• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman, salah satu di antaranya adalah dengan memberikan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu janjang kelapa sawit selain dapat meningkatkan pH, juga dapat memberikan tambahan hara pada tanah. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit.

Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilakukan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang kelapa sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan setelah dua bulan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga ke dalaman lapisan berbeda, yaitu 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut berpengaruh sangat nyata untuk kadar P dan K bahan gambut untuk semua tingkat lapisan. Inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar N total bahan gambut pada lapisan 0 – 10 cm, dan tidak berpengaruh nyata pada lapisan lainnya. Pemberian abu janjang kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap kadar Mg pada lapisan 0 – 10 dan 10 – 20 cm.

Terjadi peningkatan kadar P masing-masing 7233, 498.72, dan 212.93 % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga dibanding kontrol. Peningkatan kadar K sebesar 544.33, 269.13, dan 251.11 % untuk lapisan pertama, kedua, dan ketiga. Untuk kadar Mg, peningkatan hanya terjadi pada lapisan pertama ( 0 – 10 cm) dengan peningkatan sebesar 80% dari kontrol. Penurunan terjadi pada kadar N total sebesar 33.33% pada lapisan 0 – 10 cm akibat pemberian abu janjang kelapa sawit pada bahan gambut. Secara umum disimpulkan bahwa akumulasi P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terjadi pada lapisan 0 -10 cm.

Abstract

The research was aimed to study the characteristics of peat material that incubated by oil palm bunch ash. The study was conducted in completely randomized design with five dosage levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated during two month in column tubes. Observation was conducted after two months on rate of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depth of layer in column tube; 0 - 10, 10 - 20, and > 20 cm.

The result showed that incubation of peats with oil palm bunch ash significantly influenced on both P and K for all column layers. P was increased equal to 7233, 498.72, and 212.93 % for the first, second, and third of column layers. K was increased 544.33, 269.13, and 251.11 % for the first, second, and third of column layers. Mg was increased 80% at the first layer. N was decreased 33.33% at the first layer. The generally, P, K, Mg was accumulated at 0 - 10 cm of column layer as a result of the application of oil palm bunch ash on peat material.

Key words: oil palm bunch ash, peat, incubation.

Pendahuluan

Tanah gambut umumnya bereaksi masam atau memiliki nilai pH yang rendah sampai sangat rendah. Sumber kemasaman atau yang berperan dalam menentukan kemasaman pada tanah gambut adalah asam-asam organik dan ion hidrogen yang dapat dipertukarkan. Keberadaan asam-asam organik sangat menentukan kemasaman, sementara kehadiran Aluminium yang mobil dan mampu terhidrolisis kurang penting, tidak seperti di tanah mineral (Miller & Donahue 1990).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Andriesse (1988) bahwa pH tanah gambut berkaitan dengan keberadaan senyawa organik. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (-COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam

lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak. Diperkirakan sebanyak 85 – 95 % muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Miller & Donahue 1990). Ikatan –OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah

melepaskan ion H+, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (Widjaja- Adi 1985).

Tan (1986) menyatakan bahwa asam-asam organik pada gambut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Senyawa organik utama yang terdapat dalam gambut biasanya hemiselulosa, selulosa dan lignin, hasil biodegradasi lignin dapat menghasilkan asam-asam fenolat, sedangkan selulose/hemiselulose menghasilkan asam-asam karboksilat. Asam-asam fenolat merupakan senyawa organik yang dapat bersifat racun bagi tanaman.

Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse 1988). Meskipun N masuk dalam katagori tinggi di tanah gambut, namun N berada dalam bentuk organik pada tanah gambut, sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan oleh tanaman. Nisbah C/N yang tinggi pada tanah gambut membuat N sangat terbatas untuk dapat diserap tanaman. Seperti yang dijelaskan oleh Tisdale et al. (1985) jika bahan organik mempunyai nisbah C/N > 30, akan terjadi proses immobilisasi N, dimana N yang dihasilkan dari proses mineralisasi akan digunakan oleh jasad mikro untuk kebutuhan hidupnya.

Unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P- organik. Fosfat dalam bentuk organik keberadaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut (Everett 1983). Fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35 %), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P. Proses mineralisasi P-organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Nisbah C dan P akan sangat menentukan apakah

P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai 100:10:1 (Tisdale et al. 1985). Persyaratan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kondisi tanah gambut yang memiliki nisbah C dan P yang sangat besar, dengan demikian proses mineralisasinya akan berjalan sangat lambat.

Permasalahan lain pada tanah gambut adalah rendahnya tingkat kejenuhan basa, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Dijelaskan oleh Tan (1993) bahwa tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50 – 80% dan tidak subur jika kejenuhan basanya < 50%. Kejenuhan basa yang rendah berkaitan dengan pH tanah yang rendah. Pada tanah gambut, ion-ion H+ yang dijerap oleh kompleks organik lebih mudah didisosiasikan sehingga pH tanahnya menjadi sangat rendah.

Sulitnya diperoleh kejenuhan basa yang tinggi pada tanah gambut disebabkan karena tingginya nilai KTK. Nilai KTK yang tinggi ini menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974) disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar berasal dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Seperti dijelaskan oleh Andriesse (1988), bahwa kation-kation Ca, Mg, K, dan Na digantikan oleh ion hidrogen pada kompleks jerapan, sehingga ion hidrogen sangat rapat terfiksasi bersama gugus fungsional bahan-bahan asam, dan sulit untuk dipertukarkan.

Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi, 1986), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Dijelaskan oleh Kanapathy (1972) bahwa

sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, sehingga tidak tersedia oleh tanaman. Pengkhelatan unsur-unsur mikro tersebut membentuk senyawa organo-metal yang memfiksasi ion Cu dan Zn menjadi kurang tersedia bagi tanaman. Terjadinya senyawa organo-metal dikarenakan adanya gugus karboksilat dan fenolat berkadar tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983).

Kadar abu tanah gambut tergolong rendah, namun tergantung dari ketebalan gambutnya (Widjaja-Adi 1986). Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Beberapa tanaman memberikan kontribusi hara kepada tanah gambut (Everett 1983). Kadar abu selain sangat dipengaruhi oleh bahan mineral di bawahnya, juga dipengaruhi oleh limpasan pasang air sungai yang membawa bahan mineral, dengan demikian kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut.

Menurut Widjaja-Adi (1986), kadar abu tanah gambut beragam antara 2 - 65 %. Gambut jenis oligotrofik yang rendah tingkat kesuburannya memiliki kadar abu sekitar 2 %, gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar abu sekitar 2.0 - 7.5 %, dan gambut eutrofik dengan kesuburan yang lebih baik memiliki kadar abu lebih besar dari 14 %.

Penelitian Smith et al. (2001) membuktikan bahwa pada pembakaran gambut dengan ke dalaman 0 - 2 cm , kadar abu, kerapatan lindak, total kalsium, total fosfor, nyata meningkat. Beberapa penelitian lain membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pH tanah dan beperngaruh nyata

terhadap kenaikan kadar kalium dapat dipertukarkan (K-dd) (Panjaitan et al. 1983; Sanchez 1976).

Hasil penelitian Chan dan Suwandi (1985) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit ternyata dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, terutama setelah mengalami inkubasi selama satu bulan. Ginting (1991) juga membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan kadar serapan kalium dalam tanaman kentang varietas granola dan mampu mensuplai K dan Mg dapat dipertukarkan ke dalam tanah. Rosyadi (2004) membuktikan bahwa abu janjang kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber pupuk kalium pada tanaman padi sawah Oriza sativa varietas IR-64.

Peningkatan pH tanah cukup nyata setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Panjaitan et al. (1983) membuktikan pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan pH pada tiga jenis tanah, yaitu podsolik, regosol, dan aluvial. Hasilnya menunjukkan terjadi kenaikan pH untuk ketiga jenis tanah tersebut menjadi berkisar antara 6.07 – 6.09 dengan rata-rata kenaikan sebesar 0.5 - 1.5 pada pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 8.4 g/500 g tanah setara bobot kering.

Melihat dari kenyataan tersebut di atas, maka terdapat dua hal pokok yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara pada tanah setelah diinkubasi dengan abu, baik abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, maupun abu janjang kelapa sawit. Pertama disebabkan karena suplai atau tambahan langsung hara yang berasal dari abu, dan yang kedua adalah melalui pengaruh tidak langsungnya berupa peningkatan pH tanah, sehingga ketersediaan unsur hara bergeser ke arah yang lebih baik.

Hasil analisis abu janjang sawit yang berasal dari lokasi penelitian (Pontianak, Kalimantan Barat) menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan K yang tinggi, sangat bersifat alkalis. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui peranan abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat kimia tanah gambut guna mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana status hara dan status pH pada bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Informasi dari penelitian ini akan sangat membantu dalam mempelajari bagaimana karakteristik tanah gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit.

Dokumen terkait