• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma Penelitian

Paradigma dalam penelitian ini menggunakan paradigma

konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme

(constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh

besar terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Teori konstruktivisme

menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak, menurut

berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Sedangkan Creswell

(2010: 11), menyebutkan bahwa konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi

bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia, di mana mereka hidup

dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas

pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau

benda-benda tertentu.

Ardianto & Anees (2007: 154) menyebutkan bahwa paradigma

konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan

bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Prinsip

dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh

konstruk diri, sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri,

sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan dan ditentukan oleh diri di tengah

pengaruh lingkungan luar. Sebagaimana Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007:

(2)

induktif yaitu berjalan dari spesifik menuju umum, dari yang konkret menuju

abstrak, ilmu yang bersifat ideografis, nomotetis dan ilmu yang tidak bebas nilai. Sementara itu Hidayat (2003: 3) mengemukakan, paradigma konstruktivis sebagai

analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci, terhadap pelaku sosial yang bersangkutan, menciptakan

dan memelihara atau mengelola dunia sosial seseorang.

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu.

Penelitian terdahulu tentang kajian persepsi budaya, khususnya penelitian

tentang tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, dapat dilihat pada beberapa penelitian berikut ini:

(1). Matrilokal dan status perempuan: studi kasus tentang status perempuan dalam

Tradisi Bajapuik di Pariaman Sumatera Barat.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Azwar Wilhendri (2000), dalam

tesisnya pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yokyakarta. Hasil penelitian

menyebutkan bahwa dalam lembaga keluarga dengan pola kekerabatan

patrilineal-patrilokal, merupakan wadah lahirnya sistem patriarki. Sistem

patriarki sebagai analisis dalam studi perempuan, dianggap sebagai salah satu sebab timbulnya pensubordinasian dan penindasan terhadap hak-hak sosial

perempuan dalam hubungan kesetaraan gender.

Kota Pariaman secara kultural, merupakan salah satu wilayah di

Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, status dan kedudukan perempuan dianggap sangat kuat. Ternyata pada tradisi bajapuik

dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal tersebut, status dan

(3)

hubungan sosial. Pada sistem patriarki, posisi perempuan berada di bawah

otoritas bapak sebelum menikah dan dikuasai oleh suami setelah menikah.

Sementara itu pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, seorang

perempuan dikuasai oleh mamak (paman) dalam hubungan kerabat (extended

family), sekaligus oleh suami di dalam keluarga inti (nuclear family). Hal tersebut dibuktikan dengan lemahnya akses perempuan, dalam pengambilan

keputusan untuk menentukan terjadinya ikatan perkawinan, karena intervensi

mamak.

Posisi tawar (bargaining position) dalam menentukan nilai uang

japuik juga lemah, ini juga berlaku pada pengelolaan uang japuik, penghargaan terhadap status sosial dan status perempuan dalam keluarga.

Kesimpulannya bahwa tradisi bajapuik membuktikan bahwa sistem patriarki

terlembaga dalam perkawinan. Penelitian ini membuktikan, sistem patriarki

juga terjadi pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, di mana perempuan mengalami subordinasi berganda (Sumber: http://etd.ugm.ac.id).

(2). Persepsi remaja tentang Tradisi Uang Jemputan dalam adat perkawinan suku

Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan

Bromo Medan).

Penelitian tersebut dilakukan Susanti (2005), dengan tujuan untuk

mengetahui bagaimana remaja khususnya gadis Minang, mempersepsikan

tradisi uang jemputan pada adat perkawinan Pariaman. Dalam penelitian ini,

juga dilakukan observasi pada sebuah pesta perkawinan, yang melaksanakan

(4)

jemputan masih dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat suku Minang

yang berasal dari daerah Pariaman.

Sementara itu seorang tokoh adat Minang Pariaman yang menjadi

nara sumber (key informan) dalam penelitian mengatakan bahwa uang jemputan sebenarnya bermakna tanggung jawab ma mak (saudara laki-laki ibu), dalam pencarian jodoh yang layak dan sesuai untuk keponakannya.

Sedangkan gadis Minang yang merupakan informan dalam penelitian,

umumnya mempersepsikan uang jemputan secara subjektif, yaitu perempuan

sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak pantas atau tidak layak

(Susanti, 2005: 73).

(3). Perubahan Tradisi Bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota

Binjai.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Deliani (2005). Hasil penelitian

menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anak-anak muda Pariaman yang

memilih jodohnya sendiri. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang

Pariaman, yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para

mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti pilihan mereka dan membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para

ninik mamak menganggap, jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah,

meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat.

Deliani juga menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi

dalam tradisi Bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: (1). Tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman,

(5)

(2). Perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya

ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari

konsep extended family ke arah bentuk nuclear family; dan (3). Perubahan

yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada

perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Selain pengaruh dari luar sistem dan sosial budaya orang Minang Pariaman (faktor

eksternal), perubahan tradisi bajapuik juga didorong oleh kebutuhan dari dalam (faktor internal).

(4). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan Bajapuik.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Maihasni, Titik Sumarti, Ekawati

Sri Wahyuni dan Sediono MP. Tjondronegoro (2010: 190). Hasil penelitian

mendapati perubahan pertukaran pada perkawinan bajapuik di Pariaman, melalui 4 (empat) bentuk perubahan pertukaran, yaitu: 1). Uang jemputan

adalah uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, dan

dikembalikan lagi kepada perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk

pertama kali. Bentuk pengembalian ini berwujud benda yang bernilai

ekonomis, seperti emas dan benda lainnya; 2). Uang hilang adalah pemberian

kepada pihak laki-laki, namun tidak dikembalikan kepada pihak perempuan.

Pemberian tersebut dapat berwujud benda, khususnya uang yang dapat

dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki khususnya orang tua;

3). Uang selo adalah salah satu bentuk pengeluaran lain dari pihak

perempuan, untuk membiayai adat perkawinan. Uang selo ini diberikan

kepada ninik mamak pihak laki-laki, yang hadir pada saat pertunangan; dan

(6)

dibawa perempuan, sebagai persyaratan menjemput mempelai laki-laki untuk

dinikahkan.

(5). Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Ririanty Yunita, Syaiful M dan Muhammad Basri (2012). Inti sari dalam penelitian ini berdasarkan rumusan

masalah yaitu bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman

perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, maka penelitian ini ditujukan untuk

mencari tahu persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar

Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di

Bandar Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden penelitian,

sebanyak 7 responden atau 8%, mempunyai persepsi negatif mengenai uang

japuik. Sementara itu sebanyak 85 responden atau 92% dari 92 responden

termasuk dalam kategori persepsi yang positif mengenai uang japuik. Dapat

disimpulkan bahwa persepsi para perantau asal kabupaten Padang Pariaman

mengenai tradisi pemberian uang japuik pada adat perkawinan Padang Pariaman di Kota Bandar Lampung, termasuk dalam persepsi yang positif

(sumber: http://jurnal.fkip.unila.ac.id).

(6). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang

diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat

Batak Toba (Studi kualitatif terhadap masyarakat Batak Toba di Kelurahan

(7)

Penelitian mengenai persepsi budaya pada tradisi perkawinan suku

Batak Toba tersebut dilakukan oleh Sahmaida Lubis (2011). Ada beberapa

bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak

Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar

hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu laki-laki). Simbol-simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai

perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi

simbolik yang diberikan kepada pengantin, dalam upacara perkawinan adat

Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi, berupa pemahaman pasangan

suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada

pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak semua pasangan suami-istri memahami makna komunikasi

simbolik dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, dikarenakan kurangnya

proses sosialisasi budaya dan cara pandang yang berbeda dari pasangan

suami-istri tersebut.

2.3. Uraian Teoritis

2.3.1. Komunikasi Antarbudaya

Hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Sebagaimana Edward T.

Hall (dalam Syam, 2013: 84), mengemukakan bahwa “komunikasi adalah budaya

dan budaya adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) pandangan

(8)

1). Komunikasi sebagai aktivitas simbolis.

Aktivitas komunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna, yang diubah

ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol non

verbal untuk diperagakan. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan

dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewaliki makna tertentu.

2). Komunikasi sebagai proses.

Komunikasi merupakan aktifitas yang dinamis, aktifitas yang terus

berlangsung secara berkesinambungan, sehingga dia terus mengalami

perubahan.

3). Komunikasi sebagai pertukaran makna.

Para ahli mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan “pertukaran

makna”. Makna itu ada dalam setiap orang yang mengirimkan pesan. Jadi

makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi

makna adalah pesan yang dimaksudkan pengirim dan diharapkan akan

dimengerti pula oleh penerima (Liliweri, 2007: 5-6).

2.3.1.(a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Samovar, et al. (2010: 55) menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah

komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya berbeda.

Pendapat serupa juga dikemukakan Tubbs & Moss (2005: 236-237), bahwa

komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda

budaya (baik ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi). Penggolongan

kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak. DeVito (1997: 480),

(9)

di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, selain juga

secara lebih sempit mencakup bidang komunikasi antara kultur yang berbeda.

Lubis (2012: 44) mengemukakan bahwa, komunikasi yang berlangsung

di antara individu yang berbeda budaya, selalu mengalami hambatan-hambatan

yang disengaja maupun tidak disengaja atau tanpa disadari. Hal ini merupakan

sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Dengan demikian

terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang berkomunikasi, dengan

keragaman budaya yang melatarbelakanginya.

Setiap orang berkomunikasi dengan kerangka pemikiran (frame of

reference) dan keluasan pengalaman (field of experience) yang berbeda-beda satu sama lain, yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Oleh karena itu

komunikasi antarbudaya menjadi penting dipelajari, tidak hanya untuk tujuan

efektifitas berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, melainkan juga

untuk efektifitas pemahaman terhadap budaya sendiri. Sebagaimana disebutkan

Litvin (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010), bahwa tujuan studi komunikasi

antarbudaya bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:

1) Menyadari bias budaya sendiri.

2) Lebih peka secara budaya.

3) Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari

budaya lain dan menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan

dengan orang tersebut.

4) Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.

(10)

6) Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu

menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.

7) Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan

memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.

8) Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh

pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai,

kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.

9) Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi

bidang komunikasi antarbudaya.

10)Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat

dipelajari secara sistematis, dibandingkan dan dipahami.

Seseorang dari latar belakang budaya tertentu akan terlibat dalam situasi

komunikasi antarbudaya, saat mengalami proses akulturasi dengan orang yang

memiliki latar belakang budaya berbeda. Cara kita berkomunikasi sebagian besar

dipengaruhi oleh kultur, sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan

berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Brislin (dalam Samovar, et

al., 2010: 44), menyebutkan bahwa nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu

masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, harus diturunkan dari satu

generasi ke generasi yang lainnya dalam proses enkulturasi budaya.

2.3.1.(b). Proses Enkulturasi dan Akulturasi dalam Komunikasi Antarbudaya.

Dalam mempelajari budaya, setiap individu yang lahir ke dunia, akan

melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses di mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua,

(11)

merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Sedangkan akulturasi mengacu

pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan

langsung dengan kultur lain (DeVito, 1997: 479). Sementara itu Samovar, et al.

(2010: 479), mendefenisikan akulturasi sebagai proses pembelajaran bagaimana hidup dalam budaya yang baru. Sebagaimana Lubis (2012: 21), menyebutkan

bahwa kita mempelajari kultur (budaya), bukan mewarisinya.

Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan

sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis

mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi untuk terus hidup

dan berkembang, diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu

masyarakat tertentu. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari

dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya

terkondisikan untuk menerima “kebenaran-kebenaran” tersebut tentang kehidupan

di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan dan

melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku “yang

dapat diterima” untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi

dan dipengaruhi oleh setiap fase aktifitas manusia (Haris dan Moran dalam

Mulyana dan Rakhmat, 2010: 55).

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu,

memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya,

komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi

budaya dan sistem simbolnya, cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar

et. al, 2010: 13). Selanjutnya Gudykunst (2003: 316) menyebutkan, terdapat

(12)

1. Stereotip.

Stereotip biasa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang dan

berhadapan dengan banyak hal yang tidak selalu sama dan tidak kita

ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari bahwa kita memiliki

stereotip negatif. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan

kadang-kadang dapat dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif.

2. Prasangka.

Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan

rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Brislin (dalam

Gudykunst, 2003: 323) mengatakan prasangka adalah perasaan mengenai

hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan

lain-lain.

3. Etnosentrisme.

Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003: 331) menyebutkan,

etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih

unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain, dinilai

berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita

melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita.

Sebagaimana (Samovar, et, al. dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 76),

etnosentrisme adalah kecenderungan memandang orang lain, secara tidak

sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita

sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Sumber utama perbedaan

(13)

4. Culture shock (gegar budaya).

Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003: 335), gegar budaya ditimbulkan

oleh rasa gelisah, sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol

yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat

menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman.

2.3.2. Persepsi Budaya

Adler (dalam Samovar, et al., 2010: 224) menyebutkan, persepsi

merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Kita belajar untuk melihat

dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya kita.

Sebagaimana Wood (dalam Samovar, et al., 2010: 34), bahwa kita mempelajari

pandangan dan pola budaya dalam proses komunikasi, ketika kita berinteraksi

dengan orang lain, kita mengerti tentang kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa

budaya kita.

Persepsi sering dianggap sebagai inti komunikasi. Sedangkan penafsiran

atau interpretasi adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik

(decoding) dalam proses komunikasi (Riswandi, 2009: 50). Sementara itu hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya

masing-masing pelaku komunikasi. Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi

sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak

patut (DeVito, 1997: 490).

Samovar, et al. (2010: 221) menjelaskan bahwa persepsi merupakan

suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Sementara

Mulyana dan Rakhmat (2010: 25), mendefenisikan persepsi sebagai proses

(14)

rangsangan dari lingkungan eksternal. Selanjutnya Sobur (2003: 445),

mengemukakan persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana

seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau

pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

Liliweri (2011: 153), menyebutkan persepsi merupakan proses di mana

individu memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan apa yang

dibayangkan tentang dunia sekelilingnya. Sementara itu Matsumoto (2004: 60),

mengungkapkan bahwa persepsi mengacu pada proses, di mana informasi

inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Desiderato (dalam

Rakhmat, 2007: 51), menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang

objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli

inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dan persepsi sudah jelas. Sensasi

adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi

inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi

dan memori. Selanjutnya Mulyana (2001: 180-191) menjelaskan beberapa

sifat-sifat persepsi, sebagai berikut:

1) Persepsi bersifat selektif.

Setiap orang menerima begitu banyak rangsangan inderawi, bila manusia

harus menafsirkan semua, ia bisa gila. Karena itu persepsi bersifat selektif

dalam menafsirkan rangsangan yang diterima tersebut.

2) Persepsi bersifat dugaan.

Karena data yang kita peroleh mengenai objek melalui penginderaan tidak

(15)

3) Persepsi bersifat evaluatif.

Orang menjalani kehidupan dengan perasaan bahwa apa yang mereka

persepsi adalah nyata. Mereka berfikir menerima pesan dan

menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Akan tetapi terkadang

alat-alat indera dan persepsi kita menipu, sehingga perlu mengevaluasinya

kembali.

4) Persepsi bersifat kontekstual.

Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh

yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh

paling kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat suatu objek,

orang atau suatu kejadian yang sangat mempengaruhi struktur kognitif,

pengharapan dan juga persepsi kita.

2.3.2.(a). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal

Rakhmat (2007: 89-91), menjelaskan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi persepsi interpersonal, yaitu:

(1). Pengalaman

Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu

lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui

rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi.

(2). Motivasi

Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak

melibatkan unsur-unsur motivasi. Telah banyak penelitian tentang

pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi, seperti motif biologis,

(16)

karena persona stimuli. motif personal lainnya yang mempengaruhi

persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang

adil. Menurut Lerner (dalam Rakhmat, 2007: 89), kita perlu mempercayai

bahwa dunia ini diatur secara adil. Orang diganjar dan dihukum karena

perbuatannya. Bila kita melihat orang sukses, kita cenderung

menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Motif

dunia ini, sering mendistorsi persepsi kita.

(3). Kepribadian

Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara

tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya kepada orang lain.

Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain, sifat-sifat

yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Kepribadian otoriter

adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegangan

pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam

hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab

pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari

peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.

2.3.2.(b). Elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi budaya.

Sebagaimana dikutip dari pandangan Samovar, et al. tentang hal-hal yang

mempengaruhi persepsi budaya, oleh Mulyana dan Rakhmat (2010: 26)

diterjemahkan sebagai unsur-unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar

dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yang

(17)

(2). pandangan dunia (world view); dan (3). organisasi sosial (social

organization). Sementara itu Lubis (2012: 63), menterjemahkan pandangan Samovar, et al. tersebut sebagai elemen-elemen pokok yang mempengaruhi

persepsi budaya, yang terdiri dari: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan perilaku; (2). sistem lambang; dan

(3). organisasi sosial. Kedua pendapat tersebut, tidak terlalu memiliki perbedaan

yang signifikan. Selanjutnya elemen-elemen yang membentuk persepsi budaya,

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pandangan Dunia (world view)

Paige & Martin (dalam Lubis, 2012:64) menjelaskan, pandangan dunia

merupakan satu lensa dari pada pandangan manusia yang memandang realitas

dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan

merupakan landasan paling dasar dari pada suatu budaya. Mulyana dan Rakhmat

(2010: 28) mengatakan, pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu

budaya, terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan

masalah-masalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pandangan

dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam

semesta. Sarbaugh (dalam Lubis, 2011: 81) menjelaskan, pandangan dunia

sebagai sistem-sistem kepercayaan yang membentuk keseluruhan sistem berfikir

tentang sifat-sifat “sesuatu” secara keseluruhan dan persepsinya terhadap

lingkungan.

Pandangan dunia (world view) orang Minang, seperti dikemukakan Navis (1984: 59), bahwa orang Minang menamakan tanah airnya sebagai Alam

(18)

mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis,

seperti pepatah mengatakan “alam takambang manjadi guru” yang artinya alam

terkembang menjadi guru. Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka

seperti yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah (nasehat), dan lain-lainnya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.

Alam dan segenap unsurnya bagi orang Minang, terdiri dari empat atau

sering di sebut nan ampek (yang empat), atau dibagi dalam empat bentuk adat, yakni: (1) adat yang sebenarnya adat; (2) adat istiadat; (3) adat yang diadatkan;

dan (4) adat yang teradat (Navis, 1984: 88-89). Berbeda budaya, akan berbeda

pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Dalam pandangan dunia

terdapat tiga unsur yang mempengaruhi yaitu :

(a). Agama atau sistem kepercayaan.

Agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang

budaya mereka (Samovar, et, al., 2010: 123). Peranan agama dalam suku

manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal

yang berisikan pendidikan, pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga.

Rogers dan Steinfatt (dalam Samovar, et al., 2010: 224), mengemukakan bahwa

kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu,

termasuk pemikiran, ingatan dan interpretasi terhadap suatu peristiwa.

Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang.

Pandangan dunia (world view) yang dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan pada adat istiadat Minang, di mana sebagian besar masyarakatnya

(19)

pada mulanya antara adat dan Islam memang terjadi konflik. Setidaknya demikian

menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan.

Yaswirman (2011: 112) menyebutkan, perbenturan persepsi antara adat

dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang

kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedang Islam

menganut parental bilateral atau menurut pemahaman para mujtahid menganut

sistem patrilineal. Di Minangkabau suami tinggal bersama di rumah keluarga istri,

sedang dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami.

Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan

pewarisan. Kendati telah ada konsensus “adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”, namun mewujudkan persentuhan

adat dan Islam dalam persoalan ini mengalami proses yang sangat panjang.

(b). Nilai-nilai.

Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai

dan sikap. Nilai-nilai menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang

baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan yang palsu,

positif dan negatif, dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Meskipun

memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat

universal, karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya

lainnya, dan nilai-nilai itu dipelajari (Lubis, 2012: 67).

Pandangan dunia yang dipengaruhi unsur nilai dalam tradisi pemberian

uang jemputan sebagai syarat perkawinan, menunjukkan norma yang menjadi

suatu keharusan. Karena kesepakatan mengenai uang jemputan ini, menjadi

(20)

perkawinan (Yaswirman, 2011: 135). Sementara itu nilai-nilai yang terkandung

dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi

laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri,

di mana uang jemputan tersebut, diberikan sebagai modal usaha bagi mereka

untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al, 2010: 178; dan Sjarifoedin, 2011:

477).

(c). Sikap.

Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar

untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu

konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut

membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita

(Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Sikap merupakan predisposisi mental

individual untuk mengevaluasi suatu hal tertentu dalam beberapa derajat yang disukai atau yang tidak disukai. Secara umum setiap individu mempunyai sikap

yang difokuskan kepada objek, orang atau institusi, bahkan peristiwa (Liliweri,

2011: 165). Sikap manusia terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

1) Kognitif yang berkaitan dengan kepercayaan, teori, harapan, sebab dan

akibat dari suatu kepercayaan, dan persepsi relatif terhadap objek tertentu;

2) Afektif yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian kita terhadap

objek tertentu; dan

3) Konatif yang berisi kecenderungan untuk bertindak (memutuskan) atau

mengimplementasikan perilaku sebagai tujuan terhadap objek (Liliweri,

(21)

2. Sistem Lambang (verbal/non verbal).

Forgas (dalam Lubis, 2012: 72), menyebutkan penggunaan sistem

lambang seperti bahasa lisan sehari-hari mencatat suatu peristiwa komunikasi, di

mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat

spesifik. Sedangkan Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66) menyebutkan, bahasa

adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu

menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam

bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan

secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian

pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.

Sementara itu, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa.

Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara

berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara,

2011: 101). Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem

lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar

yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu

komunitas geografis atau kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sistem tidak pasti

untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan

bergantung pada berbagai penafsiran (Porter dan Samovar dalam Mulyana dan

Rakhmat, 2010: 30).

Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan

seperti melalui percakapan, tertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh),

penampilan dan lainnya (Ruben dalam Lubis, 2012: 72). Makna kata “bajapuik”

(22)

makna menghormati posisi laki-laki (suami) yang melibatkan barang-barang yang

bernilai seperti emas atau uang, sehingga secara umum diartikan sebagai tradisi

uang jemputan (Sjarifoedin, 2011: 477).

Kata bajapuik yang berasal dari bahasa Minang, menyajikan realitas secara simbolik sehingga makna kata bajapuik akan dipahami perempuan Minang Pariaman yang pada akhirnya, mempengaruhi persepsinya tentang tradisi tersebut.

Pengaruh bahasa pada persepsi budaya seperti dikemukakan Lubis (2011:

204-207), bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tua suku Tionghoa di rumah,

juga berdampak kepada anak-anak dan lingkungan sekitar. Berbahasa Indonesia

tidak mengecilkan atau menghilangkan identitas sebagai suku Tionghoa.

Sedangkan Listiyorini (2007: 4) mengungkapkan penggunaan bahasa asing makin

mendapatkan tempat dalam kehidupan masa kini, sementara penggunaan bahasa

daerah kian terdesak.

Sementara itu Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat,

2010: 31) menyebutkan, sistem lambang juga mencakup lambang non verbal,

seperti isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh,

sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Cangara (2011: 105)

mengatakan, manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa),

juga memakai kode non verbal. Kode non verbal biasanya disebut bahasa isyarat

atau bahasa diam (silent language).

3. Organisasi Sosial (social organization)

Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan

dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan

(23)

Lubis, 2012:76). Organisasi sosial yang berperan dalam proses komunikasi pada

tradisi uang jemputan adalah keluarga. Galvin dan Brommel (dalam Budyatna dan

Ganiem, 2012: 169), menyebutkan keluarga adalah sebuah kelompok manusia

yang memiliki hubungan akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga, dan

identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan

emosi serta mengalami sejarah dan menatap masa depan.

Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan

keluarga sangat penting, seiring perjalanannya dari waktu ke waktu yang mana

budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar

mengenal kebudayaannya dan menilai kebudaannya paling baik dibandingkan

kebudayaan suku lain, dan lain sebagainya. Organisasi sosial juga mencakup

lembaga formal seperti sekolah. Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu

mengenal kebudayaan-kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Selain sekolah,

peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM),

kelompok perkumpulan, maupun tempat bekerja, individu-individu yang berbeda

budaya dapat saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat

pada masing-masing budaya (Lubis, 2012: 76-81).

2.3.3. Komunikasi Keluarga

Keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh,

keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan

cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice

dalam Samovar, et al., 2010: 65). Hubungan antara perempuan Minang Pariaman

(24)

hubungan darah, sebagaimana Djamarah (2004: 16) bahwa bentuk-bentuk

keluarga berdasarkan dimensi hubungan darah, dapat dibedakan menjadi dua

bagian, yaitu :

a) Keluarga kecil (keluarga inti) di sebut juga sebagai nuclear family adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

b) Keluarga besar di sebut sebagai extended family adalah keluarga inti di tambah dengan keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan darah

(kakek-nenek, paman-bibi, dan sebagainya).

Selanjutnya Budyatna dan Ganiem (2012: 169) menyebutkan,

kebanyakan fungsi mengenai sistem keluarga merupakan produk dari komunikasi

di dalam keluarga. Fitzpatrick mengidentifikasi pola komunikasi dalam 4 (empat)

tipe keluarga. Empat tipe pola komunikasi keluarga tersebut adalah sebagai

berikut :

a) Tipe Konsensual.

Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga

memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali

berkomunikasi secara terbuka dengan sesama anggota keluarga. Pemegang

otoritas keluarga dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat

keputusan.

b) Tipe Pruralistis.

Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki

kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi

secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan

(25)

mereka karena setiap pendapat di nilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu

pendapat mana yang terbaik dan setiap orang turut serta dalam pengambilan

keputusan.

c) Tipe Protektif.

Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki

kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga

tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa

mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol.

Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan

keputusan yang telah mereka buat.

d) Tipe Leissez-Faire.

Yaitu keluarga yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan juga memiliki

kepatuhan yang rendah. Adanya sikap tidak peduli dan lepas tangan dengan

apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain (dalam Morissan, 2014:

292-296).

Wursanto (dalam Djamarah, 2004: 36), menyebutkan bahwa komunikasi

dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan

siapa saja. Sejak lahir, seseorang sudah mengadakan hubungan dengan kelompok

masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh individu yang

baru lahir, ialah keluarga yaitu dengan ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya.

Makin bertambah umurnya, makin luas pula hubungan yang dapat dijangkau oleh

individu itu. Selain sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial dan

(26)

Umur ideal untuk perkawinan dalam tradisi Minang adalah usia 16-25

tahun bagi wanita, dan usia 18-30 tahun bagi pria. Orang yang belum menikah

pada umurnya yang ideal, akan menderita perasaan batin, baik yang bersangkutan

maupun keluarganya. Oleh karenanya ga dih gadang (gadis dewasa) yang belum menikah merupakan aib, bukan saja aib mamak (saudara kandung laki-laki ibu),

yang bertanggung jawab pada kemenakan atau keponakannya, tapi juga aib kedua

orang tua, bahkan aib orang sekampung (Depdikbud, 1978: 30).

2.3.4. Adat Perkawinan Masyarakat Pariaman.

2.3.4.(a). Adat bagi masyarakat Minang.

Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada

ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ketiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan Undang-undang Negara. Pada kehidupan nyata, penerapan hukum yang terdapat

dalam Tali Tiga Sepilin ini tidak selalu berjalan mulus. Ketiga peraturan tersebut seharusnya saling seiring sejalan, saling mengisi dan saling menguatkan. Pada

kenyataannya, tidak jarang pula saling bertentangan dan berpotensi untuk saling

berbenturan.

Navis (1984: 88), menyebutkan bahwa adat bagi orang Minang adalah

kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat

berubah, seperti kata pepatah : “kain dipasang usang, adaik dipakai baru (kain

dipakai usang, adat dipakai baru)”. Maksudnya sebagaimana pakaian bila

dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa

(27)

Adat di bagi dalam empat kategori, yakni: (1). adat yang sebenarnya adat;

(2). adat istiadat; (3). adat yang diadatkan; dan (4). adat yang teradat.

Navis (1978: 89) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan empat kategori adat tersebut adalah:

(1). adat yang sebenarnya ialah adat yang asli yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup orang Minang.

(2). adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan (pepatah) diibaratkan seperti : pohon sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang (besar karena dilambuk, tinggi karena dianjung), yang artinya adat itu akan dapat tumbuh karena dirawat dengan baik.

(3). adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang dan hukum yang berlaku, seperti yang didapatkan pada undang-undang luhak dan rantau, undang-undang nan dua puluh. Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamangan (pepatah) : jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya.

(4). adat teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud mamangan (pepatah): patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh, hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk keperluan hidup manusia.

Menurut Nasrun, adat Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan

hidup yang kekal, segar dan aktual, oleh karena didasarkan pada:

1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada

nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.

2. Kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama, dan

kepentingan bersama untuk seseorang.

(28)

4. Perimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata

serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.

5. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.

6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.

7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu, dan keadaan (dalam

Soekanto, 1983: 72-73).

Tradisi uang jemputan merupakan kategori adat yang teradat.

Sebagaimana Sjarifoedin (2011: 477), tradisi perkawinan bajapuik di Pariaman,

termasuk ke dalam kategori adat nan teradat karena hanya berlaku di Pariaman, sedangkan di daerah lain tidak mengenal tradisi bajapuik.

2.3.4.(b). Perempuan dalam adat perkawinan Pariaman.

Dalam adat Minang, etika yang harus dimiliki seorang perempuan selain

patuh dan hormat kepada kedua orang tua, salah satunya adalah mendengarkan

nasehat dan perintah mamak/pamannya. Meskipun mamaknya itu, seorang laki-laki yang lebih muda dibandingkan dengan umurnya, tetapi kalau mereka sudah

akhil baligh, patutlah dipandang sebagai mamak juga (Dirajo, 2003: 164). Demikianlah adat Minang menempatkan peranan seorang mamak yang harus dipatuhi oleh perempuan Minang.

Di Kota Pariaman, istilah “gadih gadang indak balaki” membuat seorang

mamak orang Pariaman, sangat peduli untuk menyelesaikan masalah tersebut. Begitu pedulinya para mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve, menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai laki-laki yang mapan. Akibatnya merusak titik

(29)

yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin wanita. Terkadang pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria) sebelumnya, karena pemberian tersebut menyangkut gengsi keluarga

marapulai itu sendiri (sumber: http://sosbud.kompasiana.com).

Pendapat senada disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis

gadang indak balaki (gadis dewasa, namun belum menikah) di Pariaman, merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan

yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu,

berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan

bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang

jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak

perempuan.

2.3.4.(c). Tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman.

Tradisi uang jemputan merupakan syarat terjadinya perkawinan yang

berlaku bagi masyarakat di daerah Pariaman.

Tradisi uang jemputan adalah memberikan sejumlah uang atau barang berharga lainnya oleh pihak perempuan, kepada pihak laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan. Jumlah uang jemputan ditetapkan dengan kesepakatan bersama, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya. Uang jemputan diserahkan ketika acara manjapuik marapulai

yaitu tradisi menjemput pengantin pria, sebelum melangsungkan akad nikah di rumah perempuan. Uang jemputan ini akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda-benda berharga lainnya disebut

panibo, yang diberikan saat manjalang mintuo yaitu pada saat perempuan

(30)

Padang (2000: 29-59), berjudul “Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat

Pariaman dalam Upacara Perkawinan”, adalah sebagai berikut :

Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasakan cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo

(menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya, melalui pihak keluarganya. Bila dirasakan cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara

mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan batandang

(berkunjung) kembali, ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai),

untuk melakukan musyawarah.

Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro (calon pengantin perempuan) akan menyampaikan maksud mereka, kepada mamak tungganai

(paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik (uang jemputan), akan dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual

harato pusako (harta pusaka), untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan membicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.

Sementara itu, Fiony Sukmasari menyebutkan syarat-syarat perkawinan

dalam adat Minangkabau sebagai berikut:

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari nagari atau

luhak yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak

yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai

orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

(31)

2.4.Kerangka Pemikiran Penelitian

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Dari bagan di atas, dapat dijelaskan alur pemikiran penelitian yang akan

dilakukan. Persepsi budaya perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang

jemputan, dibentuk oleh pandangan dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai

dan sikap); sistem lambang; dan organisasi sosial (dikembangkan dari pandangan

Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012: 61). Ketiga elemen tersebut, diasumsikan

ikut berperan dalam proses pembentukan persepsi perempuan Minang Pariaman

dan pada akhirnya akan terjadi perubahan cara pandang yang terlihat dalam sikap

Referensi

Dokumen terkait

Dan sistem yang akan diusulkan pada penelitian ini memanfaatkan mikrokontroler dan teknologi Modul bluetooth yang saat ini masih belum banyak yang

Industri petrokimia adalah industri yang berkembang berdasarkan suatu pola yang mengkaitkan suatu produk-produk industri minyak bumi yang tersedia, dengan kebutuhan masarakat akan

Dari hasil pengujian kuat tekan beton juga dapat dilihat bahwa penambahan agregat Bongkahan Cangkang Sawit (BCS) sebesar 15 % dapat menghasilkan nilai kuat

DINAS PRASARANA JALAN, TATA RUANG DAN PERMUKIMAN PROVINSI SUMATERA

Penulisan ilmiah ini dibuat dengan tahapan pembuatan hompage meliputi : struktur navigasi, desain tampilan halaman user, desain tampilan halaman administrator, perancangan

● Menjelaskan tata cara Nabi Muhammad dalam berniaga ● Mencerltakan pertemuan Nabi dengan Pendeta Bakhira ● Mampu meneladani kerja keras Nabi ketika berniaga ● Mencontoh Sejarah

Belanja Jasa Kantor Belanja Telepon BELANJA LANGSUNG BELANJA BARANG DAN JASA Belanja Bahan Pakai Habis Belanja Alat Tulis Kantor. Belanja Peralatan Kebersihan dan

Bersumber dari masalah diatas penulis terdorong untuk dapat mengatasi kesulitan itu dengan mengkomputerisasikan system tersebut, dengan harapan akan dapat meningkatkan mutu