengantarkan ke pemahaman akan kenyataan bahwa agama-agama kita dewasa ini bukanlah sesuatu yang beku dan utuh dan jatuh dari

langit sejak ‘dari sononya’, melainkan merupakan gagasan yang hidup dan berkembang, yang benihnya mulai tumbuh sejak awal mula munculnya peradaban, sehingga menyadarkan kita bahwa kepercayaan-kepercayaan yang

hidup dewasa ini sejatinya bersaudara.”

(4)
(5)
(6)

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis 1.

berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).

Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam 2.

Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta 3.

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada 4.

(7)

(8)

Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia

Copyright Al Makin, 2016

Penulis : Al Makin

Design Cover : Ikhman Mudzakir Tata Letak : Maryono

Cetakan Pertama : Maret 2016 xii + 288 hlm, 15, 5 x 23 cm

Penerbit:

SUKA-Press

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Gedung Rektorat Lama Lantai 3 Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 Email: almakin3@gmail.com

Bekerjasama dengan:

Al-Jami’ah Research Center

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Gedung Rektorat Lama Lantai 2 Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 Telpon: (0274) 558186

Email: editor@aljamiah.org sayyidaslam82@gmail.com

ISBN: 978-602-1326-48-0

All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang -undang

(9)

Pembuka ...1

Pertanyaan mendasar ...2

Argumen bukan kronologi ...4

Keragaman...5

Terima kasih ...8

Bab Satu Awal Dunia dari Warisan Narasi Kuno ...11

Keterbatasan ingatan masa lalu ...12

Catatan masa lalu ...18

Penciptaan dunia ...30

Bab Dua Kisah Manusia Pertama ...41

Kisah Adam dan Hawa ...42

Mitologi dan cerita lain ...52

(10)

Luasnya dunia ...69

Kisah tertua ...73

Banjir dunia ...79

Dari lokal ke universal ...88

Pengetahuan dunia ...91

Usia dunia ...95

Usia manusia ...102

Bab Empat Keragaman Teologi dalam Sejarah ...105

Teologi dalam sejarah ...105

Sejarah ketuhanan ...111

Melampui abad tujuh ...115

Islam tidak satu ...123

Beberapa versi ‘agama’ ...135

Menekankan perbedaan ...141

Bab Lima Kota-kota Metropolitan ...143

Belum selesai ...144

Damaskus ...147

Baghdad ...159

Unsur Persia ...162

Unsur Syriak dan Yunani ...164

Dinamika dan keragaman ...170

Niscaya ragam ...173

Bab Enam Tradisi Beriman dan Berfikir ...175

Dua warisan lama ...175

Berfikir ...177

Beriman ...180

Bertemunya iman dan fikir ...183

Warisan kuno dalam tradisi baru...188

Dari agensi aqal, doktrin penciptaan, ke sistem negara ..192

Pencapaian ...195

Serangan ...199

Bantahan ...202

Empirisme ...204

(11)

Persimpangan tradisi Timur dan Barat ...212

Kreasi baru ...218

Perpaduan ...221

Hinduisme ...226

Buddhisme ...233

Kaliyuga ...236

Sinkretisme baru ...243

Keragaman Nusantara ...246

Penutup...249

Daftar Pustaka ...255

Tentang Penulis ...267

(12)
(13)

Pembuka

(14)

berkarya dan memberi ideologi pada dinasti; itulah jalannya sejarah dunia.

Dalam membahas tema-tema dalam buku ini, para Pembaca diajak berkelana dari abad ke abad lain, zaman ke zaman lain, peradaban ke peradaban lain, tradisi keagamaan ke tradisi lain, pemikir ke pemikir lain untuk menghargai bagaimana usaha manusia dalam perjuangannya selama bertahan di planet bumi. Usaha itutelah melahirkan keragaman dan perbedaan dalam tradisi keberagamaan, pengetahuan, dan budaya. Pembaca diharapkan memahami dan menghargai semua khazanah sejarah, dari era kuno, klasik, dan masa lalu; di mana masa sekarang adalah cerminan masa lalu; masa lalu memberi fondasi bagi masa selanjutnya.

Pertanyaan mendasar

Buku ini berusaha menyinggung pertanyaan dan pernyataan mendasar sebagai berikut:

Kapan dunia ini ada dan tercipta?

Buku ini memberi gambaran bahwa banyak tradisi dan konsep kuno, sebelum dan di samping Islam, Kristen dan Yahudi, membahas konsep permulaan dunia, berupa konsep penciptaan(kosmogini dan kosmologi). Konsep alam ini dihadirkan di bab pertama sebagai pembuka dengan menghadirkan perbandingan konsep dari Mesopotamia, Mesir, dan Semitik.

Kapan manusia tercipta dan hadir di dunia?

Berbagai konsep penciptaan manusia pertama di berbagai keyakinan dan mitos kuno dan tradisi masyarakat dikupas di bab kedua. Kisah bagaimana manusia diciptakan Tuhan dilihat dari berbagai sudut pandang dan berbagai mitos: Afrika, Eropa, Jepang, dan Nusantara. Kemudian bab ini menghadirkan penciptaan kuno dari Mesopotamia, Yahudi, Kristen dan Islam.

Bagaimana dunia difahami? Seberapa luaskah alam ini?

(15)

terdapat cerita banjir yang melanda dunia. Kisah banjir termaktub dalam Bibel Perjanjian Lama dan kemudian Qur’an. Disamping kita bahas tentang relasi teks kuno dengan Kitab Suci yang masih diimani hingga kini, kita juga melihat dunia dipersepsikan dalam tradisi kuno; dan ternyata persepsi manusia tentang dunia terus berubah dan berkembang hingga kini.

Ada berapa tradisi agama dan teologi yang kita kenal?

Dalam tradisi agama kita kenal istilah banyak tuhan (polytheisme) dan monoteisme (satu Tuhan); kita telusuri bagaimana rangkaian sejarah dan perkembangan dari keduanya. Keragaman masing-masing tradisi dan juga terutama bagaimana konsep satu Tuhan pun juga melahirkan ragam pemahaman. Mazhab, sekte, perbedaan pandangan dalam monoteisme juga dipaparkan.

Benarkah kota suci dan asal kewahyuan masa lalu itu satu warna?

Jangan bayangkan kota-kota masa lalu itu sangat sederhana dan hanya satu warna: Makkah, Madinah, Damaskus, dan Baghdad. Kota-kota masa lalu itu sudah kosmopolit dan metropolis karena unsur keragaman etnisitas, budaya, tradisi dan pengetahuan. Terutama gambaran dan sejarah Damaskus dan Baghdad dipaparkan dan diterangkan.

Sejak kapan manusia menggabungkan iman dan akal, teologi dan filsafat?

Buku ini menyajikan perpaduan iman dan fikir dalam sejarah manusia; yaitu tradisi Yunani bertemu dengan tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Terutama tradisi Islam mengenal para filosof Muslim yang terbuka dan selalu siap dengan keragaman, karena mereka mengadopsi dan mengadaptasi tradisi berfikir kuno Yunani. Penterjemahan dan penafsiran dari Yunani melalui Syriak ke Arab dilakukan pada era Umayyah dan Abbasiyah.

Seberapa ragam kah tradisi Nusantara?

(16)

untuk manusia saat ini. Jika Baghdad, Damaskus, meramu tradisi Yunani, Semitik, Persia, Zoroaster, India; Nusantara tidak kalah majemuknya, tradisi Hindu, Buddha, China, Islam, Kristiani, Eropa, dan lokalitas berpadu dan harmoni. Keragaman dan perbedaan bisa terlihat indah seperti candi Prambanan, di mana di kompleks itu terdapat candi Hindu dan Buddha, Loro Jonggrang dan Sewu.

Dalam membahas beberapa konsep dasar, buku ini mengajak pembaca untuk berpetualang dari masa ke masa untuk melihat berbagai konsep keagamaan dari masa Mesopotamia, Mesir kuno, Yahudi, Kristen klasik, dan Islam; sampai Nusantara juga dari masa Mataram kuno, Majapahit, Demak, dan Mataram Islam. Pandangan ini berguna untuk meluaskan perspektif yang digunakan; juga sekaligus bisa membayangkan bagaimana meletakkan atau memposisikan tradisi sendiri. Tulisan ini mengajak kita menelaah secara jeli konsep di atas, juga sekaligus melihat gambaran umum tentang konsep-konsep dan relasi antar konsep.

Argumen bukan kronologi

Buku ini arahnya sejarah ke belakang, masa kuno, klasik, dan klasik akhir. Tetapi diharapkan pandangan sejarah berguna untuk refleksi masa kini. Masa lalu adalah awal dari masa kini; masa lalu menjadi fondasi masa kini, namun juga sekaligus diciptakan pada masa kini. Dengan kata lain, masa lalu membentuk kita, tapi juga kita bentuk. Kadang kita terkejut dengan masa lalu, bahwa pengetahuan tertentu sudah ada di masa lalu. Monoteisme berawal dari masa lalu; polytheisme jauh lebih tua. Cerita banjir sudah ada ribuan tahun sebelum termaktub dalam Kitab Suci. Kisah klasik dimulai dalam Islam di era Baghdad dan Damaskus, bersamaan dengan di Indonesia di era Medang Mataram, Singasari, Majapahit dan akhirnya Demak.

(17)

multi-dimensional approaches (berbagai sisi pendekatan). Runtutan argumen tidak berdasarkan peristiwa demi peristiwa sehingga waktu kronologis linier seperti buku sejarah. Namun, argumen demi argumen disusun berdasarkan tema yang juga dilengkapi dengan bukti sejarah. Buku ini mengajak para pembaca untuk melihat ke belakang, sejarah masa lampau manusia.

Yang didapat setelah membaca buku ini adalah memahami dunia, manusia, tradisi, agama dalam peradaban. Pembaca diajak menggambar peta dunia dan sejarahnya; juga membayangkan bagaimana dunia ini berkembang hingga seperti ini dan itu dimulai dari masa lalu; masa lalu itu seperti apa? Gambaran yang mencakup keterkaitan antara pengetahuan, tradisi, dan budaya. Konsep-konsep yang sepertinya abstrak juga diterangkan supaya gamblang.

Keragaman

Dunia ini beragam, tidak berisi satu warna, tetapi kompleks; di samping bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, warna juga hampir tak terhingga; bisa diolah dan dicampur dengan warna lain, sehingga membentuk warna baru. Walaupun sudah sekian ribu jenis warna, masih mungkin menambah warna baru—dengan maramu antara satu warna dengan lainnya. Saat ini kalau Anda pergi ke toko cat untuk besi atau tembok, bisa dipesan cat warna sesuai dengan selera. Dengan sentuhan teknologi, percampuran warna lama bisa melahirkan warna baru. Dalam cahaya, begitu percobaan Isaac Newton (1643-1727), warna putih merupakan perpaduan dari warna-warni; menyatu dalam satu satu lobang prisma dan berpendar, terpecah, menjadi beragam keluar dari lobang. Setelah melewati kaca prisma, muncul aneka rupa fraksi warna. Begitu juga pelangi di langit sehabis hujan, dari sekedar tetesan air, terkena sinar matahari, susunan aneka warna muncul. Alam raya ini dipenuhi warna; dunia penuh warna dan perbedaan rupa; itu menciptakan keindahan. Susunan berbagai warna melahirkan seni.

(18)

hanya berwarna hitam putih. Terasa bosan, bukan? Dengan berbagai warna dalam lukisan sepertinya itu, obyek menjadi seni. Alam sekitar yang penuh dengan rupa dan warna menambah ragamnya keindahan; keindahan adalah keanekaragaman dan berbagai perbedaan; keanekaragaman merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri: perbedaan itu alami. Penyeragaman adalah rekayasa yang dipaksakan.

Teratur itu rapi, tetapi keteraturan itu bukan penyeragaman mutlak. Keteraturan itu harmonisasi dari perbedaan-perbedaan sehingga membentuk susunan yang dengan mudah mata kita menangkap bentuk. Di suatu jalan raya, di pinggirnya ditanami cemara-cemara yang teratur rapi; dedaunannya dipotong sehingga tampak sama dan meninggi lancip. Walhasil, rapi dan indah. Tetapi sebetulnya cemara-cemara itu tidak seragam seperti penampakannya; masing-masing batang pohon pasti berbeda besarnya satu dengan lainnya; tidak mungkin pohon itu persis sama, apalagi ada sepuluh pohon, pasti berbeda antara satu dan lainnya. Salah satu batang pohon ada yang dijadikan rumah semut; ada yang terluka karena dipatuk burung pelatuk; ada yang tumbuh benjolan, karena cabangnya patah sebab angin yang menerpa keras. Batang pohon cemara di pinggir jalan yang kelihatannya sama persis; pada kenyataannya dipenuhi dengan perbedaan. Tidak mungkin menuntut semua pohon cemara untuk berbatang sama persis, dan simetris. Kesamaan bukan alam semesta dan bukan alami; mungkin itu buatan manusia, seperti pensil, computer, dan mobil. Bahkan buatan manusia yang seragam dalam proses alaminya nanti juga melahirkan perbedaan. Dua mobil dengan merk sama, buatan tahun yang sama, dengan warna yang sama pula, ternyata tidak sama dalam perjalanannya. Satu mobil tergesek catnya, sehingga cacat; mobil yang lain mesinnya rusak, karena pemiliknya lupa mengganti oli secara teratur. Hasilnya dua mobil yang sama menjadi berbeda dalam perjalanannya.

(19)

dikaitkan dengan tradisi lain. Keragaman dalam tradisi manusia tentu tidak seperti cemara yang berjajar di jalan, namun mempunyai variasi dan pola sendiri, di mana tradisi berusia yang bertahan terkait dengan tradisi lain yang telah sirna. Misalnya, Islam adalah agama di mana unsur-unsur ragam ada di dalamnya. Islam sejak hadir di dunia 1500 tahun yang lalu telah dipeluk oleh bermilyar-milyar manusia yang silih berganti, menempati ruang dan waktu yang berbeda. Islam pada setiap generasi mengalami kontekstualisasi dan perkembangan yang tidak sama dengan generasi yang lain. Di Indonesia, masa kerajaan Demak menawarkan situasi yang berbeda dengan Islam pada masa Yogyakarta zaman Belanda. Pada zaman Demak, pesisir menjadi faktor yang dominan mewarnai Islam, di sisi yang lain, kebesaran Majapahit masih terus membayanginya. Di masa Mataram, Islam masuk ke pedalaman sehingga lebih bersifat agraris. Di zaman Yogyakarta, politik Belanda mewarnainya. Dalam Islam, ada tradisi; ada konteks; dan keduanya berinteraksi; ini menghasilkan perbedaan dan keragaman.

Di samping tentang keragaman dan perbedaan, buku ini juga menawarkan sudut pandang: sudut pandang global dan lokal. Menempatkan suatu tradisi, pengetahuan, dan mitos pada tempatnya: dari mana itu berasal; dan bagaimana itu berkembang. Sudut pandang tentang keragaman tradisi keagamaan dan menempatkan tradisi itu dalam sejarah dunia manusia yang luas dan beragam.

(20)

para Pembaca menghargai perbedaan dan keragaman dalam sejarah, pengetahuan, dan tradisi keagamaan; yang merupakan fondasi pokok dalam menghargai dan memahami apa yang kita yakini (ternyata tidak satu dan tidak pula sendiri): ada masih banyak keyakinan, dan tradisi di luar kita.

Tulisan ini tidak membahas secara langsung, dan memberi definisi apa itu keragaman, tetapi mengajak berkelana sesuai dalam sejarah perjalanan budaya manusia. Perbedaan diterangkan dengan sejarah dan bukti-bukti bahwa segala sesuatu tidak seperti yang selama ini diyakini. Jadi kurang lebih, buku ini lebih tepat disebut sebagai jalan menuju keragaman, bagaimana kita beragam, berbeda, dan berkembang. Dunia ini tidak sederhana, tidak seperti tampaknya sederhana, tetapi rumit karena hubungan antara satu tradisi dengan tradisi lain: budaya satu dengan lainnya; pengetahuan satu dengan lainya, saling mempengaruhi; dan juga bagaimana itu juga mempengaruhi pemahaman kita manusia saat ini. Dengan membaca buku ini diharapkan bisa memahami bagaimana suatu ide itu bermula dan berubah, sehingga kita bisa menempatkankan tradisi sendiri dalam sejarah manusia yang panjang ini.

Terima kasih

(21)

Sejarah manusia sudah panjang, namun sejarah peradaban masih muda; lebih muda lagi sejarah tradisi budaya dan beragama; dan lebih muda lagi pengetahuan dan teknologi.

Penyusunan buku ini berhutang ucapan terima kasih kepada banyak orang dan pihak. Terima kasih atas kejelian Maryono (Mahasiswa Program Magister Studi Agama dan Resolusi Konflik), atas pembacaannya J. Banawiratma, ketulusan Zuly Qodir (Ilmuwan Muhammadiyah), Neng Anggi Ermarini (Ketua Fatayat NU). Terima kasih untuk istri tercinta Ro’fah yang kadang terkejut, kapan Ayah menulis? Kepada Nabiyya Perennia dan Arasy Dei, dua jagoan inspirasi, yang di sela-sela kejenuhan masih tetap asyik diajak berenang; Nabiyya sedang belajar giat untuk ujian, Dei sedang persiapan khitan. Yu Dini yang masak kebuli dan kejutan-kejutan bumbu baru dan selalu menuruti selera Dei.Om Teguh yang selalu siap diajak diskusi. Anis Hidayah sibuk terus. Untuk teman-teman di kantor: Saptoni, teman setia mengurus jurnal Al-Jami’ah. Fatimah Husein, dosen sekaligus juga ‘bos’ yang perduli dan perhatian di LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat). Muhammad Wildan yang mengusulkan judul buku ini dalam kereta api menuju Purwokerto. Muhrison dan Syuhada di kantor yang sama. Di kantor Al-Jami’ah ada Sayyidah Aslamah (Ama), Ahmad Dardiri (Afu), Priyo, Euis Nurlaelawati, Nur Ichwan, Ratno Lukito, Ahmad Bunyan Wahib, dan lain-lain. Para pembaca muda, terima kasih semangat dan masukannya: Afu, Zayyin, dan Lia Khadijah. Teman-teman di Ushuluddin, jurusan Sosiologi Agama, Adib Sofia, Roma Ulinnuha, Nurussa’adah, Nafilah Abdullah, dan seluruh rekan dosen di UIN Sunan Kalijaga, ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), Pascasarjana, dan semua yang tidak bisa disebut namanya satu-persatu; para mahasiswa yang selalu siap diajak berdiskusi, di kelas, teater Eska, dan forum lainnya: terima kasih.

(22)
(23)

Bab Satu

Awal Dunia dari Warisan

Narasi Kuno

(24)

Menurut catatan dan bukti-bukti yang sampai kepada kita, dan hingga kini masih dapat kita baca, pertanyaan tersebut telah lama diajukan oleh umat manusia sejak 3000 SM (Sebelum Masehi, tahun-tahun sebelum Nabi Isa lahir, atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Before Common Era/BCE) atau 3500 tahun sebelum Islam lahir di abad tujuh Masehi di Jazirah Arab. Rasa ingin tahu mereka juga narasi tentang mereka secara terus menerus diwariskan dari satu budaya ke budaya lain dan dari satu peradaban ke peradaban selanjutnya. Semuanya tetap tersimpan dalam catatan Kitab Suci, terutama yang masih berpengaruh bagi kehidupan beragama manusia saat ini.

Kisah awal dunia dan proses penciptaan manusia pertama menunjukkan bahwa pemahaman masa kini merupakan warisan dari pemahaman masa lalu. Pertanyaan tentang awal dunia, nyatanya, bukan milik kelompok dan peradaban tertentu, dan hampir semua kebudayaan menyimpan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Keterbatasan ingatan masa lalu

Untuk menggambarkan dunia ini secara utuh, menghadirkan kembali apa yang telah terjadi, mengetahui apa itu dunia, bagaimana dunia berputar dan berkembang dari waktu ke waktu, “masa laluadalah kunci utamanya. Kita menyebutnya “sejarah”. Sejarah adalah salah satu cara memotret dunia dengan menengok ke belakang.

Mengenal sosok pemimpin seperti Nabi, Rasul, raja, ratu, presiden, gubernur, bupati, rektor, atau dekan tak bisa dilepaskan dari usaha mempertanyakan masa lalunya, apa yang telah diperbuatnya, dan prestasi serta kesalahan apa saja yang telah ditorehkannya. Masa lalu menentukan dan mendefiniskan setiap individu, kelompok, dan dunia. Latar belakang pelamar kerja, misalnya, akan diketahui melalui Curriculum Vitae yang adalah masa lalunya. Konsep CV juga berlaku bagi bangsa, negara, manusia, bumi, dunia, dan seisi alam semesta ini.

(25)

sekarang ini bergantung pada masa lalu, bagaimana dunia dahulu kala terbentuk, terlahir, dan tumbuh berkembang. Manusia dan dunia ini ditentukan perjalanan yang telah lewat. Masa lalu menjadi kunci dari masa sekarang ini, karena itu menentukan siapa kita ini: manusia dan dunia ini. Tak pelak lagi, “masa lalu” adalah fase penting yang darinya “kita” didefinisikan dan mencapai bentuk dan keadaan seperti sekarang ini.

Lalu, apakah itu “masa lalu”? Masa lalu adalah sesuatu yang telah kita lewati, telah terjadi, dan tidak lagi hadir di hadapan kita. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana masa lalu yang telah lewat dan tidak lagi hadir di hadapan kita bisa dipulihkan kembali?

Ingatan manusia! Manusia adalah makhluk paling beruntung karena memiliki ingatan yang sanggup menampung informasi masa lalu. Dibandingkan memori gajah, misalnya, memori manusia lebih bisa diandalkan. Seumur hidupnya, dari muda hingga tua, banyak hal dan kejadian yang dapat diingat dan diceritakan kembali kepada anak dan cucu, lebih-lebih kisah tentang peristiwa penting, menarik, dan menghebohkan. Tidak hanya mengingat masa lalu dan menceritakan untuk kawan-kawan lama sambil bernostalgia pada masa lalu menikmati kopi di sebuah kafe sambil bersenda gurau, namun juga masa kecil yang berkesan untuk diceritakan pada anak cucu.

(26)

bertahan lebih lama dari ingatan manusia itu sendiri. Cerita yang ditularkan dari mulut ke mulut, dalam bahasa Jawa dikenal dengan getok tular. Getok tular inilah yang menolong manusia mengabadaikan memori. Memori yang tersimpan dalam catatan, dalam bahasa Indonesia modern, disebut dengan “sejarah”.

Sejarah berasal dari kata Arab syajarah yang artinya pohon; maksudnya sebuah pohon terdiri atas batang, cabang, dan ranting.

Syajarah biasanya merujuk pada ilmu nasab atau genealogi. Dalam wacana posmodernisme mutakhir, genealogi digunakan kembali untuk menggambarkan tradisi intelektual kesejarahan, terutama genealogi menurut Michel Foucault.

Pada masa lalu, dalam tradisi Arab yang diteruskan ke dalam tradisi Nusantara, orang biasa membuat ilustrasi pohon untuk memudahkan dalam melacak nenek moyang dan keturunanannya: nenek, bapak, ibu, anak, cucu dan seterusnya. Inilah akar kata “sejarah” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Inggris, sejarah biasa disebut sebagai history, atau l’histoire dalam bahasa Perancis dan Geschichte dalam bahasa Jerman. Dalam istilah Arab akademik kekinian, sejarah lebih sering menggunakan istilah historiografi atau tarikh sebagaimana banyak digunakan dalam judul banyak buku sejarah Arab, dari al-Tabari (224-310 H/838-923 M) sampai Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).

Manusia saat ini beruntung bisa mengakses catatan para sejarawan yang telah lalu: Yunani, Roma, Arab, Eropa, China, Jepang dan lain-lain. Seorang sejarawan dan cendikiawan Yunani Kuno Herodotus dari Halikarnassus (484-425 SM), misalnya, mencatat peristiwa-peristiwa menarik, berkisar kehidupan, peperangan, dan anekdot dari Yunani, Mesir, Persia, dan daerah-daerah sekitarnya. Ia mengatakan dalam pembukaannya seperti ini:

Ini semua tentang sejarah (l’histoire, history, inquiry, narrative, research) yang disusun oleh Herodotus dari

(27)

dari zaman Herodotus: “Erodotou Alikarnesseos stories apodexis ede.” Apakah catatan tersebut bisa dipercaya atau tidak, itu persoalan lain. Yang jelas, Herodotus mencatat kejadian-kejadian yang menurutnya menarik. Bangsa Yunani waktu itu, sekitar 500 tahun sebelum Nabi Isa (Yesus) lahir, atau 1000 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir, telah mencatat perjalanan, peperangan, dan sejarah bangsa-bangsa tetangganya. Yunani, sebagaimana juga bangsa-bangsa-bangsa-bangsa lain waktu itu, banyak melakuan peperangan. Peristiwa-peristiwa itulah yang menarik bagi Herodotus, terutama peristiwa tentang lawan bebuyutannya: Xerxes, Cyrus, dan Darius dari Persia. Banyak dari catatan Herodotus menceritakan peperangan, penyerangan, pertahanan, dan tindakan-tindakan kepahlawanan lainnya.

Dalam tradisi Jawa, ada juga catatan tentang masa lalu yang berisi tentang perkiraan seperti apa dan dari mana asal muasal para bangsawan dan raja, yang dirangkai dalam Babad Tanah Jawa; penulis aslinya tidak tercantum. Babad (sejarah atau riwayat) tentang masa lalu Jawa justru ditemukan oleh seorang Belanda W. L. Olthof dan dipublikasikan pada 1941 dengan judul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 (Inilah Serat Babad Tanah Jawa sejak Nabi Adam sampai dengan tahun 1647) (Olthof 2014, v). Dalam bab pertama Babad tersebut, ada cerita masa lalu yang dirangkai dalam bentuk syajarah

(pohon genealogi, nasab) sebagai berikut:

Inilah babad para raja di tanah Jawa, mulai dari Nabi Adam, berputra Sis. Esis berputra Nurcahya. Nurcahya berputra Nurasa. Nurasa berputra Sanghyang Wening. Sanghyang Wening perputra Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru. Batara Guru berputra lima bernama Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, Dewi Sri. Batara Wisnu menjadi raja di Pula Jawa bergelar Prabu Set. Kerajaan Batara Guru ada di Sura Laya (Olthof 2014, 1).

(28)

mitos dan kejurnalistikannya; sekedar jujur terhadap budaya sendiri dan bukan bermaksud melebihkan budaya lain. 2000 tahun sebelumnya, Yunani sudah mencatat peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Sementara Babad di 2000 tahun kemudian masih berkutat dalam mencari legitimasi dan kemuliaan dengan cara mengaitkan peristiwa kekinian (pada masa Babad) dengan trah para dewa.

Menurut pandangan Babad, yang mungkin mewakili pandangan umum orang Jawa abad tujuh belas Masehi, alam dunia ini terkait dengan alam dewa dan negeri-negeri nun jauh di sana. Para raja Jawa adalah keturunan para dewa dan para nabi yang nasabnya sampai kepada nabi Adam. Tentu saja apa yang disarikan dari Babad tersebut tidak mencatat apa yang terjadi saat itu, lebih-lebih yang terjadi di hadapan penulisnya (yang tetap merahasikan identitasnya). Yang diberitakan Babad adalah apa yang harus dimuliakan dan dijunjung tinggi. Sejatinya, ini adalah bentuk legitimasi dan justifikasi dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ketika itu. Demikianlah batasan pandangan-dunia orang Jawa ketika itu: masa penjajahan Belanda, di mana

Babad itu ditulis: Pandangan dunia seperti itu dibatasi oleh legitimasi para dewa dan orang suci, seperti nabi Adam.

Proses mitologisasi dan sakralisasi sejarah, dalam cerita kekini-an, terjadi pada Babad dan Herodotus. Apakah keduanya adalah catatan faktual atau mitos, keduanya adalah usaha mendefiniskan dunia, diri mereka, dan apa yang mereka persepsi tentang hubungan keduanya: alam dan manusia. Bagaimanapun keadaannya, Babad

dan catatan Herodotus telah memberi gambaran kepada kita semua bagaimana memandang manusia, masa lalu, dan dunia.

(29)

jarak waktunya jauh, mereka seringkali kurang (terkondisikan untuk) peduli. Semua catatan rata-rata berkenaan dengan masa dan waktu di mana generasi itu hidup. Di luar itu, tak terjangkau.

Babad, walaupun mencoba mencari legitimasi kemuliaan

melalui pertautan diri mereka dengan sejarah keturunan dan moyang para raja, tetapi intinya terletak pada peristiwa-peristiwa di saat penulisan Babad itu sendiri, yaitu era pada Kasultanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, juga pada era penjajahan Belanda. Masa lalu seperti era Majapahit, Pajang, Mataram, tak lain adalah rekaan masa lalu yang disusun pada era penjajahan Belanda, sama sekali bukan hasil rekonstruksi informasi dari saksi mata sewaktu kejadian itu, dan ditulis tanpa dilengkapi dengan bukti dan rujukan yang berasal dari masa tersebut.

Maka penting apa yang disebut sebagai ilmu sejarah. Ilmu yang dilahirkan sudah lama, semasa peradaban manusia itu sendiri. Ia beriringan dan menjadi bagian penting tak terpisahkan dari perjalanan peradaban. Jika ingin menyelami masa lalu, maka catatan kesejarahan dan peninggalan masa lalu adalah saksi. Catatan masa lalu adalah warisan yang bisa dinarasikan kepada gerenasi selanjutnya. Sejarah manusia, dunia, dan alam ini telah ada dalam catatan-catatan manusia di masa lalu. Narasi sejarah berjalan sesuai kemampuan manusia itu sendiri dalam mencatat kejadian-kejadian yang berada di sekitarnya.

(30)

Hal yang sama terjadi pada Jawa dalam Babad Tanah Jawa.

Babad memiliki keterbatasan pengetahuan yang hanya mencakup masanya, sekalipun di dalamnya disebut bangsa Belanda, Inggris, dan Portugis (kesemuanya mengalami kontak dengan dan dalam bentuk kolonialisasi atas Jawa). Babad, oleh karenanya, tidak membayangkan dunia di luar dunia yang telah tersebut.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan bangsa Belanda di negeri Belanda itu sendiri? Bagaimana dengan sejarah Portugis? Bagaimana pula dengan Yunani menurut orang Jawa? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada dari Babad, oleh karena hal-hal tersebut berada di luar jangkauan Jawa dan para pujangganya dan penulisnya, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dunia yang ditulis oleh dalam Babad tentang “dunia” bukanlah “dunia” itu sendiri yang kita fahami saat ini, melainkan cerminan pemahaman bangsa dan dunia di mana para pujangga dan sejarawan Babad berinteraksi dengan sekitarnya.

Maka, yang disebut “dunia” oleh Yunani, ya bangsa Yunani itu sendiri dan bangsa-bangsa yang dikenalnya. Begitu juga yang disebut dunia oleh orang Jawa, ya Jawa dan bangsa-bangsa lain yang dikenalnya. Padahal, banyak hal di luar Jawa dan di luar Yunani yang tidak diketahui dan belum terjangkau, karena kemajuan pengetahuan ketika itu belum menjangkau dunia-dunia lain di luar dunia mereka sendiri (yaitu dunia sebagaimana kita kenal saat ini).

Singkat kata, sejarah dunia yang disusun pada masa lalu, bukanlah sejarah dunia seperti yang kita persepsikan saat ini. Apa yang disebut dunia masa itu berbeda dari dunia saat ini. Dunia niscaya berubah. Ia berevolusi (berubah dari waktu ke waktu) sebagaimana pengetahuan manusia tentang dunia yang berkembang dari waktu ke waktu dan bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Apa yang disebut dunia pada masa lalu, tentu tidak masuk kreteria dunia yang saat ini dikenal. Pengetahuan tentang bumi masa lalu belum seluas pengetahuan saat ini. Dunia berubah, dan begitu juga pengetahuan tentang dunia.

Catatan masa lalu

(31)

jejak sejarah manusia itu sendiri. Mengenai sejak kapan manusia sadar akan dirinya dan berusaha mencatat apa yang dialaminya, tentu saja sejak manusia mampu menemukan huruf-huruf yang mewakili bahasa mereka, menggunakan, serta melestarikannya sebagai budaya warisan masa itu.

Bahasa diibaratkan kotak penyimpanan bagi semua yang manusia upayakan sekaligus sarana untuk mengekspresikan isi pikiran manusia. Dengan bahasa, manusia menyampaikan berbagai macam ide. Bahasa manusia berkembang dan hal ini pula yang menandai bahwa kita, manusia, berbeda dengan makhluk lain yang cenderung statis dalam olah vokalnya, seperti burung, monyet, atau mamalia lainnya; hal ini terlepas dari perkembangan penelitian mutakhir, bahwa studi atas bebunyian pada mamalia seperti paus, lumba-lumba, bonobo, atau juga burung kakaktua, menyatakan bahwa di balik suara-suara yang mereka buat ada pola bahasa tertentu yang mereka gunakan. Faktanya, olah vokal hewan cenderung statis, berulang-ulang, dan telah bergenerasi-generasi dengan perkembangan yang tak cukup berarti. Hal ini berbeda dengan manusia yang terus berkembang dengan pesat dalam bahasa, simbol, kreasi, dan ekspresi.

Bahasa dan eskpresi manusia seringkali berkelindan erat. Catatan dan iman, bacaan dan agama, penulisan dan kesalehan, teologi dan sejarah, kesemuanya bertaut dan bercampur baur. Namun begitu, fakta ini menjadi faktor pendukung yang menjadi-kan catatan-catatan di masa lalu dapat bertahan, terbaca, dan terjaga hingga berabad-abad selanjutnya. Pada zaman Mesir Kuno, catatan dan pengetahuan didominasi oleh para pendeta. Begitu juga pada kebudayaan lain seperti Sumeria dan Babilonia. Kependetaan dan pendidikan sangat erat hubungannya. Istilah sistem aksara Mesir Kuno Hieorglyph berasal dari bahasa Yunani. Hieros berarti suci, sakral, dan tinggi. Sedangkan glyph berarti tulisan. Singkatnya,

Hieroglyph adalah tulisan suci yang mengandung unsur ketuhanan, langit, dan dihormati. Orang Mesir menyebut aksara Hieroglyph

sebagai kata-kata tuhan. Di Mesir Kuno, bahkan, ada tuhan khusus sang penguasa pengetahuan (termasuk di dalamnya tulisan) yang disebut hoth, sedangkan tuhan perempuannya (dewi) disebut Sesyat (Rose-Marie and Hagen 2002, 68).

(32)

yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad dirangkai dengan nama Tuhan (Q. Al-’Alaq 96), “...iqra’ bi ismi rabbika al-ladhi khalaq...” (Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan). Selama ribuan tahun, membaca dan menulis, baik sejak era Mesir Kuno hingga Islam, tetap menempati posisi yang suci, tempat para tuhan; dan pada tradisi empat ribu tahun lebih muda tulisan dan bacaan adalah sebagai “rumah singgah” bagi wahyu Tuhan untuk disebarluaskan di muka bumi.

Kitab Suci yang diimani dan disakralkan oleh umat beragama hingga kini merupakan catatan manusia yang disalin dan diter-jemahkan secara terus-menerus; inilah peninggalan kebudayaan kuno, yaitu catat-mencatat, yang hingga kini masih menjadi kegiatan manusia. Dahulu kala itu merupakan sakral, ritualis, dan imani. Kitab-Kitab Suci paling banyak diimani penduduk dunia dan bertahan berabad-abad lamanya berasal dari dan berakar pada budaya Semitik, yaitu tradisi Israel Kuno yang berkembang di sekitar Jazirah Arab dan sekitarnya (mencakup tanah kuno Levant atau lebih dikenal dengan istilah Fertile Crescent, yaitu tanah subur bulan sabit). Fertile Crescent adalah tanah terkuno yang menjadi cikal bakal kota dan wilayah paling awal yang pernah dibangun manusia, yaitu Mesopotamia. Disebut Mesopotamia karena dialiri dua sungai Tigris dan Eufrat (terletak di Irak saat ini). Sekalipun Mesopotamia mulai dibangun sekira 3000 SM, namun kawasan subur ini telah dihuni manusia sejak 6000 SM dan mereka menggarap air yang ada di rawa-rawa. Mesopotamia memiliki kota-kota kuno, antara lain: Babilonia di selatan, Akkad di tengah, dan Assyria di utara. Kota-kota kuno lain di Mesopotamia di antaranya: Ur, Uruk, Assur, dan Ninive (Wiltshire 2005, 8).

(33)

Perjanjian Baru yang berisi perjalanan tentang iman Kristiani terutama terfokus pada Yesus (dalam bahasa Arab Isa) dan kurang lebih berusia 2000 tahun. Al-Qur’an sendiri, yang termuda dari tradisi Yahudi dan Kristiani, telah berusia 1500 tahun dan hingga kini masih mempertahankan dua tradisi tersebut dengan cara menyesuaikan (kontekstualisasi) narasi-narasi Israel dan Biblikal untuk dibawa dalam ranah Arab pada kondisi abad tujuh Masehi (abad satu Hijriyah), di mana bacaan itu pertama kali diwahyukan, didaras dan lalu disebarkan.

Dalam tradisi spiritualitas lain di India, yang masih bertahan hingga kini adalah Veda (pengetahuan suci/sakral) dan berusia kurang lebih 3000-3500 tahun lebih tua dari masa sekarang (berasal dari sekitar 1200-1500 SM dan 1700-2000 tahun lebih tua dari Islam). Hampir seusia dengan Veda adalah Perjanjian Lama; Veda berasal dari India sedangkan Perjanjian Lama dari bangsa Isarel. Keduanya sama-sama tuanya, tetapi berlainan tradisi, tidak saling memuat dan tidak bersinggungan. Isinya Kitab Suci tak terkait, dan tak bertemu di masa itu. Warisan kuno Veda memuat simbol, himne doa-doa, komentar, etika, mantra, seremoni, dan pengorbanan (terbagi dalam masing-masing judul

Rigveda, Yayurveda, Atharwaveda, dan Samaveda, biasa disebut

Samhita). Veda memuat pujian terhadap Tuhan-Tuhan, seperti: Indra (terkait perang), Varuna (pengatur kosmos), Agni (terhadap api), Soma (terkait tanaman dan jus), Ashvin (terkait kesuburan), Vayu (terkait angin), dan Rudra (terkait dengan kekuatan liar), dan Vishnu (dekat dengan peran Indra tentang kehancuran) (Knipe 1993, 738–742).

Masa Veda ini kemudian diikuti dengan masa Epos, yaitu cerita yang sangat popular hingga kini di Indonesia, yang gubahannya banyak ditulis sejak zaman Mataram Kuno di Jawa Tengah hingga Majapahit di Jawa Timur. Yaitu Mahabarata dan

Ramayana yang dimulai sejak 400 SM (Knipe 1993, 754–759);

(34)

dari sejak 400 SM hingga 400 M (kurang lebih dalam rentang 1 millenium lamanya).

Namun, cerita bertradisi India bukanlah tradisi Semitik, dan cerita-cerita di dalamnya tidak pula termaktub dalam Kitab Suci bertradisi Semitik. Sebaliknya, kisah India itu tidak pula memuat kisah nabi-nabi Biblikal dan Qur’ani. Namun, narasi keduanya (sebagaimana juga perjalanan para nabi Bibilikal, orang bijak Israel, raja-rajanya, yang masih diteruskan tradisi termuda Islam) juga mengajarkan tentang etika, filsafat, dan esoterisme (semacam sufisme, yaitu kesalehan dan asketisme). Cerita sekaligus ajaran suci spiritualitas makna dari kisah-kisah tadi. Dan hingga kini kisah tradisi India masih popular dalam pewayangan di Jawa dan Bali. Yang jelas, sebagaimana juga kisah-kisah Biblikal dan Qur’ani, kisah dalam epos India itu tidaklah bertujuan historis, kejadian apa adanya bukanlah tujuan utama dalam pengkisahan, tetapi moral dan pelajaran bagi umat beragama yang menjadi tujuan dalam mendaras Kitab Suci. Mungkin sebagian ajaran merupakan sindiran terhadap kejadian sebenarnya, yang mungkin pernah terjadi, tetapi hal itu bermakna sebagai pelajaran hidup, bukan untuk tujuan menceritakan apa yang terjadi, atau yang benar-benar terjadi. Yang jelas, kisah-kisah tragis, pilu, kekalahan dan kemenangan dalam

Mahabarata dan Ramayana telah mendefinisikan siapa sebenarnya manusia, apa itu semesta, dimana Tuhan, dan bagaimana relasi ketiganya. Kisah itu dinikmati untuk refleksi manusia hingga masa kini.

Masih dalam naungan tradisi India adalah tokoh Siddhartha Gautama (563-483 SM, 1000 tahun sebelum Islam) yang telah mencari dan mencapai pencerahan dan mengajarkan tentang penderitaan dan kebahagiaan kepada manusia setelahnya. Menurut ajaran Gautama, hidup manusia saat ini berhubungan dengan kehidupan sebelumnya (samsara). Kehidupan mempunyai jiwa keabadian (atman) yang mengikuti kelahiran kembali. Tradisi oral yang menjadi tradisi tulis Tripitaka (tiga keranjang terdiri dari

(35)

stupa, mendirikan dewan para pendeta, mendidik para pendeta (termasuk anak-anaknya sendiri, laki-laki dan perempuan), dan kemudian mengirim mereka ke dalam misi-misi ke berbagai daerah di Asia, salah satunya di Sri Langka (Lester 1993, 861,875– 878). Raja inilah yang menjadikan ajaran Buddha sebagai tonggak penyatu negara yang dipimpinnya (tepatnya terletak di kota Bihar saat ini).

Paling tidak manusia saat ini masih mempertahankan dua tradisi besar kuno: tradisi Israel dan India, yang terus berkembang dan dipeluk manusia sebagai iman. Sementara tradisi Israel, yaitu tradisi pewahyuan dan kenabian, bertahan dalam tiga tradisi: Yahudi, Kristiani, dan Islam; tradisi India bertahan dalam keimanan Hindu dan Buddha.

Dunia saat ini masih membaca catatan masa lalu yang disakralkan terutama tradisi Semitik, karena Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika masih mengimani tradisi Kristiani, di mana gereja-gereja masih dikunjungi. Agama yang lebih tua, Yahudi masih bertahan di negara yang bernama Israel, dan sebagian umatnya juga hidup di Amerika. Untuk Timur Tengah dan Asia Tenggara, tradisi Semitik bertahan dan tersimpan dengan rapi dalam ajaran termuda Islam. Khusus untuk Indonesia yang mayoritasnya Muslim masih membaca narasi Semitik yang sudah dikontekstualisasikan pada abad tujuh (1500 tahun yang lalu) dan diinterpretasi berkali-kali dari budaya ke budaya (salah satunya adalah tradisi Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan bahasa), di mana budaya dan politik keislaman tumbuh dan berkembang.

Indonesia, di masa lalu, mewarisi tradisi India melalui Hindu dan Buddha. Ini dibuktikan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara yang bercorak warisan Hindu-Buddha. Namun begitu, pengaruh tradisi India telah lama beralih ke (dan juga berbaur dengan) spiritualitas Semitik termuda: Islam. Candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa Tengah (Magelang dan Yogyakarta) dan Jawa Timur sudah tidak lagi difungsikan sebagai tempat ibadah rutin. Tempat-tempat suci itu berfungsi sebagai obyek turisme, walaupun bangunan-bangunan tua tersebut kadang masih digunakan sebagai tempat upacara tertentu.

(36)

terjaga, karena sakralitas dan perannya dalam keimanan. Kitab suci lah yang merekam peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh komunitas dan generasi tertentu, kemudian diwariskan pada kemunitas selanjutnya, dihargai, dan diberi interpretasi. Kitab Suci merupakan peninggalan masa lalu yang masih bertahan, karena umat mengimaninya. Kitab Suci juga merupakan bentuk catatan pengalaman keagamaan manusia tentang dunia, manusia, dan relasi antara dunia dan manusia.

Di sisi lain, catatan-catatan di luar Kitab Suci yang masih ada dan berjumlah banyak (karena penemuan dan penelitian terus berjalan) cenderung dilupakan, karena tidak ada unsur teologis, magis, dan supranatural di dalamnya, serta tidak berlaku secara hukum di tengah masyarakat. Catatan-catatan syair selain Kitab Suci pada abad tujuh hingga sembilan Masehi di Jazirah Arab, misalnya, masih tersisa. Kuantitas mereka banyak namun tidak diperhatikan, cenderung diabaikan, dan bahkan dilupakan. Ada usaha-usaha tertentu untuk “menyingkirkan” catatan-catatan syair tersebut dengan cara melakukan sensor “teologis” karena keberadaan mereka dianggap mengancam sakralitas doktrin-doktrin teologis yang berkembang di Jazirah Arab ketika itu. Tentu saja, catatan-catatan itu dikalahkan oleh doktrin Islam yang berlaku ketika itu, padahal mereka memberi pandangan yang berbeda tentang spiritualitas dan tradisi keagamaan. Dalam kasus abad tujuh Masehi, ada syair-syair karangan Umayyah b. Abi Salt (berasal dari Taif tetangga kota Makkah) yang memuat doktrin-doktrin tentang ketuhanan, akherat, kosmogoni (awal dunia), moral, etika, dan ritual (Makin 2010; Makin 2014). Sayang sekali, syair-syair Abi Salt terabaikan dan tidak melahirkan banyak pembaca. Syair-syair tersebut tidak mendorong generasi selanjutnya untuk mengkaji apalagi menafsirkannya. Sebagai konsekuensinya, syair-syair Abi Salt terlupakan dan bahkan tidak mendapatkan tempat di mana seharusnya ditempatkan dan dihargai, yaitu dalam studi kronologi sastra dunia dan berkait dengan situasi awalnya Islam.

(37)

manusia. Awal dari segala sesuatu, tentang muasal alam semesta, lahirnya manusia, dan relasi antara alam dan manusia, kesemuanya selalu dilihat dari kacamata dan semangat kesalehan. Kitab Suci dan keimanan adalah bahasa komunikasi mayoritas Muslim Indonesia; karenanya, semua berawal dari dan berakhir di Kitab Suci.

Sikap teologis seperti itu banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang awal segala sesuatu di alam semesta berikut isinya. Narasi awal manusia berupa Adam dan Hawa yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan pertama kali serta beranak pinak sampai masa kini, merupakan warisan tradisi imani Semitik (narasi tradisi lama Israel dan Arab, yang diwariskan ke tradisi keagamaan lain dan mengakar selama kurang lebih 2000 tahun terakhir di Eropa, Timur Tengah, Mediterania, Asia, dan Afrika). Menjadi wajar kiranya jika kesadaran dunia dan sejarah manusia juga akan dikembalikan pada tradisi Semitik semata, tanpa mempertimbangkan tradisi lain.

Jika asal muasal manusia dikembalikan pada narasi Adam dan Hawa, maka asal muasal narasi itu sendiri juga bisa diletakkan pada konteks kesejarahannya. Narasi Adam-Hawa terjaga dan terus diwariskan oleh tradisi Arab yang termasuk bagian dari tradisi yang lebih kuno, yaitu Ibrani; tradisi Ibrani menyangkut bahasa-bahasa seperti Syriak, Aramaik, Etiopia. Tradisi Ibrani sendiri adalah warisan masa lalu dari tradisi sebelumnya. Dalam tradisi Kitab Suci dan bahasa Ibrani terekam kebudayaan kuno masa lalu seperti Mesir, Babilonia, Phoenicia, Sumeria, dan Assyria.

(38)

Narasi proses lahirnya dunia yang ditandai dengan penciptaan manusia pertama turun ke dunia dan penciptaan yang secara langsung dilakukan oleh Tuhan, merupakan warisan narasi tradisi lama. Proses sakralisasi berbagai narasi juga melibatkan proses simplifikasi. Tradisi Biblikal, yang kemudian menjadi versi Qur’ani, bisa dikembalikan lagi pada tradisi yang muncul lebih dahulu: Sumeria, Babilonia, Mesir, dan Yunani. Ada banyak versi narasi proses adanya dunia ini dan bagaimana munculnya kehidupan, sebagaimana juga ada banyak versi dalam banyak tradisi dan bahasa yang kemudian ditangkap dan diabadikan dalam agama-agama yang bertahan hingga kini. Agama-agama tua, dalam peradaban kuno, banyak sekali jumlahnya; sebagian besarnya menghilang. Namun, beberapa dari ajaran dan cerita tentang mereka bertahan pada agama-agama selanjutnya.

Jadi, Kitab Suci merupakan rekaman masa lalu. Agama-agama yang punah masih menitipkan narasi mereka pada Kitab-Kitab Suci selanjutnya. Namun karena terjadi percampuran dari berbagai tradisi, kita sulit, atau tidak mampu lagi, memilah mana yang tradisi lama dan mana yang tradisi lanjutan yang mengubah tradisi masa lalu, memperbarui semangatnya, dan menyesuaikannya dengan konteks dan semangat zamannya. Kita mengenalnya sebagai “kontekstualisasi” atas ajaran kuno oleh tradisi yang muncul kemudian.

Tradisi Qur’ani masih menyimpan tradisi Semitik, demikian juga tradisi Semitik mewarisi tradisi Babilonia, Sumeria, Yunani, Mesir, dan lain-lain. Pun tradisi sebelumnya juga menyimpan tradisi di masa sebelumnya lagi. Ini seperti tak terhindarkan. Dalam ilmu sejarah dan antropologi, hal-hal tersebut bisa dilacak. Misalnya asal-usul ide atau konsep, kita bisa menggunakan konsep genealogi, yang dalam wacana postmodernisme pernah dicontohkan oleh Michel Foucault.

Darimana tradisi narasi penciptaan alam itu bermula? Apakah tradisi itu muncul dengan sendirinya? Apakah Makkah dan Madinah merupakan awal dari narasi tersebut? Ataukah Damaskus dan Baghdad yang mengawalinya?

(39)

tradisi Arab merupakan pewaris tradisi Semitik di sekitar wilayah yang saat ini dikenal sebagai Timur Tengah dan Mediterrania. Dengan kata lain, tradisi Arab yang dikembangkan dalam bingkai tradisi keislaman merupakan warisan tradisi peradaban Persia dan Bizantium. Umayyah di Damaskus, secara geografis, budayanya mendekati Bizantium Romawi. Sementara Abbasiyah di Iraq lebih dekat dengan Persia secara budaya dan sosial.

Kembali pada kesadaran manusia tentang keberadaannya dan bagaimana mereka mencatatnya, Mesir Kuno yang berada di pinggir sungai Nil (3000 SM) menyimpan banyak catatan di Piramida, tempat mumi para raja-raja. Mesir Kuno jelas mendahului tradisi Semitik. Ini dapat dipahami dari narasi Biblikal di mana konteks kisah Musa (atau Moses) adalah Mesir. Musa, menurut Biblikal, dikisahkan sebagai pembebas bangsa Isarel dari cengkeraman Fir’aun Mesir (Ramses); penguasa Mesir ini digambarkan sebagai raja zalim yang memperbudak umat Israel. Salah satunya kerja paksa dalam pembangunan Piramida-Piramida. Pembebasan bangsa Israel oleh Musa dalam menemukan tanah baru yang merdeka dipahami sebagai pemberontakan terhadap penguasa yang zalim. Tuhan, melalui Musa, hadir dan membinasakan yang zalim. Ini versi Biblikal.

Versi Islami, Fir’aun tidak hanya zalim dalam arti menindas manusia (Islam telah me-universalkan, tidak hanya bangsa Israel saja yang ditindas melainkan juga umat manusia secara keseluruhan), bahkan lebih jauh, dalam versi Islam Fir’aun telah menyamakan dirinya dengan (dan mengaku sebagai) Tuhan. Paham “monoteisme baru” versi Islam muncul di sini, dengan semangat baru juga; konsep ini terfahami dibalik narasi kezaliman Fir’aun. Konsep keesaan Tuhan menurut Islam tersebut tidak terdapat pada narasi Moses dan Ramses dalam konteks Bibilikal. Maka dalam hal ini, Musa “versi Arab”, senyatanya, adalah hasil kontekstualisasi dari teks yang lebih dahulu. Tentu saja, ini dilakukan dalam bingkai “konsep keimanan” yang barupula.

(40)

Mesir kuno, peristiwa Eksodus itu sendiri, yang melibatkan Moses dan Ramses (dalam tradisi Islami menjadi Musa dan Firaun), tidak ditemukan. Maka apakah peristiwa itu terangkai setelah Mesir itu sendiri (pasca-Mesir), atau sekedar peristiwa yang sudah terjadi kemudian terjadi mitologisasi. Artinya peristiwa migrasinya bangsa Israel dari Mesir bisa jadi terjadi, tetapi proses menarasikan ulang sehingga menjadi Musa dan Firaun itu terjadi jauh hari setelah peristiwa itu, sehingga terjadi perkembangan cerita dan sakralisasi kejadian karena unsur imani.

Mesir merupakan bagian dari perjalanan manusia yang penting. Tidak hanya karena Mesir tercantum dalam Perjanjian Lama dan juga selanjutnya Al-Qur’an, namun juga karena catatan-catatan Mesir itu sampai kepada kita dan semua informasinya dapat dibaca hingga kini. Manusia abad ini beruntung, karena getaran suara Mesir Kuno masih tersimpan di Kitab Suci, yang masih didaras hingga kini.

Namun, menarasikan ulang apa itu Mesir dan apa yang terjadi di sana, saat ini tidak lagi bersandar hanya kepada Kitab Suci. Narasi Mesir direkonstruksi kembali berdasarkan bukti-bukti berupa catatan-catatan huruf paku, peninggalan-peninggalan benda-benda kuno, dan bukti-bukti fisik dalam bentuk lain yang masih terawat. Cerita tentang Mesir sebagai konsekuensinya berkembang dari waktu ke waktu, karena bukti yang ditemukan juga semakin beragam dan berkembang. Narasi, tentu saja, berubah berdasarkan pengetahuan. Ini jelas terbalik dengan pemahaman Kitab Suci yang pengetahuannya disusun berdasarkan narasi yang sudah ada.

(41)

Bagi Mesir Kuno awal manusia itu dari tuhan, yang manifestasinya berupa para raja. Alam sana, alam ketuhanan, hadir di alam sini, maka Tuhan dan manusia hadir lewat raja. Maka segala yang terjadi di alam sana, itu juga terjadi di alam sini, atau terbalik, segala yang terjadi di alam manusia berhubungan erat dengan alam ketuhanan. Ini terjadi dan terbukti dengan adanya mumi (pengawetan mayat manusia). Bagi Mesir kuno, manusia meninggal bukan akhir dari kehidupan. Tetapi kehidupan masih berlanjut terus. Manusia meninggal, tetapi ba (jiwa) dan kha (ruh) tetap hidup dan bertahan (Žabkar 1968). Alam setelah kematian masih terus ada, dan perlunya menghormati yang telah tiada, karena yang meninggal hanya berpindah ruang kehidupan, dan bahkan kehidupan sana berpengaruh pada kehidupan generasi selanjutnya yang masih ada di sini di dunia ini. Dunia setelah kematian dan dunia hidup saat ini berhubungan dan keduanya serta dipersepsikan sebagai alam nyata.

Berikut ini teks kematian dari Mesir Kuno (dari dinasti ke VI):

1. ha Unas an sem-nek as met-th sem-nek anxet

Terpujilah Unas, engkau tidak pergi, lihatlah, sebagai kematian, Juga sebagai kehidupan

hems her xent Ausar.

Untuk duduk di tahta Osiris.

2. O Ra-Tum i-nek sa-k i-nek Unas . . . sa-k pu en

Oh Ra-berbaliklah, datanglah anakMu, datang pada Unas, anakMu

t’et-k en t’etta

badanmu selamanya.

3. Tem sa-k pu penen Ausar ta-nek set’eb-f anx-f anx-f

Oh berbaliklah, anakmu ini Osiris; engkau beri anugerah dan hidup; dia hidup,

anx Unas pen an mit-f an mit Unas pen

dan hidup Unas ini; tidak mati ia, tidak mati Unas ini.

4. hetep Unas em anx em Amenta

Unas tinggal hidup di Amenta.

5. au am-nef saa en neter neb ahau pa neheh t’er-f

(42)

pa t’etta em sah-f pen en merer-f ari-f mest’et’-f

dan kebabadian di sah nya, yang ia sukai ia lakukan, yang ia benci

an ari-nef

tidak ia lakukan.

6. anx anx an mit-k

Hiduplah kehidupan, tidaklah engkau mati (Budge 1895, the doctrine of eternal life).

Tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa pemahaman tentang adanya dunia lain selain dunia ini adalah warisan Mesir. Walaupun pemahaman seperti itu hampir universal di semua kebudayaan (India, Eropa, dan Jepang Mesopotamia misalnya), tetapi untuk tradisi Semitik, jelas itu semua berhubungan dengan Mesir. Perbedaannya adalah Mesir masih bersifat polytheis (iman pada para tuhan dan dewa) sementara agama Semitik memegang monoteisme (iman pada hanya satu Tuhan).

Penciptaan dunia

Pertanyaan bagaimana dunia ini dimulai sangat penting bagi manusia. Tidak mengherankan jika pertanyaan tersebut sudah muncul sejak masa kuno, di Mesopotamia (Sumeria dan Babylonia), Mesir, dan tradisi Israel. Banyak Kitab Suci yang memuat pertanyaan tentang itu sekaligus jawaban atasnya, dalam bentuk narasi yang dikenal dengan “doktrin penciptaan” (creatio). Versi Biblikal (kitab Genesis atau Kejadian) dan Qur’ani (dalam berbagai surat dan ayat)

tentang doktrin penciptaan, disamping menyampaikan ajaran agama, juga sekaligus sebagai tempat penyimpanan warisan kuno yang mungkin tak lagi dikenali. Kini, mengingat banyak teks-teks kuno telah dipelajari dan diinterpretasi secara terus menerus, versi penciptaan Kitab Suci satu sama lain bisa saling dibandingkan. Versi Biblikal maupun Qur’ani ternyata dijumpai persamaannya dengan versi yang lebih kuno pada teks-teks lain.

(43)

Phoenicia—ditransmisikan oleh Philo dari Byblios (64-141 M), seorang ahli tata bahasa Yunani yang hidup di Lebanon. Berikut adalah versinya:

Dia (Sanchoniatho) menceritakan bahwa awal dari segala sesuatu adalah kegelapan dengan udara berangin yang campur-baur, atau buratan udara gelap dan kekacauan (chaos) kotor dan tak dikenali seperti Erebus: dan semua

itu tak terbatas, dan sejak waktu yang lama tidak ada ikatan: tetapi ketika angin ini berkumpul dan teratur, lalu percampuran terjadi, dan menjadilah yang dinamakan ‘Kehendak (Desire)’: dan itu adalah awal dari penciptaan

segala sesuatu. Tetapi angin tidak tahu apa yang telah dihasilkan. Dan dari angin itu sendiri munculah Mot; kadang juga disebut Mut, lalu yang lain menjadi semacam percampuran air: dan dari situ muncul benih-benih penciptaan, dan selanjutnya kehidupan alam semesta ini (Cory 1828, Sanchoniatho p. 4).

Teks kuno tersebut mengingatkan kita pada narasi Kitab Kejadian 1:2 yang berbunyi, “bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang-layang diatas permukaan air.” Bagian pertama di atas, yaitu kata “chaos”, menjadi kunci dari pensejajaran kedua versi sumber ini. Dunia sebelum penciptaan dimulai dengan chaos (kekacauan). Kemudian kata kunci selanjutnya adalah air yang bercampur. Ini bisa dilihat pada Kejadian 1:9, ”Hendaklah segala air yang dibawah langit berkumpul, pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.” Selanjutnya yang menjadikan kunci dalam pensejajaran bacaan adalah kata “Kehendak” (Desire), yang dipertegas pada akhir ayat Kejadian 1:9 dan diulang lagi pada 1:11, “Dan jadilah demikian”.

Persamaan narasi tersebut tentu saja karena Semitik punya akar yang kuat di Mesopotamia, dimana bangsa Akkadia hidup disitu, bangsa yang dipercaya sebagai nenek moyang Semitik. Maka Semitik yang kemudian berkembang hingga masa kini menjadi tiga tradisi besar, Yahudi, Nasrani dan Islam, mempunyai keterikatan dengan ajaran-ajaran kuno, namun tentu saja telah mengalami kontekstualisasi di masing-masing tempat dan waktu.

(44)

muda. Misalnya unsur air dalam konsep penciptaan al-Qur’an, sebagaimana dilihat pada ayat berikut ini, “...wa ja’‘alna min al-ma’i kulla syay’in hayyin...” (Dan Kami jadikan dari air segala kehidupan, Q. 21: 30). Dalam Q. 11:7 disebutkan bahwa Arasy Tuhan diatas air (kana arshuhu ala al-ma’i). Narasi Kitab Suci Semitik ternyata berkelindan dengan tradisi Mesopotamia.

Sepertinya dalam kalimat kemahligaian penciptaan yang paling terkenal kun fayakun (Q. 2: 117; 3: 47; 6: 73; 16: 40; 19: 35; 36: 82; 40: 68) (jadi, maka jadilah) merupakan warisan lama. Salah satu persamaannya adalah redaksi kalimat dalam Sanchoniatho di atas “…dan menjadilah yang dinamakan.” Ini juga senada dengan bahasa ungkapan ketika Allah berfirman dan menjadi, “Dan jadilah demikian.” dalam Kitab Kejadian 1:9 dan 11.

Teks lebih kuno yang berasal dari Babilonia mungkin bisa dibandingkan dengan konsep penciptaan alam dalam tradisi Semitik tersebut. Perbedaannya adalah, jika di Babilonia konsep ketuhanan itu berbilang, sedangkan Semitik mengajarkan ketunggalan. Proses kontekstualisasi dan adaptasi tuhan yang semula polytheisme menjadi monoteisme jelas bukan proses yang sederhana. Dalam teks-teks Babilonia dan Sumeria, tuhan-tuhan dikenal dengan nama Anu, Enlil, Marduk, Enki, atau juga Ea (Wasilewska 2000, 146–152). Misalnya, dalam suatu teks Babilonia Kuno bernama

Enuma Elis, yang ditemukan dan dipublikasikan pada abad

sembilan belas Masehi, terdapat teks penciptaan yang mempunyai kemiripan dengan versi Biblikal dan Qur’ani tersebut diatas.

e-nu-ma e-liš la na-bu-ú šá-ma-mu

Ketika langit tinggi tak bernama,

šap-liš am-ma-tum šu-ma la zak-rat

Dan ketika bumi dibawahnya tidak pula bernama,

ZU.AB-ma reš-tu-ú za-ru-šu-un Dan ketika asal mula Apsu,

yang melahirkan keduanya,

mu-um-mu ti-amat mu-al-li-da-at gim-ri-šú-un

Dan Mummu Tiamat, ibu dari keduanya,

A.MEŠ-šú-nu iš-te-niš i-i-qu-ú-ma

Airnya bercampur bersama-sama,

gi-pa-ra la ki-is-su-ru su-sa-a la she-’u-ú

(45)

e-nu-madingir dingir la šu-pu-u ma-na-ma

Tidak ada tuhan yang mengada.

Dalam kajian dan kecendikiawanan teks kuno, bacaan Babilonia yang ditemukan di perpustakaan Ashurbanipal di kota Ninive, Irak, tidak hanya mengandung narasi penciptaan dari kekacauan dan air, tetapi mengandung banyak elemen dan unsur narasi budaya lain yang mungkin sudah ada pada masa sebelumnya, terutama di Sumeria dan bahasa Phoenicia (sebagaimana teks Sanchoniato di atas). Mungkin konsep yang terkandung di Enuma Elis yang lebih lengkap ini bisa terangkum sebagai berikut: 1) bahwa

penciptaan itu dari kondisi kekacauan dan juga melibatkan unsur air; 2) adanya yang menciptakan; 3) adanya figur jahat berupa monster; 4) terjadinya pertentangan antara yang jahat dan yang buruk; 5) pembedaan beberapa elemen penting yaitu: bumi, langit, tanah laut, aturan dan kekacauan; dan 6) penciptaan manusia itu sendiri (Tamtik 2007, 66).

Lebih menarik lagi, proses penciptaan Qur’an (sebagai Kitab Suci paling muda) juga masih melestarikan isi Enuma Elis,

sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu pada dialog antara Tuhan, Malaikat, Iblis dan Adam, dalam Q. 2 (al-Baqarah) dimana Tuhan sebagai pencipta melakukan dialog dengan figur protagonis (Malaikat) sekaligus dengan figur antagonis (Iblis/Jin). Perintah Tuhan kepada figur antagonis untuk bersujud kepada Adam ditolaknya (Q. 7:11-12 da 2:34). Unsur-unsur ini tentu masih merefleksikan kesamaan dengan Enuma Elis sebagai fondasi dasar

dan tua untuk teks-teks selanjutnya.

Konsep penciptaan dan penataan di dalam Enuma Elis juga

bisa dipararelkan dengan Mazmur 77: 17-21, yaitu tentang ba-gaimana akhirnya Marduk mengalahkan Tiamat dan akhirnya di-tasbihkan sebagai penguasa alam dewa dan dunia ini. Kemudian Tuhan Marduk mengatur masyarakat Babilonia, dimana manusia diciptakan untuk berbakti pada Tuhan; dari kekacauan menuju hukum yang teratur di masyarakat. Ini juga bisa dilihat dalam Mazmur 77: 17-20:

(46)

gemawan bergemuruh, bahkan anak-anak panah-Mu beterbangan. (19) Deru gunturmu menggelinding, kilat-kilat menerangi dunia, bumi gemetar dan bergoncang. (20) Melalui laut jalan-Mu dan lorong-Mu, melalui muka air yang luas, tetapi jejakmu tidak kelihatan.

Kemudian peran Musa dan Harun sebagai pengatur masyarakat akan juga muncul, berangkat dari kekacauan juga, sama yang terkandung dalam versi Enuma Elis (Clifford 1985, 510). Dua

figur itu juga sebagai solusi dari kekacauan alam, sama juga dengan peran Marduk di tengah masyarakat Babilonia.

Lebih manarik lagi, bahwa narasi penciptaan dalam tradisi Semitik itu tidak hanya mengabadikan tradisi lama Sumeria, Babilonia, dan Pheonicia, tetapi juga bisa dibandingkan dengan konsep penciptaan di Mesir Kuno lewat beberapa tablet: teks piramida dari kerajaan tua (2613-2345 SM), teks mayat dari kerajaan tengah (1991-1786 SM), teks kematian dari kerajaan muda (1570-1220 SM), dan batu Sabakha (716-720 SM).

Berikut ini ringkasan dari narasi yang terdapat pada teks kuno Mesir tersebut: 1) awalnya adalah dari air kuno (disebut Nun); 2) kemudian muncul Atum, Tuhan yang menciptakan yang lain lewat dirinya sendiri; 3) kemudian muncul cahaya; 4) lalu Atum muncul di bukit setelah air surut; 5) Atum melahirkan Ennead, asal muasal materi; 6) muncul Re-/Re Amun, yang disimbolkan sebagi cahaya matahari pertama; 7) muncul dan tenggelamnya matahari sebagai simbol penciptaan hari; 8) penciptaan manusia dari kesedihan-kebahagiaan Tuhan; 9) setelah penciptaan hari, Tuhan merasa puas; dan 9) akhir proses penciptaan ini ditandai dengan penciptaan Fir’aun sebagai anak Re-Amun, di mana masih menghubungkan dunia ketuhanan (celestial) dan alam ini (terresterial) (Johnston

2008, 181–182).

(47)

manusia merupakan wakil Tuhan di bumi yang dalam bahasa Qur’ani-nya adalah khalifah (dalam konteks penciptaan di Mesir bisa dikembalikan pada konsep Re-Amun). Kata ini tidak merujuk pada sejenis penguasa yang duduk di singgasana kekhalifahan bentuk dinasti semacam Umayayah, Abbasiyah, Turki Usmani, sebagaimana yang difahami dalam ranah politik (Iqbal 1965). Tetapi, setiap manusia adalah khalifah, memimpin dunia dan isinya.

Dalam sistem kepercayaan Mesir Kuno, Ptah (di Memphis) mungkin tuhan tertua yang dipercaya di Mesir, karena banyak ditemui di banyak data-data arkeologis dan situs. Tuhan Ptah dihormati dan dipuja oleh pengrajian, pekerja, dan juga seniman. Ptah ini mungkin juga konsep ketuhanan tertua, dipercaya sejak kurang lebih 3000 SM. Ptah juga dipercaya telah melahirkan banyak Tuhan yang lain. Dalam sistem kepercayaan kuno itu, relasi antara tuhan dan raja sangat erat, karena para raja (Fir’aun) itu menghubungkan dunia ini dengan dunia ketuhanan. Maka segala perselisihan dan segala kekacauan, juga perdamaian dan pembangunan, yang dilakukan oleh raja dihubungkan dengan kondisi ketuhanan.

Sebagai salah satu contoh, dalam drama perselisihan dan perebutan wilayah Mesir antara Tuhan Horus dan Tuhan Seb, akhirnya Tuhan Geb memberikan semua wilayah Mesir kepada Horus. Karena Horus akhirnya yang mendapatkan semua bagian; dalam hal ini terdapat ‘interplay’ (saling berkelindan dan berganti peran) antara Horus dan Ptah, yang pertama sebagai simbol yang kedua, penguasa segala Tuhan: wilayah Mesir di satukan dalam penyatuan Tuhan Ptah dan Horus. Horus sendiri adalah anak dari Tuhan Osiris dan Isis. Sepertinya, penyatuan wilayah Mesir, suksesi para Fir’aun, dari dalam dinasti atau antar dinasti itu juga dihubungkan dengan tuhan-tuhan mereka. Penyatuan wilayah, juga penyatuan tuhan, politik dan iman masih erat. Naiknya seorang penguasa adalah juga naiknya tuhan yang disembahnya. Ini bisa dibayangkan dengan banyaknya tuhan, yang disembah oleh banyak orang. Setiap masa, dan bahkan keluarga, atau professional, mempunyai dan memuliakan tuhan masing-masing.

(48)

terhadap Atum (dalam buku kematian), yang mungkin masih tersisa cara memujinya dalam agama-agama Semitik, demikian: “Terpujilah Atum, yang menciptakan langit, yang menciptakan semua yang ada….tuhan bagi semua, yang melahirkan banyak tuhan” (Bodine 2009, 17).

Dalam warisan cerita Biblikal misalnya, menyebutkan bahwa Fir’aun itu telah menganiaya bangsa Israel, terutama Ramses. Namun kita tidak mendapatkan gambaran yang jelas Fir’aun yang mana. Padahal kenyataannya kebudayaan Mesir itu kebudayaan yang sangat lama, sekitar dua ribu tahun, dari berbagai dinasti. Maka kesan yang tertangkap hanya ada satu raja, satu Fir’aun, tanpa adanya keterangan dinasti yang mana dan kapan (hal itu terjadi). Itulah Kitab Suci yang sama sekali tidak bertujuan historis dan tidak pula berfungsi sebagai usaha penyelidikan ilmiah. Semua hendaknya dikembalikan pada zamannya dimana narasi itu diceritakan ulang dengan tujuan tertentu dan difahami dengan cara tertentu pula.

Dalam versi Qur’an (4000 tahun setelah masa Mesir Kuno), yang diulang-ulang dalam berbagai dialog lebih mudah dipahami, yaitu sepengal dua penggal perdebatan dan persaingan antara kenabian dan kekuasaan, monoteisme dan polytheisme, ketuhanan dan kemanusiaan: Musa dan Fir’aun (misalnya Q. 26: 10-52, bahkan sampai ayat 67). Ceritanya adalah Musa diutus oleh Tuhan untuk mendatangi sang penguasa, Harun menemaninya, dengan sebuah misi untuk meyakinkan Fir’aun dan orang-orangnya bahwa ia adalah utusan Tuhan. Lalu Fir’aun mengingatkan bahwa ia juga tumbuh berkembang bersama mereka, untuk apa menantangnya. Dalam perdebatan Musa mengatakan bahwa Tuhannya adalah Tuhan langit dan bumi. Fir’aun menuduh Musa orang gila (majnun). Dalam adu kesaktian dengan para penyihir, kemenangan ada di pihak Musa. Lalu, Fir’aun mengancam akan menghukum yang mempercayai Musa.

(49)

ribu tahun yang lalu. Jadi pertentangan dan dialog antara utusan Tuhan dan penguasa itu adalah refleksi misi dakwah Muhammad awal masa abad tujuh Masehi, bukan menghadirkan kembali dialog historis ribuan tahun lalu. Dialog itu adalah teologis; wilayah kontekstualisasi lahirnya doktrin baru dengan narasi lama yang ada di ajaran Semitik (yang dalam hal ini adalah narasi Yahudi dan Nasrani). Dalam dialog Fir’aun dan Musa tentu ada interplay

antara Makkah dan Mesir, Musa dan Muhammad, Fir’aun dan orang-orang Makkah. Misalnya kata kunci majnun itu juga bisa dilihat di sirah (biografi Nabi) bahwa sebutan tersebut dituduhkan orang-orang Makkah ke Muhammad, seperti juga yang disematkan kepada tokoh Musa, yang dituduhkan orang-orang Mesir. Jadi, ada kontekstualisasi dan tukar peran di situ.

Fragmen Qur’ani di atas merupakan cerminan dari versi yang lebih tua, Kitab Keluaran 3:11-12, tentang Tuhan mengutus Musa untuk menghadap Fir’aun untuk membawa Israel keluar dari Mesir. Keluaran 3:4 menerangkan tentang tongkat dan ular Musa. Sedangkan Keluaran 3:14 bercerita tentang Harun menyertai Musa. Keluaran 5:1-23 secara khusus menghadirkan dialog antara Musa, Harun dan Fir’aun, yang berlainan dengan versi Al-Qur’an, yaitu lebih tepatnya tentang pengeluaran bangsa Israel dari Mesir, dimana Fir’aun tetap bersikukuh untuk mempekerjakan mereka di negeri itu. Perbedaan utama versi Biblikal dan Qur’ani adalah pada tema namun tetap dengan menggunakan tokoh-tokoh yang sama: satu versi yang lebih tua bercerita tentang narasi itu sendiri yaitu situasi bangsa Israel di Mesir yang ditindas oleh Fir’aun, sedangkan versi yang lain tentang dakwah dan misi kebenaran dan kebatilan (sebuah tema yang telah terkandung kontekstualisasi dan universalisasi narasi partikular dari Mesir menuju Makkah-Madinah yang terjadi ribuan tahun kemudian).

Gambar

gambarkan dua insan itu

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menciptakan prestasi kerja yang maksimal, perusahaan tidak hanya harus bisa memilih orang yang tepat tetapi juga perlu ditunjang dengan penciptaan

Lady Gaga sebagai ikon kebudayaan populer rupanya tidak hanya bisa kita kritik namun juga bisa mengkritik tradisi religius dan menjadi sarana untuk saling berkembang. Kerena respon

Tidak hanya itu MOL bonggol pisang juga tetap bisa digunakan untuk dekomposer atau mempercepat proses pengomposan tetapi untuk lama waktu pengomposan (Soemirat,

Narasi yang sehat – yang adalah hasil dari persepsi yang sehat – diperlukan bukan hanya untuk pemulihan tetapi juga untuk memperkecil prevalensi reviktimisasi. Narasi

Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep- konsep agamanya

Dalam posisi itu, gelaran kesenian rakyat di panggung terbuka Pasat Tanjung bisa menjadi budaya tandingan, bukan hanya hegemoni budaya pop, tetapi juga

Sengaja digunakan UML Unified Modeling Language karena UML tidak lagi hanya dipakai untuk mendeskripsikan sistem software tetapi juga bisa digunakan untuk melakukan otomasi proses

Dengan demikian, eksistensi Tradisi Rebu di Desa Suka Mbayak tidak hanya menjadi contoh nyata tentang bagaimana sebuah komunitas dapat mempertahankan warisan budayanya, tetapi juga