• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS BENTUK-BENTUK KECEMASAN TOKOH

3.2 Rasa Cemas yang Berupa Penyakit

kurang jelas, tidak tertentu dan tidak ada hubungannya dengan apa-apa, serta takut itu mempengaruhi keseluruhan diri pribadi.

Rasa cemas yang umum ini ditemukan dalam cerpen “Perempuan Kedua”, “Disinilah Tempat Cinta”, dan “Perceraian Bawah Tangan”.

3.2.1.1 “Perempuan Kedua”

Rasa cemas tokoh Roe yang tidak jelas, terlihat dari sikapnya yang tidak tegas dalam sebuah hubungan. Sikap Roe inilah yang menyebabkan kecemasan yang kurang jelas dalam diri Roe. Sikap Roe tersebut dapat dilihat ketika Roe mempertanyakan soal janji Faisal untuk menikahinya. Berikut kutipannya:

(327) “Tapi, kamu sudah berkata padaku untuk menikah denganku.”

(hlm.96)

Pernyataan kutipan Roe di atas digunakan Roe sebagai alat untuk menekan dan mengetahui laki-laki seperti apa Faisal itu. Karena, Roe hanya ingin bermain-main dengan Faisal saja. Namun di satu sisi, Roe juga merasa tidak pantas untuk menjadi perempuan kedua bagi Faisal. Berikut kutipan yang menjelaskan pernyataan tersebut:

(328) “Iya. Iya. Aku Cuma ingin bermain-main dengan dia sebentar, kenapa sih?” (hlm.104)

(329) Awalnya, Roe menyukai semua yang dia lakukan dengan Faisal. Menikmati dengan suka cita. Tapi sekarang, dia berfikir ulang, pantaskah dia menjadi perempuan kedua bagi laki-laki penakut seperti Faisal. (hlm.104)

Ketidaktegasan sikap Roe dalam hubungannya dengan Faisal menimbulkan kecemasan yang kurang jelas. Hal ini terlihat ketika Roe tetap berniat untuk melanjutkan hubungannya dengan Faisal. Berikut gambaran kutipannya:

(330) “Maaf, aku ternyata tidak bisa meninggalkannya!” (105) 3.2.1.2 “Di Sinilah Tempat Cinta”

Rasa cemas yang kurang jelas terlihat ketika tokoh aku merasa bahwa masa lalunya adalah sebuah penderitaan, karena orang-orang yang seharusnya mencintainya meninggalkannya.

(331) “Mungkin aku ditakdirkan untuk mengalami semua penderitaan ini,” kataku pada Nin, suatu sore ketika dia berada di kamarku.

“Dari mana kamu tahu hal itu?” dia bertanya padaku. “Aku hanya menduga,” jawabku. (hlm.108)

Dari kutipan di atas dapat di lihat bahwa jawaban tokoh aku hanya sebuah dugaan, bahwa dia ditakdirkan untuk menderita. Dugaan ini muncul karena perasaannya sendiri sehingga mengakibatkan kecemasan yang kurang jelas. Seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini, tokoh aku merasa bahwa dirinya hanya disakiti dan itu hanya perasaannya saja.

(332) “….Teman, sahabat, kekasih. Tidak ada orang yang bias dipercaya. Mereka hanya memanfaatkan kita. Atas nama apapun yang mereka katakan, mereka menjadi pedagang yang berhitung untung dan rugi untuk sesuatu yang mereka beri. Ketika aku sadari hal itu, apakah aku salah, jika aku merasa disakiti?...”

“Apakah kamu pernah menanyakan hal ini pada mereka?” “Aku hanya merasa.”

“Jika hanya merasa, lupakanlah. Bukan orang lain yang menyakitimu. Tapi, kamu yang menyakiti dirimu sendiri.” (hlm.112-113)

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sikap menduga dan merasa tokoh aku tersebut, hanya akan menimbulkan kecemasan yang kurang jelas bagi dirinya sendiri.

3.2.1.3 “Perceraian Bawah Tangan”

Kecemasan tokoh Laksita, terlihat ketika Laksita menginginkan bercerai dengan suaminya, dengan bercerai dari suaminya, dia merasa mampu mendapatkan

semuanya jika sendririan. Namun, di sisi lain keputusannya itu hanya membuat batinnya semakin gelisah, tidak pasti apa yang sesungguhnya diinginkannya.

(333) Kadang ketika tidur sendirian sempat terlintas dalam pikiranku. Apa yang ebenarnya kau inginkan. Aku sudah mempunyai suami yang baik, perhatian, memahami, dan mendukungku. Kenapa juga kami bercerai. (hlm.171)

(334) ”… Aku pun gemetar ketika membaca kata-kata yang dituliskannya. Sepanjang malam aku menangis. Tidak ada rasa bahagia sama sekali. Padahal, selama ini, aku seperti memimpikan kesendirian. Bisa pergi kemanapun, menjadi tuan bagi diri sendiri. Hidup melajang menjadi impian… “ (hlm.172)

(335) Bisa jadi, apa yang terjadi antara aku dan suami adalah imbas dari kegelisahan yang sangat, yang berkecamuk di batinku. Aku hanya perlu menenangkan diri. Berpikir dengan jernih, sehingga aku tidak keliru memutuskan segala sesuatunya. (hlm.173-174)

Bahkan, ketika melewati enam bulan perpisahan dengan suaminya, dia merasa tidak bahagia dan semakin tidak berarti tanpa suami dan anaknya.

(336) Enam bulan sudah lewat, aku berharap selama itu, aku bisa menikmati kesendirianku. Tapi, aku tidak bahagia dengan apa yang aku lakukan. Aku semakin tahu, aku tidak berarti apa-apa tanpa suami dan anak-anakku. (hlm.174)

3.2.2 Cemas dalam Bentuk Takut akan Benda-Benda atau Hal-Hal Tertentu Bentuk cemas dalam bentuk takut akan benda-benda atau hal-hal tertentu terdapat dalam cerpen “Dipan Antik” dan “Biola”.

3.2.2.1 “Dipan Antik”

Tokoh ibu merasa takut dengan koleksi barang antik milik suaminya yaitu sebuah dipan antik. Dia merasa ketakutan setiap kali merebahkan tubuhnya di tempat tidur itu, karena dia merasakan ada orang lain yang menemaninya tidur. Berikut gambaran kutipannya:

(337) Setiap kali aku merebahkan diri di tempat tidur, aku selalu gelisah. Apalagi jika kelambu dibiarkan tertutup. Dan aku terbaring sendirian di dalamnya. Aku merasa ada sepasang mata yang selalu mengawasiku

hamper semua sudut. Sepasang mata laki-laki. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi, merasakannya. (hlm.38)

(338) Belum ada sebuah tempat tidur yang membuatku takut, seperti dipan antik yang kami miliki ini. Aku gelisah setiap kali hendak tidur sendirian. (hlm.41)

Bahkan ketika tokoh ibu berada di kamar, karena rasa takut, dia tertidur dan kemudian seperti melihat wajah suaminya. Dia merasakan ada tangan kekar yang memeluknya. Berikut kutipannya:

(339) Tengah malam, aku dengar suara sayup-sayup lelaki. Aku membuka mata, terlihat wajah suamiku. Aku tersenyum padanya. Lalu, aku kembali menutup mata. Kurasakan tangan kekar memelukku dari belakang. (hlm.42)

3.2.2.2 “Biola”

Rasa takut tokoh aku terlihat pada sebuah biola pemberian almarhum ibunya. Dengan memainkan kembali biola tersebut, tokoh aku seperti terbayang oleh wajah ibunya, karena bersama gesekan biola itu tokoh aku mengenang kepedihan ibunya. Kutipan gambaran berikut akan menjelaskan pernyataan di atas:

(340) Setiap kali memainkan biola, suara dan kata-kata ibu terlihat begitu jelas di depanku. Tak pernah bisa kulihat nada-nada di depanku, kecuali wajah ibu. (hlm.119-120)

(341) Peristiwa itulah yang selalu muncul setiap kali kupegang biola. Setiap kali aku menggesekkan biola, aku seperti menyayat diriku sendiri. Jujur. Aku ingin menyimpan biola ini. Tapi, aku juga ingin membuangnya di tempat terjauh yang tidak bisa aku temukan. Aku akan melemparnya pada angin, agar membawanya terbang. Karena setiap kali aku memegangnya, wajah ibu terbayang di mataku. (hlm.125)

(342) Bagiku, ibulah yang mencipta dan membuat nyata impiannya dengan mendampingiku dalam berkarya. Selalu terngiang di telingaku, “Gesekkan kepedihanku….” (hlm.128)

3.2.3 Cemas dalam Bentuk Ancaman

Kecemasan ini menyertai gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa. Orang merasa cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga ia merasa terancam oleh sesuatu itu. Rasa cemas ini terdapat dalam cerpen “Di Depan Jenazah Ayah”.

3.2.3.1 “Di Depan Jenazah Ayah”

Rasa takut tokoh aku terlihat ketika ibunya memarahinya karena bekerja di tempat budenya. Tokoh aku merasa ketakutan melihat ibunya marah, karena dia menduga bahwa akan terjadi sesuatu pada dirinya. Rasa takut ini muncul karena perasaan trauma akan disiksa oleh orang tuanya. Berikut kutipannya:

(343) Ada rasa takut yang luar biasa jika membayangkan apa yang mereka lakukan. Jangan-jangan mereka, ibu dan bapakku, sedang merencanakan sesuatu untuk menyakitiku. Aku tidak pernah mempercayai mereka, meski mereka orang tuaku. Aku selalu punya prasangka buruk pada mereka. Aku menyebutnya insting. Jika aku punya praduga seperti itu, pasti akan terjadi. (hlm.62-63)

(344) Hari-hari selanjutnya, aku melihat hantu di mana-mana. Di rumahku, di sekolah, dan di sekelilingku. Aku selalu ketakutan. Mendengar suara ayah dan ibu pun, aku ketakutan. Aku sudah tidak bisa menangis. Aku hidup di dalam diriku sendiri. Menjadi perempuan tertutup. (hlm.65)

Kutipan (344) menunjukkan bahwa kecemasan tokoh aku menyertai gejala-gejala gangguan jiwa, karena telah mengalami banyak tekanan dan sikasaan dari orang tuanya, hingga menjadikan dia sebagai pribadi yang tertutup.

3.3 Cemas karena Merasa Berdosa atau Bersalah, karena Melakukan Hal-Hal

Dokumen terkait