• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSKRIP HASIL WAWANCARA NARA SUMBER (INFORMAN TAMBAHAN)

2. Sutan Alamsyah Guci (67 Tahun)

1. Bagaimana pandangan Bapak mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?

“Adat Minang yang ada dalam tradisi uang jemputan itu dibuat untuk keselamatan perempuan. Keselamatan perempuan itu perlu....sebab Rasulullah SAW sendiri menjaga keselamatan perempuan. Coba bayangkan bila seorang perempuan diusir tengah malam dari rumah, kemana dia akan pergi. Jadi itu makanya orang Minang itu menyusun adat istiadatnya. Pedoman adat itu ada 4 yaitu raso (rasa), pareso (perasa), malu dan sopan. Itu isi adat orang Minangkabau....kalau nggak ada yang 4 ini dalam dirinya, itu bukan orang Minang”.

“Yang dikatakan raso adalah perasaan kita kalau disakiti orang....makanya jangan menyakiti orang. Coba sama-sama kita pakai raso itu, makanya dikatakan orang Minang itu arif bijaksana. Pareso datang dari dalam batang tubuh, perasaan kita untuk maraso (merasa) itu tadi. Kalau malu adalah perasaan malu bila menyakiti orang dan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya, hadist nabi mengatakan malu adalah sebagian dari iman. Nah...kalau sopan adalah etika kita kepada orang lain, itulah kelebihan orang Minang tadi. Sebetulnya adat ini adalah akhlakul karimah (akhlak mulia)...misalnya seorang laki-laki sedang mengerjakan sholat, auratnya hanya sebatas pinggang sampai lutut..udah itu aja yang ditutup, nggak usah pakai apa- apa lagi, karena syarat menutup aurat dalam sholat udah dilakukan, jadi udah sah. Tapi apakah ini sempurna?....tidak ada akhlak namanya, makanya dipakai baju, sarung supaya lebih sopan...itu yang dinamakan akhlak”.

“Makanya adat Minang lebih berat kepada perempuan, sebab pernah bertanya para sahabat kepada Rasulullah Saw...ya Rasulullah, siapa yang paling dihormati dimuka bumi, Rasul menjawab sampai 3 kali...ibumu...ibumu...ibumu, baru yang keempat ayahmu. Karena tiga kali diulang ibu, maka diambillah kesimpulan oleh orang Minang bahwasanya suku harus menurut ke ibu, bukan menurut suku ayah. Surga dibawah telapak kaki ibu...perempuan itu adalah penghulu di dalam alam. Manakala baik perempuan itu, maka baiklah seluruh alam, apabila rusak perempuan...maka binasalah seluruh alam. Itu hadist itu....luar biasa perempuan ini. tapi kadang-kadang perempuan Minang tidak tahu dihargai. Orang Minang itu harus menjaga malu dan sopan tadi”.

2. Jadi bagaimana pandangan Bapak mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Padang Pariaman? “Jadi khusus kepada orang rantau Pariaman, itu khusus dia manjapuik laki-laki, tujuannya karena kita mengambil keturunan dari laki-laki. Kalau dulu orang mencari laki-laki yang punya asal usul yang baik untuk dinikahkan kepada perempuan Minang. Sekarangkan tidak...bebas saja, yang penting agamanya

Islam. Dan juga kalau dulu asal usul si laki-laki ini benar-benar digali, kalau perlu tujuh turunannya, baru dia layak dipinang. Dipinang itu dulu berdasarkan gelarnya, ada 3 gelar di Pariaman yaitu sutan, bagindo dan sidi. Kalau diluar itu nggak dipinang...jadi yang dipinang itu, sebetulnya bukan dipinang....tapi dijapuik (dijemput) untuk datang ke rumah si perempuan”.

3. Apa saja nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan?

“Orang Minang itu malu kalau tak menepati janji, jadi kalau sudah disepakati jumlah uang jemputan itu...harus dijalankan. Yang dijapuik itu nanti uangnya kembali, 2 kali lipat malah kembalinya waktu dia manjalang, uang itu diperuntukkan kepada orang yang menikah tersebut. Tapi kalau uang hilang tidak kembali...istilahnya seperti uang kasih sayang. Kenapa seorang laki-laki diberi uang hilang, dulunya ada seorang laki-laki yang sudah yatim piatu...dibesarkan oleh mamak (paman)nya sampai dia sekolah tinggi. Terus ada orang tua seorang perempuan...karena melihat akhlak si laki-laki tersebut, sangat ingin menjadikannya menantu. Lalu datanglah ia kepada paman si laki- laki untuk menyampaikan keinginannya. Si paman laki-laki itu berkata....dia sedang sekolah, sebenarnya saya juga sudah kehabisan dana untuk menyekolahkannya sampai tergadai harta pusaka, tunggulah sampai ia berhasil dan bisa menebus harta pusaka yang tergadai, barulah pinangan ini dilanjutkan. Karena keinginan yang kuat oleh orang tua si perempuan tadi dan tak ingin laki-laki tersebut dipinang oleh orang lain, maka ia berkata kepada paman si laki-laki, saya bersedia menebus harta pusaka yang tergadai tadi dan membantu membiayai sekolahnya. Itulah awalnya kenapa ada uang hilang atau uang kasih sayang yang hanya diperuntukkan kepada laki-laki. Sekarang ini orang masih ada yang memakai adat itu...padahal yang berlaku sebenarnya itu uang jemputan, bukan uang hilang”.

4. Bagaimana penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini menurut Bapak, apakah ada terjadi perubahan?

“Perubahannya banyak sekali, orang kebanyakan tidak tahu dengan adat....tidak mau kembali kepada adat yang sebenarnya. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi seperti itu. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng. Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Jangan dikatakan pendidikan formal itu menentukan...tidak, pendidikan non formal itu terkadang yang menentukan. Banyak sekarang faham-faham orang berpendidikan yang sudah tergelincir. Orang Minang sekarang ini, sudah memberi kebebasan kepada anaknya”.

5. Kalau Bapak sendiri, dari mana sumber pemahaman Bapak tentang tradisi uang jemputan.

“Saya lahir di Pariaman, udah lama juga merantau di Medan ini. Dulu saya lama jual nasi di samping yuki simpang raya itu, hotel melati itu dulu rumah kami tu. Dari asal tradisi itu...Pariaman, saya udah memahami memang adat manjapuik itu kayak mana, di Medan pun...banyak bergaul sama niniak mamak yang di sini juga, ngurusin pesta-pesta orang”.

6. Bapak sebagai orang tua, bagaimana sikap Bapak tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan anak-anak Bapak sendiri?

“Dulu anak bapak, apa yang bapak katakan dia ikuti. Apa saja...bapak sampai heran..termasuk soal jodoh. Nilai pelajaran dalam tradisi uang japuik itu, belajar jujur pada diri, belajar jujur pada orang lain. janji yang sudah kita bikin, tidak akan mungkin kita tarik mundur gitu aja tanpa sebab”.

7. Bagaimana dengan keputusan dalam pemilihan jodoh untuk anak-anak Bapak sendiri?

“Kalau untuk anak-anak saya harapan itu pasti ada....kalau bisa dia menikah sesama suku, iya kan...supaya adat istiadat itu tetap bisa dilestarikan. Saya sendiri menikah dengan istri saya orang Pariaman, tapi dia lahir dan besar- besar di Medan ini, memakai tradisi bajapuik juga ketika menikah dulu”. 8. Bagaimana sebenarnya peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam

mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh?

“Orang tua itu tempat bertanya...kalau generasi sekarang ini udah ga tau sama orang tua lagi. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng. Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Makanya bapak senang, kalau ada generasi muda yang mau bertanya tentang tradisi seperti ini”.

Dokumen terkait