• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Abu janjang kelapa sawit diketahui mengandung unsur hara P, K, dan Mg, dan mampu mensuplainya ke dalam tanah serta dapat menngkatkan pH tanah termasuk tanah gambut. Dari hasil penelitian sebelumnya juga diketahui bahwa peningkatan hara P, K, dan Mg pada tanah gambut akibat pemberian abu janjang kelapa sawit terakumulasi pada lapisan 0 – 10 cm dari permukaan. Selain dari aspek kimia yaitu meningkatkan kadar P, K, dan Mg pada tanah, terdapat konsekuensi lain dari pemberian abu janjang kelapa sawit, yaitu sifat fisik tanah yang kurang baik bila diberikan dalam jumlah banyak. Untuk itu perlu diuji pada dosis berapa abu janjang kelapa sawit masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman lidah buaya serta kapan waktu pengulangan pemberiannya.

Penelitian dilakukan dalam polibag dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama adalah dosis abu janjang kelapa sawit dengan empat taraf: 50, 100, 150, dan 300 g/tanaman. Faktor kedua adalah waktu pengulangan pemberian abu yang terdiri dari 3 taraf; 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Lidah buaya ditanam selama 4,5 bulan, dan dilakukan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, yaitu jumlah pelepah, tinggi tanaman, panjang pelepah, tebal pelepah, bobot basah pelepah, dan bobot kering tajuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tunggal dosis abu janjang kelapa sawit berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh peubah pertumbuhan tanaman lidah buaya sejak umur 10 – 18 MST. Sedangkan faktor tunggal waktu pengulangan pemberian abu baru nyata pengaruhnya pada 12 MST untuk semua peubah pertumbuhan kecuali lebar pelepah. Faktor interaksi hanya berpengaruh nyata pada peubah tinggi tanaman, bobot basah pelepah tunggal, dan bobot kering tajuk. Diperoleh hasil bahwa untuk mendapatkan bobot basah terbaik dibutuhkan dosis optimum abu janjang kelapa sawit sebesar 92.61 g/tanaman dengan waktu pengulangan pemberian abu 8 MST.

Kata kunci: abu janjang kelapa sawit, gambut, lidah buaya.

Abstract

The experiment was conducted in completely randomized design. The first factor was four levels of dosage of oil palm bunch ash: 50, 100, 150, 300 g/plant. The second factors was repetition time of application of oil palm bunch ash, consisting of three level: 4, 6, 8 week after planting. Aloe was planted during 4.5

months, and after reaching 4.5 month old , were observed to several growth variables: frond number, plant height, frond length, frond thick, frond fresh weight, and plant dry weight.

The result of the experiment indicated that the single factor of oil palm bunch ash dosage significantly influenced the plant growth variables of aloe since 10 – 18 month after planted. While, the single factor of repetition time of application oil palm bunch ash significantly influenced at 12 month after planted for all growth variables except the frond width. The interaction of both factor just significantly infuenced the plant height, frond fresh weight, and plant dry weight. The highest fresh weight of Aloe was reached by dosage of oil palm bunch ash equal to 92.61 g/plant, with repeated application time of oil palm bunch ash at 8 month after planted.

Key word; Aloe, oil palm bunch ash, peat

Pendahuluan

Tanah gambut secara fisik tampak sebagai suatu tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen (aerasi). Kemampuan tanah gambut dalam memegang air yang banyak atau kapasitas memegang airnya tinggi seolah faktor pendukung yang baik bagi pertumbuhan tanaman, kenyataannya faktor air yang cukup tinggi ini juga yang pada akhirnya menjadi penghambat proses dekomposisi tanah gambut lebih lanjut, yang erat kaitannya dengan tingkat kematangan dan ketersediaan hara tanah gambut. Di samping itu, keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marjinal.

Sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis di antaranya adalah: bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, umumnya dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence (penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang

rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse 1988). Nisbah C/N yang tinggi (Tisdale et al. 1985), P dalam bentuk P- organik (Everett 1983), tingkat kejenuhan basa yang rendah terutama basa-basa K, Ca, dan Mg, kekurangan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo (Widjaja-Adhi 1986) merupakan permasalahan tanah gambut dari aspek ketersediaan hara bila ingin dikembangkan sebagai media budidaya tanaman.

Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik dan ketersediaan hara lainnya di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi. Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal.

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan dayaguna tanah gambut dalam mendukung kegiatan budidaya tanaman. Selain pengapuran dan pemupukan, pemberian beberapa jenis abu juga telah dilakukan, misalnya abu bakaran gambut, abu kayu sawmill, abu sekam padi, abu sabut kelapa, dan abu janjang kelapa sawit. Pemberian abu ini selain dapat meningkatkan pH, juga dapat memberikan tambahan hara.

Pemanfaatan abu (khususnya abu janjang kelapa sawit dan abu kayu sawmill) sebagai pupuk K lebih menguntungkan dibandingkan dengan pupuk K buatan didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : (1) harganya relatif murah karena keberadaannya melimpah (karena merupakan limbah); (2) selain K juga mengandung unsur P dan Mg. Menurut data dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (2004) unsur utama dalam abu janjang kelapa sawit adalah K, Mg, dan Ca; (3) abu yang

diberikan selain dapat mensuplai unsur hara, juga dapat memperbaiki pH tanah, khususnya pada tanah-tanah yang bersifat masam.

Hasil penelitian sebelumnya (Kurnianingsih, 2004) menunjukkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan bobot basah pelepah tanaman lidah buaya, dan disimpulkan bahwa abu janjang kelapa sawit berperan sebagai sumber hara kalium. Berdasarkan hal tersebut, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis serta waktu pengulangan pemberian abu janjang kelapa sawit yang memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan tanaman lidah buaya di tanah gambut.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam polybag yang ditempatkan di lapangan di atas lahan gambut wilayah Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2006 mulai persiapan sampai panen.

Rancangan Percobaan

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan dua faktor. Faktor abu janjang (A) sebanyak 5 taraf dan faktor waktu pemberian abu (W) sebanyak 3 taraf. Masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut:

Faktor abu janjang kelapa sawit (A) :

a1 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 50 g/tanaman

a3 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 150 g/tanaman

a4 = abu janjang kelapa sawit sebanyak 300 g/tanaman

Setiap polybag berisi 6 kg tanah gambut kering udara ≈ 2520 g setara bobot kering oven 105oC)

Faktor waktu pengulangan pemberian abu (W) : w1 = empat minggu setelah tanam

w2 = enam minggu setelah tanam

w3 = delapan minggu setelah tanam

Pengulangan pemberian abu dilakukan dengan memberikan sejumlah abu yang sama dengan dosis yang sama dengan perlakuan di atas (50, 100, 150, dan 300 g/tanaman).

Terdapat 12 kombinasi perlakuan, dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan yang masing-masing terdiri dari 3 contoh tanaman. Dengan demikian terdapat 108 contoh.

Model linier aditif dari RAL adalah sebagai berikut : Yijk = μ +

A

i + Fj + (

AF

)ij

+ ε

ijk

Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan dari faktor abu janjang taraf ke-i dan faktor frekuensi

pemberian abu taraf ke-j pada ulangan ke-k μ = rataan umum

Ai = pengaruh utama dari faktor abu ke-i

Fj = pengaruh utama dari faktor frekuensi pemberian abu taraf ke-j

AFjk = pengaruh dari kombinasi faktor abu taraf ke-i dan frekuensi

pemberian abu taraf ke-j

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan media gambut. Tanah gambut dibersihkan dari serasah dan akar- akar yang berukuran besar, dikeringanginkan dan dianalisis kandungan haranya sebelum perlakuan, selanjutnya media gambut dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 2520 g setara bobot kering 105oC. (≈ 6 kg BKU gambut)

Perlakuan abu dan penanaman. Tahap selanjutnya adalah pemberian abu untuk masing-masing perlakuan, abu diberikan di lapisan atas permukaan media, dan diaduk merata, selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu dan disiram setiap hari, dengan jumlah air yang diberikan sejumlah kebutuhan untuk mencapai kapasitas lapang. Setelah 2 minggu, bibit lidah buaya ditanam pada polybag masing-masing sebanyak satu tanaman. Abu janjang kelapa sawit selanjutnya diberikan lagi sebagai perlakuan pada 4, 6, atau 8 minggu setelah tanam. Kemudian dilakukan pemeliharaan, yang terdiri dari pemupukan dasar, penyiangan gulma, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit. Tanaman dipelihara dalam polybag selama 4,5 bulan.

Pengamatan

Pengamatan pertumbuhan tanaman lidah buaya dilakukan dengan mengukur: 1. Jumlah pelepah, yang dihitung adalah pelepah yang sudah berkembang

sempurna. Dihitung pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam.

2. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal sampai ujung pelepah daun, pengukuran dilakukan pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam. 3. Panjang pelepah (cm). Pengukuran panjang pelepah dilakukan pada minggu ke

4. Tebal pelepah (cm), diukur pada pangkal pelepah daun terlebar, dan diukur pada minggu ke 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah tanam.

5. Bobot basah dan bobot kering pelepah (g), dilakukan pada akhir pengamatan setelah 4,5 bulan.

Dokumen terkait