• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

GLOSARI

1. Mamak: paman atau saudara laki-laki dari ibu.

2. Anak Daro: mempelai wanita.

3. Marapulai: mempelai pria.

4. Urang Sumando: orang semenda atau orang yang datang ke keluarga istri.

5. Manjapuik Marapulai: tradisi penjemputan mempelai pria untuk dibawa ke

tempat mempelai wanita yang sedang melaksanakan pesta perkawinan.

6. Baralek Gadang: perhelatan atau pesta perkawinan.

7. Uang jemputan atau uang japuik: pemberian sejumlah uang dari pihak

keluarga perempuan, kepada pihak keluarga laki-laki sebagai syarat

terjadinya perkawinan.

8. Panibo: Pembalasan atau pengembalian uang jemputan oleh pihak keluarga

laki-laki, dengan memberikan emas atau benda berharga lainnya kepada

mempelai wanita, pada saat mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk

pertama kalinya.

9. Manjalang Mintuo: mengunjungi mertua (orang tua dari pengantin pria).

(2)

LAMPIRAN 2

DAFTAR PEDOMAN WAWANCARA

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang

Jemputan Dalam Adat Perkawinan

(Studi Kasus pada perempuan Minang Pariaman yang Lahir dan

Besar Di Kota Medan)

A.Karakteristik Umum

1. Nama :

2. Nama Panggilan :

3. Usia :

4. Suku Pasangan :

5. Pendidikan :

6. Pekerjaan :

7. Alamat :

B.Daftar Pedoman Wawancara

1. Pandangan Dunia.

1.1.Agama/Sistem Kepercayaan.

1.1.(a).Pandangan mengenai unsur agama/kepercayaan yang terkandung

dalam tradisi uang jemputan.

1.1.(b).Pandangan mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai

syarat terjadinya perkawinan dalam adat Pariaman.

1.2.Nilai-nilai.

1.2.(a).Pandangan mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi

(3)

1.2.(b).Pandangan mengenai penerapan nilai-nilai budaya dalam

pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini.

1.3. Sikap

1.3.(a).Sumber pemahaman tentang tradisi uang jemputan.

1.3.(b).Sikap tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan.

1.3.(c).Keputusan dalam memilih jodoh.

2. Sistem Lambang (pesan verbal dan non verbal).

2.1.Proses komunikasi dalam upaya transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi

uang jemputan melalui percakapan di dalam keluarga.

2.2. Penggunaan bahasa Minang dalam keluarga.

2.3. Alasan menolak atau menerima perjodohan dengan laki-laki dari sesama

suku Minang Pariaman.

3. Organisasi Sosial.

3.1.Peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan

nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh.

(4)

LAMPIRAN 3

BIODATA INFORMAN UTAMA

Informan 1

1. Nama : Dian Aggraini (Dian)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 26 Juni 1980

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : S1

5. Pekerjaan : Wirausaha

6. Alamat : Jl. Sutrisno Gg. Dame No. 15 Medan

7. No. HP : 0813616321xx

Informan 2

1. Nama : Leni Muhafida (Leni)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 24 Oktober 1985

3. Suku Pasangan : Minang Pariaman

4. Pendidikan : S1

5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6. Alamat : Jl. Denai Gg. Mesjid No. 1 Medan

7. No. HP : 0852701432xx

Informan 3

1. Nama : Rinawati (Rina)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 27 Juli 1981

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : Mahasiswa Pasca Sarjana Keperawatan USU

5. Pekerjaan : Dosen

6. Alamat : Jl. Denai/Jl. Rawa Gg. Durian No. – Medan

(5)

Informan 4

1. Nama : Syarmawati (Netty)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 02 Juni 1959

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : D3

5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6. Alamat : Jl. Pintu Air IV Perum. Poltek No. 27 Medan

7. No. HP : 0813756768xx

Informan 5

1. Nama : Yunita Handayani (Ita)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 Juni 1995

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : SMP

5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6. Alamat : Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan

7. No. HP : 0813619186xx

Informan 6

1. Nama : Dedek Karmila (Dedek)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 04 November 1982

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : D3

5. Pekerjaan : Karyawan BPDSU (Bank SUMUT)

6. Alamat : Jl. Tangguk Bongkar No. 68 Mandala by Pass

(6)

Informan 7

1. Nama : Nurhayati (Nur)

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 25 Juli 1962

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : SMP

5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6. Alamat : Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan

7. No. HP : -

Informan 8

1. Nama : Shanti Nazir

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 03 Januari 1982

3. Status : Menikah

4. Pendidikan : S1

5. Pekerjaan : Karyawan Swasta

6. Alamat : Jl. Bromo Gg. Panjang No. 2 Medan

(7)

LAMPIRAN 4

BIODATA INFORMAN TAMBAHAN

Informan Tambahan 1

1. Nama : H.M. Ridwan

2. Tempat/Tanggal Lahir : Siantar, 17 Januari 1955

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman

5. Pendidikan : S2

6. Pekerjaan : Dosen FKIP UMSU

7. Alamat : Jl. Mantri No. 34/A Kel. Kp. Aur Medan

8. No. HP : 081263906111

Informan Tambahan 2

1. Nama : Sutan Alamsyah Guci

2. Tempat/Tanggal Lahir : Pariaman, 15 Februari 1948

3. Suku Pasangan : Minang Pariaman

4. Pendidikan : SD

5. Pekerjaan : Wiraswasta

6. Alamat : Jl. Suka Budi No. 4 Simp. Limun Medan

7. No. HP : 081376947223

Informan Tambahan 3

1. Nama : Chalida Fachruddin

2. Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 24 Oktober 1941

3. Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman

4. Pendidikan : S3

5. Pekerjaan : Pensiunan Guru Besar Antropolgi FISIP USU

6. Alamat : Jl. Setia Budi No. 74/D Kel. Tg. Rejo Medan.

(8)

Informan Tambahan 4

1. Nama : Usman Pelly

2. Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 12 Juli 1938

3. Suku Pasangan : Mandailing

4. Pendidikan : S3

5. Pekerjaan : Guru Besar Antropolgi UNIMED

6. Alamat : Jl. Pelajar Ujung Komplek Perumahan Dosen

UNIMED

(9)

LAMPIRAN 5

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA INFORMAN

Informan 1: Dian Anggraini (35 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Dian mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan dalam tradisi uang jemputan?

Uang jemputan itu udah tradisi atau kebiasaan aja. Aku tanya sama mamakku...mak kenapa kayak gitu, ya...kayak gitu juga yang terdahulu, kayak gitu jugalah kita buat. Tapi yang pasti nggak bertentangan dia dengan agama...tetap syariat Islam juga dijalankan dalam pernikahan. Uang jemputan itu kan faktor kebiasaan aja. Enggak sia-sia kayak yang dibilang pepatah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah...jadi sejalan dia. Istilahnya seperti kita melamang, kita masak lemang berartikan kita bersedekah, bulan baik kita bersedekah, manggil orang ke rumah...ngajak makan-makan".

2. Bagaimana menurut pandangan Dian mengenai nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi uang jemputan?

“Untuk laki-laki aja kita kasi uang. Dian nggak tau uang itu balik sama kita lagi. Bahkan bisa lebih...dikasi sama kita. Kalau suku lain itu cukup nggak cukup, dicukup-cukupkan aja. Kalau orang Minang ini saling mendukung, saling menutupi kekurangan. Istilahnya indak cukuik di ateh, cukuik di bawah (tidak cukup diatas....cukup di bawah). Artinya saling menutupi...saling membantulah”.

3. Jadi apakah Dian memahami bahwa tradisi tersebut berbalasan dan apa pandangan Dian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pengembalian uang jemputan tersebut?

“Makanya orang Pariaman bilang tau dek caro, tau dek adaik (tahu cara, tahu adat). Kalau ke rumah mertua bawa buah tangan. Bicara itu nggak bisa asal keluar aja, ada batasannya. Itu adab kepada mertua, soal balasan itu...misalnya kita ngasi sama dia Rp 10 juta, pestalah di tempat laki-laki, dapatlah untung paling banyak Rp. 5 juta misalnya, itu dibagi dua...dikasihlah kita Rp. 2,5 juta. Kita kalau manjalang mintuo kan nginap 1 hari, habis tu kita pulang...pas kita pulang itulah dikasi Rp. 2,5 Juta, tapi kita nanti di sana tau-tau udah dapat cincin dari ipar-ipar kita, dapat gelang, kalung. Uang jemputan itu dibalas lagi oleh keluarga laki-laki. Istilahnya semua itu hanya untuk mengisi adat ajanya itu”.

4. Apakah tradisi uang jemputan yang berbalasan tersebut dilaksanakan hanya pada pasangan yang dijodohkan dan bagaimana bila pasangan tersebut berpacaran atau telah saling mengenal sebelum menikah?

(10)

Kalau di Medan, banyak yang bermain dibalik layar. Ada kan gini...masih ortodok lah orang tuanya, apalagi orang Pariaman sana. Kapan lagi kau balas budi sama orang tua, kata orang tuanya. Jadi si laki-laki bilang sama pacarnya, inilah abang kasih uang sama adek, adek kasihlah uang ini sama mamak abang. Dibalik layar gitu...untuk mengisi adat aja. Padahal uang itu dari laki-laki juga, tapi kalau di kampung masih murni. Enggak usah jauh-jauh....aku sama suamiku aja kayak gitu, makanya aku bisa cerita. Aku bukan dari keluarga yang banyak duit juga, aku bilang aku begini....begini, sama suamiku. Jadinya dia yang ngasi uang jemputan itu, terus dikasih aku duit untuk isi kamar sama suamiku, orang Padang kan ngisi kamar harusnya kan orang tua kita yang umur sekian. Ada pula orang Pariaman yang nanya Dian, jadi keluarga abang (suami Dian) bilang sama mamak (ibu)...untuk apa capek-capek kali cari jodoh mak tuo...ini ada ini, anak awak. Jadi orang tua menjodohkan Dian dengan suami, kalau cocok silahkan, kalau nggak ya nggak apa-apa...kan tetap saudara. Setelah menjalani, Dian tengok ada iuran...sebenarnya yang dirugikan itu nggak ada, sebenarnya kembali lagi sama yang memberi uang jemputan itu”.

6. Seperti apa iuran yang Dian maksud dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan tersebut?

“Kalau di Medan ini, adanya tradisi baetong itulah yang meringankan, bahkan ada dikutip dari rumah ke rumah, jadi datang nggak datang waktu pesta tetap dikutip...ada buku catatannya itu, makanya kalau mau pesta nggak boleh bentrok dengan tujuan saling membantu, makanya orang Pariaman itu pestanya jarang rugi”.

7. Apakah kesepakatan Dian dan suami tentang pemberian uang jemputan dan perlengkapan kamar yang dilakukan oleh suami Dian tidak menyebabkan konflik dalam keluarga?

“Taunya keluarga semua, nggak ada masalah. Mertuaku...ipar-iparku juga baik kok sampai sekarang. Mungkin karena kami ada tutur saudara....jadi orang itu udah kenal aku kayak mana orangnya. Akupun menilai suamiku itu baik orangnya, makanya aku terima perjodohan keluarga itu kan. Buat apa kita terima, kalau calonnya nggak bagus. Jadi semua itu tergantung sama pasangan yang dinikahkan itu, kalau cocok jadikan. Iya kan....hehehee”.

8. Bagaimana pandangan Dian mengenai tradisi uang jemputan, sebelum akhirnya Dian menikah dan menjalani tradisi tersebut?

(11)

pemikiran suku lain tentang uang jemputan, tapi setelah dijalani, rupanya adat ini saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga”.

9. Apakah dalam perjodohan Dian dengan suami dahulu juga diprakarsai oleh mamak (paman) dan bagaimana akhirnya Dian dijodohkan dengan suami yang masih memiliki hubungan kerabat?

“Istilahnya udah ada perubahan...kalau dulu di kampung, paman yang berkuasa mencarikan jodoh. Kalau di Medan, orang tualah yang berperan, mamak itu hanya pelengkap aja. Saudara-saudaraku juga orang Pariaman....istilahnya dari pada membesarkan kabau (kerbau) orang, lebih bagus kabau awak yang dibesarkan. Saudara sendiri dinikahi...jadi uang jemputan itu nggak ke mana-mana. Dari pada anak orang, lebih bagus anak sendiri. Sama kayak orang Batak pulang ke impal atau pariban gitulah...jadi harta tu, nggak ke mana-mana. Untuk keponakan akunya itu nanti, nggak apa-apalah dikasi berlebih”.

10.Apakah di dalam keluarga Dian, orang tua menganggap perlu mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya?

“Perlu kalilah kita paham bahasa Minang tu, tengok orang China...di antara orang pribumi aja nggak malu dia ngomong-ngomong pakai bahasa China sama keluarganya, nggak peduli dia. Ini kita malu pula pakai bahasa Minang...takut dibilang etek-eteklah. Kalau di keluarga Dian nggak ada itu, orang tua selalu berbahasa Minang kalau di rumah, jadi terbiasa kami kan. Kadang kami pakai bahasa Minang...kadang bahasa Indonesia, tapi kami ngertilah bahasa Minang itu”.

11. Apakah menurut Dian memahami bahasa Minang, mempermudah kita dalam mempelajari nilai-nilai budaya Minang?

“Tergantunglah....kalau orang tuanya mau ngasi pemahaman tentang adat itu, bisalah anak-anaknya ngerti. Apalagi kalau anaknya aktif bertanya tentang adat istiadat sukunya. Tapi biasanya kalau bahasa daerah aja nggak mau diajarkan di rumah, apalagi untuk memberi tahu soal adat Minang itu, ya...anak-anak juga nggak open lah (tidak mau peduli) dengan adatnya. Kan banyak juga istilah-istilah adat itu pakai bahasa Minang, harus paham kita itu. Misalnya uang japuik...baetong, manjalang mintuo banyak lagi istilah-istilahnya itu”.

(12)

13.Adakah proses transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan tersebut dikomunikasikan dalam keluarga?

“Karena kita nggak tau apa makna sebenarnya...makanya kita memandang negatif. Kawan-kawan sekolah dulu bilang, enaklah kau Dian ya...banyak duit, nanti kalau kawin beli laki-laki. Malu awak dengarkannya ya kan. Jadi Dian berfikir, memberatkan kali uang japuik itu. Orang tua Dian dulu...memang nggak ngerti menjelaskan makna-makna tradisi ini kayak mana...tradisi ini kayak mana, jadi awak pahamnya setelah menjalaninya ya kan”.

Informan 2 : Leni Muhafida (30 Tahun)

1. Bagaimana menurut Leni mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Kalau secara agama, sebenarnya perempuan itu yang di pinang di kasih mahar....tapi ku tengok orang Pariaman ini, laki-laki pula yang dipinangnya. Secara agama kayaknya udah menyalah juga itu....adatnya udah bertentangan. Soalnya lebih dimuliakan perempuan dalam pernikah itu ya kan...di beri mahar, di beri uang pinangan”.

2. Menurut pandangan Leni mengapa tradisi uang jemputan itu masih dipertahankan hingga saat ini?

“Kalau jaman dulu dengan adanya tradisi uang japuik itu, sistem kita kan matrilineal, garis keturunan dari pihak ibu, kalau anak laki-laki itu merasa bangga, merasa di hargai kalau di japuik itu. Tapi kalau nggak di japuik merasa kayak nggak ada harga dirilah gitu. Sekarang ini masih ada juga kutenggok yang memakai adat itu”.

3. Jadi menurut pandangan Leni nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah untuk menghargai posisi laki-laki?

“Mungkin laki-laki itu kepala rumah tangga, jadi nanti dialah yang memimpin keluarga, anak istrinya. Jadi apabila dia di japuik ya kan, istilahnya uang japuik itulah modalnya untuk memulai perkawinan. Itu udah bisa untuk sewa rumah iya kan, mungkin kayak gitulah”.

4. Pernahkan Leni menyaksikan pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pesta pernikahan orang Minang Pariaman, sehingga menambah referensi Leni tentang tradisi tersebut?

(13)

5. Kenapa rumah tangga mereka bermasalah dan apa alasan keluarga merasa kurang suka dengan hal tersebut?

“Dulu itukan wajib ada tradisi uang jemputan itu...keluarga merasa Pak Adir itu nggak dihargai keluarga istrinya. Jadi mereka merasa keluarga istrinya itu nggak tau adatlah....masak nggak ada dihargai Pak Adir kami. Padahal yang aku tahu keluarga perempuan itu orang susah jugalah. Tapi harusnya ada kesepakatan keluarga....Pak Adir itu harus melunakkan keluarga, jadi nggak ada masalah kan”.

“Pengalaman adikku menikah di kampung dulu. Adikku lulus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pariaman sebagai guru. Ada laki-laki...kerjanya wiraswasta gitu, mau sama adikku si Zahra ini. Adikku bilang....aku orang susah katanya, nanti orang tua abang minta uang japuik banyak-banyak pula. Karena si laki-laki itu memang mau sama si Zahra, dia yang ngasi uang jemputan itu setengahnya. Kalau dia cerita sama mamak (ibu)nya, dibilangnya gini, mak....orang tua si Zahra sanggupnya cuma Rp. 5 juta, keluarga kita mintanya Rp. 10 juta. Mamak si laki-laki bilang, ya udah tambahlah sama kau...kata mamaknya, kalau mamak menambah nggak mungkin. Jadi nggak apa-apa sama mamak si laki-laki itu, karena keluarga laki-laki-laki-lakinya suka juga melihat si Zahra itu. Orang tuanya guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga disana, jadi sikap si laki-laki itu menghormati adat”.

6. Bagaimana menurut pandangan Leni pelaksanaan tradisi uang jemputan pada masa sekarang ini?

“Kalau jaman sekarang....kayaknya ini ya kan, udah nggak sesuai lagi. Orang sekarang pun...kayaknya udah banyak yang nggak mengikuti tradisi Minang ini....udah banyak bergeser. Mungkin dari segi agama, orang udah tau dalam agama yang dipinang itu perempuan. Jaman sekarang udah modern...orang udah banyak pengetahuannya, ilmu orang udah bertambah. Nilai-nilai budaya lama itu udah banyak yang ditinggalkan. Kenapa harus ada uang japuik....awak susah manjapuik pula. Kalau bisa nggak usah nyari orang yang bajapuik itu. Kita kan maunya kayak gitu ya kan....pasti kebanyakan orang kayak gitu”.

7. Leni menikah dengan sesama orang Minang Pariaman dan menjalani tradisi uang jemputan. Kalau sebelumnya sikap Leni menolak tradisi tersebut, mengapa akhirnya Leni menerima untuk menjalani tradisi tersebut?

“Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik, ternyata...dapat jodohnya gitu. Aku memang nggak pandai pacar-pacaran, terakhir ya udah....dijodohin orang tua jadinya. Karena kutengok orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah anak gadisnya nggak kawin-kawin. Karena memang kami ada tutur saudaranya, makanya keluarga suamiku tahu keadaan kami...nggak minta banyak-banyak orang itu. Kalau katanya uang japuik itu ada di balas keluarga laki-laki....siap aku nikah dulu, ada juga ke rumah saudara-saudara suami....tapi mana ada di kasi-kasi gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu”.

(14)

perempuan berupa perhiasan atau benda-benda berharga lainnya yang disebut panibo. Leni memutuskan menikah dengan laki-laki dari sesama suku, harusnya menerima pengembalian itu?

“Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik, ternyata...dapat jodohnya itu. Aku memang nggak pandai pacar-pacaran, terakhir ya udah....dijodohin orang tua jadinya. Karena ku tengok orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah aku nggak kawin-kawin. Siap aku nikah dulu, ada juga aku ke rumah saudara-saudara suami....tapi nggak ada di kasi-kasi gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu, keluar uang lagi jadinya kan”.

9. Apakah saat menikah dan menjalani tradisi uang jemputan itu, Leni merasa dipaksa oleh keluarga?

“Paksaan keluarga memang nggak ada soal jodoh, kalau orang tua maunya sesama orang Minang juga, karena sama-sama satu budaya. Kalau sama orang luar kan kurang ngerti kita adatnya. Suamiku itu ada tutur saudara dengan aku, dia anak dari ungku (kakek) sama kami. Jadi tuturnya dia itu pamanku...tapi saudara jauhlah gitu. Kami dikenalkan dulu, terus merasa cocok...akhirnya menikah. Waktu pernikahanku itu, sebenarnya aku nggak mau ada uang japuik, masing-masing aja. Aku pesta, keluargaku yang keluar biaya. Dia pesta, dia juga yang keluar biaya. Tapi waktu itu sempat berdebat juga iya kan...dari mana dicari uang japuik itu, sementara ayahku udah meninggal tahun 2005, aku menikah akhir tahun 2011. Keluarganya tetap minta ada juga uang japuik, itulah mungkin merasa nggak dihargai orang itu kalau nggak dijapuik. Makanya keluargaku ngasi juga...cuma mereka ngerti keadaan kami, mereka minta nggak banyak-banyak...sebagai syarat ngisi adat aja. Waktu itu diminta merekalah Rp. 1 Juta uang japuiknya”.

10.Apakah ada peranan mamak (paman) Leni dalam perjodohan dengan uang jemputan tersebut?

“Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) akulah yang diminta bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat itu nggak terlalu dipakai kali....nggak terlalu ketat”.

11.Setelah menikah dan menjalani tradisi tersebut, apakah Leni mengalami perubahan sikap dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan?

“Sebenarnya mengisi adat ajanya itu....kalau boleh nggak usahlah pake-pake uang jempuatan itu. Aku fikir...memang abang itu jodoh aku, udah cocok pula sama dia. Apalagi aku nggak ada pilihan lain...karena nggak minta banyak-banyak orang itu, ya udahlah....dikasi. Kalau perubahan sikap nggak ada ya....aku anggap untuk ngisi adat ajanya itu”.

(15)

”Kalau mamak (ibu) aku dulu, nggak ada itu....secara khusus ngasi tahu tentang makna uang japuik. Makanya dulu waktu kuliah, kawan-kawan bilang....kayak gitulah kalian ya Len, kalau kawin ngasi duit sama laki-lakinya. Aku jadi nggak suka dengarnya....malu aja. Kalau laki-laki ngasi uang pinangan itu kan, kayak menunjukkan tanggung jawabnya sama kita. Kalau nanti aku punya anakpun...misalnya dapat orang Pariaman, nggak usahlah pakai uang japuik itu”.

13.Apakah orang tua Leni membiasakan berbahasa Minang di dalam berkomunikasi sehari-hari?

“Oooh...selalu, apalagi kalau merepet...lancarlah bahasa Minangnya itu. Aku pandai juga sedikit-sedikit bahasa Minang, tapi nggak terlalu lancar. Tapi kalau dengar orang ngomong pakai bahasa Minang...aku ngertilah”,

14.Jadi, menurut pandangan Leni yang lebih berperan dalam perjodohan adalah mamak atau paman?

“Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) aku lah yang diminta bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat itu nggak terlalu dipakai kali....nggak terlalu ketat. Uang japuik itu juga mamakku kok yang menyediakan...paman-paman itu cuma membantu pesta aja”.

Informan 3: Rinawati (34 Tahun)

1. Bagaimana menurut pandangan Rina mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan dalam tradisi uang jemputan?

“Kalau menurut persepsi Rina, tradisi uang jemputan itu nggak ada masalah...karena kan di dalam tradisi itu tidak ada bertentangan dengan agama. Istilahnya itu kesepakatan dari kedua belah pihak aja. Jadi nggak ada yang dirugikan kalau kedua belah pihak sepakat, yang jadi masalah mungkin kan..kalau udah memberatkan bagi satu pihak. Sama kayak suku Batak, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya, makanya harta untuk anak laki-lakinya. Sebaliknya suku Minang, anak laki-laki dianggap mampu menghidupi dirinya sendiri, kalau perempuan itu kan makhluk yang lemah, jadi perempuan itu yang harus dikasi persediaan gitu. Nggak usahlah dulu masalah perceraian, misalnya ditinggal mati oleh suaminya....terus banyak pula anaknya, sama apa mau dihidupinya anaknya itu”.

2. Menurut pandangan Rina nilai-nilai apa yang ingin diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan tersebut?

(16)

“Kalau menikah itu kan perempuan itu memberi uang jemputan, biaya pesta semuanya dia yang persiapkan. Jadi di akhir pesta nanti ada acara di mana pihak keluarga perempuan semacam mendonor gitu...itu yang dimaksud malam baetong itu. Itu dilaksanakan di tempat perempuan, kalau di tempat laki-laki nggak ada lagi tradisi baetong itu, paling cuma meresepsikan aja...memperkenalkan menantu baru dalam keluarga”.

3. Apakah Rina juga mengetahui kalau tradisi uang jemputan tersebut dibalas oleh pihak laki-laki dalam bentuk panibo?

“Setahu Rina....perempuan itu ngasi uang jemputan, ada lah dikasi lagi sama pihak laki-laki, itulah yang sering disebut panibo. Kalau siap nikah...kita pergi ke tempat mertua, itu biasanya mertua itu ngasi lagi tu....berupa perhiasan atau pakaian baru. Tapi kalau uang hilang itu salah...itulah yang sering dibilang orang bara uang ilangnyo? (berapa uang hilangnya?). Uang itu untuk laki-laki atau keluarganya semua, nggak ada dibalikkan lagi sama perempuan. Tapi orang lebih sering mengatakannya uang hilang, bukan uang jemputan. Kalau di kampung mamak (ibu) Rina, orang sering itu bilang....oh enaklah anaknya dikasi uang hilang Rp. 40 juta, gitu misalnya ”.

4. Menurut Rina apakah tradisi uang jemputan saat ini masih dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya?

“Tapi sekarang udah jarang terjadilah uang jemputan itu, kalau yang Rina lihat dari segi pendidikan, orang sekarang udah semakin berfikir...udah berbaur sama suku-suku lain. Kalau soal uang jemputan itu...dikaitkan lagi dengan unsur agama tadi kan...bukan menjadi wajib dalam agama kita uang jemputan itu. Kalau Rina aja...menurut Rina yang penting kita hidup inikan agama yang kita perhatikan. Kalau nggak melanggar agama, kenapa nggak...gitu. Tapi yang pentingkan saling mencintai, apa salahnya nggak ada uang jemputan”.

5. Pernahkan Rina memiliki pengalaman mengenai perjodohan dengan tradisi uang jemputan?

“Di Padang dulu...Rina pernah dijodohkan sama mamak (paman) Rina dengan polisi militer. Tapi kurang suka Rina lihatnya....Rina tolak, karena kurang suka sama orang militer gitu. Akhirnya dijodohkanlah laki-laki itu sama saudara Rina, dia tamat SMA cuma....tapi keluarganya kaya, bisa ngasi uang jemputan banyak...padahal waktu sama Rina, dia nggak minta banyak-banyak. Sama keluarga saudara Rina tadi...mereka rela ngasi uang jemputan banyak, karena senang dapat menantu orang militer. Waktu tahun 2000 itu...dijemputlah laki-laki itu Rp. 40 juta, udah banyak kali itu....waktu itu”.

6. Mengapa Rina menolak dijodohkan keluarga?

(17)

7. Apa penilaian Rina tentang laki-laki Pariaman dan apakah Rina akan menerima nilai-nilai luhur yang terkandung pada tradisi uang jemputan dalam pernikahan Rina?

“Rina memilih jodoh nggak ada hubungannya dengan uang hilang atau uang jemputan itu, memang sih ada stigma yang nggak suka Rina melihat laki-laki Pariaman ini. Ketidaksukaan Rina karena kebanyakan yang Rina lihat, nggak di kota...nggak di kampung, laki-laki Pariaman ini suka kali duduk-duduk di lapau atau kedai kopi gitu...nggak suka aja nengoknya. Macamnya malas kerja jadinya....walaupun dia kerja gitu, tetap aja mesti kali nongkrong-nongkrong di kedai kopi, nanti pulangnya malam-malam...gedor-gedor pintu, kan capeklah istrinya itu bukakan pintu, ganggu tetangga lagi. Kalau mau bersosialisasi sama kawan-kawannya, kan...nggak harus di kedai kopi. Kalau udah di kedai kopi taulah...ngomongnya ngawur aja, memang belum tentu dia mabuk-mabukkan...tapi nggak bermanfaat aja menurut Rina”.

8. Sebenarnya bagaimana pandangan Rina tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Kalau tradisi uang jemputan itu...Rina nilainya positif kali. Lantaran...perempuan itu dalam agama kan harus dilindungi, yang salah itu kalau dipaksa, padahal mereka nggak mampu. Kalaupun dikasi uang jemputan...bukan untuk modal mereka, malah sama orang tuanya. Nah...itu yang menjadi kurang enaknya. Tapi Rina menganggap memanglah semua suku itu kalau dilihat-lihat punya kekurangan, cuma mungkin karena Rina berbaur sama orang Minang, sering lihat kayak gitu...menurut Rina kalau nanti kita menikah sama orang Minang atau sama suku lain, kita harus memikirkan bisa nggak kita menerima sesuatu yang nggak kita sukai dari suami kita itu nantinya. Rina memang nggak siap menerima laki-laki yang suka duduk-duduk di kedai kopi, kesannya kayak pemalas aja gitu...karena kebanyakan Rina temui itu seperti itu”.

9. Rina menikah dengan orang Melayu, pernah nggak Rina tahu bahwa ada stigma negatif tentang suku Melayu dan bagaimana akhirnya Rina memilih menikah dengan laki-laki dari suku Melayu tersebut?

“Karena udah jodohnya....selama ini Rina tau bahwa stigma orang juga negatif tentang suku Melayu, katanya orang Melayu itu pemalas. Tapi Rina belum pernah pula lihat langsung kayak gitu...kalau kebiasaan laki-laki Pariaman itu memang Rina lihat sendiri. Sebenarnya orang itu nggak bisa dilihat prilakunya dari sukunya, tergantung kepribadian orangnya juga. Waktu kenal sama suami, kami nggak ada pacaran-pacaran, Rina berteman sama dia...sering main ke rumahnya. Dari situ Rina menilai kayak mana keluarganya, kepribadiaannya juga. Terus yang paling Rina suka....ayahnya itu penyayang, udah nampak sebelum kami menikahpun, apalagi setelah menikah ini...kalau Rina senang mertua itu sayang sama kita. Sifat malas itu juga nggak Rina temukan sama suami”.

(18)

dilestarikan kepada generasi muda Minang Pariaman, sedangkan Rina sendiri menikah dengan laki-laki di luar suku Minang Pariaman?

“Kayak yang Rina bilang, tradisi uang jemputan Rina menilainya bagus kali kalau betul-betul dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya ya. Sebagai bentuk melindungi perempuan...ngasi modal berumah tangga buat mereka yang dinikahkan. Kalau mungkin Rina kenal laki-laki Pariaman yang berbeda dari laki-laki Pariaman kebanyakan yang Rina tengok, mungkin bisa jadi Rina sama dia, tapi jodohnya ya...sama orang Melayu pula, iya kan. Memang Rina akui stigma negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman itu cukup membuat apa ya...iya nggak suka aja. Nggak ada hubungannya dengan tradisi uang jemputan...tapi kalau nggak ikut melestarikan adat itu, karena menikah dengan suku lain....iya lah Rina akui”.

11.Bagaimana pandangan Rina tentang pewarisan nilai-nilai luhur dalam tradisi uang jemputan tersebut kepada anak-anak Rina nanti?

“Makin tinggi pendidikan anak kan...makin berubah pola fikirnya, menikah itu kan yang penting hukum agama yang dijalankan, nggak harus ada uang jemputan kan. Tapi Rina juga akan menjelaskan sama anak-anak Rina nanti apa makna tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman itu. Cuma nggak ikut campurlah orang tua kalau urusan jodoh anak-anaknya. Kalau misalnya ketemu pula jodoh orang Pariaman, misalnya mintalah mereka adat itu dijalankan....kalau sesuai makna yang sebenarnya, dan yang paling penting bagus pula calon menantu itu kenapa nggak dilaksanakan. Itu tergantung situasional juganya itu”.

12.Apakah bahasa Minang diajarkan oleh orang tua Rina dirumah dan apakah ada pengaruhnya memahami bahasa Minang dengan kemudahan memahami budaya Minang?

“Nggak ada pengaruhnya menurut Rina, intinya bukan masalah bahasa, yang penting...kayak mana keluarga mengkomunikasikannya. Salah satu fungsi keluarga kan...mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada anak-anaknya, contohnya...kalau tiap hari berbahasa daerah pun di rumah, tapi kalau anak-anaknya nggak mau tau dan orang tuanya juga nggak ngasi tau....nggak bisa juga kan. Ayah Rina nggak pernah bahasa Minang sama anak-anaknya, tapi kalau mamak iya....kalau Rina, nggak nanya-nanya dan ayahpun nggak menjelaskan makna tradisi uang jemputan, nggak ngerti juga kan. Lihatlah...orang-orang dari kampung itu....merantau ke Medan dia, malah malu dia berbahasa Minang, sok bahasa Indonesia pula dia, kalau orang Minang bilang....ongeh (sombong)lah gitu, belum tentu juga mereka paham betul tentang tradisi itu kan...yang penting ada komunikasi dalam keluarga”.

13. Bagaimana peranan mamak atau paman menurut pandangan Rina dalam urusan perjodohan?

(19)

14.Bagaimanakah perenan orang tua Rina dalam urusan perjodohan dan apaka orang tua mewajibkan anaknya menikah dengan sesama suku Minang Pariaman untuk melestarikan tradisi uang jemputan?

“Orang tua dari suku manapun...pasti ingin anaknya menikah dengan yang satu suku gitu. Istilahnya satu budaya...mereka kan ingin nggak mati keturunan...berkembang dia, jangan sampai adat itu nggak ada lagi. Termasuklah orang tua Rina...tapi kalau jodohnya sama suku lain nggak masalah, yang penting anaknya bahagia. Kalau Rina nggak menjalankan tradisi uang jemputan itu...karena memang jodohnya di luar suku Minang”.

Informan 4: Syarmawati (56 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Ibu mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Tidak ada permasalahannya dengan agama, karena itu hanya merupakan tradisi semata. Uang jemputan berbeda dengan mahar, mahar harus si laki-laki yang memberikan kepada si perempuan, tetap yang dijalani syariat Islam itu, sah nikah itu memang harus lelaki yang memberi mahar. Saya kebetulan diterpa adat ini, tapi uang mahar tetap suami saya yang memberi”.

2. Menurut Ibu, apakah uang jemputan tersebut tetap harus diberikan oleh pihak keluarga perempuan?

“Kalau seandainya tidak memberatkan bagi keluarganya, itu sangat baik. Uang jemputan ya, bukan uang hilang...itu berbeda. Hanya istilah saja, itu akan dikembalikan lagi kepada si perempuan. Malah dikembalikannnya lebih banyak lagi. Tapi kalau si perempuan ngunduh istilahnya, atau istilah orang Minang manjalang....itu akan dikembalikan lebih banyak dari pada uang jemputan yang diberikan kepada si laki-laki”.

3. Apa perbedaan uang hilang dan uang jemputan tersebut dan bagaimana pandangan Ibu tentang uang jemputan tersebut dikembalikan lagi?

Uang hilang itu begini...kalau si lelaki itu misalnya lepas dari pendidikan, mungkin untuk masuk ke jenjang pekerjaan mungkin belum ada modal, uang hilang itulah yang diperjuangkan, biasanya uang hilang itu untuk si anak lelaki tersebut...tapi ada juga kalau anaknya sudah mapan untuk orangtuanya. Berbeda dengan uang hilang, kalau uang hilang memang untuk si laki-laki, kalau uang jemputan itu dikembalikan untuk wanita lagi, saya pikir nggak bermasalah dengan agama kita. Uang jemputan menjadi syarat perkawinan...karena memang itu tradisi orang Pariaman, dulunya seperti itu. Kalau tidak ada uang jemputan, tidak ada uang hilang, dianggap mereka itu tidak bermartabat...tidak dihargai, semacam perjuangan hidup laki-laki yang sudah dewasa itu, karena si laki-laki ini adalah orang yang datang ke keluarga istri”.

(20)

“Karena kita kan di Minangkabau itu...di Pariaman itu memakai sistem matrilineal, kalau di suku lain patrilineal. Jadi memang ada saya rasa....segi positifnya, karena kalau mencari jodoh tersebut orang tua tahu bibit, bebet, bobot si calon menantu mereka, jadi tidak sembarangan memilihnya”.

5. Apakah penentuan jumlah uang jemputan tersebut dapat menjadi permasalahan, apabila pihak si perempuan tidak memiliki kemampuan secara ekonomi?

“Yang jadi masalah mungkin uang hilang itu, kalau uang jemputan itu saya rasa nggak masalah. Jadi saat kedua belah pihak bertemu, atau membicaran kelanjutan hubungan anaknya, mereka disitu membicarakan apakah pakai uang jemputan atau pakai uang hilang, atau kedua-duanya. Biasa kalau si anak lelakinya sudah berkedudukan atau berpendidikan atau segi sosialnya lebih tinggi, itu biasa orang tua menjalani kedua-duanya. Kalau dari segi keluarga pria minta uang hilang itu...istilahnya itu dia merasa sudah membesarkan anaknya dengan jerih payahnya, jadi dia minta uang hilang itu. Saya pikir letak keberatan itu...kesepakatannya, kalau seandainya orang tua lelaki tidak mempertimbangkan kemampuan si perempuan, dia seolah-olah seperti menjual anaknya. Kalau seandainya jumlah uang hilang itu wajar, ya tidak masalah. Harusnya dilihat sesuai kemampuan pihak perempuan”.

6. Bagaimana sikap Ibu dalam memaknai tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat istiadat Pariaman?

“Tadinya saya kontra....karena saya merasakan dan mengalami uang jemputan itu kembali kepada kami, jadi saya merasa oh....seperti ini, karena saya dilahirkan di Medan, jadi saya nggak mengerti adat yang sebenarnya itu gimana saat itu. Sesudah saya alami...saya pikir uang jemputan itu hanya untuk menghormati atau memberi penghargaan terhadap keluarga si lelaki. Tapi memang....saya lebih cenderung ke orang Minang, karena kita kan kalau sesama etnis, mungkin adat bisa lebih pengertian dari pada berlainan etnis, karena kalau lain etnis, kita harus mempelajari budaya suami kita tersebut...jadi kita harus belajar lagi”.

7. Sebelum menikah dan menjalani tradisi uang jemputan, apakah sikap kontra Ibu terhadap tradisi uang jemputan membuat Ibu tidak ingin menikah dengan sesama suku atau karena mungkin Ibu memiliki pilihan dari suku yang berbeda?

(21)

8. Bagaimana dengan penggunaan bahasa Minang di dalam keluarga, apakah Ibu juga mengajarkan bahasa Minnag kepada anak-anak Ibu?

“Berbahasa daerah sangat penting diterapkan dalam keluarga. Kedua orang tua saya selalu menggunakan bahasa Minang dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya, sehingga saya memahami dan mahir berbahasa Minang. Namun saya mengakui sulit menerapkan berbahasa Minang kepada anak-anak saya saat ini, karena pengaruh budaya luar dari lingkungan pendidikan dan alat-alat komunikasi yang semakin canggih membuat anak-anak saya lebih mengenal dan lebih tertarik dengan budaya luar dari pada budaya asal mereka”.

9. Apakah proses sosialisasi tentang tradisi uang jemputan dilakukan oleh keluarga kepada Ibu?

“Sebenarnya sosialisasi terhadap generasi baru mungkin....orang tua dan ninik mamak kita agak kurang mensosialisasikan adat Pariaman itu. Ini lho....uang jemputan itu begini, uang hilang itu begini, jadi kita bisa memahami”.

10.Sebelum Ibu memahami makna tradisi uang jemputan yang sebenarnya, faktor apakah yang mempengaruhi persepsi Ibu tentang tradisi tersebut?

“Saya dan keluarga itu memang tinggal di lingkungan orang Pariaman juga. Jadi tidak banyak untuk mempengaruhi itu...dulu saya pernah kuliah dan pernah juga kerja. Di lingkungan kerja juga, pendidikan juga, kan pernah dibahas sesama teman begitu, kok membeli pula perempuan Minang kalau mau menikah. Jadi saya merasa....kita diberatkan, tapi sebenarnya kalau saya nilai sekarang tidak diberatkan”.

11.Bagaimana Ibu memandang proses transmisi nilai-nilai tradisi uang jemputan harus dilakukan kepada generasi muda Minang, dan bagaimana pula keterlibatan Ibu sebagai orang tua dalam hal pencarian jodoh anak-anak Ibu? “Kalau saya...pasti akan menjelaskan kepada anak-anak saya mengenai nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan tersebut, karena saya selalu mengajak anak-anak saya kalau ada saudara pesta....dan mereka melihat tradisi tersebut dilaksanakan. Apalagi saya dan suami sama-sama suku Minang Pariaman, jadi harus kita kenalkan itu budaya asal kita kepada anak. Cuma masalahnya bagaimana pilihan anak kita...saat menikah nanti. Kalau sesama suku Minang Pariaman, mungkin tradisi itu akan dipertahankan”.

12.Bagaimana sikap Ibu sebagai orang tua dalam pilihan calon menantu bagi anak-anak Ibu, apakah harus menikah dengan sesama suku Minang Pariaman, sehingga tradisi uang jemputan bisa dipertahankan?

(22)

mendapatkannya. Terus terang saya minta juga saudara-saudara saya mencarikan....tapi belum jodohnya mungkin”.

Informan 5: Yunita Handayani (20 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Ita mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam tradisi uang jemputan?

“Ya...kayak mana ya...kalau menurut awak, salah juga sebenarnya. Suku lain itu....laki-laki yang melamar, orang Minang kok perempuan pula. Kalau dari segi agamanya....ntah lah nggak tau juga awak Kak”.

2. Kalau nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut, bagaimana menurut pandangan Ita?

“Apa ya...orang tua berusaha dia....mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya. Orang tua itu beranggapan mungkin anaknya bisa salah pilih, jadi ikut juga dia mencarikan”.

3. Menurut Ita apa alasan orang tua menikahkan Ita dengan suami yang sudah berstatus duda?

“Awalnya awak nggak mau....udah duda pun abang itu. Kalau mamak, mau menantunya orang Padang juga, karena lebih ngerti kita kalau adatnya sama katanya. Cowok awak dulu orang Padang juganya....tapi menurut mamak suami awak ini lebih baik dia orangnya. Lingkungan tempat tinggal awak memang banyak orang Padang, makanya awak dapat cowokpun orang Padang”.

4. Apakah Ita merasa terpaksa dinikahkan dengan laki-laki yang sudah berstatus duda dan memberikan uang jemputan?

“Enggak tau juga lah Kak...awak tenggok memang baik dia orangnya, mudah -mudahan sampai selamanya. Kalau uang jemputan itu kan keluarga awaknya yang ngasi. Nggak ngerti juga awak...katanya memang udah adat”.

5. Apakah orang tua Ita mengajarkan bahasa Minang dan pernah nggak orang tua Ita ngasi tahu sebenarnya makna tradisi uang jemputan itu seperti apa?

“Mamak sama ayah...bahasa Minang aja di rumah Kak, awak enggak lancar kali ngomongnya, tapi kalau dengar orang ngomong...awak taulah artinya. Kalau masalah uang japuik itu, nggak tau-tau awak kenapa kayak gitu tu Kak, mamak nggak pernah cerita-cerita sama kami, tapi banyak keluarga awak kayak gitu kalau nikah”.

“Ya..itu pula adatnya, udah syaratnya pula kayak gitu. Sebenarnya awak nggak ngerti-ngerti juga, tapi yang ngasi uang jemputan itu kan keluarga awak...katanya tradisi kita udah memang kayak gitu”.

6. Apakah Ita punya pengalaman sebelumnya tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan itu?

(23)

Allah...banyaknya, awak bilang juga sama cowok awak yang dulu, bang....jangan minta uang banyak-banyak nanti ya, nggak sanggup keluarga awak. Eh...rupanya nggak jadi juga sama dia”.

7. Kalau transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan tidak pernah dilakukan orang tua, apa yang membuat Ita yakin menjalani perjodohan dengan memberikan uang jemputan tersebut?

“Awak tengokkan, mamak suka dia sama abang (suaminya)...katanya bagus itu orangnya. Akhirnya awak ikut pilihan orang tua aja kak...mungkin ini yang terbaik. Padahal dulu awak tentang (bantah) juga mamak itu, masak sama duda dikawinkan awak. Kata mamak....abang itu dulu ada juga yang mau sama dia, jadi mamak ngasi aja uang jemputan yang diminta keluarga abang. Ada orang lain juga mau menjadikan abang ini menantu, berarti nggak salah mamak katanya...lihat dia itu baik orangnya”.

8. Bagaimana pandangan Ita tentang tradisi uang jemputan tersebut harus dilaksanakan dalam pernikahan generasi muda Minang sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai budaya?

“Awak berfikir Kak, nggak usahlah ada lagi ngasi uang jemputan itu...karena kadang-kadang orang tua ini maksa anaknya. Iya kalau pas...dapat jodoh yang betul-betul baik, tapi kalau nggak....kasian anaknya. Alhamdulillah suami awak ini baik....memang awak kan baru nikah, mudah-mudahan sampai selamanya tetap baiklah”.

Informan 6: Dedek Karmila (33 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Dedek mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam tradisi uang jemputan?

“Ya itulah dia....sanggup dan nggak sanggupnya itu Wi. Makanya kutanya kayak mana?. Sah-sah aja kalau emang sanggup, tapi kalau nggak sanggup dipaksakan kayak mana? Haram nggak? haramlah...kan gitu”.

2. Apakah menurut pandangan Dedek, perempuan yang melamar dalam adat Pariaman itu juga menyimpang secara agama?

“Sebenarnya gini Wi...kalau pemahaman aku itu nggak ada perempuan yang melamar. Sebenarnya yang melamar di Pariaman itu, kalau menurut aku tetap si laki-laki, cuma jaman dahulu kalau yang aku tahu...uang jemputan itu kita kasih untuk modal si laki-laki, tapi dalam ijab kabul...maharnya itu yang ngasi tetap si laki-laki, apa yang kita minta. Jadi adat ajanya itu...kecuali mahar juga dari si perempuan, itu udah menyimpanglah”.

3. Apakah Dedek mempunyai pengalaman mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan, di mana pihak perempuan harus memberi sejumlah uang kepada laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan?

(24)

4. Apakah keputusan abang Dedek yang menggantikan posisi memberi uang jemputan itu, membuat terjadinya konflik dalam keluarga?

“Iya....sempat ribut juga mamak, katanya nggak punya harga diri kau, kalau nggak ada dijapuiknya. Ini malah kau pula yang ngasi uang japuik itu...kata mamakku sama abangku. Tapi kayak mana, namanya udah saling cinta ya kan....digantikannya posisi ngasi uang itu. Masalahnya kakak iparku itu....orang susah juga. Kan...memberatkan itu kalau dipaksakan. Tapi pandai-pandailah abangku mendekatkan mamak, kalau ayah setuju-setuju aja waktu itu. Eh....payahlah mamakku ini orangnya, fanatik kali sama adat. Udah dua anak abangku, barulah luluh juga dia lihat cucunya kan. Udah agak berubahlah sikit (sedikit) mamakku itu”.

5. Bagaimana pandangan Dedek memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut?

“Karenakan kebanyakan dulu, tahu lah orang Minangkan hobi merantau...iya kan. Ke sana...ke sana...nanti balik, sukalah sama anak orang di kampung itu, karena dia usaha nanti disana, itulah untuk modal dia. Intinya sih, untuk memodalkan laki-laki dalam menghidupi anak istrinya nanti”.

6. Apakah pelaksanaan tradisi uang jemputan sekarang ini masih sesuai dengan makna sebenarnya?

“Tergantung orangnya sih....waktu itu sepupu cewekku dapat orang Pariaman, orang tua si laki nggak mau anaknya dijemput. Uang mahar dari si laki-laki...sedangkan masalah uang pesta mereka masing-masing aja. Sama-sama orang Pariaman lah itu, ya....kalau memang orang itu setuju, ya...terjadikan. Nggak ada keterpaksaan, tapi yang lain-lain...kayak abangku, terus dua orang kakakku dan adikku...semua ngikutin adat Pariaman kali, pakai uang jemputan. Kalau kakak-kakakku kan dijodohin, tahulah orang Pariaman ini....suka kali jodoh-jodohin. Umpamanya nanti ketemulah paman si laki-laki dan paman si perempuan, dan dijumpakanlah anak-anaknya.

7. Apakah pengetahuan Dedek tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan yang dilaksanakan saudara-saudara Dedek mempengaruhi pilihan Dedek untuk memilih jodoh?

(25)

panjanglah Wi, sempat aku nyari orang Pariaman juga....nyarikan uangnya itu Wi”.

8. Bagaimana pandangan Dedek mengenai proses transmisi nilai-nilai budaya, khususnya pada tradisi uang jemputan, apabila dilaksanakan sesuai dengan makna yang sebenarnya dan disesuaikan dengan kemampuan pihak perempuan?

“Aku rasa udah nggak pas lagi, kalau tradisi itu dipakai dalam perkawinan. Mampu kali pihak perempuannya....malah itu yang dijadikan alasan sama keluarga laki-laki, minta banyak-banyak pula dia uang jemputannya. Belum pernahlah kulihat...ada yang pengertian soal uang jemputan itu, mesti kali dilaksanakan. Melestarikan adat kalau memberatkan buat apa iya kan....paling bisalah toleransi kalau mereka itu pacaran, tapi itupun belum tentu disetujui pihak keluarga. Kayak kejadian abangku....jadinya diabaikan kecocokan pasangan itu kan...mana bisa dipaksa-paksakan lagi jodoh sama anak. Sempat aku dulu kayak gitu, ih...kurasa hancur kalilah. Awak mau juga berbakti sama orang tua iya kan...tapi mereka mau menang sendiri”.

9. Apakah Dedek akan bersikap yang sama tentang perjodohan anak-anak Dedek nanti?

“Iyalah Wik....aku aja nggak setuju uang japuik itu. Kalau anak-anakku nanti ada yang sama orang Pariaman jodohnya, kalau bisa nggak usah pakai uang japuik, nasional ajalah. Itu tadi alasannya ribet (merepotkan) kali adat Pariaman ini. Aku rasa udah ditinggalkan orangpun adat istiadat japuik itu nantinya....karena udah berkembang pemikiran orang sekarang. Yang wajib itu hukum pernikahan dalam Islam yang dijalankan, nggak wajib ada uang japuik itu”.

10.Apakah orang tua mengajarkan bahasa Minang di dalam keluarga?

“Bahasa daerah digunakan di keluarga, mendiang ayahpun diwajibkannya bahasa daerah. Dia memang menanamkan mau tinggal dimanapun kalian, bahasa daerah kita jangan pernah ditinggalkan”.

11.Bagaimana akhirnya Dedek mendapat restu orang tua untuk menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda?

(26)

Informan 7: Nurhayati (63 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Ibu tentang unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Kalau perempuan yang ngelamar nggak ada masalah, namanya udah adat kita...kalau ibu senang, adat ibu...ibu jalani. Buktinya ibu udah dua menantu ibu orang Padang. Kalau perempuan ngasi uang jemputan nggak ada masalah...namanya adat, adat kita bersandar dengan agama juga. Kalau istilahnya adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Itulah adat kita....agama itu kan tergantung orang masing-masing. Ada yang ngerti, ada juga yang nggak ngerti. Kadang mengerti kali agama itu nggak dijalani untuk apa....ya kan. Ada yang kuat kali dengan adatnya....dijalaninya, saling menghargai aja”.

2. Bagaimanakah pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Uang japuik itu...menghargai laki-laki sebagai urang sumando (yang datang ke keluarga istri), jadi dikasi berapa uang japuiknya...sekian misalnya. Nanti uang itu dijadikan modal usaha itu...ya untuk hidup sama-sama istrinya. Waktu ibu dulu gitu....dia ini kami (Nur dan suami) dijodohkan ini. Kalau jaman dulu mana kayak sekarang, orang banyak pacar-pacaran. Tapi bukan sembarangan laki-laki, yang mana yang pantas dikasi uang japuik. Bagus akhlaknya...bisa dia mencari (punya pekerjaan), maka uang japuik untuk modal itu sama dia”.

3. Darimanakah sumber pengetahuan Ibu tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan tersebut?

“Ya...dari saudara-saudara ibu, orang-orang dulukan banyak dijodohin dulu itu...pendapat ibu nggak masalah, orang tua mencarikan jodoh pasti yang bagus untuk anaknya. Kalau orang bilang...bisa pula orang Pariaman ini, perempuan yang ngasi uang sama laki-laki, biarkan aja....kan orang itu nggak tahu adat itu kayak mana. Saling menghormati ajalah...nggak masalah itu”.

4. Apakah Ibu mengetahui bahwa tradisi uang jemputan itu berbalasan?

“Nanti itu...waktu kita pergi ke rumah keluarga laki-laki, kita dikasi panibo. Itu namanya pemberian keluarga laki-laki sama menantunya. Jadi kan....nggak ada ruginya, yang penting keluarga kita akur (damai), saling menghargai. Berapa uang japuik yang dikasi...segitu juga harganya panibo yang dikasi. Itu dia itu...bisa bentuk perhiasan, pakaian atau apa yang cocoklah”.

5. Bagaimana pandangan Ibu mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan pada saat ini?

(27)

6. Bagaimana sikap Ibu mengenai perjodohan anak-anak Ibu saat ini? “Pernahkan anak ibu cowoknya orang Padang, sesama keluarga udah saling kenal kalau ada acara di rumah kita dia datang. Udah kayak anak sendirilah...orangnya baik. Tapi lama-lama ibu nilai ada juga enggak bagus keluarganya, belum apa-apa...udah berani pinjam duit. Ibu nggak suka kali sama orang yang enak sama dia, nggak enak sama kita. Saling menghargai lah....kita kalau udah menikahkan anak kita, kan menyatukan dua keluarga, ibu kalau dapat....kawin anak awak, sama keluarga juga saling berbaikan. Ini...belum apa-apa udah berani pinjam duit memaksa pula tu, udah ibu bilang enggak ada duitku...kakak ada barang emas, kita gadaikan aja yok...katanya, enggak suka pula ibu kayak gitu. Jadi memang ibu jodohkan sama pilihan ibu, tapi kita kenalkan lah dulu....biar dia menilai cocok nggaknya, dia juga yang mau berumahtangga...iya kan”.

7. Bagaimana sikap anak-anak Ibu tentang perjodohan yang Ibu lakukan kepada mereka?

“Ibu bersyukur juga punya anak, masih bisa diatur...walaupun dulu ada yang menentang, akhirnya dinasehati nurut juga. Kalau anak itu menikah dengan pilihan orang tua, sakit senangnya orang tua ikut menanggung....iya kan. Tapi kalau anak itu nyari jodoh sendiri...kalau senang dialah itu, kalau terjadi yang buruk mau bilang apa, rasakanlah...itu juga pilihanmu, ya kan. Kalau orang tua pasti maunya dapat menantu sesama suku...kalau dapat suku lainpun nggak masalah, tapi kita lihat dulu kayak mana orangnya...iya kan”.

8. Bagaimana pandangan Ibu mengenai pewarisan nilai-nilai luhur dalam tradisi uang jemputanm kepada generasi muda Minang saat ini?

“Kalau kita pergi ke pesta tempat saudara, tentu anak kita juga kita bawa, dari situlah dia tahu adat uang japuik itu. Kalau khusus kali dikasi tahu tentang adat itu enggak ada....yang penting, adat itu bukan untuk merugikan anak-anak sekarang. Tapi malah anak-anak jaman sekarang ini...udah mana mau tau tentang adat istiadat lagi. Kalau ibu yang penting anak ibu itu dididik untuk tahu sopan santun. MIsalnya....pacaran dia, asal orangnya bagus nggak apa-apa, tapi terkadang salah pilih dia, yang rugi bukan dia aja....keluarganya juga. Makanya uang japuik itu...kan cuma adat aja, itupun dikasi bukan sama calon sembarangan. Masa....sama orang nggak bagus pula anak kita...kita kawinkan. Justru ditenggok kalau orangnya bagus, baru kita japuik”.

Informan 8: Shanti Nazir (33 Tahun)

1. Darimanakah sumber pengetahuan Shanti tentang tradisi uang jemputan? “Saya sendiri pernah mengalami kegagalan perjodohan keluarga....malah udah sepakat dengan uang jemputan itu”.

2. Bagaimanakah ceritanya Shanti punya pengalaman gagal menikah?

(28)

orang tua berharap punya menantu sesama suku. Waktu itu rencana menikah bulan Oktober 2009”.

3. Apakah akhirnya Shanti dijodohkan dengan laki-laki Pariaman dengan memberikan sejumlah uang jemputan?

“Iya....kasihan saya dengan orang tua, mereka sebenarnya tidak mampu secara ekonomi memenuhi uang jemputan yang diminta keluarga laki-laki itu...tapi mamak yang di kampung, mau membantu menambah uang jemputannya. Orang tua sebenarnya hanya ingin saya segera menikah. Saya sendiri masih mau berbakti sama mereka...membantu mereka menyekolahkan adik-adik. Saat itu sebenarnya ada teman satu profesi dengan saya yang serius mau melamar, namun dia dari suku yang berbeda. Orang tua saya nggak setuju...mereka inginnya menantu dari sesama suku Minang juga, padahal laki-laki itu mau melamar saya dengan uang kasih sayang, seberapapun yang saya minta...sehingga saya merasa orang tua saya tidak perlu harus mengusahakan uang jemputan itu ”.

4. Bisakan Shanti ceritakan kenapa akhirnya pernikahan yang sudah direncanakan tersebut dibatalkan?

“Sejak lamaran bulan Februari sampai Mei 2009 itu, laki-laki itu tidak ada komunikasi dengan saya padahal rencana pernikahan makin dekat. Setiap saya telpon tidak pernah diangkat dan saya sms, tidak ada balasan. Selama 3 bulan itu....saya merasa nggak ada keseriusannya, padahal kami jarak jauh, saya di Medan...dia di Palembang. Paman saya selalu bilang....dia orangnya nggak banyak bicara, jadi jangan dituntut untuk selalu telpon-telponan. Hati kecil saya merasa laki-laki itu nggak serius ingin menikah. Jaman sekarang...sependiam bagaimanapun seorang laki-laki pastilah dia akan berusaha lebih dekat dengan perempuan yang ia inginkan menjadi istrinya. Akhirnya suatu hari saya pakai nomor telpon kakak saya untuk berkomunikasi dengannya....dia angkat telponnya dan dengan susah payah saya memaksanya untuk menjelaskan tentang alasan sikapnya selama ini kepada saya, ternyata ia juga mengakui terpaksa menjalani perjodohan ini dan sebenarnya telah memiliki perempuan lain yang lebih ia inginkan menjadi istri. Kemudian dengan tegas, saya memintanya secara jantan dan bertanggungjawab menemui paman saya untuk membatalkan rencana pernikahan itu, karena tidak ada gunanya bila tetap dilanjutkan dan sebelum akhirnya pernikahan tersebut menyakiti banyak pihak. Tadinya saya berfikir, dia masih menjadi seorang pengecut dan tidak berani mendatangi paman saya...dan saya akan sangat kecewa terhadap sikapnya itu. Ternyata apa yang saya ucapkan padanya, mungkin mampu membuka pola fikirnya, ia dan keluarganya menemui paman saya di kampung sana. Akhirnya pada bulan Mei 2009...rencana pernikahan itupun dibatalkan. Saya amat sangat bersyukur kepada Allah...rencana pernikahan yang nggak saya inginkan itu akhirnya batal, orang tua saya juga belajar dari peristiwa itu”.

5. Bagaimana perasaan Shanti mengalami kegagalan menikah itu?

(29)

berbakti pada orang tua. Ayah dan ibu saya menikah tanpa saling mengenal lebih dahulu dan mereka bahagia sampai saat ini. Namun jaman sekarang tidak bisa disamakan dengan jaman orang tua dulu. Seperti makan buah simalakama saya menjalani perjodohan itu, bila diputuskan...takut keluarga saya kecewa. Kalau diteruskan saya merasa menjerumuskan diri sendiri dalam pernikahan dengan orang yang salah. Saya berprinsip pacar itu adalah suami kita, indahnya pacaran setelah menikah....mungkin pilihan orang tua adalah yang terbaik. Mungkin dengan cara seperti itu, Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya...saya berusaha positif menjalani itu. Ternyata orang tua juga bisa salah. Si laki-laki itu mungkin juga tidak sepenuhnya salah, bisa saja dia juga terpaksa karena harus mematuhi orang tuanya. Tapi harusnya dia memikirkan perasaan saya dan sebagai laki-laki harusnya bersikap dewasa dan tegas kepada orang tuanya soal perjodohan”.

6. Dari pengalaman Shanti tersebut, bagaimana Shanti memandang tradisi uang jemputan dalam kaitannya dengan unsur agama?

“Kadang bisa menyalahi aturan agama juga menurut saya, dalam agama menikah itukan jangan diberatkan dan harus saling cinta. Uang jemputan itu terkadang ditetapkan tidak memperhitungkan kesanggupan pihak perempuan saya lihat”.

7. Hikmah apa yang Shanti dapatkan dari pengalaman gagal menikah dengan tradisi uang jemputan tersebut?

“Karena saya pernah gagal menikah dengan laki-laki Pariaman waktu dijodohkan keluarga, jadinya saya menilai, pertama...kalau dapat laki-laki dari suku yang sama lagi, ribet membahas uang jemputan. Yang kedua penilaian orang tua belum tentu benar, karena laki-lakipun saya rasa ada yang nggak mau di kasi uang jemputan itu, apalagi dijodoh-jodohkan. Kayak ada trauma bagi saya kalau menikah dengan sesama orang Pariaman. Saya berkeinginan menikah dengan laki-laki dari suku yang beda....ternyata Alhamdulillah, Allah mengabulkannya, dan akhirnya orang tua saya juga terbuka fikirannya bahwa laki-laki itu tidak selalu bisa dinilai dari sukunya. Sekarang ini saya dan suami dekat dengan keluarga...sehingga walaupun orang tua menilai saya telat menikah, namun mereka melihat saya bahagia dengan keluarga saya sekarang, dan itu merupakan kebahagian bagi orang tua saya.

8. Bagaimana menurut Shanti tentang nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan tersebut?

Saya yakin...sebenarnya yang utama diharapkan orang tua, untuk perjodohan anaknya adalah kebahagiaan anak itu sendiri dengan pasangan hidup yang baik, jadi kalau mereka menjodohkan dengan pilihan mereka, itu karena keinginan ingin melihat anaknya bahagia....walaupun harus memberikan sejumlah uang jemputan. Mereka merasa calon tersebut sudah mapan dan mampu menafkahi anak perempuannya kelak ”.

(30)

”Saya rasa nggak relevan lagi tradisi uang jemputan itu dipakai, karena anak-anak muda jaman sekarang itu, tidak lagi mau dijodoh-jodohkan. Menurut saya harusnya orang tua jangan terlalu bersikap fanatik pada adat istiadat, apalagi menyangkut perjodohan...bisa jadi anak berjodoh dengan laki-laki yang berbeda suku dan hidupnya lebih bahagia. Karena jodoh itu tetap ditangan Tuhan, yang penting aturan agama yang dijalankan....orang tua hanya perlu menasehati anak agar tidak salah memilih pasangan hidupnya. Jangan hanya gara-gara memaksakan adat istiadat itu dijalankan, hubungan orang tua dan anak tidak baik. Untuk anak-anak saya di masa mendatang, sikap saya juga akan seperti itu”.

10. Apakah di dalam keluarga, orang tua Shanti juga mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya?

“Iya...kalau orang tua selalu berbahasa Minang berdua, tapi kalau ke anak -anaknya terkadang bahasa Minang juga...kadang bahasa Indonesia. Karena lingkungan tetangga banyak dari suku yang berbeda, ya....lebih sering bahasa Indonesia sajalah. Saya paham artinya...tapi tak terlalu lancar kalau berkomunikasi dengan bahasa Minang itu”.

11. Apakah sebelumnya orang tua pernah menjelaskan makna tradisi uang jemputan tersebut kepada Shanti?

“Nggak ada...karena saya rasa orang tua kurang mau menjelaskan tentang adat istiadat. Kalau dibilang sang anak tidak peduli...itu karena mereka tidak memahami. Harusnya orang tua memberi penjelasan...jadi tidak negatif menanggapi tradisi itu. Kalaupun sang anak tidak menikah dengan sesama orang Minang Pariaman dan tidak menjalankan tradisi uang jemputan, setidaknya nilai-nilai luhur itu dapat dipahami oleh generasi muda Minang

(31)

LAMPIRAN 6

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

NARA SUMBER (INFORMAN TAMBAHAN)

1. Haji Muhammad Ridwan (60 Tahun)

1.Bagaimana pandangan Bapak mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Uang jemputan itu tidak melanggar syariat, itukan duniawi..tetap hukum munakahat dalam Islam yang dijalankan, ada wali, ada pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi, baru ada ijab kabul. Tapi kalau yang namanya manjapuik itu....itu duniawi. Suka dia kepada saya umpamanya, dikasi modal berupa uang japuik. Tapi ada juga istilahnya uang hilang...itu maknanya hilang sama sekali. Tapi kalau uang jemputan itu balik lagi kepada si perempuan berupa benda. Kalaulah dia manjapuik 10 juta misalnya, ketika dia datang kepada keluarga laki-laki, keluarga yang laki-laki itu memberi semacam bingkisan, itu dinamakan panibo yaitu semacam uang kasih sayang kepada menantu, bahkan nanti kembalinya bisa lebih dari 10 juta, berbentuk pakaian, barang emas, atau lainnya. Itulah yang sebenarnya...tapi sekarang sudah banyak yang dipelesetkan orang, uang hilang namanya misalnya diberikan 10 juta, uang itu nggak balik lagi sama perempuan”.

2. Menurut Bapak bagaimana pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Padang Pariaman?

“Si perempuan ini datang ke tempat mertua membawa juadah dan lainnya....makanan khas orang Minang dan dibawa ke tempat keluarga mertuanya. Sampai di rumah mertua...dibagi-bagilah kepada saudara keluarga laki-laki, kemudian saat mengambil tempat isi makanan tersebut sudah adalah diisi sesuatu, sama keluarga laki-laki tadi. Dalam agamapun disebutkan harus menghormati tamu. Seperti pepatah mengatakan “melenggang berbuah tangan, berjalan berbuah kaki...” berjalan itu kan harus ada yang dibawa, tapi ada juga yang nggak ngasi...kebetulan keluarga laki-lakinya miskin misalnya. Tapi biasanya orang Pariaman malu kalau tidak memberi sesuatu kepada menantunya pertama kali datang mengunjunginya. Diusahakannya juga memberikan sesuatu kepada menantunya”.

3. Kalau sekarang ini bagaimana mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan Pak?

(32)

(pusaka rendah). Pusako tinggi adalah harta keluarga pihak perempuan. Kalau pusako randah...itu lah harta pencarian bersama...itu yang bisa dibagi”.

4. Nah..kalau penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini bagaimana menurut Bapak?

“Kekuasaan mamak atau paman itu kuat kalau di kampung, jadi kalau ada keponakannya sudah gadis tua, sibuklah paman tadi bertanya-tanya kesana kemari, untuk mencarikan jodohnya. Kalau sudah ketemu yang tepat, baru disampaikan kepada ayahnya. Kalau ayah si perempuan setuju, baru diadakan maresek, kalau setuju pihak laki-lakinya...jadi lah itu. Disitulah nanti kumpul kedua belah pihak keluarga paman si laki-laki atau paman si perempuan atau utusannya masing-masing, berbicara atau bernegosiasi. Kalau sudah ada persetujuan dan kesepakatan, barulah ditetapkan jumlah uang jemputan. Pepatah mengatakan kalau paku asam balimbiang, tampuruang lenggok-lenggokkan. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang. Urang kampuang tolong patenggangkan. Itu petatah-petitih....kalau ada musyawarah, seperti dalam adat manjapuik...musyawarah pembangunan desa atau yang lain-lain pasti ada seperti itu. Dalam segi demokrasinya orang Minang sangat-sangat demokrasi. Keputusan tidak bisa diambil sendiri...harus dimusyawarahkan dahulu. Untuk pesta pernikahan saja harus dimusyawarahkan...itu namanya bakampuang-kampuang artinya berkumpul menetapkan hari pesta, diundanglah para ninik mamak, orang tua-tua semuanya. Jangan sampai berbenturan dengan pesta lainnya supaya saling bisa membantu”.

”Saya melihat bukan orang Pariaman saja, termasuk orang Minang pada umumnya, kalau merantau...adat istiadatnya tetap dibawa. Seperti pepatah “dima bumi dipijak, disinan langik di junjuang, artinya adat itu menyesuaikan diri, bukan memaksakan adatnya di rantau. Makanya orang Minangkabau ini di mana saja dia berada, dia tidak mengecewakan penduduk setempat. Bisa diterima oleh masyarakat sekitar”.

“Di Medan ini...ada yang melaksanakan tradisi uang jemputan, ada juga yang tidak. Seperti beberapa waktu lalu....saya menemukan suatu kasus, ada seorang laki-laki Pariaman suka sama perempuan Pariaman juga, malah laki-lakinya yang memberi 10 juta sama perempuan itu. Padahal keluarga perempuan itu

(33)

6. Kalau sikap Bapak sendiri sebagai orang tua bagaimana tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan anak-anak Bapak?

“Kalau saya situasional saja....bila datang seseorang meminang anak saya, kalau anak saya setuju nggak masalah. Seandainya calon menantu saya Pegawai Negeri misalnya, ya saya rela juga memberi uang jemputan itu, kan...untuk anak saya juga istilahnya. Saya bilang kepada anak saya kalau suka sama suka silahkan datangi orang tuanya, enggak perlu saya manjapuik. Dulu pernah anak saya yang sulung dilamar laki-laki Pariaman, dia pula yang mengutus pamannya kepada saya....untuk meminta agar anak perempuan saya menikah dengannya. Tapi anak saya tidak suka....apa boleh buatlah, kalau seandainya anak saya terima, mungkin sudah sejahtera dia, karena laki-laki itu kepala sekolah SMA di Sabang....mungkin mereka nggak jodoh”.

7. Pengalaman Bapak ketika menikah dulu, apakah ada terjadi konflik keluarga tentang keputusan Bapak dalam memilih jodoh?

”Tidak ada terjadi selisih paham mengenai uang jemputan...karena itu disesuaikan dengan kemampuan, jangan dipaksakan....jangan sampai menggadai pula karena tidak mampu. Seperti saya sebagai orang Pariaman, saya tidak harus dijapuik. Kalau suka ya silahkan saja...istri saya bukan orang Pariaman, itu pilihan saya. Adat itu bisa jadi berlaku juga untuk orang yang bukan berasal dari Pariaman. Bisa jadi keluarga laki-laki, yang mengharuskan tradisi itu berlaku. Bisa juga tidak harus diberlakukan, sekarang masalahnya suka sama suka

8. Bagaimana peranan keluarga (mamak atau orang tua) menurut Bapak dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh?

“Jadi yang berperan dalam perjodohan perempuan-perempuan Minang adalah mamak-mamak (paman) yaitu adik atau abang ibunya. Tapi di rantau ini sekuat-kuatnya peranan paman, lebih kuat juga peranan ayah”.

9. Bagaimana peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan.

“Kalaupun saya pengurus PKDP kan....saya nggak terlalu memaksakan menikah dengan orang Pariaman kepada anak-anak saya”.

10.Menurut Bapak, bagaimana penggunaan bahasa daerah sehari-hari dalam keluarga Minang sekarang ini?

“Penggunaan bahasa daerah sekarang ini, sudah jarang dibiasakan di rumah keluarga Minang. Perbauran generasi muda Minang dengan suku-suku lainnya membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi keluarga, bahkan bahasa asing lebih disukai dari pada bahasa daerah asalnya. Generasi muda Minang lebih banyak hanya mampu memahami sedikit saja bahasa Minang. Saya di rumah ini pake juga bahasa Minang itu, kalau bicara sama istri, sama keluarga dari kampung. Kalau ”.

Gambar

Gambar 3. Wawancara peneliti bersama Rinawati
Gambar 4.Yunita Handayani pada saat pesta perkawinannya tanggal 17 Mei 2015.
Gambar 7. Wawancara peneliti bersama Prof. Usman Pelly

Referensi

Dokumen terkait

Dan sistem yang akan diusulkan pada penelitian ini memanfaatkan mikrokontroler dan teknologi Modul bluetooth yang saat ini masih belum banyak yang

China adalah Negara pemasok terbesar produk lampu ke Nigeria dengan share lebih dari 95.8% namun hanya memiliki trend sebesar 33%; sementara meskipun share Indonesia

Industri petrokimia adalah industri yang berkembang berdasarkan suatu pola yang mengkaitkan suatu produk-produk industri minyak bumi yang tersedia, dengan kebutuhan masarakat akan

Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas mengindikasikan adanya kemungkinan pengaruh SAHA terhadap perkembangan organ reproduksi anak mencit jantan yang dilahirkan

Penulisan ilmiah ini dibuat dengan tahapan pembuatan hompage meliputi : struktur navigasi, desain tampilan halaman user, desain tampilan halaman administrator, perancangan

● Menjelaskan tata cara Nabi Muhammad dalam berniaga ● Mencerltakan pertemuan Nabi dengan Pendeta Bakhira ● Mampu meneladani kerja keras Nabi ketika berniaga ● Mencontoh Sejarah

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan program penjualan Merchandise pada Toko Soccer Sport Mania dengan menggunakan Visual Basic 6.0 dan menggunakan

Belanja Jasa Kantor Belanja Telepon BELANJA LANGSUNG BELANJA BARANG DAN JASA Belanja Bahan Pakai Habis Belanja Alat Tulis Kantor. Belanja Peralatan Kebersihan dan