• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

2.1.9 Cerpen “Di Sinilah Tempat Cinta”

2.1.9.2 Tokoh Nin

Tokoh Nin, digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena karakternya sesuai dengan harapan dan pandangan pembaca. Kehadirannya dalam cerita sangat mendukung keberadaan tokoh utama dalam menjalin sebuah cerita. Diceritakan bahwa, tokoh Nin adalah teman sekaligus sahabat bagi tokoh aku. Nin sangat baik dan penuh dengan nasihat. Bahkan di saat tokoh aku merasa tidak ada yang mencintainya, tokoh Nin berusaha dengan bijak memberi nasihat sebagai seorang

sahabat. Berikut ini kutipan gambaran tokoh Nin tersebut:

(127) “Aku hanya ingin kamu tahu, setiap orang pernah merasakannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya… Jadi, mulai sekarang, cobalah berpikir dari sudut pandang yang lain. Cobalah untuk tidak melibatkan perasaanmu yang mendalam itu…… (hlm.108-109)

(128) “Tidak ada yang melarangmu untuk menangis…… Tapi, kamu jangan terpaku hanya menangis. Kamu harus melewati semua ini. Kamu harus bisa mengendalikan hatimu. Tak ada yang bisa membuatmu tersenyum, kalau kamu tidak menginginkan dirimu sendiri tersenyum.” (hlm.109-110)

(129) “Di sinilah tempat cinta. Kenapa harus kau cari cinta? Jika di hatimu sudah ada cinta. Yang harus kau lakukan kemudian, memberikannya… (hlm.112)

Tokoh Nin, digambarkan mempunyai kehidupan yang hampir sama dengan tokoh aku, terbuang dari orang-orang yang seharusnya mencintainya. Namun, Nin memiliki sikap dewasa dalam menanggapi segala masalah yang ada, menjadikan tokoh Nin lebih bijak untuk menjalani hidupnya. Berikut ini kutipan yang menggambarkan tokoh Nin:

(130) “…Bukankah kita tumbuh untuk selalu berubah dan berkembang di dalam pikiran, perasaan, juga pemahaman terhadap diri kita sendiri, lingkungan, dan dunia. Jadi, jangan pernah berkata tentang penderitaan padaku. Aku akan menceritakannya padamu suatu hari. Dan kau akan mengerti. Yang kau anggap penderitaan adalah salah satu anak tangga untuk menuju bahagia.” (hlm.109)

(131) “Aku memang tidak mau menjawab pada saat itu, karena aku punya harapan. Harapanku, kamu akan mencari jawaban sendiri, sehingga kamu bisa mengerti.” (hlm.111)

(132) “Aku berkata begitu, karena aku menjadi dirimu. Jika aku menjadi aku, aku akan berkata hal yang berbeda.” (hlm.112)

(133) “Jika kamu berani menerima bahagia, kamu juga harus berani

2.1.10 “Biola” 2.1.10.1 Tokoh Aku

Tokoh aku sebagai tokoh utama yang menjadi sorotan dalam cerita. Pengarang menggambarkan tokoh aku sebagai perempuan yang memiliki sikap peduli terhadap keluarganya. Kematian ayahnya membuat tokoh aku menjadi memperhatikan keadaan ibunya. Berikut ini kutipan gambaran sikap tokoh aku :

(134) “Tapi, aku sedih, setelah ayah meninggal, Ibu harus membanting tulang untuk menghidupi kami. Bolehkah aku membantu Ibu mencari uang? Biar Nin dan Dayu yang sekolah,” pintaku pada ibu. (hlm.122) (135) “Tapi, Ibu jangan mati sekarang. Ibu sudah terlalu lama bersedih.

Aku ingin membahagiakan Ibu. Aku ingin menghilangkan kepedihan Ibu.” Lalu, sura ibu yang patah-patah kembali terngiang di telingaku. (hlm.124)

Tokoh aku digambarkan sebagai perempuan yang suasana hatinya mudah terbawa pada kenangan-kenangan sedih dalam perjalanan hidupnya. Berikut kutipannya:

(136) Ternyata, bukan hal yang mudah melupakan sesuatu di masa lalu. Apa yang aku terima, baik buruknya, mempengaruhi langkahku. Aku bisa berjalan dengan langkah ringan. Tetapi, kadang menyeret beban……… (hlm.120)

(137) …Peristiwa itulah yang selalu muncul setiap kali kupegang biola. Setiap kali aku menggesek biola, aku seperti menyayat diriiku sendiri. Jujur, aku ingin menyimpan biola ini….Karena setiap kali aku memegangnya, wajah ibu terbayang di mataku. (hlm.125)

Kehidupan keluarga yang sangat sederhana menjadikan tokoh aku menjalani hidup dengan keikhlasan. Berikut ini kutipannya:

(138) Sejak kecil, ibu mengharapkan aku bisa mengangkat derajat hidup keluarga dari kekurangan. Hidup kami memang tidak berkecukupan. Tapi, kami menjalaninya dengan keikhlasan. (hlm.121)

Karena kehidupan yang sederhana itu, tokoh aku memiliki ambisi untuk menjadi kaya. Berikut kutipannya:

(139) “Kenapa Ibu berkata seperti itu? Padahal aku ingin kaya, punya uang banyak untuk membeli apa yang Ibu inginkan,” kataku padanya. (hlm.121)

Sebagai anak nomor satu, rasa sayang kepada keluarganya sangat besar terutama kepada ibunya. Menganggap ibunya sebagai dirinya sendiri, yang telah menyatu dalam tubuh dan jiwanya. Berikut ini kutipan gambaran tokoh aku tersebut:

(140) …Kepedihan ibu adalah kepedihanku. Tangisnya adalah tangisku. Jika bisa kugantikan hidupnya akan kuberikan diriku untuk kebahagiaannya. Barangkali orang tidak akan mengira begitu dekatnya aku dengan ibu, sehingga aku merasa menjadi dirinya. (hlm.120) (141) …Ketika mencipta, aku merasa menjadi dirinya. Menuangkan

kata-katanya. Bahkan, gerakan tanganku adalah tangan ibu. Irama di hatiku adalah irama ibu. Bagiku, ibulah yang mencipta dan membuat nyata impiannya dengan mendampingiku dalam berkarya. (hlm.128)

2.1.10.2 Tokoh Ibu

Tokoh Ibu digambarkan sebagai tokoh protagonis, karena karakternya sesuai dengan harapan dan pandangan pembaca. Kehadirannya dalam cerita sangat mendukung keberadaan tokoh utama dalam menjalin sebuah cerita. Diceritakan Oleh pengarang, tokoh ibu digambarkan sebagai sesosok ibu yang memilki sikap bijaksana dalam menghadapi kesusahan. Memiliki pemikiran bahwa hidup bahagia tidak diukur dengan harta, melainkan rasa bersyukur. Berikut kutipan gambaran sikap tokoh ibu tersebut:

(142) “Biarlah orang menganggap kita menderita, karena hidup tidak berkecukupan harta. Tapi, ibu tahu, kita lebih kaya dibandingkan mereka, karena kita menjalani semua dengan rasa ikhlas dan bahagia,” kata ibu padaku ketika kami tidur berdua. (hlm.121)

(143) “Jika pun kamu punya uang. Tidak semua keinginan ibu bisa di beli. Saat ibu memilih menikah dengan ayahmu, ibu diharuskan meninggalkan keluarga oleh kekekmu, karena kakekmu tidak menyetujui hubungan kami……… Bahkan, ibu bersyukur telah menikmati kehidupan yang jauh berbeda, sehingga batin ibu semakin kaya.” (hlm.121-122)

Sebagai seorang ibu tentu saja memiliki rasa sayang dan berkorban pada keluarga. Sikap tokoh ibu tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut:

(144) “Saat seusiamu, nenek membelikan ibu sebuah biola. Sudah lama sekali. Dia menjadi teman ibu saat sedih dan gembira… Ibu ingin kamu belajar menggunakannya. Ibu punya sedikit tabungan, bisa kamu gunakan untuk membeli senar yang baru.” (hlm.122)

(145) “Ibu akan bekerja lebih keras lagi,” katanya dengan suara mantap. (hlm.123)

Sebagai seorang perempuan yang telah memilih meninggalkan orang tuanya demi mengikuti sang suami. Tokoh ibu digambarkan sebagai ibu yang berani mengambil resiko dengan apa yang telah dijalani dan dialaminya. Berikut kutipan di saat tokoh ibu sedang sakit:

(146) “Jangan! Jangan datang pada mereka. Ibu tidak mau. Kalau karena penyakit ini ibu harus mati, ibu akan menerima, meski ibu masih ingin mendampingi kalian…… Jika melihatmu berhasil, mereka akan datang padamu, dan mengatakan, kita adalah bagian dari mereka,” aku mengangguk. (hlm.124)

Tokoh ibu juga digambarkan sebagai seorang ibu yang tangguh dan memiliki pendirian yang kuat. Berikut kutipannya:

(147) Ketika ayah meninggal karena kecelakaan, sementara aku dan kedua orang adikku masih kecil, ibu berubah menjadi ayah bagi kami. Mencoba mencukupi semua kebutuhan keluarga. Ibu tidak mau kembali pada keluarganya. Dia tetap hidup dengan pilihannya. (hlm.123)

2.1.10.3 Tokoh Ve

Pengarang tidak menjelaskan secara jelas, bagaimana karakter dan sifat tokoh Ve. Namun, dapat dilihat melalui kutipan bahwa tokoh Ve merupakan tokoh bawahan yang keberadaannya mendukung tokoh utama. Hal ini dapat dilihat karena tokoh Ve adalah sahabat baik tokoh aku. Kebaikannya adalah membantu meringankan beban ekonomi keluarga tokoh aku. Berikut kutipan yang dapat menunjukkan sikap tokoh Ve tersebut:

(148) Aku punya utang banyak pada keluarga Ve. Seluruh biaya pengobatan dan perawatan ibu, keluarga Ve yang menganggung. Jika aku masih merepotkan mereka, ibu tentu tidak menginginkannya. (hlm.126) (149) Tapi, Ve memaksa dengan caranya. Sebagai penyanyi yang sedang

naik daun, Ve memberi kesempatan padaku untuk mengiringinya. Dengan itulah Ve membantuku. (hlm.126)

2.1.11 “Bukan Pertarungan Biasa” 2.1.11.1 Tokoh Aku

Tokoh aku adalah tokoh sentral atau utama, karena kehadirannya menjadi sorotan dalam menjalin sebuah cerita. Pengarang menggambarkan tokoh aku sebagai seorang istri sekaligus wanita karier yang mandiri, yang memiliki obsesi tinggi dalam mewujudkan impian guna mengumpulkan uang yang banyak sebagai jaminan masa depan. Demi mengejar obsesinya dalam berkarier, tokoh aku rela hidup terpisah dari suaminya. Berikut kutipannya:

(150) …Hidup berumah tangga sekian waktu dengan seorang bocah kecil buah hati kami. Seharusnya tujuh tahun menjadi saat indah kebersamaan dan cinta kami. Tapi, aku memilih hidup terpisah, bukan karena aku tidak mencintai suamiku. Aku ingin mengembangkan karierku, agar bisa mengumpulkan banyak uang untuk masa depan kami. (hlm. 129-130)

Tokoh aku dikenal sebagai seorang istri yang bisa menjaga kehormatan suaminya dan sebagai muslimah yang taat. Namun, di balik semua itu, ternyata tokoh aku melakukan hubungan gelap dengan atasannya guna mendapatkan proyek-proyek yang ditanganinya. Berikut kutipannya:

(151) …Aku memang bukan perempuan yang baik, karena tidak

menggunakan cara yang jujur untuk mendapatkan proyek-proyek yang aku tangani. Tapi, orang mengenalku sebagai perempuan yang baik. Aku muslimah yang taat, memakai jilbab. Kemana-mana berusaha menjaga kehormatan suamiku… (hlm.131)

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh aku bukan perempuan yang baik karena bermuka dua, dia pandai bersandiwara. Di depan suaminya baik, namun di balakang dia menjalin hubungan gelap dengan relasi kerjanya yang akan memberinya komisi yang banyak. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:

(152) …Keyakinan itu begitu kuatnya, sampai aku merasa ketakutan dan berdosa. Lelaki sebaik itu, telah dipilihkan Tuhan menjadi suamiku, kenapa aku harus menghianatinya hanya untuk pekerjaanku? Hanya untuk target-target pribadiku? (hlm.137)

(153) Bagaimana kalau dia tahu, kerudung yang menutup kepalaku hanya pengaman terhadap sepak terjangku. Bahwa cinta yang ada di hatiku bisa dibeli oleh transaksi dan komisi. Akankah dia bisa memahaminya? Aku bermuka dua. Di depannya aku menjadi istri baik, tapi di belakangnya….aku tidak berani membayangkan. Jangan! Jangan! (hlm.137)

Untuk menutupi rasa bersalah dan berdosanya, tokoh aku berusaha memberikan apapun yang dia punya guna menebus kesalahan pada suaminya. Berikut kutipannya:

(154) Aku merasa berdosa padanya. Dan tiga tahun ini aku berusaha menebusnya. Aku memberikan apa pun yang aku punya untuknya. Mobil, rumah, deposito, dia bisa menggunakan semuanya. Tapi, perasaan berdosa itu tidak bisa hilang. (hlm.132)

ini benar. Berusaha memberi apa pun yang diinginkannya. Dengan begitu, dia tidak bisa meninggalkan aku. (hlm.138)

Pengarang mengambarkan tokoh aku memiliki pemikiran bahwa dengan memberi kepuasan material kepada suaminya, maka tidak mungkin suaminya akan meninggalkannya. Berikut kutipannya:

(156) …Aku yakin, aku bisa menguasainya lagi. Tidak mungkin dia meniggalkan semua yang dia miliki sekarang, meski itu dari hasil jerih payahku. Dia tidak akan punya keberanian. Siapa orang di dunia ini yang mau meninggalkan kenyamanan, tidak ada. Hanya orang-orang sakit saja. Dan dia bukan lelaki yang sakit. (hlm.142)

2.1.11.2 Tokoh Suami

Tokoh suami sebagai tokoh protagonis, karena kehadirannya dalam cerita sesuai dengan paandangan dan harapan kita sebagai pembaca. Pengarang menggambarkan sosok suami sebagai laki-laki yang saleh, pengertian, dan baik. Berikut kutipan yang menunjukkan karakter tokoh suami:

(157) Dulu, saat kami menikah, aku bersyukur mendapatkan suami yang saleh, yang bisa mengerti aku, juga bisa memahami diriku. (hlm.132) (158) “…Sementara, dia begitu baik padaku, tidak neko-neko, mencintaiku

dengan tulus.” (hlm.134)

(159) Dia begitu baik padaku, tidak pernah meminta, kecuali aku ingin memberi. Tidak pernah protes. Memahamiku. Sayang pada keluarga. Dia lelaki yang baik. (hlm.136)

Tokoh suami digambarkan sebagai suami yang sabar dan sebagai suami yang menginginkan keutuhan keluarganya. Berikut kutipannya:

(160) “Entahlah, aku sudah tidak kuat lagi.kenapa kita tidak berkumpul saja. Menjadi keluarga yang utuh,” suaranya pelan, dia tidak berani memandangku. (hlm.144)

Dokumen terkait