• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI TENTANG PUTUSAN GUGATANPERKARA PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN (StudiPutusan di Pengadilan Agama Salatiga) SKRIPSI DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat gunaMemperolehGelardalamHukum Islam (S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI KOMPARASI TENTANG PUTUSAN GUGATANPERKARA PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN (StudiPutusan di Pengadilan Agama Salatiga) SKRIPSI DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat gunaMemperolehGelardalamHukum Islam (S"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI KOMPARASI

TENTANG PUTUSAN GUGATANPERKARA

PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN

(StudiPutusan di Pengadilan Agama Salatiga)

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat

gunaMemperolehGelardalamHukum Islam (S.Sy)

Oleh:

Muhammad Fahmi

NIM : 21208008

FAKULTAS SYARI'AH

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Motto

Tersenyumlah dengan garis Allah SWT

Meski awalnya terlihat buram

Dan taks eperti yang kauinginkan

Kelak akan bersinar pada waktunya

Tidak ada jalan yang tidak berujung

(6)

vi

Persembahan

Sebagai tanda baktiku

Skripsi ini saya persembahkan untuk : Yang pertama,

Orangtuaku Ibuku SitiMunfarijah dan Ayahku Muryoto Yang kedua,

Istriku Nur Hidayah Yang ketiga,

Keluarga besarku kakakku-kakakku dan adik-adikku Yang keempat,

kampusku IAIN Salatiga Yang kelima,

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

atas segala limpahan nikmat, karunia, serta hidayah-nya. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa

terhaturkan dan tercurahkan kepada Khatamul Anbiya’ wal Mursalin (penutup

para Nabi dan Rasul) baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, shahabat

dan pengikutnya serta orang-orang yang mencintainya, hingga yaumil qiyamah.

Semoga kita semua, orang tua kita, keluarga kita, guru-guru kita diberi tetap Iman,

Islam, Ihsan, istiqamah dalam beribadah dan dibimbing oleh Allah SWT dan

pada akhirnya jika kita di panggil menghadap Allah SWT menetapi ‘alaar-Ridha

wa khusnil khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamiin.

Penyusunan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Syari’ah Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul“STUDI KOMPARASI TENTANG PUTUSAN GUGATAN

PERKARA PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN”(Studi Putusan di

Pengadilan Agama Salatiga). Sebagai hamba yang lemah dan banyak kesalahan,

penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang ikut

serta memberikan bantuan moril maupun materil. Oleh karenanya dengan

kerendahan hati perkenankan penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Salatiga.

3. Bapak Syukron Makmun, S.HI.,M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal

Al-Syahshiyyah IAIN Salatiga.

4. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH.,M.Si. selaku Pembimbing pembuatan skripsi.

5. Bapak Drs. Zaenuri selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang telah

(8)

viii

6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat di Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

7. Teman-teman yang selalu mendoakan serta member bantuan.

8. Segenap pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu.

Semoga amal dan bantuan dibalas jasanya oleh Allah SWT. Amiin. Penulis

menyadari dalam menyusun skripsi ini banyak kekurangan, untuk itu kritik dan

saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi memperbaiki

skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua

pihak yang membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Salatiga, 13 September 2015

(9)

ix

ABSTRAK

Fahmi, Muhammad. 2015. Studi Komparasi Tentang Putusan Gugatan Perkara

Perceraian Disebabkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Ditolak Dan Dikabulkan ( Studi Putusan Di Pengadilan Agama Salatiga). Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Ahhwal Al-Syahsiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Kata Kunci : Studi Komparasi, Putusan Gugatan Perceraian yang Ditolak dan yang Dikabulkan.

Salah satu jalan untuk memutus perkawinan adalah dengan perceraian. Agar perceraian tersebut sah menurut Hukum Islam dan Hukum Negara maka pasangan suami istri yang akan bercerai hendaknya mengajukan gugatan percerian ke Pengadilan. Dalam mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan tentunya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar gugatan tersebut dapat diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika syarat yang ditentukan tidak terpenuhi maka bukan tidak mungkin gugatan yang sudah diajukan ke Pengadilan Agama akan tidak dikabulkan tuntutannya bahkan ada yang langsung ditolak oleh Pengadilan Agama. Tidak sedikit seseorang dalam mengajukan gugatan di pengadilan banyak yang tidak mengetahui prosedur dan syarat lengkap agar pengajuan gugatan tersebut dapat dikabulkan sesuai dengan yang diinginkannya.

Maka dari latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian yakni studi putusan tentang sebab-sebab putusan gugatan ditolak tuntutannya dan yang dikabulkan tuntutannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yakni dengan melakukan analisa dan mendeskripsikan putusan gugatan yang didapatkan penulis. Dalam mendapatkan data penulis juga melakukan observasi dengan melakukan wawancara dengan hakim yang memutus putusan gugatan tersebut.

(10)
(11)
(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang

muslim dapat memikul amanat dan tanggung jawab yang paling besar dalam

dirinya terhadap orang yang paing berhak mendapatkan pendidikan dan

pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap

kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah

memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga

keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat

membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenraman jiwa. Dalam

UUD Tahun 1974 Pasal 1 berbunyi; Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin

seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan adalah suatu pernikahan yang

merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan

pelaksanaanya adalah merupakan ibadah. Perkawinan merupakan suatu hal

yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya

perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma

agama dan tata kehidupan masyarakat. Hubungan antara seoarang laki-laki

dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah

SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini disyariatkan akad nikah.

(13)

2

membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki

maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi

masyarakat yang berada disekelilingnya. Firman Allah dalam surat Ar-Rum

ayat 21:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

(Ar-Rum:21)

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tujuan kawin adalah untuk tenteram

dan tenang, suami tenang karena ada istri dan sebaliknya. Ketenteraman dan

ketenangan itu membuat antara suami istri saling cinta dan kasih sayang.

Namun dalam menjalani kehidupan rumah tangga didalam perkawinan

seringkali kita menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan utama

perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, tenteram dan aman.

Tujuan mitsaqan gholiidhon yang berlaku sepanjang masa dan ikrar yang

sakral dimata Allah dan dimata manusia seringkali dilupakan. Retaknya

(14)

3

pertengkaran yang dapat menyebabkan salah satu pihak bertindak kasar. Jika

hal tersebut terjadi maka menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian

dan tidak dapat merima perlakuan kasar dari salah satu pihak tersebut.

Terlebih jika yang melakukan perbuatan kasar tersebut adalah suami. Maka

wajarlah jika istri tidak dapat menerima perlakuan kasar dari suami tersebut.

Jika hal tersebut dilakukan berulang-ulang, maka yang terjadi adalah istri

dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Didalam

undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 19 d dan Kompilasi Hukum

Islam Pasal 116 berbunyi perceraian dapat terjadi jika salah satu pihak

melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan

pihak yang lain. Pasal 34 ayat 1 yakni suami wajib melindungi istri dan

memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya. Dan Pasal 34 ayat 3 berbunyi jika suami atau istri

melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Agama.

Di Pengadilan Agama Salatiga terdapat gugatan perceraian yang

diajukan disebabkan kekerasan rumah tangga yang diajukan oleh istri

terhadap suami. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Agama tersebut

diajukan hingga dua kali. Dan dua gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan

oleh satu orang yang sama. Karena dalam putusan pertama hakim tidak

mengabulkan permohonan gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri

kepada suami. Kemudian istri mengajukan gugatan kembali pada pengadilan

(15)

4

terhadap istri. Pada putusan yang kedua hakim mengabulkan permintaan

gugatan perceraian yag diajukan istri kepada suami. Berangkat dari rumusan

diatas maka penulis mengambil tema yakni “STUDI KOMPARASI

TENTANG PUTUSAN GUGATAN PERKARA PERCERAIAN

DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG

DITOLAK DAN DIKABULKAN” (Studi Putusan Di Pengadilan Agama

Salatiga).

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang

diambil adalah:

1. Mengapa Pengadilan Agama menolak gugatan perceraian yang

pertama Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL?

2. Mengapa Pengadilan Agama mengabulkan gugatan perceraian

yang kedua Nomor : 0064/Pdt.G/2012/PA.SAL?

C. Tujuan

Dari permasalahan yang terjadi, secara garis besar penelitian ini

mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan gugatan perceraian yang

pertama Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL ditolak.

2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan gugatan yang kedua Nomor

(16)

5

D. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna secara

komprehensif, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya:

1. Teoritis

Memberikan sumbangan keilmuan terhadap kemajuan perkembangan ilmu

pegetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang

memiliki kaitan dengan problematika masyarakat terhadap Hukum Perdata

Islam sehingga dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang

berhubungan dengan pengajuan gugatan perceraian.

2. Praktis

a. Bagi Masyarakat

Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai

pengajuan gugatan perceraian yang sesuai dengan aturan perundangan.

b. Bagi Penulis

Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola pikir serta

pemenuhan pra-syarat dalam menyelesaikan kuliah di Fakultas Syari’ah

jurusan Ahwal al-syahksiyyah pada Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda

denga maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu

penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian.

(17)

6

1. Studi Komparasi menurut Poerwodarminto dalam kamus bahasa adalah

mempelajari atau mendapatkan. Mempelajari berarti ingin mendapatkan

sesuatu yang khusus dengan didorong oleh rasa ingin tahu terhadap

sesuatu faktor kesamaan serta faktor perbedaan. Menurut Winarno

Surahkmad dalam bukunya Pengantar Pengetahuan Ilmiah (1986 : 84)

bahwa pemecahan melalui analisis tentang hubungan sebab akibat yakni

memilih faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau

fenomena yang diselidiki. Berdasarkan pendapat diatas yang dimaksud

studi komparasi adalah suatu kegiatan untuk mempelajari atau menyelidiki

sesuatu hal atau masalah dengan membandingkan dua variabel atau lebih

dari suatu obyek penelitian.

2. Putusan berarti penyelesaian perkara yang disengketakan oleh Pengadilan

Agama tingkat pertama dan merupakan tujuan akhir proses pemeriksaan

perkara di pengadilan (Harahap, 2005 :797).

3. Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua

Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang

didalamnya mengandung suatu sengketa dalam rumah tanggadan

merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian

kebenaran suatu hak (Mardani, 2009:80).

4. Perceraian dapat diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk mengakhiri

suatu perkawinan (Rahman, 2002:221)

5. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU P KDRT adalah perbuatan

(18)

7

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 butir 1).

F. Tinjauan Pustaka

Setelah penulis melakukan penelitian terhadap skripsi–skripsi lain,

penulis menemukan skripsi yang hampir mendekati dengan tema skripsi yang

penulis buat. Skripsi pertama ditulis oleh Heriyono Progam Studi Magister

Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun

2009 yang berjudul kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan terjadinya

perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam. Namun pembahasan skripsi ini lebih kepada konsep kekerasan

dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan perceraian menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Skripsi kedua ditulis oleh Siti Nur Azizah Progam Studi Magister

Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun

2010 yang berjudul Akibat Perceraian Disebabkan Tindak Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Skripsi ini fokus kepada akibat hukum yang ditimbulkan dari

perceraian yang disebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Skripsi yang ketiga ditulis oleh Halimatus Sa’adah Jurusan

Administrasi Keperdataan Islam Tahun 2008 mengenai Cerai Gugat Karena

KDRT. Skripsi ini fokus membahas tentang alasan tertinggi terjadinya KDRT

(19)

8

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi diperlukan sebuah metode penelitian, hal ini

dimaksudkan untuk mencari atau mendapatkan data-data yang valid dan

akurat sehingga dapat dipercaya kebenarannya dan pada akhirnya dapat

menghasilkan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Soerjono Soekanto

mengemukakan bahwa metode penelitian adalah tipe pemikiran yang

dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, tehknik yang umum bagi ilmu

pengetahuan, dan cara tertentu untuk suatu prosedur (Soekanto, 2007: 5).

Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari:

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

penelitian ini menggunakan metodependekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah konsep mutu

(Farihah, 2006:37) yaitu dengan melakukan analisa dan mendeskripsikan

isi dari putusan gugatan perceraian yang didapatkan penulis. Pendekatan

kualitatif menggunakan hasil penelitian tertulis berisi kutipan-kutipan dari

data untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti presentasi (Emzir,

2011:3). Data tersebut meliputi hasil wawancara dengan Hakim

Pengadilan Agama Salatiga, catatan lapangan, dan dokumen yang

ditemukan di Pengadilan Agama Salatiga.

(20)

9

Terdapat banyak jenis penelitian kualitatif, diantaranya etnografi,

studi kasus, fenomenologi, grounded theory, dan biografi atau naratif,

masing-masing metode penelitian ini meleburkan diri dalam karakteristik

kunci peneltian kualitatif (Emzir, 2011:18). Dalam penelitian ini penulis

menggunakan jenis penelitian yaitu studi kasus. Studi kasus adalah suatu

penelitian yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan

memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu,

kelompok, atau situasi. Studi kasus mengidentifikasi masalah atau

pertanyaan yang akan diteliti. Masalah atau pertanyaan yang dikerangkai

melalui pengalaman, observasi dan tinjauan penelitian yang relevan.

Peneliti juga menetapkan sampling atau objek yang akan dijadikan objek

observasi dan diwawancari yang didasarkan pada kemampuan mereka

memberikan kontribusi pada pemahaman fenomena yang akan diteliti

(Emzir, 2011:20).

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang

terletak di Kecamatan Tingkir, Salatiga.

4. Sumber Data

Sumber data adalah tempat penulis bertumpu, artinya penelitian ini

bertolak dari sumber data (Arifin, 1998:54). Pengumpulan data merupakan

hal yang sangat erat hubungannnya dengan sumber data, karena melalui

pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk

(21)

10

hal tersebut, penulis memperoleh data primer melalui wawancara dengan

pihak yang berkaitan dan megetahui serta terkait dengan putusan gugatan

perceraian yang ditolak dan dikabulkan dengan sebab yang sama. Maka

dalam penelitian ini tehknik yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

a. Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam

melakukan penelitian di lapangan. Dalam hal ini data yang diperoleh

adalah dengan melakukan wawancara di pengadilan agama salatiga.

Sistem wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin,

artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai

pedoman, tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang

disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan (Hadi,

1985:26).

b. Sekunder

Data sekunder adalah data yang memberikan penjelasan

mengenai data primer. Data sekunder antara lain mencakup

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan,

baik buku harian dan seterusnya (Soekanto, 2007:12). Dalam hal ini

peneliti menggunakan buku-buku yang berisi tentang perceraian, tata

cara pengajuan gugatan perceraian dan buku yang berisi tentang

kekerasan dalam rumah tangga.

(22)

11

Metode pengumpulan data yang umum digunakan adalah

observasi, wawancara, dan dokumen. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan tiga metode pengumpulan data, yakni wawancara, observasi

dan dokumen.

a. Wawancara

Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang

berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan, yang

salah satu merupakan pihak yang melakukan wawancara meminta

informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar

disekitar pendapat dan keyakinannya (Hasan ,1981:43). Dalam hal ini

penulis melakukan wawancara langsung dengan hakim Pengadilan

Agama Salatiga yang menangani perkara perceraian dengan sebab

kekerasan dalam rumah tangga yang dikabulkan dan ditolak.

b. Observasi

Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sebagai

perhatian yang terfokus terhadap gejala, kejadian atau sesuatu.

Adapun observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala,

kejadian atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,

mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan

kaidah-kaidah yang mengaturnya (Garabiyah, 1981: 33).

c. Dokumen

Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan dan

(23)

12

2003:13). Dokumen yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah putusan yang berisi tentang perceraian yang yang disebabkan

kekerasan dalam rumah tangga yang ditolak dan dikabulkan, buku

yang berisi tentang tata cara pengajuan gugatan, buku yang berisi

tentang kekerasan dalam rumah tangga, UU yang mengatur tentang

perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses sistematis pencarian dan pengaturan

transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain yang telah

dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman mengenai materi-materi

tersebut dan memungkinkan untuk menyajikan kepada orang lain (Emzir,

2011:85). Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif

deskriptif, yaitu melakukan analisa dengan menguraikan data dan

mendeskripsikan sesuai dengan informasi yang didapatkan dari Pengadilan

Agama Salatiga. Dalam hal ini analisis data diperoleh dari wawancara

dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga, analisis tentang putusan

gugatan perceraian yang disebakan oleh kekerasan dalam rumah tangga

yang ditolak dan dikabulkan, serta pengamatan tentang keadaan di

Pengadilan Agama Salatiga.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehknik Triangulasi data

(24)

13

pengecekan data yang memanfaatkan sumber data yang lain sebagai

pembanding terhadap data tersebut.

8. Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan

peneliti dalam mencari data yang diperlukan untuk menyusun laporan

hingga terbentuk sebuah laporan. Langkah-langkah yang dilakukan penulis

adalah sebagai berikut:

a. Menentukan tema, dan objek yang akan diteliti;

b. Mencari sumber data berupa salinan putusan gugatan perceraian di

Pengadilan Agama Salatiga;

c. Melakukan tinjauan pustaka dengan tujuan memastikan bahwa

penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya;

d. Mengajukan tema kepada kaprogdi dan selanjutnya untuk diberikan

dosen pembimbing dalam melakukan penelitian dan menyusun

laporan;

e. Melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang

memimpin sidang dan memutus gugatan perceraian disebabkan

kekerasan dalam rumah tangga yang ditolak dan dikabulkan ;

f. Mencari buku yang berkaitan dengan tema;

(25)

14

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada skripsi yang dibuat ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : Pendahuluan, pada bab ini berisi tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan, metode penelitian, tehknik analisis,

tehknik pengumpulan data dan sistematika penulisan.

BAB II :Studi Pustaka, dalam bab ini membahas tentang perceraian,

prosedur mengajukan gugatan perceraian, syarat-syarat mengajukan gugatan

perceraian, kekerasan dalam rumah tangga.

BAB III : Hasil Penelitian, dalam bab ini berisikan tentang profil

Pengadilan Agama Salatiga dan putusan gugatan perkara perceraian yang

dikabulkan dan ditolak oleh Hakim Pengadilan Salatiga.

BAB IV : Analisis Data, pada bab ini berisikan tentang analisis antara

putusan perceraian yang ditolak dan dikabulkan dengan sebab kekerasann

dalam rumah tangga.

BAB V : Penutup, pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari

(26)

15

BAB II

PERCERAIAN KARENA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian menurut bahasa indonesia berarti pisah dari dasar kata

cerai. Menurut istilah perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan

ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah

dipergunakan pada masa jahiliyyah yang kemudian digunakan oleh

syara’(Ahmad, 1993:175). Dalam istilah hukum islam disebut dengan “at

-talak” yang secara bahasa bermakna meninggalkan atau memisahkan (Ali,

2003:1237), ada juga yang yang memberikan pengertian lepas dari

ikatannya (Munawir, 1997:861). Menurut H. A. Fuad Said yang dimaksud

perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dan isteri karena

tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti

mandulnya isteri atau suami atau yang lainnya dan setelah sebelumnya

perdamaian dengan melibatkan kedua belah pihak (Manan, 2001:7).

Pengertian perceraian juga dapat ditemui dari beberapa pendapat Imam

madzhab, Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak ialah melepaskan akad

nikah dengan lafadz talak atau yang semakna dengan itu, sedangkan

Hanafi dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan

(27)

16

dengan lafazd khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak

secara lebih umum dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan

talak sebagai suatu sifat hukum khusus yang menyebabkan gugurnya

kehalalan hubungan suami istri (Dahlan, 1996:1777).

Menurut Kompilasi Hukum Islam perceraian merupakan salah satu

penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan pasal 113 KHI,

dan Undang-Undang Perkawinan pasal 38 Nomor 1 Tahun 1974 yang

mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 alasan yakni;

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Putusan pengadilan.

Dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

selanjutnya menyatakan sebagai berikut:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak;

b. Untuk melaksanakan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara

suami dan istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri;

c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundang-undangan itu sendiri.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud perceraian adalah pelepasan ikatan antara suami

(28)

17

karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat

taklik talak. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan,

meskipun dalam agama islam, perkawinan yang putus karena perceraian

dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap

dilakukan didepan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala

hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum percerain itu.

2. Sebab-Sebab Perceraian

Alasan perceraian menurut hukum perdata, hanya dapat terjadi

berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan undang-undang dan harus

dilakukan didepan sidang pengadilan (Harahap, 1975:133). Alasan

terjadinya perceraian berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 adalah sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 tahun

berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah

terkait dengan hak dan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

dapat membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat

(29)

18

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengakaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangganya.

Disamping pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

bagi yang beragama islam terdapat penambahan sesuai dengan pasal 116

Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama (murtad) yang dapat menjadikan ketidakrukunan

dalam rumah tangga.

Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,

maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan

sesuka hati. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi

rumusan yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata

lain pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang

mempersulit adanya perceraian.

3. Bentuk Perceraian

Didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan

Agama, membagi perceraian menjadi dua bentuk, yaitu cerai talak dan

cerai gugat. Walaupun kedua bentuk perceraian tersebut diatur dalam bab

yang sama, yaitu dalam bab IV bagian kedua Undang-Undang Nomor 3

(30)

19

paragraf yang berbeda, cerai talak diatur dalam paragraf 2 dan cerai gugat

diatur dalam paragraf 3.

a. Cerai Talak

Cerai talak adalah salah satu cara yang dibenarkan dalam hukum

islam untuk memutuskan ikatan perkawinan, dalam cerai talak suami

berkedudukan sebagai pemohon sebagaimana yang diatur dalam pasal

66 ayat 1 dan pasal 67 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, yang memuat ketentuan bahwa “seorang

suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang

guna menyaksikan ikrar talak”. Meskipun kebolehan menjatuhkan ikrar

talak adalah mutlak hak urusan pribadi suami, namun boleh atau

tidaknya suami menjatuhkan talaknya kepada istri tergantung penilaian

dan pertimbangan pengadilan, setelah pengadilan mendengar sendiri

dan mempertimbangkan pendapat dan bantuan istri, sehingga dalam hal

ini istri bukan obyek yang pasif lagi dalam cerai talak (Harahap,

1975:216). Dengan kata lain bahwa cerai talak adalah pemutusan

perkawinan oleh pihak suami yang melakukan perkawinan menurut

agama islam dihadapan sidang pengadilan yang diadakan untuk itu,

setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan dan pengadilan

(31)

20

b. Cerai Gugat

Dalam cerai gugat, yang mengajukan gugatan perceraian adalah

isteri, sedangkan suami berkedudukan sebagai tergugat. Hal ini

sebagaimana yang diatur dalam pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 yang berbunyi:” gugatan perceraian diajukan oleh istri

atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman tergugat”. Bentuk perceraian cerai

gugat ini lebih lanjut diatur dalam bab IV bagian kedua, paragraf 3

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, karena itu pasal 73 ayat 1 yang

telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat

yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah istri

(Harahap, 1975:234).

B. Gugatan Perceraian

1. Pengertian Gugatan

Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua

pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang

didalamnya mengandung suatu sengketa dalam rumah tangga dan

merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian

kebenaran suatu hak (Mardani, 2009:80). Sedangkan cerai gugat yaitu

perceraian yang disebabkan adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh para

pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan

(32)

21

Isi dari surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga

komponen, yakni sebagai berikut:

a. Identitas pihak-pihak

Identitas pihak-pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau

julukan, bin/bintinya, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir

dan statusnya sebagai penggugat/tergugat (67 (a) UU No. 7/1989).

Kalau kumulasi subjektif, mungkin sebagai penggugat 1, penggugat 2

dan seterusnya. Kalau ada pemberian kuasa , tentunya sekaligus

dicantumkan identitas pemegang kuasa. Alias atau gelar atau julukan,

berikut bin/binti diperlukan agar terhindar dari kekeliruan orang karena

kesamaan nama. Umur diperlukan karena relevansinya, misalnya

passangan suami istri yang sudah amat tua minta pengesahan nikah

untuk keperluan pensiun karena dahulunya perkawinan mereka belum

memakai surat menyurat. Agama dicantumkan sehubungan dengan

kekuasaan peradilan agama bagi meraka yang beragama islam. Begitu

pula tempat tinggal diperlukan sehubungan dengan tempat mengajukan

gugatan dan keperluan pemanggilan dan sebagainya. Tempat tinggal

hendaknya dicantumkan sampai minimal nama kabupaten, sebab hakim

tingkat banding (kalau banding) dan hakim tingkat kasasi (kalau kasasi)

mungkin tidak begitu jelas kalau hanya menyebutkan nama kecamatan.

Kalimat yang memisahkan antara identitas pihak penggugat dan

tergugat diberikan kata-kata berlawanan dengan yang diletakkan dibaris

(33)

22

b. Fakta- fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah

pihak, biasa disebut dengan Posita (jamak) atau Positum (tunggal).

Bagian yang memuat fakta-fakta atau hubungan hukum yang

terdiri dari posita hendaknya singkat, kronologis, jelas, tepat dan

sepenuhnya terarah untuk mendukung isi tuntutan(bagian petita

nantinya). Kalimat pertama dari bagian posita berbunyi “duduk

perkaranya”, yang diletakkan dalam baris tersendiri ditengah-tengah.

Kalimat posita yang terakhir biasanya didahului kalimat:”berdasarkan

uraian diatas, dengan segala kerendahan hati penggugat mohon kepada

pengadilan agama untuk”. Sesudah kalimat ini, gugatan masuk kepada

petita.

c. Isi tuntutan yang biasa disebut Petita (jamak) atau Petitum (tunggal).

Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara,

belum boleh langsung ke materi perkara. Butir pertama itu

berbunyi:”Mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan

penggugat,” maksudnya ialah, karena syarat-syarat formal gugatan

sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatannya

dinyatakan diterima.

Sehubungan dengan petita, pengadilan dilarang mengabulkan

tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya

pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang

(34)

23

ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian

lainnya.

2. Bentuk Gugatan

Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan terdapat ada dua jenis

gugatan yakni gugatan lisan dan gugatan tertulis.

1)Gugatan Tertulis

Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat 2

R.Bg. Dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan

secara lisan dan ditujukan kepada ketua pengadilan yang berwenang

mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus

ditandatangani oleh penggugat atau tergugat. Jika perkara itu

dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat

gugatan itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan dalam

pasal 123 ayat 1 HIR dan pasal 147 ayat 1 R.Bg. Berdasarkan pasal 119

HIR dan 143 R.Bg, ketua pengadilan berwenang memberikan nasehat

dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya apabila mereka kurang

paham tentang seluk beluk hukum dalam mengajukan gugatan kepada

pengadilan yang berwenang. Surat gugatan dibuat harus bertanggal,

menyebutkan dengan jelas nama pemggugat dan tergugat, umur, agama,

tempat tinggal, dan jabatan kedudukannya. Surat gugatan diketik rapi,

akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak bisa mempergunakan mesin

ketik, dapat juga ditulis dengan tangan diatas kertas biasa, tidak perlu

(35)

24

yang asli untuk pengadilan, satu helai untuk arsip penggugat dan

ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat.

2) Gugatan Lisan

Surat gugatan yang berbentuk lisan diatur dalam Pasal 120 HIR

atau pasal 144 ayat 1 R.Bg, ditegaskan bilamana penggugat buta huruf,

gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan,

kemudian ketua pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada

salah satu seorang pejabat pengadilan dan selanjutnya ketua pengadilan

memformulasinya berupa surat gugatan. Tujuan memberi kelonggaran

mengajukan gugatan secara lisan untuk membuka kesempatan kepada

rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan

mempertahankan haknya. Ini merupakan salah satu fungsi pengadilan

sesuai dengan Pasal 119 HIR atau Pasal 143 ayat 1 R.Bg jo Pasal 58

ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989.

3. Kelengkapan Gugatan

Dalam surat gugatan yang akan didaftarkan di Pengadilan Agama

tentunya harus dilengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat

kelengkapan gugatan ada dua macam yakni kelengkapan Umum dan

Khusus.

a. Syarat Kelengkapan Umum:

1. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta

(36)

25

2. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domissili bagi

penggugat;

3. Vorschot (uang muka) biaya perkara, kecuali bagi yang miskin

dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa

yang disahkan minimal oleh camat setempat

b. Syarat Kelengkapan Khusus

a) Bagi anggota ABRI dan kepolisian yang mau kawin atau

bercerai harus melampirkan izin komandan;

b)Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain anggota

ABRI, Kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil), harus

melampirkan:

i. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada;

ii. Surat tentang penghasilan suami, isteri, seperti daftar

gajinya atau harta yang dijadikan ushanya dalam mencari

nafkah atau penghasilan- penghasilan lannya, untuk bukti

bahwa suami tersebut mampu beristri lebih dari seorang;

iii. Surat penyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil

terahadap isteri-isterinya dan anak- anaknya;

iv. Untuk keperluan tersebut diatas, atau jika mau bercerai,

kalau suami itu PNS, maka syarat tersebut (b) diatas, harus

ditambah lagi dengan adanya izin dari jabatan yang

(37)

26

c) Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta

nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk

menceraikan isteri dengan talak, gugatan nafkah isteri dan

sebagainya.

d)Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus

melampirkan kutipan akta cerai, seperti perkara gugatan nafkah

iddah, guagatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada

bekas isteri yang diceraikan berhubung kehendak bercerai

datangnya dari suami) dan lain sebagainya.

e) Mereka yang bercerai harus melampirkan surat keterangan

untuk bercerai dari kelurahan/kepada desa masing-masing, yang

disebut model “Tra”.

f) Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian

pewaris, dan lain-lainnya.

4. Tata Cara Mengajukan Gugatan Perceraian

Sesudah surat gugatan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat

kelengkapan umum dan khusus maka langkah selanjutnya adalah

melakukan pendaftaran ke Pengadilan Agama dengan medaftarkan di

kepaniteraan. Tatacara mengajukan gugatan perceraian ini berlandaskan

pada ketentuan-ketentuan dalam HIR (RIB= Reglemen Indonesia yang

diperbarui), gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

mewilayahi daerah tergugat. Tetapi apabila tergugat tidak jelas tempat

(38)

27

yang tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

mewilayahi tempat tinggal penggugat. Begitu pula apabila tergugat

berkediaman diluar negeri atau tergugat meninggalkan pihak lain selama 2

tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya (Pasal 20 dan 21 PP).

Prosedur pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama adalah sebagai

berikut;

a. Penggugat atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di

Pengadilan Agama, untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan

gugatan. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk surat(tertulis) atau

secara lisan atau dengan kuasa yang ditujukan kepada ketua

pengadilan agama dengan membawa surat bukti identitas diri yaitu

KTP;

b. Penggugat wajib membayar uang muka biaya atau ongkos perkara

(Pasal 121 ayat (4) HIR);

c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian

perkara, sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan

dalam buku register perkara;

d. Setelah didaftar, gugatan diteruskan kepada ketua Pengadilan Agama

dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan

hari sidangnya;

e. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang akan

(39)

28

f. Hakim ketua atau anggota Majelis Hakim (yang akan memeriksa

perkara) memeriksa kelengkapan surat gugatan;

g. Panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat

panggilan sidang secara patut; dan

h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam berita acara

persidangan.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Perspektif Islam kekerasan adalah tindakan

melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syari’at islam dan

termasuk kategori kriminalitas (Jarimah). Sementara kejahatan dalam

islam adalah perbuatan tercela (Al-Qolbih) yang ditetapkan oleh hukum

syara’. Islam menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam

kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan islam dalam membangun

rumah tangga adalah sakinah, mawaddah wa rahmah ( kasih sayang dan

adil ). Dalam Al-Qur’an disebutkan “ dan diantara tanda-tanda

kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”(Ar

(40)

29

Berdasarkan Syari’at Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau

kejahatan dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Kejahatan

ini dapat menimpa laki-laki atau perempuan.

a. Qadzaf, yakni melempar tuduhan, yakni menuduh wanita baik-baik

berbuat zina tanpa memberikan barang bukti. Sanksi hukumannya

adalah 80 kali cambukan.

b. Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang. Hukumannya

adalah qishos (hukuman mati).

c. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Sanksi

hukumannya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya

kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama

terjadi.

d. Penyerangan terhadap anggota tubuh, sanksi hukumnnya adalah

membayar diyat 100 ekor unta, tergantung organ tubuh yang disakiti.

Menyerang lidah sanksi 100 unta, 1 biji mata sanksi 50 unta, satu kaki

sanksi 50 unta, luka sampai batok kepala sanksi 30 unta, luka sampai

tulang dan mematahkannya sanksi sampai 15 unta, setiap jari kaki dan

tangan sanksi 10 unta, dan gigi sanksi 5 unta, luka sampai ketulang dan

kelihatan sanksi 5 unta.

e. Perbuatan cabul, yakni melakukan zina dengan perempuan namun tidak

sampai bersetubuh dikenakan sanksi 3 tahun penjara, ditambah jilid dan

(41)

30

f. Penghinaan, jika ada dua orang saling melakukan penghinaan

sementara keduanya tidak dapat menghadirkan bukti maka akan

dikenakan sanksi sampai 4 tahun.

Keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk

apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati,

menyayangi dan saling mencintai. Relasinya adalah antara suami dan istri

harus saling mmenghormati. Suami berhak menuntut hak atas istri, seperti

dilayani istri dengan baik, sebaliknya suami mempunyai kewajiban atas

istri untuk mendidik istri dan memberikan nafkah yang layak dan

memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.

Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal

keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang

lain, atau menyebabkan kerusakan fisik (KBBI, 1996:425). Kekerasan

merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan

luka, cacat, sakit atau unsur yang berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak

yang dilukai. Sedangkan menurut hayati kekerasan adalah semua bentuk

perilaku baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang

ataupun kelompok orang terhadap seseorang atau kelompok orang lainnya,

sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologi

(Hayati, 2001:25). Kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan

dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan tindak kejahatan.

Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap

(42)

31

kejahatan. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 ayat

1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

2. Sebab-Sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perilaku kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan sesuatu

yang muncul secara kebetulan melainkan suatu perilaku yang muncul

karena terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memancing dan

memunculkannya. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga adalah;

a. Faktor Internal

Faktor kekerasan ini dipicu oleh hubungan didalam rumah

tangga diantaranya;

1) Adanya ketimpangan dalam masalah ekonomi atau keuangan

dalam keluarga antara suami dan istri;

2) Suasana keluarga yang minim komunikasi dan interaksi antara

suami dan istri;

3) Permasalahan kebutuhan anak yang tidak terpenuhi;

4) Kebutuhan biologis atau batin antara pasangan suami istri yang

(43)

32

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal dipicu oleh lingkungan tempat hidup disekitar

pasangan yang berumah tangga, diantaranya;

1) Gaya hidup yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan

yang mengakibatkan mudahnya terjadi perselingkuhan;

2) Tingkat kontrol masyarakat rendah, artinya berbagai perilaku diduga

sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan

kurang mendapatkan respon dan pengawasan dari unsur-unsur

masyarakat;

3) Hukuman yang ringan terhadap pelaku kekerasan yang

mengakibatkan orang tidak takut untuk melakukan tindak kekerasan;

3. Bentuk- Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi dalam empat

bentuk,yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan

penelantaran rumah tangga.

a. Kekerasan Fisik

Dalam UU Pasal 6 kekerasan fisik diartikan perbuatan yang

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Berdasarkan pasal

6 undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sebagaimana

tersebut diatas, kekerasan fisik dapat dikategorikan menjadi dua

(44)

33

1) Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti

menendang, memukul, membenturkan kebenda lain, bahkan

sampai melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan

yang mengakibatkan sakit yang menimbulkan ketidakmampuan

menjalankan kegiatan sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh

korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan

kematian, kehilangan salah satu panca indera, luka yang

mengakibatkan cacat dan kematian.

2) Kekerasan fisik ringan seperti menampar, menarik rambut,

mendorong, dan perbuatan lain yang mengakibatkan cidera ringan

dan rasa sakit serta luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori

luka berat.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang

mengarah pada serangan tehadap mental/psiskis seseorang, bisa

berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada tinggi,

penghinaan dan ancaman. Sedangkan dalam Undang-Undang Pasal 7

No. 23 Tahun 2004 dijelaskan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan

yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan

psikis berat pada seseorang.

(45)

34

Didalam Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang

PKDRT dijelaskan bahwa kekerasan seksual sebagaimana dimaksud

dalam pasal 5 huruf c meliputi, pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,

dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan

tertentu. Kata pemaksaan hubungan seksual lebih diuraikan untuk

menghindari penafsiran bahwa pemaksaan hubungan seksual hanya

dalam bentuk pemaksaan fisik semata (harus adanya unsur penolakan

secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaan juga dapat terjadi dalam

tataran psikis (dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan

penolakan dalam bentuk apapun).

d. Kekerasan Ekonomi

Pasal 9 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan penelantaran

rumah tangga atau dapat diartikan sebagai kekerasan ekonomi terhadap

rumah tangga, yaitu:

1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau

karena persetujuan atau perjanjian, dia wajib memberikan

kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut;

2) Penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Undang-Undang

(46)

35

setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan

cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak

didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali

orang tersebut.

Akibat yang ditimbulkan dari seseorang yang melakukan

kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya adalah:

a) Mengakibatkan sakit atau luka pada fisik atau badan seseorang

bahkan dapat mengakibatkan kematian;

b) Mengakibatkan gangguan mental atau psikis pada seseorang

yang menjadi korban kekerasan;

c) Mengakibatkan retaknya hubungan rumah tangga dan memicu

kepada perceraian sesuai dengan Pasal 19 huruf d Peraturan

Pemerintah Tahun 1975 yang menyebutkan bahwa perceraian

dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan tindakan

kekejaman atau penganiayann yang membahayakan pihak lain

4. Sanksi Pelaku KDRT

Sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan dalam rumah

tangga adalah tercantum dalam Pasal 44 Undang-Undang PKDRT

sebagaiberikut;

a. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup ruma

tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan

pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp

(47)

36

b. Dalam hal perbuatan dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban

mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana paling

lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00

(tiga puluh juta rupiah).

c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp

45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

d. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp

5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Langkah-langkah yang dilakukan ketika terjadi KDRTdan upaya

pencegahan dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah

sebagai berikut:

a. Melakukan dialog antara suami dan isteri dengan menjelaskan kepada

suami atau isteri yang melakukan tindak kekerasan bahwa KDRT

bertentangan dengan Hukum Negara, Agama, Budaya dan Adat

Istiadat.

b. Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang dapat

(48)

37

c. Segera lakukan pengobatan jika terjadi luka dan menimbulkan sakit.

d. Jika tidak bisa dilakukan dengan dialog dan musyawarah, langkah

yang terkhir adalah melaporkan pelaku kekerasan kepada pihak yang

berwajib agar dilakukan penanganan terhadap tindak kekerasan.

Dalam kiat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,

pemerintah dan masyarakat mempuyai peran untuk mencegah terjadinya

tindakan KDRT. Undang-undang PKDRT telah memberikan mandat

sesuai dalam Bab V mengenai kewajiban Pemerintah dan Masyarakat pada

Pasal 11 dan Pasal 12 UU-PKDRT dengan melakukan tindakan sebagai

berikut:

a. Merumuskan kebijakan tentang KDRT

b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT

c. Menyelenggarakan tentang advokasi dan sosialisasi tentang KDRT

d. Meyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu-isu

KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang

sensitive gender

Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah terjadinya

KDRT adalah sebagai berikut:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana

b. Memberikan perlindungan korban

c. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan

(49)

38

d. Segera melaporkan apabila terjadi tindak pidana kepada pihak yang

(50)

39

BAB III

PAPARAN HASIL PENELITIAN

A. Profil Pengadilan Agama Salatiga

Alamat kantor Pengadilan Agama Salatiga adalah di Jl. Lingkar

Selatan Dusun Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo,

Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gedung Pengadilan Agama Salatiga

berdiri diatas tanah seluas 5425 m2 dengan status milik sendiri, dan luas

bangunan 1300 m2. Telp /fax (0298) 322853 / 325243. Website :

www.pa-salatiga.go.id Email :pa_salatiga@yahoo.co.id.

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga adalah:

a. Staadsblaad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.

b. Berdasarkan keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 Tahun

1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan

wilayah Hukum Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah Propinsi

dan Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama / Mahkamah

Syari’ah.

Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Salatiga adalah :

a. Sebelah barat berbatasan dengan Kab. Magelang dan Kab.

Semarang

b. Sebelah utara berbatasan dengan Kab. Semarang

(51)

40

d. Sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Boyolali dan Kab.

Magelang

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga

a. Visi

Mewujudkan Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan

berwibawa.

b. Misi

1) Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati

nurani.

2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari

campur tangan pihak lain.

3) Meningkatkan pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat

sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan.

4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan

sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara

profesional dan proposional.

5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, dan

bermartabat dalam melaksanakan tugas.

3. Kewenangan Pengadilan Agama

(52)

41

Pengadilan Agama Salatiga melaksanakan tugasnya sesuai

dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yakni memeriksa, memutus

dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang

beragama Islam dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,

Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi Syari’ah.

b. Kewenangan Relatif

Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga saat ini adalah

13 kecamatan yaitu:

1) Yang termasuk dalam wilayah Kota Salatiga ada 4

Kecamatan:

i.Kecamatan Sidorejo

ii.Kecamatan Sidomukti

iii.Kecamatan Argomulyo

iv.Kecamatan Tingkir

2) Yang termasuk dalam Kabupaten Semarang ada 9

Kecamatan:

i.Kecamatan Bringin

ii.Kecamatan Bancak

iii.Kecamatan Tuntang

iv.Kecamatan Getasan

(53)

42

vi.Kecamatan Susukan

vii.Kecamatan Kaliwungu

viii.Kecamatan Suruh

ix.Kecamatan Pabelan

B. Putusan Gugatan Perkara Perceraian Yang Menolak

Putusan Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL Yang Menolak Gugatan

Berdasarkan keterangan dari penggugat yang mengajukan gugatan

pada 08 September 2011 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama

Salatiga Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL, yakni ST Binti KS, umur 33

tahun, Agama Islam, Pekerjaan jualan, pendidikan SMA, bertempat tinggal

di Jl. Sukarno Hatta Km 35, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo,

Kota Salatiga. Selanjutnya di sebut Penggugat. Penggugat telah menikah

pada tanggal 11 agustus 1996 di KUA Kecamatan Suruh Kabupaten

Semarang dengan BG Bin N, umur 34 tahun, Agama Islam, pekerjaan

jualan, pendidikan SMA, bertempat tinggal di Jl. Cendrawasih No. 18

Klaseman Rt 002 Rw 02, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,

Kota Salatiga.

Suyati dan Bambang telah melaksanakan pernikahan Tanggal 11

Agustus 1996 di KUA Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

sebagaimana ternyata dalam kutipan Akta Nikah Nomor

240/231/VIII/1996 tertanggal 12 Agustus 1996. Setelah pernikahan

tersebut, ST dan BG hidup rukun layaknya suami istri dengan baik,

(54)

43

ST di suruh selama 3 bulan, terakhir bertempat tinggal dirumah pemberian

orang tua Bambang di Salatiga selama 14 Tahun 7 Bulan, dan sudah

dikaruniai tiga orang anak masing-masing bernama AG (Lahir 07 Agustus

1997), BR (Lahir 07 Juni 2003), dan CP (Lahir 01 Juni 2007).

Sejak bulan agustus 1998 rumah tangga keduanya mulai goyah dan

terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit

dihindari. BG sering menganiaya badan ST hingga memar, misalnya

dipukul dan ditampar. Karena perlakuan BG yang sudah diluar batas

Suyati merasa sudah tidak kuat lagi dengan sikapsuaminya, mulai tanggal

09 Juni 2010, keduanya bertempat tinggal berbeda sampai saat ini sudah

tiga bulan, karena tergugat mengusir penggugat. ST memilih bertempat

tinggal dirumah orang tuanya di Jl. Soekarno Hatta dan BG bertempat

tinggal dirumah orang tuanya di Jl. Cendrawasih.

Selama pisah rumah tersebut, BG tidak pernah memberi nafkah

kepada ST. Bahkan BG sudah mengembalikan ST kerumah orang tuanya

di Suruh. Berdasarkan sebab-sebab tersebut diatas ST merasa rumah

tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena perselisihan dan

pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi

dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi, telah sesuai pasal 19 huruf

(f) PP No.9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ST mengajukan tuntutan kepada

(55)

44

a. Menjatuhkan talak satu ba’in sughro tergugat BG bin NG terhadap ST

binti KS.

b. Membebankan biaya perkara ini kepada sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai penguat atas tuntutannya ST mengajukan bukti surat dan

bukti saksi. Bukti berupa surat adalah sebagai berikut:

1. Bukti surat

a) Foto copy kartu tanda penduduk atas nama penggugat Nomor

:3373046508780002 tanggal 25 Agustus 2011 yang

dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Salatiga yang bermeterai cukup diberi tanda P 1;

b) Foto copy kutipan Akta Nikah Nomor :240/VIII/1996 Tanggal

12 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama

Kecamatan Suruh, diberi tanda P 2;

c) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor

:45/Pid.Sus/2011/PN.Sal tanggal 12 Oktober 2011 yang

bermeterai cukup dan setelah dicocokkan sesuai dengan

aslinya selanjutnya diberi tanda P 3;

2. Bukti Saksi

Bukti saksi yang diajukan ST adalah KS Bin MK yang

merupakan ayah kandung dari Suyati. Beliau bertempat tinggal di

Kebowan Rt 22 Rw 05, Desa Kebowan, Kecamatan Suruh,

(56)

45

keterangan bahwa saksi kenal dengan penggugat dan tergugat

karena saksi merupakan ayah kandung penggugat. Beliau

mengetahui bahwa penggugat dan tergugat adalah pasangan suami

istri yang menikah pada 15 tahun yang lalu dan tinggal dirumah

orang tua di Klaseman Salatiga.

Beliau mengetahui sejak 4 bulan terakhir ini penggugat dan

tergugat pisah rumah karena penggugat dikembalikan kepada

beliau selaku orang tua. Adapun alasan dikembalikannya ST

menurut keterangan karena ST dan BG bertengkar, dan Bambang

sering menyakiti badan jasmani ST dan suatu ketika ST pernah

pulang dalam keadaan memar dan hal ini telah dilaporkan oleh ST

ke kepolisian sehingga Bambang sampai dipenjara dalam kasus

KDRT. Selama pisah rumah tersebut Bambang tidak pernah

mengurusi ST. Saksi juga sudah tidak bisa mendamaikan kedua

belah pihak.

Tentang pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut:

a. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan penggugat adalah

sebagaimana diuraikan diatas.

b. Menimbang, bahwa penggugat datang menghadap sendiri

dipersidangan sedangkan tergugat tidak hadir dipersidangan dan

tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

c. Menimbang, bahwa Majelis tidak dapat mengupayakan mediasi

(57)

46

d. Menimbang, bahwa penggugat telah mengajukan bukti surat

berupa Akta Nikah, fotocopy KTP dan Kutipan Akta Nikah dan

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Salatiga yang telah

bermeterai cukup, maka telah diterima sebagai bukti yang sah.

e. Menimbang, bahwa salinan dari pengadilan negeri meskipun

bermeterai cukup, namun karena tidak dicantumkan berkekuatan

hukumnya maka salinan putusan tersebut dianggap tidak

bernilai.

f. Menimbang, bahwa bukti yang diajukan penggugat terdiri dari

KS Bin MK dan tidak ada yang lain dan penggugat tidak

mengajukan saksinya lagi, maka oleh Majelis Hakim saksi yang

satu tidak dianggap sebagai saksi.

g. Menimbang, bahwa dengan demikian majelis berpendapat

bahwa penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil

gugatannya, maka gugatan penggugat harus ditolak.

h. Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat 1

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan dirubah lagi dengan

Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009 tentang Peradilan

Agama, maka kepada penggugat dihukum untuk membayar

biaya perkara.

C. Putusan Gugatan Perkara Perceraian Yang Mengabulkan

Referensi

Dokumen terkait

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap

Meningkatnya partisipasi akseptor setelah diberikan pesan kesehatan melalui Bobodoran merupakan faktor penting untuk mengubah seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu

Mendiskripsikan kadar HDL ( High Density Lipoprotein ) berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin pada penderita Diabetes Melitus tipe II di. RSUD

Tulisan ini menyajikan serta menganalisis pengaruh nilai tukar rupiah dan jumlah uang bererdar terhadap perkembangan ekspor Indonesia menggunakan data tahun 2009 kuartal

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif normatif, dengan maksud bahan hukum primer yakni peraturan perundang – undangan yang mengatur

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah sebuah berita mengenai konflik Basuki Tjahaja Purnama dengan DPRD mengenai APBD DKI Jakarta di harian Sinar

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Kesa lahan  ejaan  tidak  dapat  teriepas  dari  aeuan  bahasa  baku  karena  bahasa  baku  merupakan  tolok  ukur  tingkat  kefor01alan  bahasa.  Bahasa  baku