• Tidak ada hasil yang ditemukan

Defenisi dan Pengertian Tanah Gambut

Kata gambut berasal dari kosa kata daerah Kalimantan Selatan (suku Banjar), sementara masyarakat di Pontianak menamakan tanah gambut dengan sebutan sepuk , dan sebagian lagi petani menamakannya dengan sebutan tanah hitam. Gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami yang mengalami dekomposisi secara tidak sempurna akibat tergenang sehingga menimbulkan akumulasi bahan organik dengan ke dalaman yang bervariasi.

Soil Survey Staff (1960) menggolongkan tanah gambut ke dalam ordo Histosols (bahasa Yunani = jaringan), dimana tanah gambut merupakan tanah-tanah yang berbahan induk organik atau sisa-sisa tanaman, dan selanjutnya Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan Tanah Gambut (peat soil = Organosol = Histosols) sebagai tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari penumpukan jaringan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan > 40 cm. Pada keadaan jenuh air, kandungan C organik paling sedikit adalah 18% jika kandungan liat 60 % atau lebih, atau C organik 12 – 18 % jika kandungan liat 0 % - 60%.

Penyebaran Tanah Gambut

Jumlah areal gambut di dunia diperkirakan 426.2 juta hektar atau lebih kurang 2 % dari luas daratan dunia. Sedangkan di Indonesia penyebarannya cukup luas, diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta hektar atau 10% luas daratan Indonesia (Global Enviromental Center 2005) dan merupakan kawasan gambut tropika terluas di dunia, terutama tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian

Jaya, serta sedikit di Halmahera dan Sulawesi (Global Enviromental Center, 2003). Menurut Soekardi dan Hidayat (1988), provinsi yang mempunyai gambut terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Barat (4.61 juta hektar), selanjutnya Kalimantan Tengah (2.161 juta ha), Riau (1.704 hektar), dan Kalimantan Selatan (1.484 juta hektar).

Pembentukan Tanah Gambut

Saat ini terdapat kira-kira 14 juta hektar hutan rawa gambut dan 6 juta hektar lahan gambut sebagai lahan produksi pertanian di Indonesia, terutama diSumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Climate Change Forests and Peatlands in Indonesia , 2002). Ditinjau dari bidang ilmu pertanian, yang memandang gambut dalam konteks yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, gambut diartikan sebagai suatu bentukan menurut konsep pedologi, dimana morfologi ataupun sifat-sifat bentukkannya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya. Menurut Everett (1983), laju akumulasi bahan organik untuk terbentuknya gambut tergantung kepada dua hal, yakni: (1) produktivitas vegetasi yang berperan dalam pembentukan gambut (biomassnya), dan (2) laju dekomposisi suatu bahan saat menjadi bagian dari simpanan. Sedangkan laju dekomposisi sendiri tergantung faktor iklim dan ketersediaan oksigen.

Pembentukan tanah gambut dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek, dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan bahan organik yang sukar melapuk. Genangan yang menyebabkan terjadinya proses pembentukan gambut karena penimbunan bahan organik dapat terjadi di beberapa tipe wilayah atau ekosistem, misalnya gambut ombrogen yang terbentuk terutama karena pengaruh curah hujan yang airnya tergenang, gambut

topogen terbentuk terutama karena pengaruh topografi, dan gambut pegunungan yang terbentuk di daerah yang tinggi.

Jenis-Jenis Gambut

Jenis-jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan berbagai macam aspek, mulai dari aspek bahan penyusunnya, wilayah dan iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan, tingkat kesuburan, tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan bahan organiknya (Soepraptohardjo & Driessen 1976; Radjaguguk 1990). Berdasarkan bahan penyusunnya, gambut dibedakan atas tiga jenis (Everett, 1983 ), yaitu:

1. Gambut berlumut (sedimentairy/moss peat), yaitu gambut yang terdiri dari campuran tanaman air (famili Liliaceae) termasuk plankton dan sejenisnya. 2. Gambut berserat (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri dari campuran

tanaman Sphagnum dan rumputan.

3. Gambut berkayu (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon- pohonan beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya.

Gambut yang berasal dari serat-seratan tergolong gambut yang kaya akan hara mineral atau tergolong subur (eutrofik), sedangkan gambut yang berasal dari kayu-kayuan tergolong sedikit mengandung hara mineral atau kurang subur (oligotrofik). Menurut wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua jenis (Andriesse 1988), yaitu:

1. Gambut tropik; yaitu gambut yang berada di kawasan tropik atau subtropik. 2. Gambut iklim sedang; yaitu gambut yang berada di kawasan eropa yang

Perbedaan antara kedua jenis gambut tersebut terletak pada bahan pembentuknya serta kondisi iklim yang mempengaruhi proses pembentukannya, dimana bahan penyusun gambut iklim sedang/dingin umumnya berupa lumut atau Sphagnum, sedangkan gambut tropik sebagian besar berasal dari vegetasi kayu- kayuan. Gambut tropik lebih dipengaruhi oleh iklim dengan curah hujan yang tinggi, suhu rata-rata tahunan tinggi, dan evapotranspirasi tinggi. Di samping itu, gambut tropik cenderung lebih tinggi tingkat kemasamannya (pH 4 – 5) dibanding gambut iklim sedang/dingin yang relatif lebih rendah tingkat kemasamannya (pH 6 – 7) sebagai akibat banyaknya kandungan mineral kapur pada tanah gambut iklim sedang/dingin.

Berdasarkan proses pembentukannya atau lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut dapat dibagi menjadi 2 jenis (Andriesse 1974), yaitu : 1. Gambut ombrogen; yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah

hujan.

2. Gambut topogen; adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah.

Gambut ombrogen kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri. Gambut topogen kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh air permukaan tanah, sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut.

Kriteria untuk penetapan kualitas gambut biasanya juga didasarkan pada kadar seratnya. Kadar seratnya ini ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangannya ini, maka gambut dibedakan menjadi tiga jenis (Soil Survey Staff 1996; Everett 1983) yaitu: 1. Gambut fibrik; yaitu gambut yang tergolong masih mentah, dekomposisinya

paling sedikit, kandungan bahan-bahan jaringan tanaman masih tinggi yang dicirikan dengan banyaknya kandungan serabut dan sisa-sisa tanaman masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam (diameter 0.15 – 2 cm), kadar air tinggi, kerapatan lindaknya rendah (< 0.1 g/cm3) dan berwarna coklat. 2. Gambut hemik; yaitu gambut peralihan dengan dekomposisi sedang dan bersifat

separuh matang, masih banyak juga mengandung serabut, dan berwarna lebih gelap.

3. Gambut saprik; yaitu gambut yang sudah mengalami tingkat dekomposisi sangat lanjut, bersifat matang hingga sangat matang, kurang mengandung serabut, kerapatan lindaknya 0.2 - 0.1 g/cm3 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi, dan berwarna hitam atau coklat kelam.

Fibrik merupakan bahan organik berkadar serat tinggi (>66%), sedangkan hemik berkadar serat sedang (33-66%) ; dan saprik berkadar serat halus (<33%). Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang terombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik (Soil Survey Staff 1996).

Ketebalan atau ke dalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Menurut Radjaguguk (1990), dalam survey tanah gambut untuk pertanian, khususnya untuk pemukiman transmigrasi, gambut dipilah menjadi tiga bagian yaitu :

1 Gambut tipis (ketebalan gambut 0 sampai 100, 130 atau 150 cm) 2 Gambut sedang (ketebalan gambut 100, 130, 150 cm)

3 Gambut tebal (Ketebalan gambut > 200 cm).

Pemilahan ini didasari pemikiran bahwa gambut tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, khususnya tanaman pangan semusim (Radjaguguk, 1990).

Aspek Kimia dan Kesuburan Gambut

Menurut Driessen (1978), sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi dengan pH berkisar 3 – 5 serta mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik. Ditambahkan oleh Stevenson (1994) dan Tan (1993), bahwa 95% fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 – 20 % dan sebagian besar terdiri dari senyawa senyawa non humat seperti lignin, selulosa, hemiseluosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan lain lain. Sedangkan senyawa humat terdiri dari asam humat, himatomelanat, dan humin. Berdasarkan tingkat kesuburan tanahnya (Andriesse 1974; Soepraptohardjo & Driessen 1976), gambut dibedakan menjadi yaitu :

1. Gambut Eutropik, yaitu gambut yang banyak mengandung mineral, reaksi gambut netral atau alkalin dan relatif subur.

2. Mesotropik, yaitu gambut yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang.

3. Oligotropik, yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral rendah (terutama Ca), ketebalannya lebih dari 2 m, dan reaksi tanahnya masam sehingga tingkat kesuburannya rendah.

Gambut eutropik tergolong subur karena bahan asal atau penyusunnya berasal dari vegetasi serat-seratan dan memperoleh hara mineral secara alami dari lingkungannya, dimana sebagian besar gambut eutrofik berada di daerah air payau,

bersifat netral atau alkalin. Gambut oligotrofik hanya mendapatkan hara melalui curah hujan dan perombakan bahan organik setempat.

Makin tebal suatu gambut makin miskin unsur hara pada lapisan atasnya, karena akar pohon semakin sedikit mencapai lapisan mineral di bagian bawahnya, dengan demikian daur ulang hara ke bagian atas lapisan tanah gambut semakin sedikit. Berdasarkan hal ini, maka gambut tebal kurang mendukung bagi budidaya tanaman semusim atau tanaman-tanaman yang berakar dangkal, dalam kondisi seperti ini, tanaman perkebunan atau tanaman tahunan lebih baik dibanding tanaman semusim. Gambut yang berada di atas lapisan pasir kuarsa kesuburannya lebih rendah dibanding gambut yang terhampar di atas lapisan lempung marin. Sementara itu, lapisan lempung marin umumnya banyak mengandung pirit (FeS2) (Andriesse

1988)

Reaksi Tanah (pH). Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4.0. Tingkat kemasaman yang tinggi ini erat kaitannya dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller & Donahue 1990). Gugus reaktif karboksil (-COOH) dan fenol (C6H4OH) mendominasi kompleks pertukaran pada bahan organik yang

telah mengalami dekomposisi, dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga mudah terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Ikatan –OH dari gugus fenolik dan karboksil bersifat masam, dan gugus-gugus tersebut sangat mudah melepaskan ion H+, sehingga tanah-tanah gambut tropik umumnya masam (Widjaja- Adi 1985).

Tingkat kemasaman tanah gambut memilki kisaran yang sangat luas. Gambut yang bersifat kaya akan kapur seperti gambut eutrofik dapat memiliki pH

lebih dari 6, misalnya gambut di Florida (Lucas 1982 dalam Andriesse 1988). Pada kondisi dimana terjadinya infiltrasi air payau, pH dapat lebih tinggi lagi, misalnya pH 7.8 di Maldives, dimana gambut berkembang di bagian dalam pulau karang yang memiliki kondisi salin yang kuat. Pada keadaan lain, gambut dapat menjadi sangat masam dimana terdapat kandungan pirit yang akan teroksidasi pada saat reklamasi, pH gambut pada keadaan seperti ini bisa mencapai kurang dari 2 (Andriesse 1988).

Gambut tropik jenis ombrogen yang bersifat oligotrofik biasanya bersifat masam sampai sangat masam dengan kisaran pH 3 – 4.5. Menurut Andriesse (1988), nilai pH tanah gambut juga berbeda-beda menurut ketebalannya. Pada lapisan permukaan gambut endapan yang tebal di tengah kubah (pada dataran rendah Kalimantan) memiliki pH 3.3, sementara pada bagian yang dangkal atau gambut yang berada di dekat sungai memiliki pH rata-rata 4.3

Derajat kemasaman tanah gambut (pH) dapat memberikan petunjuk bagaimana gambut terbentuk, jenis gambut, dan kemungkinan nilai potensialnya bagi pengembangan pertanian. Menurut Andriesse (1988), pH merupakan parameter penting yang dapat ditentukan dengan mudah.

Senyawa Organik. Komposisi kimia gambut sangat ditentukan oleh jaringan vegetasi penyusunnya, tingkat dekomposisi dan lingkungan kimia dimana gambut terbentuk. Unsur utama senyawa organik gambut dibedakan ke dalam lima kelompok fraksi, yaitu senyawa yang larut dalam air, bahan-bahan yang larut dalam eter dan alkohol, selulosa dan hemiselulosa, lignin dan turunannya, dan bahan-bahan mengandung nitrogen atau protein sederhana.

Gambut merupakan suatu hasil akumulasi bahan organik, baik yang belum terhumifikasi maupun yang sudah terhumifikasi. Asam-asam organik merupakan

salah satu bahan yang banyak dikandung dalam gambut dan dapat dibebaskan selama proses dekomposisi. Asam organik juga ada yang belum terhumifikasi dan ada yang sudah terhumifikasi. Menurut Tan (1986) asam-asam tersebut bervariasi dari asam alifatik sederhana hingga asam aromatik kompleks dan heterosiklik.

Tan (1986) menjelaskan bahwa asam-asam organik yang belum terhumifikasi tersebut adalah asam asetat, amino, askorbat, aspartat, benzoat, butirat, sinamat, sitrat, kumarat, ferulat, format, fumarat, galat, glutamat, hidroksibenzoat, laktat, nukleat, oksalat, propionat, piruvat, salisilat, suksinat, siringat, tanat, tartrat, dan asam vanilat. Sejumlah asam tersebut dianggap sebagai produk antara dari metabolisme tanaman dan mikroba. Beberapa di antaranya mungkin telah dilepas ke dalam tanah sebagai eksudat akar, sedang yang lainnya merupakan hasil degradasi oksidatif bahan organik dan konsentrasi asam organik ini umumnya rendah.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Tan (1986) bahwa asam-asam organik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Diketahui bahwa asam asetat, aspartat, sitrat, oksalat, salisilat, tanat, dan tartrat telah berhasil digunakan oleh banyak peneliti mempelajari pelarutan mineral.

Kelompok asam-asam organik yang telah terhumifikasi adalah dari bahan humat, yaitu asam humat, asam fulfat, asam himatomelanik, dan humin (Tan 1986). Pengelompokan senyawa organik seperti yang dikemukakan oleh Andriesse (1988) tersebut di atas tidak memisahkan bahan-bahan humat, seperti asam humat, asam fulvat, dan humin. Bahan humat menurut Schnitzer (1986) menempati 70 – 80% bahan organik hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik

mikroorganisme. Salah satu karakteristik yang paling khusus dari bahan humik adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, termasuk pencemar beracun, untuk membentuk asosiasi, baik yang larut dalam air maupun yang tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda.

Asam humat dan asam fulvat yang menyusun bahan organik secara keseluruhan lebih penting daripada asam organik yang belum terhumifikasi. Asam- asam organik yang belum terhumifikasi mungkin secara kimia sama efektifnya seperti bahan humat, tetapi karena konsentrasinya yang rendah, pengaruhnya kalah oleh asam humat dan asam fulvat (Baker 1973; Singer & Navrot 1976 dalam Tan 1986).

Susunan Hara Tanah Gambut. Tanah gambut tropik mempunyai

kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90% Andriesse (1988). Beberapa unsur hara dijelaskan sebagai berikut:

1. Karbon organik .

Penilaian persentase karbon organik pada tanah gambut sangat diperlukan untuk tujuan pertanian, khususnya untuk perhitungan C/N rasio. C/N rasio menunjukkan tingkat humifikasi gambut dan kemungkinan konsumsi nitrogen oleh jasad mikro ketika tanah gambut dipupuk.

Kandungan karbon organik dalam gambut sangat beragam, dengan kisaran antara 12 % - 60 % (Andriesse (1988). Besarnya kisaran angka tersebut disebabkan faktor jenis gambutnya, tahap dekomposisi, dan kemungkinan metode analisisnya. Ekono (1981) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa kandungan karbon organik berkisar antara 48 % - 50 % dalam gambut fibrik

yang hanya sedikit mengalami dekomposisi, 53 % - 54 % pada gambut hemik, dan 58 % - 60 % pada gambut saprik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut. Tampak bahwa gambut yang sudah mengalami dekomposisi lanjut memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dibanding gambut yang masih rendah taraf dekomposisinya, namun perbedaannya tidak lebih dari 10 %.

Karbon organik pada lapisan permukaan gambut tebal lebih tinggi kandungannya dibanding karbon organik pada gambut dangkal, ini konsisten dengan fakta bahwa lapisan gambut dalam biasanya merupakan gambut ombrogen dan oligotropik yang memiliki komponen kayu berlignin yang tinggi, sedangkan gambut dangkal biasanya mesotrofik, yang dicirikan dengan sedikitnya kandungan kayu berlignin tersebut.

2. Nitrogen

Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi ( Subagyo et al. 1996). Kandungan nitrogen dalam tanah gambut sangat penting dipertimbangkan bagi pengembangan tanah gambut untuk pertanian. Sebagian besar N (98 %) berada dalam bentuk senyawa organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Sementara tanaman menyerap unsur N dalam bentuk NH4+ dan NO3-,

dimana kedua senyawa ini akan terbentuk setelah proses aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut menurut Tisdale et al. (1985) adalah pH tanah, kandungan unsur-unsur hara, dan senyawa yang mudah terdegradasi.

Pada proses dekomposisi tanah gambut, nitrogen organik dilepaskan ke dalam tanah sebagai ammonium. Beberapa amonia menguap dan terlepas ke

atmosfer, beberapa di antaranya digunakan oleh tanaman, dan sebagian besar dioksidasi oleh mikrobia menjadi nitrit dan nitrat.

Nitrogen nitrat yang dihasilkan dalam proses dekomposisi gambut oleh mikrobia akan dilepaskan dalam larutan tanah atau sementara menjadi tidak mobil dalam protoplasma mikrobia. Pada kondisi anaerob, bakteri denitrifikasi mengubah sebagian nitrat dan ammonium menjadi N2, sehingga melengkapi

kehilangan nitrogen dalam sistem tanah gambut (Everett 1983)

Berdasarkan kerapatan lindaknya, lapisan permukaan gambut biasanya mengandung nitrogen lebih besar dibanding lapisan di bawahnya, hal ini dikarenakan pengaruh perbedaan dekomposisi pada kedua lapisan tersebut, dimana lapisan permukaan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dibandingkan lapisan bawah gambut. Sementara itu, Andriesse (1988) menyatakan bahwa taraf nitrogen pada lapisan atas gambut dalam biasanya lebih tinggi kandungannya dibandingkan dengan taraf nitrogen pada lapisan permukaan gambut dangkal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil observasi Suhardjo dan Widjaja-Adi (1997) untuk gambut di Indonesia, dimana pada lapisan permukaan (ketebalan 30 cm) memiliki kandungan nitrogen 1.98 %, lebih tinggi dari gambut dangkal yang hanya mengandung 1.13 % nitrogen.

Hardon dan Polak (1941) dalam Andriesse (1988) menyatakan bahwa gambut ombrogen tropik (oligotrofik) selalu dicirikan dengan tingginya kandungan lignin, tetapi rendah kandungan selulosa. Aktivitas mikrobia dicirikan dengan proses nitrifikasi dan penguraian selulosa, dengan demikian sisa nitrogen sebagian besar berada dalam lignin, proporsi nitrogen akan meningkat sejalan dengan meningkatnya proses dekomposisi gambut.

3. Fosfor

Menurut Everett (1983), unsur P pada tanah gambut sebagian besar berada dalam bentuk P-organik yang kebaradaannya melimpah dalam tanah gambut, namun sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh bahan organik gambut. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat (Hartatik 2003). Sementara, fosfat dalam fraksi P-organik sebagian besar terdapat dalam inositol fosfat (35%), sedangkan asam nukleat mengandung 2 % P, dan fosfolipid 1 % P (Stevenson 1994).

Pelepasan inositol fosfat sangat lamban di dalam tanah dibanding ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dengan proporsi setengah P organik atau seperempat P total tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, sehingga garam ini sukar didegradasi oleh mikrobia (Stevenson 1994). Ditambahkan oleh Mas’ud (1992) bahwa fitin dan asam nukleat merupakan sumber P dari kelompok senyawa P-organik. Sifat fitin dalam tanah menyerupai ortofosfat, sehingga mekanisme penambatan P berupa reaksi langsung dengan besi atau alumunium pada pH rendah membentuk Fe-fitat dan Al-fitat, sedangkan pada pH tinggi bereaksi dengan kalsium membentuk Ca-fitat.

Proses mineralisasi P ditentukan oleh Nisbah C dan P, apakah P akan termineralisasi oleh jasad mikro atau justru sebaliknya P digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Hartatik (2003) menyatakan bahwa pada kondisi nisbah C dan P mencapai 300, akan terjadi immobilisasi P

oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan pada nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan lebih tersedia bagi tanaman.

Kadar P pada tanah gambut akan semakin menurun pada lapisan-lapisan yang lebih dalam. Menurut Noor (2001), total P menurun hingga ke dalaman 40 cm dan selanjutnya terus menurun secara bertahap. Kejenuhan basa tanah gambut juga relatif rendah, terutama basa-basa K, Ca, dan Mg. Kejenuhan basa tanah gambut sekitar 10 % - 15 %. Secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30 % agar tanaman menyerap basa-basa tertukar dengan mudah. Upaya untuk meningkatkan mineralisasi P-organik di antaranya dilakukan dengan pengapuran untuk meningkatkan pH pada tanah-tanah yang bemiliki pH rendah termasuk gambut. Pengapuran diharapkan dapat meningkatkan populasi jasad mikro tanah yang berperan dalam proses mineralisasi.

Hasil penelitian Kakei dan Clifford (2002) menunjukkan bahwa pengapuran dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi P, Ca, S, Mn and Fe pada tanah gambut tebal. Pengapuran tidak memberikan pengaruh pada pH air, namun meningkatkan konsentrasi Ca2+, Mg2+ and Fe2+ dan menurunkan konsentrasi Zn2+ and Al3+ dalam air tanah. Konsentrasi NH4+-N dalam air tanah

meningkat dengan pemberian kapur sebesar 7.5ton/ha 4. Sulfur dan kadar pirit

Beberapa tanah gambut memiliki kandungan sulfur yang tinggi, terutama gambut-gambut yang berada di atas lapisan sedimen marin yang mengandung bahan sulfidik. Gambut tropik pesisir mengandung sejumlah sulfur dalam

bentuk pirit (FeS2). Sebagian lahan gambut juga berasosiasi dengan tanah

mineral sulfat masam. Tanah sulfat masam ini dicirikan dengan adanya kandungan pirit. Subagyo (1997) menyatakan bahwa kandungan pirit dalam tanah marin sangat bervariasi. Lapisan pirit umumnya terdapat pada ke dalaman 50 cm, 50-150 cm, dan lebih dari 150 cm dibawah permukaan tanah.

5. Unsur Mikro

Unsur-unsur mikro di tanah gambut seperti Cu, Zn, dan Bo sangat terbatas, hal ini dikarenakan sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik, dan menyebabkan tidak tersedia bagi tanaman. (Kanapathy1972). Kelompok karboksilat dan fenolat dengan kadar yang tinggi di tanah gambut menyebabkan terjadinya senyawa organo-metal yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro (Kanapathy 1972; Everett 1983).

Kadar Abu. Kadar abu adalah kadar dari total mineral atau hara yang dikandung bahan tanaman. Kadar abu dapat dijadikan sebagai gambaran kesuburan tanah gambut. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Berdasarkan tingkat ketebalannya, makin dalam atau tebal suatu gambut, makin rendah kadar abunya. Gambut sangat tebal yang lebih dari 3 meter memiliki kadar abu sekitar 5 %, gambut tebal dan tengahan dengan ketebalan antara 1 m – 3 m memiliki kadar abu sekitar 11 % - 12 %, dan gambut dangkal memiliki kadar abu sekitar 15 % (Widjaja-Adi 1986).

Kadar abu juga berhubungan dengan tingkat kematangan dan kadar bahan

Dokumen terkait