TRANSKRIP HASIL WAWANCARA NARA SUMBER (INFORMAN TAMBAHAN)
1. Haji Muhammad Ridwan (60 Tahun)
1.Bagaimana pandangan Bapak mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan?
“Uang jemputan itu tidak melanggar syariat, itukan duniawi..tetap hukum munakahat dalam Islam yang dijalankan, ada wali, ada pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi, baru ada ijab kabul. Tapi kalau yang namanya manjapuik itu....itu duniawi. Suka dia kepada saya umpamanya, dikasi modal berupa uang japuik. Tapi ada juga istilahnya uang hilang...itu maknanya hilang sama sekali. Tapi kalau uang jemputan itu balik lagi kepada si perempuan berupa benda. Kalaulah dia manjapuik 10 juta misalnya, ketika dia datang kepada keluarga laki-laki, keluarga yang laki-laki itu memberi semacam bingkisan, itu dinamakan panibo yaitu semacam uang kasih sayang kepada menantu, bahkan nanti kembalinya bisa lebih dari 10 juta, berbentuk pakaian, barang emas, atau lainnya. Itulah yang sebenarnya...tapi sekarang sudah banyak yang dipelesetkan orang, uang hilang namanya misalnya diberikan 10 juta, uang itu nggak balik lagi sama perempuan”.
2. Menurut Bapak bagaimana pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Padang Pariaman?
“Si perempuan ini datang ke tempat mertua membawa juadah dan lainnya....makanan khas orang Minang dan dibawa ke tempat keluarga mertuanya. Sampai di rumah mertua...dibagi-bagilah kepada saudara keluarga laki-laki, kemudian saat mengambil tempat isi makanan tersebut sudah adalah diisi sesuatu, sama keluarga laki-laki tadi. Dalam agamapun disebutkan harus menghormati tamu. Seperti pepatah mengatakan “melenggang berbuah tangan, berjalan berbuah kaki...” berjalan itu kan harus ada yang dibawa, tapi ada juga yang nggak ngasi...kebetulan keluarga laki-lakinya miskin misalnya. Tapi biasanya orang Pariaman malu kalau tidak memberi sesuatu kepada menantunya pertama kali datang mengunjunginya. Diusahakannya juga memberikan sesuatu kepada menantunya”.
3. Kalau sekarang ini bagaimana mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan Pak?
“Uang jemputan itu kan akhirnya untuk anaknya juga, untuk menjadi modal bersama...bisa jadi pegangan dia. Makanya konsekwensinya, kalau seandainya terjadi perpisahan...yang laki-laki itu yang berangkat dari rumah dengan benda yang ada dibadannya saja, dia tidak boleh mengambil barang-barang atau segala macam yang ada di rumah itu. Tapi kalau ada harta hasil pencarian bersama....diberlakukanlah hukum faraidh, di pengadilan terjadilah pembagian harta gono-gini. Tapi kalau di Sumatera Barat, laki-laki hanya mengelola harta perempuan, jadi bagaimana dia mau mengambil harta itu. Di sana ada yang namanya pusako tinggi (pusaka tinggi), ada pula yang namanya pusako randah
(pusaka rendah). Pusako tinggi adalah harta keluarga pihak perempuan. Kalau pusako randah...itu lah harta pencarian bersama...itu yang bisa dibagi”.
4. Nah..kalau penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini bagaimana menurut Bapak?
“Kekuasaan mamak atau paman itu kuat kalau di kampung, jadi kalau ada keponakannya sudah gadis tua, sibuklah paman tadi bertanya-tanya kesana kemari, untuk mencarikan jodohnya. Kalau sudah ketemu yang tepat, baru disampaikan kepada ayahnya. Kalau ayah si perempuan setuju, baru diadakan maresek, kalau setuju pihak laki-lakinya...jadi lah itu. Disitulah nanti kumpul kedua belah pihak keluarga paman si laki-laki atau paman si perempuan atau utusannya masing-masing, berbicara atau bernegosiasi. Kalau sudah ada persetujuan dan kesepakatan, barulah ditetapkan jumlah uang jemputan. Pepatah mengatakan kalau paku asam balimbiang, tampuruang lenggok- lenggokkan. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang. Urang kampuang tolong patenggangkan. Itu petatah-petitih....kalau ada musyawarah, seperti dalam adat manjapuik...musyawarah pembangunan desa atau yang lain-lain pasti ada seperti itu. Dalam segi demokrasinya orang Minang sangat-sangat demokrasi. Keputusan tidak bisa diambil sendiri...harus dimusyawarahkan dahulu. Untuk pesta pernikahan saja harus dimusyawarahkan...itu namanya bakampuang- kampuang artinya berkumpul menetapkan hari pesta, diundanglah para ninik mamak, orang tua-tua semuanya. Jangan sampai berbenturan dengan pesta lainnya supaya saling bisa membantu”.
”Saya melihat bukan orang Pariaman saja, termasuk orang Minang pada umumnya, kalau merantau...adat istiadatnya tetap dibawa. Seperti pepatah “dima bumi dipijak, disinan langik di junjuang, artinya adat itu menyesuaikan diri, bukan memaksakan adatnya di rantau. Makanya orang Minangkabau ini di mana saja dia berada, dia tidak mengecewakan penduduk setempat. Bisa diterima oleh masyarakat sekitar”.
“Di Medan ini...ada yang melaksanakan tradisi uang jemputan, ada juga yang tidak. Seperti beberapa waktu lalu....saya menemukan suatu kasus, ada seorang laki-laki Pariaman suka sama perempuan Pariaman juga, malah laki-lakinya yang memberi 10 juta sama perempuan itu. Padahal keluarga perempuan itu kuat sekali adat Minangnya. Perubahan lain di Medan ini, karena terlalu banyak orang Minang, kadang pestanya ya berbenturan juga. Bisa juga satu hari itu ada 3, 4 bahkan 5 orang yang pesta, padahal sama-sama orang Pariaman semua. Bisa jadi seperti itu karena dia tidak satu puak. Kalau satu puak, biasanya tidak akan terjadi.
5. Bapak sendiri sebagai orang Minang yang besar di rantau, dari mana sumber pemahaman Bapak tentang tradisi uang jemputan?
“Saya memahami tradisi uang jemputan itu karena banyak bertanya kepada orang tua dan saya juga tinggal di lingkungan orang Pariaman jadi makin tau saya tentang tradisi uang jemputan itu...kalau ada yang pesta melaksanakan tradisi tersebut”.
6. Kalau sikap Bapak sendiri sebagai orang tua bagaimana tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan anak-anak Bapak?
“Kalau saya situasional saja....bila datang seseorang meminang anak saya, kalau anak saya setuju nggak masalah. Seandainya calon menantu saya Pegawai Negeri misalnya, ya saya rela juga memberi uang jemputan itu, kan...untuk anak saya juga istilahnya. Saya bilang kepada anak saya kalau suka sama suka silahkan datangi orang tuanya, enggak perlu saya manjapuik. Dulu pernah anak saya yang sulung dilamar laki-laki Pariaman, dia pula yang mengutus pamannya kepada saya....untuk meminta agar anak perempuan saya menikah dengannya. Tapi anak saya tidak suka....apa boleh buatlah, kalau seandainya anak saya terima, mungkin sudah sejahtera dia, karena laki-laki itu kepala sekolah SMA di Sabang....mungkin mereka nggak jodoh”.
7. Pengalaman Bapak ketika menikah dulu, apakah ada terjadi konflik keluarga tentang keputusan Bapak dalam memilih jodoh?
”Tidak ada terjadi selisih paham mengenai uang jemputan...karena itu disesuaikan dengan kemampuan, jangan dipaksakan....jangan sampai menggadai pula karena tidak mampu. Seperti saya sebagai orang Pariaman, saya tidak harus dijapuik. Kalau suka ya silahkan saja...istri saya bukan orang Pariaman, itu pilihan saya. Adat itu bisa jadi berlaku juga untuk orang yang bukan berasal dari Pariaman. Bisa jadi keluarga laki-laki, yang mengharuskan tradisi itu berlaku. Bisa juga tidak harus diberlakukan, sekarang masalahnya suka sama suka
8. Bagaimana peranan keluarga (mamak atau orang tua) menurut Bapak dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh?
“Jadi yang berperan dalam perjodohan perempuan-perempuan Minang adalah mamak-mamak (paman) yaitu adik atau abang ibunya. Tapi di rantau ini sekuat-kuatnya peranan paman, lebih kuat juga peranan ayah”.
9. Bagaimana peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan.
“Kalaupun saya pengurus PKDP kan....saya nggak terlalu memaksakan menikah dengan orang Pariaman kepada anak-anak saya”.
10.Menurut Bapak, bagaimana penggunaan bahasa daerah sehari-hari dalam keluarga Minang sekarang ini?
“Penggunaan bahasa daerah sekarang ini, sudah jarang dibiasakan di rumah keluarga Minang. Perbauran generasi muda Minang dengan suku-suku lainnya membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi keluarga, bahkan bahasa asing lebih disukai dari pada bahasa daerah asalnya. Generasi muda Minang lebih banyak hanya mampu memahami sedikit saja bahasa Minang. Saya di rumah ini pake juga bahasa Minang itu, kalau bicara sama istri, sama keluarga dari kampung. Kalau ”.
“Didalam rumah tangga orang Minang, salah satu kelemahannya saya tengok, kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian anak- anaknya...mereka putus berkeluarga, malu dia..kalau berpisah anaknya tadi.
Kalau masalah keseharian kelompok puak-puaknya tadi dia bagus, tapi di keluarga bermasalah”.