i
STUDI KOMPARASI
TENTANG PUTUSAN GUGATANPERKARA
PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN
(StudiPutusan di Pengadilan Agama Salatiga)
SKRIPSI
DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat
gunaMemperolehGelardalamHukum Islam (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Fahmi
NIM : 21208008
FAKULTAS SYARI'AH
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
v
Motto
Tersenyumlah dengan garis Allah SWT
Meski awalnya terlihat buram
Dan taks eperti yang kauinginkan
Kelak akan bersinar pada waktunya
Tidak ada jalan yang tidak berujung
vi
Persembahan
Sebagai tanda baktiku
Skripsi ini saya persembahkan untuk : Yang pertama,
Orangtuaku Ibuku SitiMunfarijah dan Ayahku Muryoto Yang kedua,
Istriku Nur Hidayah Yang ketiga,
Keluarga besarku kakakku-kakakku dan adik-adikku Yang keempat,
kampusku IAIN Salatiga Yang kelima,
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
atas segala limpahan nikmat, karunia, serta hidayah-nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa
terhaturkan dan tercurahkan kepada Khatamul Anbiya’ wal Mursalin (penutup
para Nabi dan Rasul) baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, shahabat
dan pengikutnya serta orang-orang yang mencintainya, hingga yaumil qiyamah.
Semoga kita semua, orang tua kita, keluarga kita, guru-guru kita diberi tetap Iman,
Islam, Ihsan, istiqamah dalam beribadah dan dibimbing oleh Allah SWT dan
pada akhirnya jika kita di panggil menghadap Allah SWT menetapi ‘alaar-Ridha
wa khusnil khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamiin.
Penyusunan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syari’ah Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul“STUDI KOMPARASI TENTANG PUTUSAN GUGATAN
PERKARA PERCERAIAN DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN”(Studi Putusan di
Pengadilan Agama Salatiga). Sebagai hamba yang lemah dan banyak kesalahan,
penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang ikut
serta memberikan bantuan moril maupun materil. Oleh karenanya dengan
kerendahan hati perkenankan penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga.
3. Bapak Syukron Makmun, S.HI.,M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal
Al-Syahshiyyah IAIN Salatiga.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH.,M.Si. selaku Pembimbing pembuatan skripsi.
5. Bapak Drs. Zaenuri selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang telah
viii
6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
7. Teman-teman yang selalu mendoakan serta member bantuan.
8. Segenap pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal dan bantuan dibalas jasanya oleh Allah SWT. Amiin. Penulis
menyadari dalam menyusun skripsi ini banyak kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi memperbaiki
skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua
pihak yang membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
Salatiga, 13 September 2015
ix
ABSTRAK
Fahmi, Muhammad. 2015. Studi Komparasi Tentang Putusan Gugatan Perkara
Perceraian Disebabkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Ditolak Dan Dikabulkan ( Studi Putusan Di Pengadilan Agama Salatiga). Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Ahhwal Al-Syahsiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Kata Kunci : Studi Komparasi, Putusan Gugatan Perceraian yang Ditolak dan yang Dikabulkan.
Salah satu jalan untuk memutus perkawinan adalah dengan perceraian. Agar perceraian tersebut sah menurut Hukum Islam dan Hukum Negara maka pasangan suami istri yang akan bercerai hendaknya mengajukan gugatan percerian ke Pengadilan. Dalam mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan tentunya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar gugatan tersebut dapat diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika syarat yang ditentukan tidak terpenuhi maka bukan tidak mungkin gugatan yang sudah diajukan ke Pengadilan Agama akan tidak dikabulkan tuntutannya bahkan ada yang langsung ditolak oleh Pengadilan Agama. Tidak sedikit seseorang dalam mengajukan gugatan di pengadilan banyak yang tidak mengetahui prosedur dan syarat lengkap agar pengajuan gugatan tersebut dapat dikabulkan sesuai dengan yang diinginkannya.
Maka dari latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian yakni studi putusan tentang sebab-sebab putusan gugatan ditolak tuntutannya dan yang dikabulkan tuntutannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yakni dengan melakukan analisa dan mendeskripsikan putusan gugatan yang didapatkan penulis. Dalam mendapatkan data penulis juga melakukan observasi dengan melakukan wawancara dengan hakim yang memutus putusan gugatan tersebut.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang
muslim dapat memikul amanat dan tanggung jawab yang paling besar dalam
dirinya terhadap orang yang paing berhak mendapatkan pendidikan dan
pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap
kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah
memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga
keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat
membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenraman jiwa. Dalam
UUD Tahun 1974 Pasal 1 berbunyi; Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan adalah suatu pernikahan yang
merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan
pelaksanaanya adalah merupakan ibadah. Perkawinan merupakan suatu hal
yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya
perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma
agama dan tata kehidupan masyarakat. Hubungan antara seoarang laki-laki
dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah
SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini disyariatkan akad nikah.
2
membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki
maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi
masyarakat yang berada disekelilingnya. Firman Allah dalam surat Ar-Rum
ayat 21:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Ar-Rum:21)
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tujuan kawin adalah untuk tenteram
dan tenang, suami tenang karena ada istri dan sebaliknya. Ketenteraman dan
ketenangan itu membuat antara suami istri saling cinta dan kasih sayang.
Namun dalam menjalani kehidupan rumah tangga didalam perkawinan
seringkali kita menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan utama
perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, tenteram dan aman.
Tujuan mitsaqan gholiidhon yang berlaku sepanjang masa dan ikrar yang
sakral dimata Allah dan dimata manusia seringkali dilupakan. Retaknya
3
pertengkaran yang dapat menyebabkan salah satu pihak bertindak kasar. Jika
hal tersebut terjadi maka menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian
dan tidak dapat merima perlakuan kasar dari salah satu pihak tersebut.
Terlebih jika yang melakukan perbuatan kasar tersebut adalah suami. Maka
wajarlah jika istri tidak dapat menerima perlakuan kasar dari suami tersebut.
Jika hal tersebut dilakukan berulang-ulang, maka yang terjadi adalah istri
dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Didalam
undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 19 d dan Kompilasi Hukum
Islam Pasal 116 berbunyi perceraian dapat terjadi jika salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan
pihak yang lain. Pasal 34 ayat 1 yakni suami wajib melindungi istri dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Dan Pasal 34 ayat 3 berbunyi jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama.
Di Pengadilan Agama Salatiga terdapat gugatan perceraian yang
diajukan disebabkan kekerasan rumah tangga yang diajukan oleh istri
terhadap suami. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Agama tersebut
diajukan hingga dua kali. Dan dua gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan
oleh satu orang yang sama. Karena dalam putusan pertama hakim tidak
mengabulkan permohonan gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri
kepada suami. Kemudian istri mengajukan gugatan kembali pada pengadilan
4
terhadap istri. Pada putusan yang kedua hakim mengabulkan permintaan
gugatan perceraian yag diajukan istri kepada suami. Berangkat dari rumusan
diatas maka penulis mengambil tema yakni “STUDI KOMPARASI
TENTANG PUTUSAN GUGATAN PERKARA PERCERAIAN
DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG
DITOLAK DAN DIKABULKAN” (Studi Putusan Di Pengadilan Agama
Salatiga).
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang
diambil adalah:
1. Mengapa Pengadilan Agama menolak gugatan perceraian yang
pertama Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL?
2. Mengapa Pengadilan Agama mengabulkan gugatan perceraian
yang kedua Nomor : 0064/Pdt.G/2012/PA.SAL?
C. Tujuan
Dari permasalahan yang terjadi, secara garis besar penelitian ini
mempunyai tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan gugatan perceraian yang
pertama Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL ditolak.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan gugatan yang kedua Nomor
5
D. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna secara
komprehensif, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya:
1. Teoritis
Memberikan sumbangan keilmuan terhadap kemajuan perkembangan ilmu
pegetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang
memiliki kaitan dengan problematika masyarakat terhadap Hukum Perdata
Islam sehingga dapat mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengan pengajuan gugatan perceraian.
2. Praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai
pengajuan gugatan perceraian yang sesuai dengan aturan perundangan.
b. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola pikir serta
pemenuhan pra-syarat dalam menyelesaikan kuliah di Fakultas Syari’ah
jurusan Ahwal al-syahksiyyah pada Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda
denga maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu
penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian.
6
1. Studi Komparasi menurut Poerwodarminto dalam kamus bahasa adalah
mempelajari atau mendapatkan. Mempelajari berarti ingin mendapatkan
sesuatu yang khusus dengan didorong oleh rasa ingin tahu terhadap
sesuatu faktor kesamaan serta faktor perbedaan. Menurut Winarno
Surahkmad dalam bukunya Pengantar Pengetahuan Ilmiah (1986 : 84)
bahwa pemecahan melalui analisis tentang hubungan sebab akibat yakni
memilih faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau
fenomena yang diselidiki. Berdasarkan pendapat diatas yang dimaksud
studi komparasi adalah suatu kegiatan untuk mempelajari atau menyelidiki
sesuatu hal atau masalah dengan membandingkan dua variabel atau lebih
dari suatu obyek penelitian.
2. Putusan berarti penyelesaian perkara yang disengketakan oleh Pengadilan
Agama tingkat pertama dan merupakan tujuan akhir proses pemeriksaan
perkara di pengadilan (Harahap, 2005 :797).
3. Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua
Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dalam rumah tanggadan
merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian
kebenaran suatu hak (Mardani, 2009:80).
4. Perceraian dapat diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk mengakhiri
suatu perkawinan (Rahman, 2002:221)
5. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU P KDRT adalah perbuatan
7
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 butir 1).
F. Tinjauan Pustaka
Setelah penulis melakukan penelitian terhadap skripsi–skripsi lain,
penulis menemukan skripsi yang hampir mendekati dengan tema skripsi yang
penulis buat. Skripsi pertama ditulis oleh Heriyono Progam Studi Magister
Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun
2009 yang berjudul kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan terjadinya
perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Namun pembahasan skripsi ini lebih kepada konsep kekerasan
dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan perceraian menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Skripsi kedua ditulis oleh Siti Nur Azizah Progam Studi Magister
Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun
2010 yang berjudul Akibat Perceraian Disebabkan Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Skripsi ini fokus kepada akibat hukum yang ditimbulkan dari
perceraian yang disebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Skripsi yang ketiga ditulis oleh Halimatus Sa’adah Jurusan
Administrasi Keperdataan Islam Tahun 2008 mengenai Cerai Gugat Karena
KDRT. Skripsi ini fokus membahas tentang alasan tertinggi terjadinya KDRT
8
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi diperlukan sebuah metode penelitian, hal ini
dimaksudkan untuk mencari atau mendapatkan data-data yang valid dan
akurat sehingga dapat dipercaya kebenarannya dan pada akhirnya dapat
menghasilkan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Soerjono Soekanto
mengemukakan bahwa metode penelitian adalah tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, tehknik yang umum bagi ilmu
pengetahuan, dan cara tertentu untuk suatu prosedur (Soekanto, 2007: 5).
Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari:
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
penelitian ini menggunakan metodependekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah konsep mutu
(Farihah, 2006:37) yaitu dengan melakukan analisa dan mendeskripsikan
isi dari putusan gugatan perceraian yang didapatkan penulis. Pendekatan
kualitatif menggunakan hasil penelitian tertulis berisi kutipan-kutipan dari
data untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti presentasi (Emzir,
2011:3). Data tersebut meliputi hasil wawancara dengan Hakim
Pengadilan Agama Salatiga, catatan lapangan, dan dokumen yang
ditemukan di Pengadilan Agama Salatiga.
9
Terdapat banyak jenis penelitian kualitatif, diantaranya etnografi,
studi kasus, fenomenologi, grounded theory, dan biografi atau naratif,
masing-masing metode penelitian ini meleburkan diri dalam karakteristik
kunci peneltian kualitatif (Emzir, 2011:18). Dalam penelitian ini penulis
menggunakan jenis penelitian yaitu studi kasus. Studi kasus adalah suatu
penelitian yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan
memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu,
kelompok, atau situasi. Studi kasus mengidentifikasi masalah atau
pertanyaan yang akan diteliti. Masalah atau pertanyaan yang dikerangkai
melalui pengalaman, observasi dan tinjauan penelitian yang relevan.
Peneliti juga menetapkan sampling atau objek yang akan dijadikan objek
observasi dan diwawancari yang didasarkan pada kemampuan mereka
memberikan kontribusi pada pemahaman fenomena yang akan diteliti
(Emzir, 2011:20).
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang
terletak di Kecamatan Tingkir, Salatiga.
4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat penulis bertumpu, artinya penelitian ini
bertolak dari sumber data (Arifin, 1998:54). Pengumpulan data merupakan
hal yang sangat erat hubungannnya dengan sumber data, karena melalui
pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk
10
hal tersebut, penulis memperoleh data primer melalui wawancara dengan
pihak yang berkaitan dan megetahui serta terkait dengan putusan gugatan
perceraian yang ditolak dan dikabulkan dengan sebab yang sama. Maka
dalam penelitian ini tehknik yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a. Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam
melakukan penelitian di lapangan. Dalam hal ini data yang diperoleh
adalah dengan melakukan wawancara di pengadilan agama salatiga.
Sistem wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin,
artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai
pedoman, tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang
disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan (Hadi,
1985:26).
b. Sekunder
Data sekunder adalah data yang memberikan penjelasan
mengenai data primer. Data sekunder antara lain mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan,
baik buku harian dan seterusnya (Soekanto, 2007:12). Dalam hal ini
peneliti menggunakan buku-buku yang berisi tentang perceraian, tata
cara pengajuan gugatan perceraian dan buku yang berisi tentang
kekerasan dalam rumah tangga.
11
Metode pengumpulan data yang umum digunakan adalah
observasi, wawancara, dan dokumen. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan tiga metode pengumpulan data, yakni wawancara, observasi
dan dokumen.
a. Wawancara
Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang
berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan, yang
salah satu merupakan pihak yang melakukan wawancara meminta
informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar
disekitar pendapat dan keyakinannya (Hasan ,1981:43). Dalam hal ini
penulis melakukan wawancara langsung dengan hakim Pengadilan
Agama Salatiga yang menangani perkara perceraian dengan sebab
kekerasan dalam rumah tangga yang dikabulkan dan ditolak.
b. Observasi
Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sebagai
perhatian yang terfokus terhadap gejala, kejadian atau sesuatu.
Adapun observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala,
kejadian atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,
mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan
kaidah-kaidah yang mengaturnya (Garabiyah, 1981: 33).
c. Dokumen
Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan dan
12
2003:13). Dokumen yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah putusan yang berisi tentang perceraian yang yang disebabkan
kekerasan dalam rumah tangga yang ditolak dan dikabulkan, buku
yang berisi tentang tata cara pengajuan gugatan, buku yang berisi
tentang kekerasan dalam rumah tangga, UU yang mengatur tentang
perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses sistematis pencarian dan pengaturan
transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain yang telah
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman mengenai materi-materi
tersebut dan memungkinkan untuk menyajikan kepada orang lain (Emzir,
2011:85). Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif
deskriptif, yaitu melakukan analisa dengan menguraikan data dan
mendeskripsikan sesuai dengan informasi yang didapatkan dari Pengadilan
Agama Salatiga. Dalam hal ini analisis data diperoleh dari wawancara
dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga, analisis tentang putusan
gugatan perceraian yang disebakan oleh kekerasan dalam rumah tangga
yang ditolak dan dikabulkan, serta pengamatan tentang keadaan di
Pengadilan Agama Salatiga.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehknik Triangulasi data
13
pengecekan data yang memanfaatkan sumber data yang lain sebagai
pembanding terhadap data tersebut.
8. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan
peneliti dalam mencari data yang diperlukan untuk menyusun laporan
hingga terbentuk sebuah laporan. Langkah-langkah yang dilakukan penulis
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan tema, dan objek yang akan diteliti;
b. Mencari sumber data berupa salinan putusan gugatan perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga;
c. Melakukan tinjauan pustaka dengan tujuan memastikan bahwa
penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya;
d. Mengajukan tema kepada kaprogdi dan selanjutnya untuk diberikan
dosen pembimbing dalam melakukan penelitian dan menyusun
laporan;
e. Melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang
memimpin sidang dan memutus gugatan perceraian disebabkan
kekerasan dalam rumah tangga yang ditolak dan dikabulkan ;
f. Mencari buku yang berkaitan dengan tema;
14
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada skripsi yang dibuat ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan, metode penelitian, tehknik analisis,
tehknik pengumpulan data dan sistematika penulisan.
BAB II :Studi Pustaka, dalam bab ini membahas tentang perceraian,
prosedur mengajukan gugatan perceraian, syarat-syarat mengajukan gugatan
perceraian, kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III : Hasil Penelitian, dalam bab ini berisikan tentang profil
Pengadilan Agama Salatiga dan putusan gugatan perkara perceraian yang
dikabulkan dan ditolak oleh Hakim Pengadilan Salatiga.
BAB IV : Analisis Data, pada bab ini berisikan tentang analisis antara
putusan perceraian yang ditolak dan dikabulkan dengan sebab kekerasann
dalam rumah tangga.
BAB V : Penutup, pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari
15
BAB II
PERCERAIAN KARENA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut bahasa indonesia berarti pisah dari dasar kata
cerai. Menurut istilah perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan
ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah
dipergunakan pada masa jahiliyyah yang kemudian digunakan oleh
syara’(Ahmad, 1993:175). Dalam istilah hukum islam disebut dengan “at
-talak” yang secara bahasa bermakna meninggalkan atau memisahkan (Ali,
2003:1237), ada juga yang yang memberikan pengertian lepas dari
ikatannya (Munawir, 1997:861). Menurut H. A. Fuad Said yang dimaksud
perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dan isteri karena
tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti
mandulnya isteri atau suami atau yang lainnya dan setelah sebelumnya
perdamaian dengan melibatkan kedua belah pihak (Manan, 2001:7).
Pengertian perceraian juga dapat ditemui dari beberapa pendapat Imam
madzhab, Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak ialah melepaskan akad
nikah dengan lafadz talak atau yang semakna dengan itu, sedangkan
Hanafi dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan
16
dengan lafazd khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak
secara lebih umum dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan
talak sebagai suatu sifat hukum khusus yang menyebabkan gugurnya
kehalalan hubungan suami istri (Dahlan, 1996:1777).
Menurut Kompilasi Hukum Islam perceraian merupakan salah satu
penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan pasal 113 KHI,
dan Undang-Undang Perkawinan pasal 38 Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 alasan yakni;
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Putusan pengadilan.
Dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
selanjutnya menyatakan sebagai berikut:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak;
b. Untuk melaksanakan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami dan istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri;
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud perceraian adalah pelepasan ikatan antara suami
17
karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat
taklik talak. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan,
meskipun dalam agama islam, perkawinan yang putus karena perceraian
dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap
dilakukan didepan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala
hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum percerain itu.
2. Sebab-Sebab Perceraian
Alasan perceraian menurut hukum perdata, hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan undang-undang dan harus
dilakukan didepan sidang pengadilan (Harahap, 1975:133). Alasan
terjadinya perceraian berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 adalah sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah
terkait dengan hak dan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
dapat membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
18
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengakaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangganya.
Disamping pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
bagi yang beragama islam terdapat penambahan sesuai dengan pasal 116
Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Suami melanggar taklik talak.
b. Peralihan agama (murtad) yang dapat menjadikan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam,
maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan
sesuka hati. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
rumusan yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata
lain pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang
mempersulit adanya perceraian.
3. Bentuk Perceraian
Didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama, membagi perceraian menjadi dua bentuk, yaitu cerai talak dan
cerai gugat. Walaupun kedua bentuk perceraian tersebut diatur dalam bab
yang sama, yaitu dalam bab IV bagian kedua Undang-Undang Nomor 3
19
paragraf yang berbeda, cerai talak diatur dalam paragraf 2 dan cerai gugat
diatur dalam paragraf 3.
a. Cerai Talak
Cerai talak adalah salah satu cara yang dibenarkan dalam hukum
islam untuk memutuskan ikatan perkawinan, dalam cerai talak suami
berkedudukan sebagai pemohon sebagaimana yang diatur dalam pasal
66 ayat 1 dan pasal 67 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang memuat ketentuan bahwa “seorang
suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak”. Meskipun kebolehan menjatuhkan ikrar
talak adalah mutlak hak urusan pribadi suami, namun boleh atau
tidaknya suami menjatuhkan talaknya kepada istri tergantung penilaian
dan pertimbangan pengadilan, setelah pengadilan mendengar sendiri
dan mempertimbangkan pendapat dan bantuan istri, sehingga dalam hal
ini istri bukan obyek yang pasif lagi dalam cerai talak (Harahap,
1975:216). Dengan kata lain bahwa cerai talak adalah pemutusan
perkawinan oleh pihak suami yang melakukan perkawinan menurut
agama islam dihadapan sidang pengadilan yang diadakan untuk itu,
setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan dan pengadilan
20
b. Cerai GugatDalam cerai gugat, yang mengajukan gugatan perceraian adalah
isteri, sedangkan suami berkedudukan sebagai tergugat. Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 yang berbunyi:” gugatan perceraian diajukan oleh istri
atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman tergugat”. Bentuk perceraian cerai
gugat ini lebih lanjut diatur dalam bab IV bagian kedua, paragraf 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, karena itu pasal 73 ayat 1 yang
telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat
yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah istri
(Harahap, 1975:234).
B. Gugatan Perceraian
1. Pengertian Gugatan
Gugatan ialah suatu surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua
pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dalam rumah tangga dan
merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian
kebenaran suatu hak (Mardani, 2009:80). Sedangkan cerai gugat yaitu
perceraian yang disebabkan adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh para
pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan
21
Isi dari surat gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga
komponen, yakni sebagai berikut:
a. Identitas pihak-pihak
Identitas pihak-pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau
julukan, bin/bintinya, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir
dan statusnya sebagai penggugat/tergugat (67 (a) UU No. 7/1989).
Kalau kumulasi subjektif, mungkin sebagai penggugat 1, penggugat 2
dan seterusnya. Kalau ada pemberian kuasa , tentunya sekaligus
dicantumkan identitas pemegang kuasa. Alias atau gelar atau julukan,
berikut bin/binti diperlukan agar terhindar dari kekeliruan orang karena
kesamaan nama. Umur diperlukan karena relevansinya, misalnya
passangan suami istri yang sudah amat tua minta pengesahan nikah
untuk keperluan pensiun karena dahulunya perkawinan mereka belum
memakai surat menyurat. Agama dicantumkan sehubungan dengan
kekuasaan peradilan agama bagi meraka yang beragama islam. Begitu
pula tempat tinggal diperlukan sehubungan dengan tempat mengajukan
gugatan dan keperluan pemanggilan dan sebagainya. Tempat tinggal
hendaknya dicantumkan sampai minimal nama kabupaten, sebab hakim
tingkat banding (kalau banding) dan hakim tingkat kasasi (kalau kasasi)
mungkin tidak begitu jelas kalau hanya menyebutkan nama kecamatan.
Kalimat yang memisahkan antara identitas pihak penggugat dan
tergugat diberikan kata-kata berlawanan dengan yang diletakkan dibaris
22
b. Fakta- fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak, biasa disebut dengan Posita (jamak) atau Positum (tunggal).
Bagian yang memuat fakta-fakta atau hubungan hukum yang
terdiri dari posita hendaknya singkat, kronologis, jelas, tepat dan
sepenuhnya terarah untuk mendukung isi tuntutan(bagian petita
nantinya). Kalimat pertama dari bagian posita berbunyi “duduk
perkaranya”, yang diletakkan dalam baris tersendiri ditengah-tengah.
Kalimat posita yang terakhir biasanya didahului kalimat:”berdasarkan
uraian diatas, dengan segala kerendahan hati penggugat mohon kepada
pengadilan agama untuk”. Sesudah kalimat ini, gugatan masuk kepada
petita.
c. Isi tuntutan yang biasa disebut Petita (jamak) atau Petitum (tunggal).
Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara,
belum boleh langsung ke materi perkara. Butir pertama itu
berbunyi:”Mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan
penggugat,” maksudnya ialah, karena syarat-syarat formal gugatan
sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatannya
dinyatakan diterima.
Sehubungan dengan petita, pengadilan dilarang mengabulkan
tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya
pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang
23
ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian
lainnya.
2. Bentuk Gugatan
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan terdapat ada dua jenis
gugatan yakni gugatan lisan dan gugatan tertulis.
1)Gugatan Tertulis
Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat 2
R.Bg. Dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan
secara lisan dan ditujukan kepada ketua pengadilan yang berwenang
mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus
ditandatangani oleh penggugat atau tergugat. Jika perkara itu
dilimpahkan kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat
gugatan itu adalah kuasa hukumnya sebagaimana disebutkan dalam
pasal 123 ayat 1 HIR dan pasal 147 ayat 1 R.Bg. Berdasarkan pasal 119
HIR dan 143 R.Bg, ketua pengadilan berwenang memberikan nasehat
dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya apabila mereka kurang
paham tentang seluk beluk hukum dalam mengajukan gugatan kepada
pengadilan yang berwenang. Surat gugatan dibuat harus bertanggal,
menyebutkan dengan jelas nama pemggugat dan tergugat, umur, agama,
tempat tinggal, dan jabatan kedudukannya. Surat gugatan diketik rapi,
akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak bisa mempergunakan mesin
ketik, dapat juga ditulis dengan tangan diatas kertas biasa, tidak perlu
24
yang asli untuk pengadilan, satu helai untuk arsip penggugat dan
ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat.
2) Gugatan Lisan
Surat gugatan yang berbentuk lisan diatur dalam Pasal 120 HIR
atau pasal 144 ayat 1 R.Bg, ditegaskan bilamana penggugat buta huruf,
gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan,
kemudian ketua pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada
salah satu seorang pejabat pengadilan dan selanjutnya ketua pengadilan
memformulasinya berupa surat gugatan. Tujuan memberi kelonggaran
mengajukan gugatan secara lisan untuk membuka kesempatan kepada
rakyat pencari keadilan yang buta aksara membela dan
mempertahankan haknya. Ini merupakan salah satu fungsi pengadilan
sesuai dengan Pasal 119 HIR atau Pasal 143 ayat 1 R.Bg jo Pasal 58
ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989.
3. Kelengkapan Gugatan
Dalam surat gugatan yang akan didaftarkan di Pengadilan Agama
tentunya harus dilengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat
kelengkapan gugatan ada dua macam yakni kelengkapan Umum dan
Khusus.
a. Syarat Kelengkapan Umum:
1. Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta
25
2. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domissili bagi
penggugat;
3. Vorschot (uang muka) biaya perkara, kecuali bagi yang miskin
dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepada desa
yang disahkan minimal oleh camat setempat
b. Syarat Kelengkapan Khusus
a) Bagi anggota ABRI dan kepolisian yang mau kawin atau
bercerai harus melampirkan izin komandan;
b)Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain anggota
ABRI, Kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil), harus
melampirkan:
i. Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada;
ii. Surat tentang penghasilan suami, isteri, seperti daftar
gajinya atau harta yang dijadikan ushanya dalam mencari
nafkah atau penghasilan- penghasilan lannya, untuk bukti
bahwa suami tersebut mampu beristri lebih dari seorang;
iii. Surat penyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil
terahadap isteri-isterinya dan anak- anaknya;
iv. Untuk keperluan tersebut diatas, atau jika mau bercerai,
kalau suami itu PNS, maka syarat tersebut (b) diatas, harus
ditambah lagi dengan adanya izin dari jabatan yang
26
c) Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta
nikah, seperti perkara gugatan cerai, permohonan untuk
menceraikan isteri dengan talak, gugatan nafkah isteri dan
sebagainya.
d)Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus
melampirkan kutipan akta cerai, seperti perkara gugatan nafkah
iddah, guagatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada
bekas isteri yang diceraikan berhubung kehendak bercerai
datangnya dari suami) dan lain sebagainya.
e) Mereka yang bercerai harus melampirkan surat keterangan
untuk bercerai dari kelurahan/kepada desa masing-masing, yang
disebut model “Tra”.
f) Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian
pewaris, dan lain-lainnya.
4. Tata Cara Mengajukan Gugatan Perceraian
Sesudah surat gugatan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat
kelengkapan umum dan khusus maka langkah selanjutnya adalah
melakukan pendaftaran ke Pengadilan Agama dengan medaftarkan di
kepaniteraan. Tatacara mengajukan gugatan perceraian ini berlandaskan
pada ketentuan-ketentuan dalam HIR (RIB= Reglemen Indonesia yang
diperbarui), gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi daerah tergugat. Tetapi apabila tergugat tidak jelas tempat
27
yang tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat. Begitu pula apabila tergugat
berkediaman diluar negeri atau tergugat meninggalkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya (Pasal 20 dan 21 PP).
Prosedur pengajuan gugatan ke Pengadilan Agama adalah sebagai
berikut;
a. Penggugat atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di
Pengadilan Agama, untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan
gugatan. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk surat(tertulis) atau
secara lisan atau dengan kuasa yang ditujukan kepada ketua
pengadilan agama dengan membawa surat bukti identitas diri yaitu
KTP;
b. Penggugat wajib membayar uang muka biaya atau ongkos perkara
(Pasal 121 ayat (4) HIR);
c. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian
perkara, sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan
dalam buku register perkara;
d. Setelah didaftar, gugatan diteruskan kepada ketua Pengadilan Agama
dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan
hari sidangnya;
e. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang akan
28
f. Hakim ketua atau anggota Majelis Hakim (yang akan memeriksa
perkara) memeriksa kelengkapan surat gugatan;
g. Panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat
panggilan sidang secara patut; dan
h. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam berita acara
persidangan.
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Perspektif Islam kekerasan adalah tindakan
melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syari’at islam dan
termasuk kategori kriminalitas (Jarimah). Sementara kejahatan dalam
islam adalah perbuatan tercela (Al-Qolbih) yang ditetapkan oleh hukum
syara’. Islam menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam
kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan islam dalam membangun
rumah tangga adalah sakinah, mawaddah wa rahmah ( kasih sayang dan
adil ). Dalam Al-Qur’an disebutkan “ dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”(Ar
29
Berdasarkan Syari’at Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau
kejahatan dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Kejahatan
ini dapat menimpa laki-laki atau perempuan.
a. Qadzaf, yakni melempar tuduhan, yakni menuduh wanita baik-baik
berbuat zina tanpa memberikan barang bukti. Sanksi hukumannya
adalah 80 kali cambukan.
b. Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang. Hukumannya
adalah qishos (hukuman mati).
c. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Sanksi
hukumannya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya
kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama
terjadi.
d. Penyerangan terhadap anggota tubuh, sanksi hukumnnya adalah
membayar diyat 100 ekor unta, tergantung organ tubuh yang disakiti.
Menyerang lidah sanksi 100 unta, 1 biji mata sanksi 50 unta, satu kaki
sanksi 50 unta, luka sampai batok kepala sanksi 30 unta, luka sampai
tulang dan mematahkannya sanksi sampai 15 unta, setiap jari kaki dan
tangan sanksi 10 unta, dan gigi sanksi 5 unta, luka sampai ketulang dan
kelihatan sanksi 5 unta.
e. Perbuatan cabul, yakni melakukan zina dengan perempuan namun tidak
sampai bersetubuh dikenakan sanksi 3 tahun penjara, ditambah jilid dan
30
f. Penghinaan, jika ada dua orang saling melakukan penghinaan
sementara keduanya tidak dapat menghadirkan bukti maka akan
dikenakan sanksi sampai 4 tahun.
Keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk
apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati,
menyayangi dan saling mencintai. Relasinya adalah antara suami dan istri
harus saling mmenghormati. Suami berhak menuntut hak atas istri, seperti
dilayani istri dengan baik, sebaliknya suami mempunyai kewajiban atas
istri untuk mendidik istri dan memberikan nafkah yang layak dan
memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal
keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik (KBBI, 1996:425). Kekerasan
merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan
luka, cacat, sakit atau unsur yang berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak
yang dilukai. Sedangkan menurut hayati kekerasan adalah semua bentuk
perilaku baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang
ataupun kelompok orang terhadap seseorang atau kelompok orang lainnya,
sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologi
(Hayati, 2001:25). Kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan
dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan tindak kejahatan.
Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap
31
kejahatan. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 ayat
1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
2. Sebab-Sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perilaku kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan sesuatu
yang muncul secara kebetulan melainkan suatu perilaku yang muncul
karena terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memancing dan
memunculkannya. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga adalah;
a. Faktor Internal
Faktor kekerasan ini dipicu oleh hubungan didalam rumah
tangga diantaranya;
1) Adanya ketimpangan dalam masalah ekonomi atau keuangan
dalam keluarga antara suami dan istri;
2) Suasana keluarga yang minim komunikasi dan interaksi antara
suami dan istri;
3) Permasalahan kebutuhan anak yang tidak terpenuhi;
4) Kebutuhan biologis atau batin antara pasangan suami istri yang
32
b. Faktor EksternalFaktor eksternal dipicu oleh lingkungan tempat hidup disekitar
pasangan yang berumah tangga, diantaranya;
1) Gaya hidup yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan
yang mengakibatkan mudahnya terjadi perselingkuhan;
2) Tingkat kontrol masyarakat rendah, artinya berbagai perilaku diduga
sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan
kurang mendapatkan respon dan pengawasan dari unsur-unsur
masyarakat;
3) Hukuman yang ringan terhadap pelaku kekerasan yang
mengakibatkan orang tidak takut untuk melakukan tindak kekerasan;
3. Bentuk- Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi dalam empat
bentuk,yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
penelantaran rumah tangga.
a. Kekerasan Fisik
Dalam UU Pasal 6 kekerasan fisik diartikan perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Berdasarkan pasal
6 undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sebagaimana
tersebut diatas, kekerasan fisik dapat dikategorikan menjadi dua
33
1) Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti
menendang, memukul, membenturkan kebenda lain, bahkan
sampai melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan
yang mengakibatkan sakit yang menimbulkan ketidakmampuan
menjalankan kegiatan sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh
korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan
kematian, kehilangan salah satu panca indera, luka yang
mengakibatkan cacat dan kematian.
2) Kekerasan fisik ringan seperti menampar, menarik rambut,
mendorong, dan perbuatan lain yang mengakibatkan cidera ringan
dan rasa sakit serta luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori
luka berat.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang
mengarah pada serangan tehadap mental/psiskis seseorang, bisa
berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada tinggi,
penghinaan dan ancaman. Sedangkan dalam Undang-Undang Pasal 7
No. 23 Tahun 2004 dijelaskan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
34
Didalam Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
PKDRT dijelaskan bahwa kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 huruf c meliputi, pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,
dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan
tertentu. Kata pemaksaan hubungan seksual lebih diuraikan untuk
menghindari penafsiran bahwa pemaksaan hubungan seksual hanya
dalam bentuk pemaksaan fisik semata (harus adanya unsur penolakan
secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaan juga dapat terjadi dalam
tataran psikis (dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan
penolakan dalam bentuk apapun).
d. Kekerasan Ekonomi
Pasal 9 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan penelantaran
rumah tangga atau dapat diartikan sebagai kekerasan ekonomi terhadap
rumah tangga, yaitu:
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Undang-Undang
35
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak
didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali
orang tersebut.
Akibat yang ditimbulkan dari seseorang yang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya adalah:
a) Mengakibatkan sakit atau luka pada fisik atau badan seseorang
bahkan dapat mengakibatkan kematian;
b) Mengakibatkan gangguan mental atau psikis pada seseorang
yang menjadi korban kekerasan;
c) Mengakibatkan retaknya hubungan rumah tangga dan memicu
kepada perceraian sesuai dengan Pasal 19 huruf d Peraturan
Pemerintah Tahun 1975 yang menyebutkan bahwa perceraian
dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan tindakan
kekejaman atau penganiayann yang membahayakan pihak lain
4. Sanksi Pelaku KDRT
Sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan dalam rumah
tangga adalah tercantum dalam Pasal 44 Undang-Undang PKDRT
sebagaiberikut;
a. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup ruma
tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
36
b. Dalam hal perbuatan dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
d. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Langkah-langkah yang dilakukan ketika terjadi KDRTdan upaya
pencegahan dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan dialog antara suami dan isteri dengan menjelaskan kepada
suami atau isteri yang melakukan tindak kekerasan bahwa KDRT
bertentangan dengan Hukum Negara, Agama, Budaya dan Adat
Istiadat.
b. Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang dapat
37
c. Segera lakukan pengobatan jika terjadi luka dan menimbulkan sakit.
d. Jika tidak bisa dilakukan dengan dialog dan musyawarah, langkah
yang terkhir adalah melaporkan pelaku kekerasan kepada pihak yang
berwajib agar dilakukan penanganan terhadap tindak kekerasan.
Dalam kiat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
pemerintah dan masyarakat mempuyai peran untuk mencegah terjadinya
tindakan KDRT. Undang-undang PKDRT telah memberikan mandat
sesuai dalam Bab V mengenai kewajiban Pemerintah dan Masyarakat pada
Pasal 11 dan Pasal 12 UU-PKDRT dengan melakukan tindakan sebagai
berikut:
a. Merumuskan kebijakan tentang KDRT
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT
c. Menyelenggarakan tentang advokasi dan sosialisasi tentang KDRT
d. Meyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu-isu
KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang
sensitive gender
Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah terjadinya
KDRT adalah sebagai berikut:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan korban
c. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
38
d. Segera melaporkan apabila terjadi tindak pidana kepada pihak yang
39
BAB III
PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
Alamat kantor Pengadilan Agama Salatiga adalah di Jl. Lingkar
Selatan Dusun Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo,
Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gedung Pengadilan Agama Salatiga
berdiri diatas tanah seluas 5425 m2 dengan status milik sendiri, dan luas
bangunan 1300 m2. Telp /fax (0298) 322853 / 325243. Website :
www.pa-salatiga.go.id Email :pa_salatiga@yahoo.co.id.
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga adalah:
a. Staadsblaad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
b. Berdasarkan keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 Tahun
1983 Tanggal 10 Nopember 1983 tentang penetapan perubahan
wilayah Hukum Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah Propinsi
dan Pengadilan Agama serta Pengadilan Agama / Mahkamah
Syari’ah.
Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Salatiga adalah :
a. Sebelah barat berbatasan dengan Kab. Magelang dan Kab.
Semarang
b. Sebelah utara berbatasan dengan Kab. Semarang
40
d. Sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Boyolali dan Kab.
Magelang
2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga
a. Visi
Mewujudkan Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan
berwibawa.
b. Misi
1) Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati
nurani.
2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain.
3) Meningkatkan pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara
profesional dan proposional.
5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas.
3. Kewenangan Pengadilan Agama
41
Pengadilan Agama Salatiga melaksanakan tugasnya sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yakni memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,
Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi Syari’ah.
b. Kewenangan Relatif
Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga saat ini adalah
13 kecamatan yaitu:
1) Yang termasuk dalam wilayah Kota Salatiga ada 4
Kecamatan:
i.Kecamatan Sidorejo
ii.Kecamatan Sidomukti
iii.Kecamatan Argomulyo
iv.Kecamatan Tingkir
2) Yang termasuk dalam Kabupaten Semarang ada 9
Kecamatan:
i.Kecamatan Bringin
ii.Kecamatan Bancak
iii.Kecamatan Tuntang
iv.Kecamatan Getasan
42
vi.Kecamatan Susukanvii.Kecamatan Kaliwungu
viii.Kecamatan Suruh
ix.Kecamatan Pabelan
B. Putusan Gugatan Perkara Perceraian Yang Menolak
Putusan Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL Yang Menolak Gugatan
Berdasarkan keterangan dari penggugat yang mengajukan gugatan
pada 08 September 2011 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama
Salatiga Nomor : 0666/Pdt.G/2011/PA.SAL, yakni ST Binti KS, umur 33
tahun, Agama Islam, Pekerjaan jualan, pendidikan SMA, bertempat tinggal
di Jl. Sukarno Hatta Km 35, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo,
Kota Salatiga. Selanjutnya di sebut Penggugat. Penggugat telah menikah
pada tanggal 11 agustus 1996 di KUA Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang dengan BG Bin N, umur 34 tahun, Agama Islam, pekerjaan
jualan, pendidikan SMA, bertempat tinggal di Jl. Cendrawasih No. 18
Klaseman Rt 002 Rw 02, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,
Kota Salatiga.
Suyati dan Bambang telah melaksanakan pernikahan Tanggal 11
Agustus 1996 di KUA Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang
sebagaimana ternyata dalam kutipan Akta Nikah Nomor
240/231/VIII/1996 tertanggal 12 Agustus 1996. Setelah pernikahan
tersebut, ST dan BG hidup rukun layaknya suami istri dengan baik,
43
ST di suruh selama 3 bulan, terakhir bertempat tinggal dirumah pemberian
orang tua Bambang di Salatiga selama 14 Tahun 7 Bulan, dan sudah
dikaruniai tiga orang anak masing-masing bernama AG (Lahir 07 Agustus
1997), BR (Lahir 07 Juni 2003), dan CP (Lahir 01 Juni 2007).
Sejak bulan agustus 1998 rumah tangga keduanya mulai goyah dan
terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit
dihindari. BG sering menganiaya badan ST hingga memar, misalnya
dipukul dan ditampar. Karena perlakuan BG yang sudah diluar batas
Suyati merasa sudah tidak kuat lagi dengan sikapsuaminya, mulai tanggal
09 Juni 2010, keduanya bertempat tinggal berbeda sampai saat ini sudah
tiga bulan, karena tergugat mengusir penggugat. ST memilih bertempat
tinggal dirumah orang tuanya di Jl. Soekarno Hatta dan BG bertempat
tinggal dirumah orang tuanya di Jl. Cendrawasih.
Selama pisah rumah tersebut, BG tidak pernah memberi nafkah
kepada ST. Bahkan BG sudah mengembalikan ST kerumah orang tuanya
di Suruh. Berdasarkan sebab-sebab tersebut diatas ST merasa rumah
tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi, telah sesuai pasal 19 huruf
(f) PP No.9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ST mengajukan tuntutan kepada
44
a. Menjatuhkan talak satu ba’in sughro tergugat BG bin NG terhadap ST
binti KS.
b. Membebankan biaya perkara ini kepada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai penguat atas tuntutannya ST mengajukan bukti surat dan
bukti saksi. Bukti berupa surat adalah sebagai berikut:
1. Bukti surat
a) Foto copy kartu tanda penduduk atas nama penggugat Nomor
:3373046508780002 tanggal 25 Agustus 2011 yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Salatiga yang bermeterai cukup diberi tanda P 1;
b) Foto copy kutipan Akta Nikah Nomor :240/VIII/1996 Tanggal
12 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Suruh, diberi tanda P 2;
c) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor
:45/Pid.Sus/2011/PN.Sal tanggal 12 Oktober 2011 yang
bermeterai cukup dan setelah dicocokkan sesuai dengan
aslinya selanjutnya diberi tanda P 3;
2. Bukti Saksi
Bukti saksi yang diajukan ST adalah KS Bin MK yang
merupakan ayah kandung dari Suyati. Beliau bertempat tinggal di
Kebowan Rt 22 Rw 05, Desa Kebowan, Kecamatan Suruh,
45
keterangan bahwa saksi kenal dengan penggugat dan tergugat
karena saksi merupakan ayah kandung penggugat. Beliau
mengetahui bahwa penggugat dan tergugat adalah pasangan suami
istri yang menikah pada 15 tahun yang lalu dan tinggal dirumah
orang tua di Klaseman Salatiga.
Beliau mengetahui sejak 4 bulan terakhir ini penggugat dan
tergugat pisah rumah karena penggugat dikembalikan kepada
beliau selaku orang tua. Adapun alasan dikembalikannya ST
menurut keterangan karena ST dan BG bertengkar, dan Bambang
sering menyakiti badan jasmani ST dan suatu ketika ST pernah
pulang dalam keadaan memar dan hal ini telah dilaporkan oleh ST
ke kepolisian sehingga Bambang sampai dipenjara dalam kasus
KDRT. Selama pisah rumah tersebut Bambang tidak pernah
mengurusi ST. Saksi juga sudah tidak bisa mendamaikan kedua
belah pihak.
Tentang pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan penggugat adalah
sebagaimana diuraikan diatas.
b. Menimbang, bahwa penggugat datang menghadap sendiri
dipersidangan sedangkan tergugat tidak hadir dipersidangan dan
tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya.
c. Menimbang, bahwa Majelis tidak dapat mengupayakan mediasi
46
d. Menimbang, bahwa penggugat telah mengajukan bukti surat
berupa Akta Nikah, fotocopy KTP dan Kutipan Akta Nikah dan
Salinan Putusan Pengadilan Negeri Salatiga yang telah
bermeterai cukup, maka telah diterima sebagai bukti yang sah.
e. Menimbang, bahwa salinan dari pengadilan negeri meskipun
bermeterai cukup, namun karena tidak dicantumkan berkekuatan
hukumnya maka salinan putusan tersebut dianggap tidak
bernilai.
f. Menimbang, bahwa bukti yang diajukan penggugat terdiri dari
KS Bin MK dan tidak ada yang lain dan penggugat tidak
mengajukan saksinya lagi, maka oleh Majelis Hakim saksi yang
satu tidak dianggap sebagai saksi.
g. Menimbang, bahwa dengan demikian majelis berpendapat
bahwa penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil
gugatannya, maka gugatan penggugat harus ditolak.
h. Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat 1
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan dirubah lagi dengan
Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, maka kepada penggugat dihukum untuk membayar
biaya perkara.
C. Putusan Gugatan Perkara Perceraian Yang Mengabulkan