• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam cerai gugat, yang mengajukan gugatan perceraian adalah isteri, sedangkan suami berkedudukan sebagai tergugat. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 yang berbunyi:” gugatan perceraian diajukan oleh istri

atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman tergugat”. Bentuk perceraian cerai

gugat ini lebih lanjut diatur dalam bab IV bagian kedua, paragraf 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, karena itu pasal 73 ayat 1 yang telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah istri (Harahap, 1975:234).

B. Gugatan Perceraian

1. Pengertian Gugatan

Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dalam rumah tangga dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak (Mardani, 2009:80). Sedangkan cerai gugat yaitu perceraian yang disebabkan adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh para pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan (Saleh,1982:40).

21

Isi dari surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen, yakni sebagai berikut:

a. Identitas pihak-pihak

Identitas pihak-pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau julukan, bin/bintinya, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir dan statusnya sebagai penggugat/tergugat (67 (a) UU No. 7/1989). Kalau kumulasi subjektif, mungkin sebagai penggugat 1, penggugat 2 dan seterusnya. Kalau ada pemberian kuasa , tentunya sekaligus dicantumkan identitas pemegang kuasa. Alias atau gelar atau julukan, berikut bin/binti diperlukan agar terhindar dari kekeliruan orang karena kesamaan nama. Umur diperlukan karena relevansinya, misalnya passangan suami istri yang sudah amat tua minta pengesahan nikah untuk keperluan pensiun karena dahulunya perkawinan mereka belum memakai surat menyurat. Agama dicantumkan sehubungan dengan kekuasaan peradilan agama bagi meraka yang beragama islam. Begitu pula tempat tinggal diperlukan sehubungan dengan tempat mengajukan gugatan dan keperluan pemanggilan dan sebagainya. Tempat tinggal hendaknya dicantumkan sampai minimal nama kabupaten, sebab hakim tingkat banding (kalau banding) dan hakim tingkat kasasi (kalau kasasi) mungkin tidak begitu jelas kalau hanya menyebutkan nama kecamatan. Kalimat yang memisahkan antara identitas pihak penggugat dan tergugat diberikan kata-kata berlawanan dengan yang diletakkan dibaris tersendiri ditengah-tengah.

22

b. Fakta- fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasa disebut dengan Posita (jamak) atau Positum (tunggal).

Bagian yang memuat fakta-fakta atau hubungan hukum yang terdiri dari posita hendaknya singkat, kronologis, jelas, tepat dan sepenuhnya terarah untuk mendukung isi tuntutan(bagian petita

nantinya). Kalimat pertama dari bagian posita berbunyi “duduk perkaranya”, yang diletakkan dalam baris tersendiri ditengah-tengah.

Kalimat posita yang terakhir biasanya didahului kalimat:”berdasarkan

uraian diatas, dengan segala kerendahan hati penggugat mohon kepada

pengadilan agama untuk”. Sesudah kalimat ini, gugatan masuk kepada

petita.

c. Isi tuntutan yang biasa disebut Petita (jamak) atau Petitum (tunggal). Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung ke materi perkara. Butir pertama itu

berbunyi:”Mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan penggugat,” maksudnya ialah, karena syarat-syarat formal gugatan sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatannya dinyatakan diterima.

Sehubungan dengan petita, pengadilan dilarang mengabulkan tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan ada yang

23

ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya.

2. Bentuk Gugatan

Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan terdapat ada dua jenis gugatan yakni gugatan lisan dan gugatan tertulis.

1)Gugatan Tertulis

Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat 2 R.Bg. Dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara lisan dan ditujukan kepada ketua pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus ditandatangani oleh penggugat atau tergugat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat gugatan itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 123 ayat 1 HIR dan pasal 147 ayat 1 R.Bg. Berdasarkan pasal 119 HIR dan 143 R.Bg, ketua pengadilan berwenang memberikan nasehat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya apabila mereka kurang paham tentang seluk beluk hukum dalam mengajukan gugatan kepada pengadilan yang berwenang. Surat gugatan dibuat harus bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama pemggugat dan tergugat, umur, agama, tempat tinggal, dan jabatan kedudukannya. Surat gugatan diketik rapi, akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak bisa mempergunakan mesin ketik, dapat juga ditulis dengan tangan diatas kertas biasa, tidak perlu diberi materai. Surat guagtan harus dibuat bebrapa rangkap, satu helai

24

yang asli untuk pengadilan, satu helai untuk arsip penggugat dan ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat.

2) Gugatan Lisan

Surat gugatan yang berbentuk lisan diatur dalam Pasal 120 HIR atau pasal 144 ayat 1 R.Bg, ditegaskan bilamana penggugat buta huruf, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan, kemudian ketua pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada salah satu seorang pejabat pengadilan dan selanjutnya ketua pengadilan memformulasinya berupa surat gugatan. Tujuan memberi kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan untuk membuka kesempatan kepada

rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan

mempertahankan haknya. Ini merupakan salah satu fungsi pengadilan sesuai dengan Pasal 119 HIR atau Pasal 143 ayat 1 R.Bg jo Pasal 58 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989.

3. Kelengkapan Gugatan

Dalam surat gugatan yang akan didaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan ada dua macam yakni kelengkapan Umum dan Khusus.

a. Syarat Kelengkapan Umum:

1. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan;

25

2. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domissili bagi penggugat;

3. Vorschot (uang muka) biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa yang disahkan minimal oleh camat setempat

b. Syarat Kelengkapan Khusus

a) Bagi anggota ABRI dan kepolisian yang mau kawin atau bercerai harus melampirkan izin komandan;

b)Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain anggota ABRI, Kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil), harus melampirkan:

i. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada; ii. Surat tentang penghasilan suami, isteri, seperti daftar

gajinya atau harta yang dijadikan ushanya dalam mencari nafkah atau penghasilan- penghasilan lannya, untuk bukti bahwa suami tersebut mampu beristri lebih dari seorang; iii. Surat penyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil

terahadap isteri-isterinya dan anak- anaknya;

iv. Untuk keperluan tersebut diatas, atau jika mau bercerai, kalau suami itu PNS, maka syarat tersebut (b) diatas, harus ditambah lagi dengan adanya izin dari jabatan yang berwenang (atasannya).

26

c) Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan talak, gugatan nafkah isteri dan sebagainya.

d)Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus melampirkan kutipan akta cerai, seperti perkara gugatan nafkah

iddah, guagatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada

bekas isteri yang diceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya dari suami) dan lain sebagainya.

e) Mereka yang bercerai harus melampirkan surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan/kepada desa masing-masing, yang

disebut model “Tra”.

f) Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian pewaris, dan lain-lainnya.

4. Tata Cara Mengajukan Gugatan Perceraian

Sesudah surat gugatan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum dan khusus maka langkah selanjutnya adalah melakukan pendaftaran ke Pengadilan Agama dengan medaftarkan di kepaniteraan. Tatacara mengajukan gugatan perceraian ini berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam HIR (RIB= Reglemen Indonesia yang diperbarui), gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi daerah tergugat. Tetapi apabila tergugat tidak jelas tempat kediamannya atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal

27

yang tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat. Begitu pula apabila tergugat berkediaman diluar negeri atau tergugat meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya (Pasal 20 dan 21 PP).

Prosedur pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama adalah sebagai berikut;

a. Penggugat atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di Pengadilan Agama, untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan gugatan. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk surat(tertulis) atau secara lisan atau dengan kuasa yang ditujukan kepada ketua pengadilan agama dengan membawa surat bukti identitas diri yaitu KTP;

b. Penggugat wajib membayar uang muka biaya atau ongkos perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR);

c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian perkara, sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan dalam buku register perkara;

d. Setelah didaftar, gugatan diteruskan kepada ketua Pengadilan Agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan hari sidangnya;

e. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang akan

28

f. Hakim ketua atau anggota Majelis Hakim (yang akan memeriksa perkara) memeriksa kelengkapan surat gugatan;

g. Panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat panggilan sidang secara patut; dan

h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam berita acara

persidangan.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Perspektif Islam kekerasan adalah tindakan

melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syari’at islam dan

termasuk kategori kriminalitas (Jarimah). Sementara kejahatan dalam islam adalah perbuatan tercela (Al-Qolbih) yang ditetapkan oleh hukum syara’. Islam menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan islam dalam membangun rumah tangga adalah sakinah, mawaddah wa rahmah ( kasih sayang dan adil ). Dalam Al-Qur’an disebutkan “ dan diantara tanda-tanda kekuasaan- Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”(Ar- Rum: 21).

29

Berdasarkan Syari’at Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Kejahatan ini dapat menimpa laki-laki atau perempuan.

a. Qadzaf, yakni melempar tuduhan, yakni menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa memberikan barang bukti. Sanksi hukumannya adalah 80 kali cambukan.

b. Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang. Hukumannya

adalah qishos (hukuman mati).

c. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Sanksi

hukumannya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya

kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.

d. Penyerangan terhadap anggota tubuh, sanksi hukumnnya adalah

membayar diyat 100 ekor unta, tergantung organ tubuh yang disakiti. Menyerang lidah sanksi 100 unta, 1 biji mata sanksi 50 unta, satu kaki sanksi 50 unta, luka sampai batok kepala sanksi 30 unta, luka sampai tulang dan mematahkannya sanksi sampai 15 unta, setiap jari kaki dan tangan sanksi 10 unta, dan gigi sanksi 5 unta, luka sampai ketulang dan kelihatan sanksi 5 unta.

e. Perbuatan cabul, yakni melakukan zina dengan perempuan namun tidak

sampai bersetubuh dikenakan sanksi 3 tahun penjara, ditambah jilid dan diasingkan.

30

f. Penghinaan, jika ada dua orang saling melakukan penghinaan

sementara keduanya tidak dapat menghadirkan bukti maka akan dikenakan sanksi sampai 4 tahun.

Keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi dan saling mencintai. Relasinya adalah antara suami dan istri harus saling mmenghormati. Suami berhak menuntut hak atas istri, seperti dilayani istri dengan baik, sebaliknya suami mempunyai kewajiban atas istri untuk mendidik istri dan memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.

Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik (KBBI, 1996:425). Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai. Sedangkan menurut hayati kekerasan adalah semua bentuk perilaku baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok orang terhadap seseorang atau kelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologi (Hayati, 2001:25). Kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan tindak kejahatan. Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuandalam rumah tangga dijaring dengan pasal-pasal KUHP tentang

31

kejahatan. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

2. Sebab-Sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perilaku kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan sesuatu yang muncul secara kebetulan melainkan suatu perilaku yang muncul

karena terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memancing dan

memunculkannya. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah;

a. Faktor Internal

Faktor kekerasan ini dipicu oleh hubungan didalam rumah tangga diantaranya;

1) Adanya ketimpangan dalam masalah ekonomi atau keuangan

dalam keluarga antara suami dan istri;

2) Suasana keluarga yang minim komunikasi dan interaksi antara suami dan istri;

3) Permasalahan kebutuhan anak yang tidak terpenuhi;

4) Kebutuhan biologis atau batin antara pasangan suami istri yang tidak tercukupi;

32

Dokumen terkait