• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya dengan abu janjang kelapa sawit, mikoriza, dan pemupukan di tanah gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, dan kualitas tanaman lidah buaya dengan abu janjang kelapa sawit, mikoriza, dan pemupukan di tanah gambut"

Copied!
455
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA

DENGAN ABU

JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN

PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT

IWAN SASLI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

Iwan Sasli

NRP. A361030131

(3)

ABSTRACT

IWAN SASLI. Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of oil palm bunch ash, mycorrhiza and fertilizer on peat soil. Under the direction of SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, and SUDARSONO.

The research was composed of three main experiments: (1) haracterization of peat material that incubated by oil palm empty bunch ash (2) Plant growth of Aloe on peat soil that incubated by oil palm bunch ash (3) Improvement of seedling adaptability, growth, and quality of Aloe vera by the application of arbuscular mycorrhiza and fertilizer on peat soil

The first experiment was conducted in completely randomized design with five levels of oil palm bunch ash: 0, 50, 100, 150, and 300 g/tube. Peat material was incubated for two months in column tubes of 10 cm in diameter. Observation was conducted after two months on the content of N (total, %), P ( ppm), K ( me/100g), and Mg ( me/100g) of peat material on three depths of layer in column tube of 0 - 10, 10 - 20, and > 20 cm.

The second experiment was two factor factorial of polybag experiment arranged in completely randomized design. The first factor was four levels of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factor was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three levels: 4, 6, and 8 weeks after planting. Aloe was grown for 4.5 months, and after reaching 4.5 month old , then was measured on several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight.

The third experiment was a three factor factorial of field experiment to study the effectiveness of mycorrhiza, inorganic and organic fertilizers ( fish/shrimp waste) on growth, yield and quality of aloe in peat soil. The study was conducted on peat area, North Pontianak, West Kalimantan in split-split plot in completely randomized blocks design. The main plot was mycorrhizal application levels: none, Mycofer, and mycorrhiza from pineapple rhizospheres. The sub plot was inorganic fertilizer (composition of N:P:K:Mg) : without inorganic fertilizer, 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/plant, 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and 20 : 16 : 30 : 10 g/plant. Sub-sub plot was organic fertilizer: non-fermented of fish, and shrimp wastes, fermented of fish, and fermented of shrimp wastes.

From a series of experiment as stated above, several important conclusions are reported as follows : 1)The oil palm bunch ash is an ameliorant material which can increase peat soil pH and improve the availability of P, K, and Mg nutrients. 2) The application of oil palm bunch ash at the level of above 50 g/tube did not increase the ability of peat soil on the retention P, K, and Mg nutrients. Improving nutrient content of P, K, and Mg as the result of application of oil palm bunch ash was mostly located at surface layer ( 0 - 10 cm). 3). Interaction between dosage and repetition time of oil palm bunch ash application significantly affected plant height, frond fresh weight, and crown dry weight with optimum dosage of 92.61 g/plant and best repetition time of application at 8 weeks after planting. 4) Inoculation of Arbuscular mycorrhiza effectively depressed root rot disease infestation of Erwinia chrysanthemi, increased the uptake of N, P, and Mg nutrients, and plant growth of

(4)

aloe in peat soil. 5). The application of fermented organic fertilizer from fish and shrimp wastes gave a better plant growth and yield compared to non fermented ones.

As the trigger on soil property improvement, it is recommended to evenly broadcast application of the oil palm bunch ash at bed surface. For a better yield of aloe crop, it is also recommended a package of technology of the application mycorrhiza of pineapple rhizosphere at the time of planting, inorganic fertilizer with dosage N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/plant, and fermented prawn and fish waste organic fertilizer as top-dressed fertilizer in once a month.

Key word: Aloe, mycorrhiza, oil palm bunch ash, organic

(5)

RINGKASAN

IWAN SASLI. Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza dan

Pemupukan di Tanah Gambut. Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA,

SUDRADJAT, YADI SETIADI, dan SUDARSONO.

Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salah satu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak di lahan gambut. Budidaya lidah buaya memerlukan .persyaratan media tumbuh dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Lahan gambut merupakan areal yang menjadi pilihan dalam pengembangan tanaman ini. Namun demikan, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan budidaya pertanian memiliki sejumlah kendala yang dapat menghambat proses produksi tanaman. Kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara makro dan mikro yang rendah, dan jangkitan penyakit yang tinggi merupakan beberapa masalah yang ada pada tanah gambut. Bertolak dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik tanah gambut setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit, dan untuk mempelajari upaya perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh paket teknologi budidaya lidah buaya pada lahan gambut

Penelitian tersusun dalam tiga percobaan utama, yaitu (1) Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, (2) Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit, dan (3) Perbaikan daya adaptasi bibit, pertumbuhan,dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza, pupuk anorganik dan pupuk organik pada tanah gambut.

Percobaan I dilakukan dalam rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu abu janjang kelapa sawit dengan lima taraf dosis, yaitu 0, 50, 100, 150, dan 300 g/tabung. Penelitian dilaksanakan dengan menginkubasikan bahan gambut dengan abu janjang sawit sesuai dosis perlakuan dalam tabung paralon berdiameter 10 cm, dan diinkubasi selama dua bulan. Pengamatan dilakukan terhadap kadar N total (%), P (ppm), K (me/100g), dan Mg (me/100g) bahan gambut pada tiga kedalaman lapisan berbeda, yaitu 0 – 10, 10 – 20, dan > 20 cm. Percobaan II adalah percobaan faktorial dua faktor dilaksanakan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Faktor pertama adalah dosis abu janjang sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tan. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4.5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk. Percobaan III merupakan percobaan lapangan faktorial tiga faktor dengan menggunakan rancangan petak-petak terpisah. Faktor pertama adalah mikoriza sebagai petak utama dengan tiga taraf yaitu; tanpa mikoriza (m0), mikoriza

mycofer (m1), dan mikoriza asal rizosfer nenas (m2). Faktor kedua adalah pupuk

(6)

anorganik sebagai anak petak, merupakan komposisi pupuk N:P:K:Mg, yang terdiri dari 4 taraf yaitu; tanpa pupuk anorganik (a0); 5 : 4 : 7.5 : 2.5 g/tan. (a1); a2 = 10 : 8 :

15 : 5 g/tan.(a2) ; dan 20 : 16 : 30 : 10 g/tan. (a3). Faktor ketiga adalah pupuk

organik sebagai anak-anak petak, terdiri dari 4 taraf, yaitu: limbah ikan (o1); limbah

udang (o2); limbah ikan fermentasi (o3); dan limbah udang fermentasi (o4).

Dari ketiga percobaan dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1) Abu janjang kelapa sawit merupakan bahan amelioran yang dapat diberikan pada tanah gambut untuk meningkatkan pH tanah dan berfungsi sebagai sumber hara P,K, dan Mg. 2) Pemberian abu janjang kelapa sawit pada taraf di atas 50 g/tabung tidak dapat lagi meningkatkan kemampuan tanah gambut dalam meretensi hara P, K, dan Mg. Peningkatan kadar hara P, K, dan Mg akibat pemberian abu janjang kelapa sawit paling banyak terjadi pada lapisan permukaan (0 – 10 cm). 3) Interaksi antara dosis abu janjang kelapa sawit dengan waktu pengulangan pemberian abu untuk tinggi tanaman, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk menunjukkan bahwa abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman sebagai dosis optimum, dengan waktu pengulangan pemberian abu pada 8 MST untuk menghasilkan bobot basah pelepah tertinggi. 4) Inokulasi mikoriza arbuskula pada tanaman lidah buaya efektif dalam menekan serangan penyakit busuk akar (Erwinia chrysanthemi), meningkatkan serapan hara N, P, dan Mg, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya di lahan gambut. 5) Pemberian pupuk organik dari limbah ikan dan udang yang difermentasi memberikan hasil rerata pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding pupuk organik tanpa fermentasi.

Disarankan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit sebagai trigger dalam perbaikan sifat tanah sebaiknya dilakukan dengan menebarkan abu secara merata pada permukaan bedengan. Untuk menghasilkan tanaman lidah buaya dengan pertumbuhan dan hasil yang tinggi, dapat dilakukan dengan memberikan mikoriza asal rizosfer nenas pada saat tanam, pupuk anorganik dengan dosis N : P : K : Mg = 10 : 8 : 15 : 5 g/tanaman, dan pupuk organik limbah udang fermentasi sebagai pupuk susulan pada setiap bulannya.

Kata Kunci : abu janjang kelapa sawit, lidah buaya, mikoriza, pupuk organik, tanah gambut

(7)

@

Hak Cipta Milik IPB tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN,

DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA

DENGAN ABU

JANJANG KELAPA SAWIT, MIKORIZA, DAN

PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT

IWAN SASLI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Disertasi : Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut

N a m a : Iwan Sasli

N R P : A 361030131

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc Dr. Ir. Sudradjat, MS

Ketua Anggota

Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dek an S ek ol ah Pas cas ar jan a

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul “ Perbaikan daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut” ini berisikan tiga penelitian utama yang dimulai dilaksanakan sejak persiapan pada bulan Juni 2005 sampai selesai analisis laboratorium pada juli 2007.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing,

Bapak Dr. Ir. H. Sudradjat, M.S, Bapak Dr. Ir. H. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan dan melaksanakan penelitian.

2. Bapak Dr. Ir. Anas D. Susila, MS selaku penguji luar komisi saat ujian prelium dan juga penguji luar komisi pada ujian tertutup.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.gr. dan Bapak Dr. Ir. Yusdar Hilman, MS, selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Pimpinan dan Staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, atas pendidikan dan layanan administrasi yang telah diberikan. 5. Rektor Universitas Tanjungpura atas ijin untuk mengikuti program S3

6. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura atas segala dukungan moril maupun materil yang telah diberikan selama penulis mengikuti program S3. 7. Manajemen program Beasiswa Pascasarjana (BPPs) atas beasiswa yang diberikan

kepada penulis sehingga membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan S3. 8. Teman-teman staf laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat

Bioteknologi IPB, mbak Faiq, mbak Susan, Mbak Dessy, mbak Nana, Mas Ary, Mas Fattah, dan lain lain yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian di laboratorium.

9. Pak Abi, Bu Yudhi, pak Anton, pak Topan, dan teman teman Sekolah Pascasarjana yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi selama penulis studi S3 dan melaksanakan penelitian.

(11)

10.Ayahnda dan Ibunda, serta keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan doa agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan S3.

11.Almarhum Kakanda M. Yusri, S.Pd yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta mencurahkan tenaga dengan sepenuh hati untuk turut membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di lapangan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian. Terimakasih, penghargaan, dan penghormatan yang tiada ternilai untuk Kakanda.

12.Kakanda Endang Suryana, Drs. Edy Yusmin, M.Pd, Rini Juarsih, S.Pd, dan Tatang Suryadi, SH atas segala bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan S3.

13.Kakanda Almarhumah Syamsiah Nawawi, Kakanda Ahmadin Nawawi, dan Iskandar Nawawi, ST, ibu mertua Hj. Halijah, dan para keponakan atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun materil kepada penulis selama melaksanakan pendidikan S3.

14.Istri tercinta, Evi Riniyanti, SP, ananda Isvi Mega Kurnia, dan Ananda Isvi Dwi Aprilla Luthfiani yang telah setia dan senantiasa memberikan pengorbanan yang tiada ternilai selama penulis menempuh pendidikan S3.

15.M. Riva’i, SP., Erik Darmansyah, SP., Andrigo, SP., Hamdi, SP., Safari, SP., Abdul Qodir.A., dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu telah banyak membantu penulis selama penelitian di lapangan

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan S3.

Segala perhatian, bantuan, dan pengorbanan bapak dan ibu serta saudara/i sekalian mudah mudahan mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT.

Besar harapan penulis kiranya disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya, amin.

Bogor, Agustus 2008

Iwan Sasli

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 09 Juli 1969 sebagai anak terakhir dari 6 bersaudara dari Ayah M. Yusuf Arief dan Ibu R.E. Sriasih. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Program Studi Agronomi Universitas Tanjungpura dan pada lulus tahun 1994. Tahun 1994-1995 penulis diterima bekerja sebagai asisten lapangan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Lyman Agro, kemudian tahun 1995-1996 penulis diterima bekerja sebagai Kepala Wilayah di sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. Finnantara Intiga (Enso Forest Development Project, Finnlandia). Pada bulan Maret 1996 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura sampai sekarang.

Pada tahun 1997, penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1999 dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana (BPPs) Dikti. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana (BPPs) Dikti. Penulis selain sebagai staf pengajar, juga berminat dan aktif dalam bidang pengembangan, pemberdayaan dan pembinaan masyarakat tani dan kelompoknya.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... ix

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ... v

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Tujuan ...8

Hipotesis ...8

Strategi Penelitian ...9

TINJAUAN PUSTAKA ...11

Tanah Gambut ...11

Abu janjang Kelapa sawit ...27

Fungi Mikoriza Arbuskula ...29

Limbah ikan dan Limbah Udang sebagai Pupuk Organik ...35

KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan ...41

Bahan dan Metode ...46

Hasil dan Pembahasan ...50

Hasil ...50

Pembahasan...63

Kesimpulan ...71

PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA PADA TANAH TANAH GAMBUT YANG DIINKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pendahuluan ...73

Bahan dan Metode ...75

Hasil dan Pembahasan ...78

Hasil ...78

Pembahasan...89

Kesimpulan ...95

(14)

PERBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT, PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI

MIKORIZA ARBUSKULA DAN PEMUPUKAN DI TANAH GAMBUT

Pendahuluan ...98

Bahan dan Metode ...103

Hasil dan Pembasan ... 117

Hasil ...117

Pembahasan...159

Kesimpulan ...172

PEMBAHASAN UMUM ...174

KESIMPULAN DAN SARAN...185

Kesimpulan ...185

Saran ...,186

DAFTAR PUSTAKA ...187 LAMPIRAN - LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya ...26 2. Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada berbagai komposisi

gambut ombrogen di Indonesia ...27 3. Hasil analisis abu janjang kelapa sawit di lokasi penelitian ...28 4. Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang

Kelapa sawit ...52 5. Jumlah P media gambut yang diberi abu janjang

Kelapa sawit ...55 6. Jumlah K media gambut yang diberi abu janjang

Kelapa sawit ...58 7. Jumlah Mg media gambut yang diberi abu janjang

kepala sawit ...61 8. Pengaruh perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit terhadap

jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

pada 18 MST ...79 9. Pengaruh perlakuan waktu pengulangan pemberian abu janjang

kelapa sawit terhadap jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah,

dan panjang pelepah pada 18 MST ...79 10. Pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi tanaman,

bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk pada berbagai

waktu pengulangan pemberian abun ...86 11 Persamaan regresi pengaruh dosis abu janjang sawit pada

berbagai waktu pengulangan pemberian abu terhadap tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk

tanaman lidah ...89 12. Contoh tabel hasil pengamatan infeksi akar untuk perhitungan

uji MPN ...111 13. Jumlah spora alami per 20 g tanah gambut asal rizosfer nenas ...117 14. Tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk lunak oleh

patogen tanah Erwinia chrysanthemi ...120 15. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap serangan penyakit

busuk lunak pada tanaman lidah buaya ...121

(16)

16. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-8 ...123 17. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-12 ...124 18. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-16 ...125 19. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-20 ...126 20. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-24 ...127 21. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-28 ...128 22. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-32 ...129 23. Uji kontras ortogonal terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah

pelepah, lebar pelepah, tebal pelepah, dan panjang pelepah

tanaman lidah buaya, minggu ke-36 ...130 24. Uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot basah, bobot

kering, dan serapan hara tajuk (N, P, K, Mg) tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan mikoriza, pupuk anorganik,

dan pupuk organik...131 25 Nilai rerata beberapa karakter morfologi pelepah tanaman

lidah buaya hasil perlakuan m2a2o4. ...153

26. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan karakter

morfologi pelepah ...154 27. Perbandingan kualitas tanaman lidah buaya hasil penelitian

versus hasil budidaya standar Aloe vera Center berdasarkan

kandungan asam amino ...155

Lampiran

1. Hasil analisis contoh tanah dari lokasi rencana penelitian ...197 2. Hasil uji infeksi terhadap tanaman contoh dalam MPN-test ...199

(17)

3. Sidik ragam (F-hit) pengaruh abu janjang sawit dan waktu pengulangan pemberian abu serta interaksi keduanya terhadap

pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut ...200 4. Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik,

dan pupuk organik serta interaksinya pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, lebar pelepah, dan tebal pelepah tanaman lidah

buaya di lahan gambut ...201 5. Sidik ragam (F-hit) pengaruh mikoriza, pupuk anorganik, dan

pupuk organik serta interaksinya pada peubah panjang pelepah, bobot basah pelepah, bobot kering tajuk tanaman lidah buaya

di lahan gambut ...202 6. Nilai koefisien korelas antar peubah pada perlakuan

pengaruh pemberian mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk

organik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut ...203 7. Hasil analisis pupuk organik limbah ikan dan udang. ...204

(18)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Bagan Alur Peneltian ...10

2. Pengaruh mikoriza arbuskula pada ketersediaan dan penyerapan unsur hara ...30

3. Skema Percobaan Inkubasi Tanah Gambut dengan Abu Janjang Sawit ...48

4. Rangkaian kegiatan percobaan pemberian abu pada gambut ...49

5. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar N total pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda. ...50

6. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit paa media gambut terhadap kadar N total filtrat ...51

7. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar P pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ...53

8. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawitpada media gambut terhadap kadar P filtrat. ...54

9. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ...56

10 Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar K filtrat ...57

11. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg pada tiga lapisan kedalaman yang berbeda ...59

12. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut terhadap kadar Mg filtrat. ...60

13. Respon pH media gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada tiga lapisan yang berbeda dan filtrat cuciannya. ...62

14. Pola distribusi P dalam kolom bahan gambut ...63

15. Pola distribusi K dalam kolom bahan gambut ...65

16. Pola distribusi Mg dalam kolom bahan gambut ...65

17. Pola distribusi Nitrogen dalam kolom bahan gambut ...67

18. Pola distribusi nilai pH dalam kolom bahan gambut ...69

19. Penampilan air filtrat cucian gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit...70

20. Penampilan tanaman lidah buaya akibat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit ...80

(19)

21. Penampilan tanaman lidah buaya yang mendapat perlakuan dosis abu janjang kelapa sawit taraf a3 dan a4 pada

berbagai waktu pengulangan pemberian abu ...81 22. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap jumlah

pelepah tanaman lidah buaya pada waktu

pengulangan pemberian abu yang berbeda ...82 23. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap lebat pelepah

tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan pemberian abu

yang berbeda. ...83 24. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tebal pelepah

tanaman lidah buaya pada waktu pengulangan

pemberian abu yang berbeda. ...84 25. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap panjang

pelepah tanaman lidah buaya pada waktu

pengulangan pemberian abu yang berbeda ...85 26. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap tinggi

tanaman lidah buaya pada berbagai waktu

pengulangan pemberian abu. ...87 27. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot basah

pelepah tanaman lidah buaya pada berbagai

waktu pengulangan pemberian abu. ...87 28. Pengaruh dosis abu janjang kelapa sawit terhadap bobot kering

tajuk tanaman lidah buaya pada berbagai

waktu pengulangan pemberian abu. . ...88 29. Kurva tanggap tinggi tanaman lidah buaya akibat perlakuan

dosis abu janjang kelapa sawit pada berbagai waktu pengulangan

pemberian abu. ...95 30. Persiapan dan pengolahan lahan ...112 31. Spora hasil ekstraksi dengan metode tuang-saring basah

dalam petri disk dari tanah gambut asal rizosfer nenas ...118 32. Spora yang terdapat dalam inokulum alami asal tanah rizosfer

nenas Pontianak Kalimantan barat. ...119 33 Penanaman tanaman sorghum dalam ruang kultur untuk MPN-test ...119 34. Persentase tanaman lidah buaya yang terserang penyakit

busuk lunak Erwinia chrysanthemi ...121 35. Penampilan tanaman lidah buaya yang terserang penyakit busuk

lunak (Erwinia chrysanthemi) ...122 36. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap tinggi tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...133 37. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman

lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...134

(20)

38. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tinggi tanaman

lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...134 39 Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap jumlah pelepah tanaman

lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...135 40. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap jumlah pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...135 41. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap jumlah pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...136 42 Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap lebar pelepah tanaman

lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...136 43. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap lebar pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...137 44. Pengaruh perlakuan pupuk organik Respon lebar pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...137 45. Pegaruh perlakuan mikoriza terhadap tebal pelepah tanaman

lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...138 46. Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap tebal pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...138 47. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap tebal pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...139 48. Pengaruh perlakuan mikoriza terhadap panjang pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...139 49 Pengaruh perlakuan pupuk anorganik terhadap panjang pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...140 50. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap panjang pelepah

tanaman lidah buaya pada umur 8 - 36 MST ...140 51. Respon pertumbuhan tanaman lidah buaya umur 9 bulan

terhadap perlakuan mikoriza, pupuk anorganik, dan pupuk

organik di tanah gambut...142 52. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza

(a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap bobot basah pelepah .142 53. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk

organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap bobot basah

pelepah lidah buaya...144 54. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik

(a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap bobot basah pelepah

lidah buaya ...145 55. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza

(a) dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap lebar

pelepah lidah buaya ...146

(21)

56. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap lebar

pelepah lidah buaya ...146 57. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk anorganik

(a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap lebar pelepah lidah buaya ...147 58. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf mikoriza (a)

dan berbagai taraf pupuk organik (b) terhadap tebal

pelepah lidah buaya...147 59. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi

pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap

tebal pelepah lidah buaya ...148 60. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk

anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap

tebal pelepah lidah buaya ...149 61. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai taraf

mikoriza (a) dan berbagai taraf pupuk organik (b)

terhadap panjang pelepah lidah buaya ...149 62. Pengaruh taraf pupuk anorganik pada berbagai kombinasi

pupuk organik dengan m0 (a), m1 (b), dan m2 (c) terhadap tebal

pelepah lidah buaya...150 63. Pengaruh jenis pupuk organik pada berbagai taraf pupuk

anorganik (a) dan berbagai taraf mikoriza (b) terhadap panjang

pelepah lidah buaya...150 64. Perbandingan kadar asam amino pelepah lidah buaya hasil

penelitian pada perlakuan m2a0o3 dan m2a0o4 dengan hasil

budidaya standar AVC ...156 65. Persentase akar yang terinfeksi mikoriza pada perlakuan

tanpa mikoriza, mikoriza mycofer, dan mikoriza asal rizosfer nenas ...157 66. Kolonisasi akar oleh mikoriza.(a) ...158 57. Kolonisasi akar oleh mikoriza (b) ...159

Lampiran

1. Skema pengenceran tanah gambut dari rizosfer nenas

sebagai Sumber Propagul (Uji MPN) ...197

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu komoditas pertanian daerah tropis yang mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis dengan prospek yang cukup menjanjikan. Salah-satu sentra produksi lidah buaya adalah Pontianak. Luas potensi lahan untuk pengembangan tanaman lidah buaya di Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak mencapai 14511 ha sedangkan yang sudah diusahakan seluas 139 ha (Bappeda Propinsi Kalimantan Barat, 2004). Sampai tahun 2004, jumlah tanaman lidah buaya yang ditanam di kota Pontianak sudah mencapai 655250 tanaman dengan melibatkan petani sebanyak 115 orang. Realisasi ekspor pelepah lidah buaya dari daerah sentra produksi ini sampai tahun 2004 mencapai 3066.47 ton dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong, Singapura, dan sebagian dipasarkan dalam negeri (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Sementara, nilai penjualan komoditi lidah buaya di dunia mencapai US$ 60 milyar/tahun (BPEN, 2006).

Sehubungan dengan tingginya nilai ekonomis tanaman lidah buaya, berbagai penelitian terhadap tanaman ini terus berkembang, baik aspek teknik budidaya bagi peningkatan produksi dan kualitas tanaman, maupun pasca panen. Upaya-upaya introduksi tanaman tersebut ke wilayah-wilayah lain dengan karakterisitik lahan yang spesifik lokasi juga terus dilakukan.

(23)

pelepah mencapai 70 cm (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2005). Namun demikian, banyak faktor kendala yang harus diperhatikan dalam pengembangan lidah buaya di lahan gambut, terutama yang berkaitan dengan tingkat kesuburan gambut yang rendah yang berkorelasi dengan rendahnya pH, kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, kejenuhan basa rendah, dan tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut.

Tanah gambut tropik mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% (Andriesse, 1988). Ketersediaan unsur-unsur hara N, P, K, Ca, Mg rendah. Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi (Subagyo et al, 1996). Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. P juga sebagian besar berada dalam bentuk P-organik, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman.

Secara umum kejenuhan basa tanah gambut sangat rendah. Tanah gambut juga umumnya kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi, 1986; Subagyo et al, 1996), sehingga sering menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman pertanian di tanah gambut. Hara mikro (terutama Cu) dikhelat cukup kuat oleh bahan organik membentuk senyawa organo-metal karena adanya group karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi pada tanah gambut yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972 ; Everett, 1983).

(24)

lidah buaya di lahan gambut. Penghambatan pertumbuhan dapat dimulai sejak tanaman dipindahkan ke lapangan, sampai pertumbuhan lebih lanjut. Pertumbuhan yang terhambat terkadang diikuti dengan kegagalan pertumbuhan lebih lanjut dengan kematian bibit, baik karena rendahnya daya adaptasi terhadap keberadaan senyawa-senyawa beracun pada gambut maupun oleh adanya patogen tanah seperti busuk pelepah (Erwinia chrysanthemi) dan layu bakteri (Fusarium, sp.)

Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut telah dilakukan, di antaranya dengan pemberian abu bakaran gambut, abu kayu sawmil, abu janjang kelapa sawit, limbah ikan dan limbah udang, pupuk kandang, dan lain sebagainya. Namun demikian, upaya untuk lebih mengoptimalkan dan mengefisienkan input yang diberikan dalam budidaya tanaman lidah buaya tersebut belum maksimal dilakukan. Di samping itu kajian secara ilmiah bagaimana peran dari semua input yang diberikan tersebut terhadap keberhasilan peningkatan pertumbuhan tanaman lidah buaya belum dipelajari.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan beberapa penelitian sebelumnya, pemberian abu (baik abu gambut, abu kayu sawmil, mapun abu janjang kelapa sawit) pada tanah gambut merupakan hal yang sangat diperlukan untuk membudidayakan tanaman lidah buaya di tanah gambut. Tanaman lidah buaya sulit untuk ditumbuhkan pada kondisi tanah gambut tanpa pemberian abu terlebih dahulu.

(25)

91 %. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa abu janjang kelapa sawit berperan sebagai sumber hara kalium (K). Sedangkan respon tanaman lidah buaya terhadap pemberian abu bakaran (kayu, paku-pakuan, dan gulma) ditunjukkan oleh hasil penelitian Tatipata (2004), dimana peningkatan hanya terjadi pada tinggi tanaman (4 dan 14 minggu setelah tanam masing-masing 2.3 % dan 1.8 %) dan panjang pelepah pada 4 minggu setelah tanam sebesar 2.7 %. Sementara, pemberian abu bakaran tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap lebar pelepah, tebal pelepah, jumlah pelepah, dan jumlah anakan lidah buaya. Dua penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya dibanding pemberian abu bakaran yang berasal dari kayu, paku-pakuan, dan gulma di lahan gambut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu penelitian lebih lanjut untuk mempelajari (1) bagaimana peranan sesungguhnya dari abu janjang kelapa sawit dalam memperbaiki sifat tanah gambut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya, dan (2) mengapa abu janjang bisa memperbaiki sifat tanah gambut dan melalui perubahan apa abu janjang kelapa sawit tersebut bisa memperbaiki sifat tanah gambut. Untuk itu perlu dipelajari karakteristik gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit pada berbagai taraf dosis abu yang menyangkut status hara tersedia dan reaksi tanahnya. Informasi ini akan akan sangat bermanfaat sebagai dasar dalam aplikasi lebih lanjut abu janjang kelapa sawit dalam mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut.

(26)

terlepas dari hambatan lingkungan tumbuh lainnya, yakni tingkat virulensi yang tinggi di tanah gambut. Serangan patogen akar yang disebabkan oleh bakteri Erwinia chrysanthemi dan Fusarium sp. (busuk lunak dan busuk kering) merupakan gejala yang umum ditemukan pada tanaman lidah buaya di lokasi rencana penelitian. Penyakit busuk lunak tersebut menyerang tanaman lidah buaya baik pada usia tanaman masih muda maupun pada tanaman yang sudah dewasa., dengan intensitas serangan lebih banyak pada saat tanaman baru dipindahkan ke lapangan. Sampai saat ini belum didapatkan metode yang praktis dan efisen dalam pengendalian penyakit busuk lunak pada tanaman lidah buaya selain mengeradikasi atau membuangnya secara mekanis.

Mikroorganisme antagonis dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit busuk lunak. Mikroorganisme antagonis harus mempunyai kemampuan kompetisi yang tinggi di rizosfir, bersifat hiperparasit, mampu menghasilkan antibiotik (Upadhyay and Rai, 1987), dan daya adaptasi yang tinggi khususnya di gambut.

(27)

Menurut Whipps (2004), mikoriza dari kelompok Glomus sp., dan Gigaspora sp., dapat berperan sebagai pengendali hayati dari serangan patogen akar seperti Fusarium oxysporum, Fusarium solani , Fusariumsp., Cylindrocarpon destructans,

Rhizoctonia solani,Phytophthora fragaria,Aphanomyces euteiches, Cylindrocladium

spathyphylli, Helicobasidium mompa, dan Phytophthora nicotianae.

Pemanfaatan FMA dalam hubungannya dengan peningkatan serapan hara maupun sebagai pengendali patogen tanah pada tanaman lidah buaya belum pernah dilakukan. Belum diketahui apakah pemberian mikoriza di tanah gambut ini memiliki mekanisme aktivitas dan pengaruh yang sama dengan mikoriza yang diaplikasikan pada tanah mineral, khususnya dalam peningkatan hara-hara tersedia dan serapannya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian dan kajian yang menyangkut pemanfaatan mikoriza dan peranannya pada peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman lidah buaya di lahan gambut.

Pemberian abu janjang kelapa sawit dan aplikasi FMA diharapkan dapat membantu daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan pada tanah gambut, namun dalam jangka panjang perlu input yang memadai sebagai sumber hara untuk mempertahankan tingkat produktivitas tanaman lidah buaya. Bedasarkan pengamatan di lapangan, pemberian pupuk anorganik pada tanaman lidah buaya di tanah gambut kurang memberikan sumbangan yang berarti dibanding pemberian pupuk organik. Input yang biasa digunakan oleh petani sayuran dan hortikultura di lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas tanaman di antaranya adalah pupuk organik dari limbah ikan atau limbah udang.

(28)

kelebihan kalau dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI (2005), pupuk organik yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau, pupuk dari limbah ikan tergolong memiliki unsur hara yang lengkap bagi tanaman.

Meskipun limbah ikan atau limbah udang diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun perlu penelitian untuk lebih meningkatkan efektivitas limbah ikan atau limbah udang bila akan digunakan sebagai pupuk organik. Kajian spesifik mengenai peranan dan sumbangan pupuk organik limbah ikan dan limbah udang ini juga belum banyak dipelajari, terutama kajian aplikasinya pada tanaman lidah buaya dalam meningkatkan produktivitas tanaman, dan bagaimana perannya bila dikombinasikan dengan FMA. Selain itu, juga perlu dilihat efektivitasnya, apakah lebih efisien dimanfaatkan langsung dan diberikan pada tanaman, atau memerlukan upaya fermentasi terlebih dahulu. Pertimbangan pemanfaatan limbah ikan atau udang sebagai input dalam budidaya tanaman lidah buaya pada penelitian ini juga didasarkan atas ketersediaan bahan baku yang banyak di sekitar lokasi penelitian atau lokasi pengembangan lidah buaya di lahan gambut, yang merupakan wilayah yang tidak jauh dari pesisir.

(29)

buaya di lahan gambut secara spesifik lokasi dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi, dengan memanfaatkan input yang mudah diperoleh dan ekonomis.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari karakteristik tanah gambut

setelah masa inkubasi dengan berbagai dosis abu janjang kelapa sawit; (2) mempelajari efektivitas pemberian mikoriza terhadap daya adaptasi bibit,

pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman lidah buaya dengan aplikasi mikoriza dan pupuk organik (limbah ikan/udang) di tanah gambut. Diharapkan dari serangkaian percobaan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi teknik budidaya lidah buaya yang terbaik secara spesifik lokasi.

Hipotesis

(30)

Strategi Penelitian

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri dari tiga topik penelitian. Penelitian pertama yang berjudul “Karakterisasi bahan gambut setelah masa inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit” bertujuan untuk mempelajari

karakteristik bahan gambut setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit dalam beberapa taraf dosis. Penelitian ini didasari bahwa untuk budidaya tanaman di lahan gambut secara umum dan lidah buaya khususnya, pemberian abu merupakan hal yang mutlak dilakukan sebelum penanaman. Pemberian abu selain meningkatkan pH tanah dan sumbangan unsur K, juga memberikan kondisi iklim mikro tanaman menjadi lebih baik untuk pertumbuhan tanaman. Selanjutnya pada penelitian II yang berjudul “Pertumbuhan tanaman lidah buaya pada tanah gambut yang diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit” ingin diketahui bagaimana pengaruh abu yang

(31)

Gambar 1. Bagan Alur Penelitian

PENELITIAN

DASAR PEMIKIRAN, MASALAH,

DAN INDIKATOR

TARGET

I. KARAKTERISASI BAHAN GAMBUT SETELAH MASA

INKUBASI DENGAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT Pemberian abu janjang

kelapa sawit dapat meningkatkan :  hara-hara tersedia  pH media  meningkatkan

pertumbuhan tanaman

1.Kelimpahan abu janjang dan potensinya 2.Permasalahan gambut: Defisiensi hara makro

dan mikro

Kejenuhan basa rendah pH rendah

Pengamatan:

Perubahan status media: hara tersedia , pH, setelah inkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Karakter morfologi tanaman lidah buaya.

INFORMASI KARAKTERISTIK PERBAIKAN SIFAT TANAH MELALUI PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT PADA TANAH GAMBUT DAN REKOMENDASI DOSIS ABU JANJANG KELAPA

SAWIT III. PEBAIKAN DAYA ADAPTASI BIBIT,

PERTUMBUHAN, DAN KUALITAS TANAMAN LIDAH BUAYA DENGAN APLIKASI FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAHIKAN/UDANG) DI TANAH GAMBUT :

1 Uji Propagul Infektif FMA dari Tanah Gambut Asal Rizosfer Nenas

2. Uji Aplikasi FMA dan Pupuk Organik (Limbah ikan/udang) untuk Perbaikan Daya AdaptasiBibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Buaya di Tanah Gambut

1.FMA potensial dan kelimpahan limbah ikan/udang serta peranannya 1.Masalah budidaya

tanaman di gambut: Serapan hara rendah Daya adaptasi rendah

(akibat senyawa toksik dan virulensi)

Pengamatan: 1.Daya adaptasi

 (%) serangan patogen akar:

2.Karakter Morfofisiologi tanaman, serapan hara 3.Asam asam amino tanaman 4.Akar terinfeksi FMA 5.Respon tanaman terhadap

FMA (Percent Growth Respon)

Aplikasi FMA dan pupuk organik (Limbah ikan/udang) dapat meningkatkan :

Daya adaptasi tanaman di tanah gambut Pertumbuhan dan

kualitas tanaman lidah buaya di lahan gambut

PROPAGUL FMA INFEKTIF, REKOMENDASI DAN INFORMASI EFEKTIVITAS PEMBERIAN FMA DAN PUPUK ORGANIK (LIMBAH IKAN/UDANG) PADA TANAMAN LIDAH BUAYA DI LAHAN GAMBUT

Kualitas tanaman tinggi

TEKNIK BUDIDAYA LIDAH BUAYA TERBAIK SPESIFIK LOKASI

(32)

Tanah Gambut

Defenisi dan Pengertian Tanah Gambut

Kata gambut berasal dari kosa kata daerah Kalimantan Selatan (suku Banjar), sementara masyarakat di Pontianak menamakan tanah gambut dengan sebutan sepuk , dan sebagian lagi petani menamakannya dengan sebutan tanah hitam. Gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami yang mengalami dekomposisi secara tidak sempurna akibat tergenang sehingga menimbulkan akumulasi bahan organik dengan ke dalaman yang bervariasi.

Soil Survey Staff (1960) menggolongkan tanah gambut ke dalam ordo Histosols (bahasa Yunani = jaringan), dimana tanah gambut merupakan tanah-tanah yang berbahan induk organik atau sisa-sisa tanaman, dan selanjutnya Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan Tanah Gambut (peat soil = Organosol = Histosols) sebagai tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari penumpukan jaringan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan > 40 cm. Pada keadaan jenuh air, kandungan C organik paling sedikit adalah 18% jika kandungan liat 60 % atau lebih, atau C organik 12 – 18 % jika kandungan liat 0 % - 60%.

Penyebaran Tanah Gambut

(33)

Jaya, serta sedikit di Halmahera dan Sulawesi (Global Enviromental Center, 2003). Menurut Soekardi dan Hidayat (1988), provinsi yang mempunyai gambut terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Barat (4.61 juta hektar), selanjutnya Kalimantan Tengah (2.161 juta ha), Riau (1.704 hektar), dan Kalimantan Selatan (1.484 juta hektar).

Pembentukan Tanah Gambut

Saat ini terdapat kira-kira 14 juta hektar hutan rawa gambut dan 6 juta hektar lahan gambut sebagai lahan produksi pertanian di Indonesia, terutama diSumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia , 2002). Ditinjau dari bidang ilmu pertanian, yang memandang gambut dalam konteks yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, gambut diartikan sebagai suatu bentukan menurut konsep pedologi, dimana morfologi ataupun sifat-sifat bentukkannya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut Everett (1983), laju akumulasi bahan organik untuk terbentuknya gambut tergantung kepada dua hal, yakni: (1) produktivitas vegetasi yang berperan dalam pembentukan gambut (biomassnya), dan (2) laju dekomposisi suatu bahan saat menjadi bagian dari simpanan. Sedangkan laju dekomposisi sendiri tergantung faktor iklim dan ketersediaan oksigen.

(34)

topogen terbentuk terutama karena pengaruh topografi, dan gambut pegunungan yang terbentuk di daerah yang tinggi.

Jenis-Jenis Gambut

Jenis-jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan berbagai macam aspek, mulai dari aspek bahan penyusunnya, wilayah dan iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kesuburan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan bahan organiknya (Soepraptohardjo & Driessen 1976; Radjaguguk 1990). Berdasarkan bahan penyusunnya, gambut dibedakan atas tiga jenis (Everett, 1983 ), yaitu:

1. Gambut berlumut (sedimentairy/moss peat), yaitu gambut yang terdiri dari campuran tanaman air (famili Liliaceae) termasuk plankton dan sejenisnya. 2. Gambut berserat (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri dari campuran

tanaman Sphagnum dan rumputan.

3. Gambut berkayu (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya.

Gambut yang berasal dari serat-seratan tergolong gambut yang kaya akan hara mineral atau tergolong subur (eutrofik), sedangkan gambut yang berasal dari kayu-kayuan tergolong sedikit mengandung hara mineral atau kurang subur (oligotrofik). Menurut wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua jenis (Andriesse 1988), yaitu:

1. Gambut tropik; yaitu gambut yang berada di kawasan tropik atau subtropik. 2. Gambut iklim sedang; yaitu gambut yang berada di kawasan eropa yang

(35)

Perbedaan antara kedua jenis gambut tersebut terletak pada bahan pembentuknya serta kondisi iklim yang mempengaruhi proses pembentukannya, dimana bahan penyusun gambut iklim sedang/dingin umumnya berupa lumut atau Sphagnum, sedangkan gambut tropik sebagian besar berasal dari vegetasi kayu-kayuan. Gambut tropik lebih dipengaruhi oleh iklim dengan curah hujan yang tinggi, suhu rata-rata tahunan tinggi, dan evapotranspirasi tinggi. Di samping itu, gambut tropik cenderung lebih tinggi tingkat kemasamannya (pH 4 – 5) dibanding gambut iklim sedang/dingin yang relatif lebih rendah tingkat kemasamannya (pH 6 – 7) sebagai akibat banyaknya kandungan mineral kapur pada tanah gambut iklim sedang/dingin.

Berdasarkan proses pembentukannya atau lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut dapat dibagi menjadi 2 jenis (Andriesse 1974), yaitu : 1. Gambut ombrogen; yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah

hujan.

2. Gambut topogen; adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah.

(36)

Kriteria untuk penetapan kualitas gambut biasanya juga didasarkan pada kadar seratnya. Kadar seratnya ini ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangannya ini, maka gambut dibedakan menjadi tiga jenis (Soil Survey Staff 1996; Everett 1983) yaitu: 1. Gambut fibrik; yaitu gambut yang tergolong masih mentah, dekomposisinya

paling sedikit, kandungan bahan-bahan jaringan tanaman masih tinggi yang dicirikan dengan banyaknya kandungan serabut dan sisa-sisa tanaman masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam (diameter 0.15 – 2 cm), kadar air tinggi, kerapatan lindaknya rendah (< 0.1 g/cm3) dan berwarna coklat. 2. Gambut hemik; yaitu gambut peralihan dengan dekomposisi sedang dan bersifat

separuh matang, masih banyak juga mengandung serabut, dan berwarna lebih gelap.

3. Gambut saprik; yaitu gambut yang sudah mengalami tingkat dekomposisi sangat lanjut, bersifat matang hingga sangat matang, kurang mengandung serabut, kerapatan lindaknya 0.2 - 0.1 g/cm3 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi, dan berwarna hitam atau coklat kelam.

Fibrik merupakan bahan organik berkadar serat tinggi (>66%), sedangkan hemik berkadar serat sedang (33-66%) ; dan saprik berkadar serat halus (<33%). Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang terombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik (Soil Survey Staff 1996).

(37)

1 Gambut tipis (ketebalan gambut 0 sampai 100, 130 atau 150 cm) 2 Gambut sedang (ketebalan gambut 100, 130, 150 cm)

3 Gambut tebal (Ketebalan gambut > 200 cm).

Pemilahan ini didasari pemikiran bahwa gambut tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, khususnya tanaman pangan semusim (Radjaguguk, 1990).

Aspek Kimia dan Kesuburan Gambut

Menurut Driessen (1978), sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi dengan pH berkisar 3 – 5 serta mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik. Ditambahkan oleh Stevenson (1994) dan Tan (1993), bahwa 95% fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 – 20 % dan sebagian besar terdiri dari senyawa senyawa non humat seperti lignin, selulosa, hemiseluosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan lain lain. Sedangkan senyawa humat terdiri dari asam humat, himatomelanat, dan humin. Berdasarkan tingkat kesuburan tanahnya (Andriesse 1974; Soepraptohardjo & Driessen 1976), gambut dibedakan menjadi yaitu :

1. Gambut Eutropik, yaitu gambut yang banyak mengandung mineral, reaksi gambut netral atau alkalin dan relatif subur.

2. Mesotropik, yaitu gambut yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang.

3. Oligotropik, yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral rendah (terutama Ca), ketebalannya lebih dari 2 m, dan reaksi tanahnya masam sehingga tingkat kesuburannya rendah.

(38)

bersifat netral atau alkalin. Gambut oligotrofik hanya mendapatkan hara melalui curah hujan dan perombakan bahan organik setempat.

Makin tebal suatu gambut makin miskin unsur hara pada lapisan atasnya, karena akar pohon semakin sedikit mencapai lapisan mineral di bagian bawahnya, dengan demikian daur ulang hara ke bagian atas lapisan tanah gambut semakin sedikit. Berdasarkan hal ini, maka gambut tebal kurang mendukung bagi budidaya tanaman semusim atau tanaman-tanaman yang berakar dangkal, dalam kondisi seperti ini, tanaman perkebunan atau tanaman tahunan lebih baik dibanding tanaman semusim. Gambut yang berada di atas lapisan pasir kuarsa kesuburannya lebih rendah dibanding gambut yang terhampar di atas lapisan lempung marin. Sementara itu, lapisan lempung marin umumnya banyak mengandung pirit (FeS2) (Andriesse

1988)

Reaksi Tanah (pH). Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4.0. Tingkat kemasaman yang tinggi ini erat kaitannya dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller & Donahue 1990). Gugus reaktif karboksil (-COOH) dan fenol (C6H4OH) mendominasi kompleks pertukaran pada bahan organik yang

telah mengalami dekomposisi, dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga mudah terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Ikatan –OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah melepaskan ion H+, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (Widjaja-Adi 1985).

(39)

lebih dari 6, misalnya gambut di Florida (Lucas 1982 dalam Andriesse 1988). Pada kondisi dimana terjadinya infiltrasi air payau, pH dapat lebih tinggi lagi, misalnya pH 7.8 di Maldives, dimana gambut berkembang di bagian dalam pulau karang yang memiliki kondisi salin yang kuat. Pada keadaan lain, gambut dapat menjadi sangat masam dimana terdapat kandungan pirit yang akan teroksidasi pada saat reklamasi, pH gambut pada keadaan seperti ini bisa mencapai kurang dari 2 (Andriesse 1988).

Gambut tropik jenis ombrogen yang bersifat oligotrofik biasanya bersifat masam sampai sangat masam dengan kisaran pH 3 – 4.5. Menurut Andriesse (1988), nilai pH tanah gambut juga berbeda-beda menurut ketebalannya. Pada lapisan permukaan gambut endapan yang tebal di tengah kubah (pada dataran rendah Kalimantan) memiliki pH 3.3, sementara pada bagian yang dangkal atau gambut yang berada di dekat sungai memiliki pH rata-rata 4.3

Derajat kemasaman tanah gambut (pH) dapat memberikan petunjuk bagaimana gambut terbentuk, jenis gambut, dan kemungkinan nilai potensialnya bagi pengembangan pertanian. Menurut Andriesse (1988), pH merupakan parameter penting yang dapat ditentukan dengan mudah.

Senyawa Organik. Komposisi kimia gambut sangat ditentukan oleh jaringan vegetasi penyusunnya, tingkat dekomposisi dan lingkungan kimia dimana gambut terbentuk. Unsur utama senyawa organik gambut dibedakan ke dalam lima kelompok fraksi, yaitu senyawa yang larut dalam air, bahan-bahan yang larut dalam eter dan alkohol, selulosa dan hemiselulosa, lignin dan turunannya, dan bahan-bahan mengandung nitrogen atau protein sederhana.

(40)

salah satu bahan yang banyak dikandung dalam gambut dan dapat dibebaskan selama proses dekomposisi. Asam organik juga ada yang belum terhumifikasi dan ada yang sudah terhumifikasi. Menurut Tan (1986) asam-asam tersebut bervariasi dari asam alifatik sederhana hingga asam aromatik kompleks dan heterosiklik.

Tan (1986) menjelaskan bahwa asam-asam organik yang belum terhumifikasi tersebut adalah asam asetat, amino, askorbat, aspartat, benzoat, butirat, sinamat, sitrat, kumarat, ferulat, format, fumarat, galat, glutamat, hidroksibenzoat, laktat, nukleat, oksalat, propionat, piruvat, salisilat, suksinat, siringat, tanat, tartrat, dan asam vanilat. Sejumlah asam tersebut dianggap sebagai produk antara dari metabolisme tanaman dan mikroba. Beberapa di antaranya mungkin telah dilepas ke dalam tanah sebagai eksudat akar, sedang yang lainnya merupakan hasil degradasi oksidatif bahan organik dan konsentrasi asam organik ini umumnya rendah.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Tan (1986) bahwa asam-asam organik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Diketahui bahwa asam asetat, aspartat, sitrat, oksalat, salisilat, tanat, dan tartrat telah berhasil digunakan oleh banyak peneliti mempelajari pelarutan mineral.

(41)

mikroorganisme. Salah satu karakteristik yang paling khusus dari bahan humik adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut dalam air maupun yang tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda.

Asam humat dan asam fulvat yang menyusun bahan organik secara keseluruhan lebih penting daripada asam organik yang belum terhumifikasi. Asam-asam organik yang belum terhumifikasi mungkin secara kimia sama efektifnya seperti bahan humat, tetapi karena konsentrasinya yang rendah, pengaruhnya kalah oleh asam humat dan asam fulvat (Baker 1973; Singer & Navrot 1976 dalam Tan 1986).

Susunan Hara Tanah Gambut. Tanah gambut tropik mempunyai

kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% Andriesse (1988). Beberapa unsur hara dijelaskan sebagai berikut:

1. Karbon organik .

Penilaian persentase karbon organik pada tanah gambut sangat diperlukan untuk tujuan pertanian, khususnya untuk perhitungan C/N rasio. C/N rasio menunjukkan tingkat humifikasi gambut dan kemungkinan konsumsi nitrogen oleh jasad mikro ketika tanah gambut dipupuk.

(42)

yang hanya sedikit mengalami dekomposisi, 53 % - 54 % pada gambut hemik, dan 58 % - 60 % pada gambut saprik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut. Tampak bahwa gambut yang sudah mengalami dekomposisi lanjut memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dibanding gambut yang masih rendah taraf dekomposisinya, namun perbedaannya tidak lebih dari 10 %.

Karbon organik pada lapisan permukaan gambut tebal lebih tinggi kandungannya dibanding karbon organik pada gambut dangkal, ini konsisten dengan fakta bahwa lapisan gambut dalam biasanya merupakan gambut ombrogen dan oligotropik yang memiliki komponen kayu berlignin yang tinggi, sedangkan gambut dangkal biasanya mesotrofik, yang dicirikan dengan sedikitnya kandungan kayu berlignin tersebut.

2. Nitrogen

Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi ( Subagyo et al. 1996). Kandungan nitrogen dalam tanah gambut sangat penting dipertimbangkan bagi pengembangan tanah gambut untuk pertanian. Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Sementara tanaman menyerap unsur N dalam bentuk NH4+ dan NO3-,

dimana kedua senyawa ini akan terbentuk setelah proses aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut menurut Tisdale et al. (1985) adalah pH tanah, kandungan unsur-unsur hara, dan senyawa yang mudah terdegradasi.

(43)

atmosfer, beberapa di antaranya digunakan oleh tanaman, dan sebagian besar dioksidasi oleh mikrobia menjadi nitrit dan nitrat.

Nitrogen nitrat yang dihasilkan dalam proses dekomposisi gambut oleh mikrobia akan dilepaskan dalam larutan tanah atau sementara menjadi tidak mobil dalam protoplasma mikrobia. Pada kondisi anaerob, bakteri denitrifikasi mengubah sebagian nitrat dan ammonium menjadi N2, sehingga melengkapi

kehilangan nitrogen dalam sistem tanah gambut (Everett 1983)

Berdasarkan kerapatan lindaknya, lapisan permukaan gambut biasanya mengandung nitrogen lebih besar dibanding lapisan di bawahnya, hal ini dikarenakan pengaruh perbedaan dekomposisi pada kedua lapisan tersebut, dimana lapisan permukaan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dibandingkan lapisan bawah gambut. Sementara itu, Andriesse (1988) menyatakan bahwa taraf nitrogen pada lapisan atas gambut dalam biasanya lebih tinggi kandungannya dibandingkan dengan taraf nitrogen pada lapisan permukaan gambut dangkal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil observasi Suhardjo dan Widjaja-Adi (1997) untuk gambut di Indonesia, dimana pada lapisan permukaan (ketebalan 30 cm) memiliki kandungan nitrogen 1.98 %, lebih tinggi dari gambut dangkal yang hanya mengandung 1.13 % nitrogen.

(44)

3. Fosfor

Menurut Everett (1983), unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P-organik yang kebaradaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat (Hartatik 2003). Sementara, fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35%), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P (Stevenson 1994).

Pelepasan inositol fosfat sangat lamban di dalam tanah dibanding ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dengan proporsi setengah P organik atau seperempat P total tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, sehingga garam ini sukar didegradasi oleh mikrobia (Stevenson 1994). Ditambahkan oleh Mas’ud (1992) bahwa fitin dan asam nukleat merupakan sumber P dari kelompok senyawa P-organik. Sifat fitin dalam tanah menyerupai ortofosfat, sehingga mekanisme penambatan P berupa reaksi langsung dengan besi atau alumunium pada pH rendah membentuk Fe-fitat dan Al-fitat, sedangkan pada pH tinggi bereaksi dengan kalsium membentuk Ca-fitat.

(45)

oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan pada nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan lebih tersedia bagi tanaman.

Kadar P pada tanah gambut akan semakin menurun pada lapisan-lapisan yang lebih dalam. Menurut Noor (2001), total P menurun hingga ke dalaman 40 cm dan selanjutnya terus menurun secara bertahap. Kejenuhan basa tanah gambut juga relatif rendah, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Kejenuhan basa tanah gambut sekitar 10 % - 15 %. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30 % agar tanaman menyerap basa-basa tertukar dengan mudah. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH pada tanah-tanah yang bemiliki pH rendah termasuk gambut. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi.

Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal. Pengapuran tidak memberikan pengaruh pada pH air, namun meningkatkan konsentrasi Ca2+, Mg2+ and Fe2+ dan menurunkan konsentrasi Zn2+ and Al3+ dalam air tanah. Konsentrasi NH4+-N dalam air tanah

meningkat dengan pemberian kapur sebesar 7.5ton/ha 4. Sulfur dan kadar pirit

(46)

bentuk pirit (FeS2). Sebagian lahan gambut juga berasosiasi dengan tanah

mineral sulfat masam. Tanah sulfat masam ini dicirikan dengan adanya kandungan pirit. Subagyo (1997) menyatakan bahwa kandungan pirit dalam tanah marin sangat bervariasi. Lapisan pirit umumnya terdapat pada ke dalaman 50 cm, 50-150 cm, dan lebih dari 150 cm dibawah permukaan tanah.

5. Unsur Mikro

Unsur-unsur mikro di tanah gambut seperti Cu, Zn, dan Bo sangat terbatas, hal ini dikarenakan sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, dan menyebabkan tidak tersedia bagi tanaman. (Kanapathy1972). Kelompok karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi di tanah gambut menyebabkan terjadinya senyawa organo-metal yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983).

Kadar Abu. Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Berdasarkan tingkat ketebalannya, makin dalam atau tebal suatu gambut, makin rendah kadar abunya. Gambut sangat tebal yang lebih dari 3 meter memiliki kadar abu sekitar 5 %, gambut tebal dan tengahan dengan ketebalan antara 1 m – 3 m memiliki kadar abu sekitar 11 % - 12 %, dan gambut dangkal memiliki kadar abu sekitar 15 % (Widjaja-Adi 1986).

(47)

Tabel 1. Persentase kadar abu dan kadar bahan organik tanah gambut berdasarkan tingkat kematangannya.

No Tingkat Kematangan Gambut

Kadar Abu (%)

Kadar bahan Organik (%)

1 Fibrik (mentah) 3.09 45.9

2 Hemik (sedang) 8.04 51.7

3 Saprik (matang) 12.04 78.3

Sumber : Setiawan (1991)

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar bahan organik semakin tinggi sejalan dengan peningkatan kematangan tanah gambut. Apabila melihat rendahnya kadar abu pada tingkat kematangan fibrik tersebut (3.09 %) dengan sisa pemijaran 96.91 % maka gambut tersebut tergolong gambut murni (true peat) karena menurut Andriesse (1974) dikatakan gambut murni apabila mempunyai rata-rata kehilangan pijar lebih dari 90 %.

Gambar

Gambar 4.  Rangkaian kegiatan percobaan pemberian gambut dengan abu janjang
Tabel 4. Jumlah N-total media gambut yang diberi abu janjang kelapa  sawit
Gambar 8. Pengaruh pemberian abu janjang kelapa sawit pada media gambut
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepentingan saluran kredit dalam transmisi dasar kewangan boleh dilihat kembali dalam model yang dibangunkan oleh Bernanke and Blinder (1988) (tinjauan kajian lepas yang

Untuk itu, penilaian pembangunan negara tidak harus berdasarkan kepada pertimbangan ekonomi malah perlu merangkumi aspek lain yang lebih mencerminkan perubahan kualiti

Kejelasan sasaran , hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber belajar biologi siswa SMA kelas X karena memenuhi prinsip kejelasan sasaran Kompetensi Dasar

Nilai saksama aset pembiayaan Islam adalah berdasarkan nilai kini bagi anggaran aliran tunai masa depan yang didiskaun pada kadar pasaran semasa pembiayaan dengan risiko kredit

Hubungan Kontrol Diri dan Konformitas dengan Kenakalan Remaja Hasil penelitian uji regresi yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara kontrol diri

2 kalimat dengan makna, pilihan kata dan tata bahasa benar 1 kalimat dengan makna, pilihan kata dan tata bahasa benar Kalimat yang diberikan menggunakan tata bahasa yang salah

Kedua proses ini akan menghasilkan biji kopi berkualitas yang terlihat dari menurunnya nilai cacat biji kopi pada saat menjual kepada konsumen (PT Nestle) yang akan

Qurasih Shihab cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maud}u’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-Qur’an yang tersebar