• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA NARA SUMBER (INFORMAN TAMBAHAN)

3. Chalida Fachruddin (74 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Ibu mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Orang Minang termasuk orang Pariaman dengan tradisi uang jemputan yang tidak berlaku di daerah lain di Minangkabau. Seperti pepatah “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, sepengetahuan saya, unsur agama masih prioritas dalam hal memilih menantu atau perjodohan orang Pariaman. Syarat nikah tidak menyimpang dari yang ditetapkan agama, sehingga sampai saat ini tradisi uang jemputan masih terus dilaksanakan. Memang sudah berubah fungsi dan persepsi, masyarakat luar bahkan orang Pariaman sendiri negatif menilai laki-laki atau suami dibeli, ini dikarenakan mereka tidak memahami apa makna jemputan atau japuik tersebut

2. Menurut Ibu, bagaimana penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini?

”Menurut saya karena dalam pelaksanaan uang jemputan mengutamakan fungsi uang semata, bukan fungsi adat jemputan yang sebenarnya yang kini sudah kehilangan makna”.

“Pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi terdahulu hanya melalui lisan saja. Nilai-nilai budaya tidak didokumentasikan, sehingga adat istiadat sangat mudah berubah menjadi adat yang diadatkan. karena manusia memang senantiasa berubah. Fenomena ini buat orang Minang bukan hal yang aneh, karena ada pepatah adat bahwa “sakali aia gadang, sakali tapian barubah

(sekali air besar, sekali tepiannya berubah). Seharusnya nilai-nilai budaya didokumentasikan dengan baik, apalagi adat di Minangkabau dikawal oleh adanya Kerapatan Adat. Tentunya nilai budaya dalam adat bajapuik yang merupakan kearifan lokal dapat menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Perubahan pasti terjadi pada penerapan, namun nilai positif sebagaimana makna semula tetap utuh”.

”Pergeseran nilai sudah pasti terjadi seperti adanya istilah “uang” muncul dan menjadi baku. Fungsi adat beralih menjadi fungsi ekonomi. Perjodohan menjadi ajang jual beli, ada tawar menawar. Fenomena ini pula yang menjadi cap” untuk orang Pariaman bahwa laki-laki dibeli atau perempuan membeli laki-laki untuk menikah”.

3. Bagaimana pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan?

“Sejak acara peminangan sampai acara perkawinan atas prakarsa pihak perempuan. Pengantin laki-laki atau marapulai adalah tamu terhormat kerabat pengantin perempuan atau anak daro yang kelak statusnya sebagai urang sumando atau pihak yang datang karena dijemput atau dijapuik secara adat. Peritiwa ini dirangkum oleh pepatah: Sigai mancari anau....anau tatap sigai baranjak. Datang dek bajapuik....pai jo baanta. Ayam putiah tabang siang...basuluah matohari. Bagalanggang mato rang banyak....tangga mencari enau. Enau tetap tangga bapindah (datang karena dijemput...pergi dengan diantar. Bagai ayam putih terbang siang...bersuluh matahari, disaksikan mata orang banyak).

4. Kalau Ibu sendiri, sebagai perempuan Minang Pariaman yang juga lahir dan besar di perantauan, dari mana sumber pemahaman Ibu tentang tradisi uang jemputan.

“Walau saya lahir dan dibesarkan di perantauan, tradisi uang jemputan saya ketahui dari kedua orang tua saya yang asli Padang Pariaman dan dari pemuka masyarakat Padang Pariaman”.

5. Bagaimana Ibu menyikapi tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan? “Sebagai perempuan Minang yang lahir dan besar diperantauan, oleh “cap“ di atas ketika masih remaja, saya merasa disudutkan karena ada pula persepsi bahwa perempuan Pariaman pemegang kendali dalam rumah tangga. Saya bertanya kepada Ibu saya, beliau menjelaskan “adat bajapuik” yang dikenal dalam perkawinan masyarakat Pariaman bukan “uang japuik” atau uang jemputan”. Persepsi saya menjadi positif karena saya sebagai seorang Antropolog, dapat memahami dari sejarahnya dan melihat ada fungsi lain dari tradisi uang jemputan yang dapat dilestarikan”. Saya tidak setuju uang jemputan dengan fungsi ekonomi, tetapi saya mendukung tradisi japuik sebagai proses saling menghargai antar besan dan tidak terlepas dari sistem matrilineal ciri khas orang Minang”.

6. Bagaimana keputusan Ibu dalam memilih jodoh?

“Dalam keluarga saya ada beberapa yang melaksanakan tradisi uang jemputan, tetapi tujuannya murni untuk masa depan, kehidupan rumah tangga yang dijodohkan aman damai saja. Pengalaman saya sebagai kakak yang mempunyai beberapa adik perempuan, tradisi uang jemputan bisa digunakan tetapi bukan jual beli. Uang memang untuk masa depan mereka yang dijodohkan dan syarat mencari jodoh yang diajarkan agama. Saya menikah dengan orang dari Bonjol (Pasaman) tidak dijodohkan, karena itu merupakan pilihan saya sendiri. Pada awalnya orang tua tidak setuju karena bukan orang Pariaman, namun akhirnya disetujui juga dengan standar pilihan jodoh menurut Islam”

7. Bagaimana sebenarnya peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh?

“Pengalaman saya sebagai orang rantau, pengetahuan adat hanya milik orang tua semata. Orang tua saya tidak pernah membicarakan mengenai adat termasuk tradisi yang kita bincangkan ini. Saya mengetahui tradisi uang jemputan secara tidak sengaja karena ada sepupu saya, orang tuanya mengalami masalah dan membicarakannya dengan ayah saya. Saya dibesarkan di lingkungan rantau dan berbaur dengan etnis lain. Selain itu seperti yang saya katakan, ketika saya disudutkan sebagai orang Pariaman, akhirnya saya bertanya tentang makna tradisi tersebut kepada ibu saya”.

8. Menurut Ibu bagaimana peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan?

“Di perantauan, orang Minang tentu termasuk orang Pariaman tidak lagi berada dalam lingkungan keluarga luas. Tanggung jawab terhadap anak berada sepenuhnya di tangan orang tua. Juga mengenai perjodohan sampai ke pesta perkawinan, orang tua yang memutuskan. Kalau ada mamakpun hanya sebagai panitia saja, mengenai perjodohan biasanya anak sudah ada pilihan. Andai kata bertemu jodoh sesama orang Pariaman, tergantung kedua orang tua untuk melaksanakan tradisi uang jemputan atau tidak”.

9. Bagaimana penggunaan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari keluarga Minang di perantauan?.

“Pada umumnya di daerah perantauan, orang Minang yang tidak dominan budayanya, bahasa sehari-harinya adalah bahasa Indonesia. Keluarga Minang di dalam dan di luar rumah, berbahasa Indonesia saja...sehingga pemahaman nilai-nilai budaya Minang menjadi kurang bahkan tidak ada, apalagi tradisi uang jemputan yang bertolak belakang dengan tradisi sekitarnya. Akhirnya pemahaman generasi muda di rantau menjadi kabur. Tidak adanya pemahaman nilai budaya Minang yang lebih mudah transmisinya selain melalui bahasa daerah, sehingga generasi muda memahami tradisi uang jemputan itu. Persepsi saya menjadi positif karena saya sebagai seorang Antropolog dapat memahami dari sejarahnya dan melihat ada fungsi lain dari tradisi uang jemputan yang dapat dilestarikan”.

“Sangat perlu saya rasa bahasa Minang diajarkan dalam keluarga, tapi bahasa yang baik-baik ya, karena anak-anak akan lebih mencintai suku asalnya ketika

dia bisa berbahasa daerah. Karena ada dalam beberapa tradisi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Indonesia, misalnya petatah petitih...harus paham kita bahasa daerah kita itu. Sayangnya orang tua saya dahulu...kalau marah- marah saja baru berbahasa Minang. Saya paham bahasa daerah karena saya kuliah jurusan Antropologi, jadi saya juga mempelajari bahasa daerah saya” 10. Bagaimana transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan melalui

percakapan dan implementasi tradisi uang jemputan melalui pengalaman dalam berumah tangga (diri sendiri atau orang lain).

“Menurut ibu saya ketika penjemputan, pihak anak daro membawa benda berharga yang sudah disepakati waktu acara peminangan dari pihak perempuan. Biasanya uang emas yaitu ringgit ameh dan benda-benda berharga lainnya. Benda-benda berharga tersebut diberikan kepada pihak marapulai, yang merupakan pelambang bahwa marapulai sebagai anak laki- laki seorang ibu atau keluarga di rumah tersebut tidak diambil begitu saja. Benda-benda tersebut sebagai tanda masih ada ikatan antara anak laki-laki yang sudah menjadi urang sumando dan menetap di lingkungan kerabat isteri. Fungsi lain dari benda-benda tersebut sebagai pernyataan bahwa marapulai adalah keturunan orang terhormat. Adat inilah yang disebut bajapuik” dan marapulai adalah orang jemputan”. Benda-benda berharga tersebut akan kembali kepada anak daro melebihi harga atau jumlahnya, minimal ditambah pakaian sapatagak (pakaian sepasang yang lengkap) yang disebut “panibo”. Panibo diberikan kepada anak daro ketika datang bersama marapulai manjalang mintuo atau mengunjungi mertua”.

Dokumen terkait